Anda di halaman 1dari 6

Annafira Yuniar

132011101026

PR Ujian Kasus Psikiatri


Persepsi normal berawal dari stimulasi reseptor sensorik. Persepsi adalah daya
mengenal barang, kualitas, atau hubungan serta perbedaan antara hal ini melalui
proses mengamati, mengetahui dan mengartikan setelah pancaindranya mendapat
rangsang. Jadi persepsi itu dapat terganggu oleh gangguan otak, gangguan jiwa atau oleh
pengaruh lingkungan sosiobudaya.

Terdapat beberapa jenis gangguan persepsi, antara lain:

1. Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apa pun pada pancaindra dan terjadi
dalam keadaan sadar. Dasarnya mungkin organik, fungsional, psikotik atau histerik.

Terdapat 5 tahap insight terhadap halusinasi:

a. Dahulu didapatkan halusinasi dan sekarang tidak pernah ada lagi. Pasien mengalami
kesadaran menyeluruh terhadap halusinasinya.

b. Pernah mengalami halusinasi pada waktu lampau, tetapi tidak pada saat sekarang dan
pasien mempersepsi dan mempercayai hal itu sebagai suatu kenyataan yang benar.

c. Halusinasi dialami baru-baru ini tetapi pasien menolak membicarakannya. Pasien


menyadari kontradiksi antara persepsi psikotik dan realita.

d. Pasien membicarakan halusinasinya tetapi tidak mengikuti dengan perilaku tentang


halusinasinya.

e. Pasien melaksanakan halusinasinya sebagai bentuk respons dan perintah.

Beberapa jenis halusinasi, antara lain:

a. Halusinasi penglihatan (visual): tak berbentuk (sinar, kilapan) atau berbentuk (orang,
binatang), berwarna atau tidak;

b. Halusinasi pendengaran (auditif): suara manusia, hewan atau mesin, barang, kejadian
alamiah atau musik;

c. Halusinasi penciuman (olfaktorik): mencium suatu bau;

d. Halusinasi pengecapan (gustatorik): rasa mengecap sesuatu;

e. Halusinasi perabaan (taktil): merasa diraba, disentuh, ditiup, dll;

f. Halusinasi kinestetik: merasa badannya bergerak dalam sebuah ruang atau anggota
badannya bergerak;

g. Halusinasi viseral: perasaan tertentu timbul dalam tubuhnya;


Annafira Yuniar
132011101026

h. Halusinasi hipnagogik: ada kalanya pada seseorang yang normal, tepat sebelum tidur
persepsi sensorik bekerja salah;

i. Halusinasi hipnopompik: seperti poin sebelumya, tetapi terjadi tepat sebelum


terbangun penuh dari tidurnya;

j. Halusinasi histerik: timbul pada neurosis histerik karena konflik emosional;

k. Formication: halusinasi (taktil) di mana pasien merasa ada serangga merayap di


bawah kulit, sering terjadi pada penggunaan kokain.

Isi halusinasi merupakan tema halusinasi. Keyakinan tentang halusinasi adalah sejauh
mana pasien yakin bahwa halusinasinya merupakan kejadian yang benar. Halusinasi dapat
timbul pada skizofrenia, psikosis bipolar, sindrom otak organik, epilepsi, neurosis histerik,
zat halusinogenik dan pada deprivasi sensorik.

2. Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang pencerapan yang sungguh terjadi
(jadi ada rangsang pada pancaindera). Misalnya bunyi angin didengarnya seperti dipanggil
namanya.

3. Depersonalisasi adalah perasaan aneh tentang dirinya atau perasaan bahwa pribadinya
sudah tidak seperti biasa lagi, tidak sesuai kenyataan, misal rasanya seperti sudah di luar
badannya atau suatu bagian tubuhnya sudah bukan kepunyaanya lagi.

4. Derealisasi adalah perasaan aneh tentang lingkungannya dan tidak sesuai kenyataan
misalnya segala sesuatu yang dialaminya seperti dalam mimpi.

5. Gangguan somatosensorik pada reaksi konversi sering secara simbolik menggambarkan


suatu konflik emosional; dibedakan dari gangguan psikofisiologis (bagian yang terkena
disarafi oleh susunan saraf vegetatif), dari penipuan (dilakukan secara sadar) dan dari
gangguan neurologis (tanda-tandanya sesuai dengan anatomi susunan saraf). Jika telah
dapat dipastikan jika reaksi tersebut merupakan reaksi konversi, maka perlu dicatat dan
dicantumkan jenis reaksinya.

6. Gangguan psikofisiologis adalah gejala pada bagian tubuh yang disarafi oleh susunan
saraf vegetatif dan yang disebabkan oleh gangguan emosi. Perubahan fisiologis ini
menyertai keadaan emosi tertentu, umumnya reversibel dan tidak mengakibatkan
kerusakan jaringan yang permanen.

7. Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mengenal dan mengartikan pencerapan sebagai


akibat kerusakan otak.
Annafira Yuniar
132011101026

Demensia
Demensia ialah kemunduran fungsi mental umum, terutama intelegensi disebabkan
oleh kerusakan jaringan otak yang tidak dapat kembali lagi (irreversibel). Daerah otak
yang terkena terutama ialah lobus parietalis, temporalis dan frontalis.

Terdapat beberapa klasifikasi demensia:

1. Demensia Senilis

Dengan lanjutnya usia, energi pelan-pelan berkurang, reaksi terhadap kejadian di


sekitarnya menjadi lambat, daya kreatif dan inisiatif berangsur-angsur menyempit dan
perlahan-lahan ia akan menarik diri. Seiring dengan proses ini sering timbul rasa cemas pada
individu. Sehingga untuk menghilangkan kecemasan ini ia menggunakan mekanisme
pembelaan yang sudah biasa dipakainya sejak dahulu. Berbagai macam stres menjadi
muncul: pembatasan fisik dan mental, kesepian dengan hilangnya teman dan keluarga.
Terdapat beberapa gejala demensia senilis, yaitu setelah umur 60 tahun baru timbul
gejala-gejala yang jelas untuk membuat diagnosis demensia senilis. Gangguan ingatan jangka
pendek, lupa dengan hal-hal yang baru terjadi, gangguan daya ingat mengikuti hukum Ribot,
yaitu mulai dengan daya ingat jangka pendek, meningkat ke daya ingat jangka sedang. Daya
ingat jangka panjang yang terakhir terganggu sehingga tidak jarang penderita seolah kembali
ke masa muda/kanak-kanak. Pada awalnya gangguan daya ingat terlihat sebagai kesukaran
untuk belajar hal-hal yang baru.
Kekurangan ide-ide dan daya pemikiran abstrak, pasien mengalami kesukaran dalam
mencerna tau mebuat karangan cerita dan mengartikan peribahasa. Ia menjadi egosentrik dan
egoistik, lekas tersinggung dan marah.kadang timbul aktivitas seksual yang berlebihan atau
tidak pantas. Pasien menjadi acuh tak acuh terhadap pakaian dan rupanya, mungkin juga
dapat timbul waham bahwa ia akan dirampok diracuni dan tidak disukai orang.
Orientasi pada pasien demensia juga terganggu. Penilaiannya berkurang sehingga
pasien sukar mengambil keputusan yang berdampak sering melakukan perilaku yang tidak
realistis, logis dan proporsional dalam kehidupan sehari-hari. Pasien demensia banyak
menjadi gelisah waktu malam, mungkin timbul delirium karena penglihatan yang terbatas di
waktu gelap. Bila penderita demensia senilis ditaruh di kamar yang gelap, maka akan timbul
disorientasi dalam waktu satu jam, mereka menjadi cemas dan bingung.
Gejala jasmani pada pasien demensia senilis, antara lain kulit menjadi tipis, atrofi dan
keriput. Pasien mengalami penurunan berat badan, atrofi otot dan jalannya menjadi tidak
stabil. Pasien menjadi bersuara kasar dan bicaranya menjadi pelan. Pasien juga mengalami
tremor pada tangan dan kepala.
Pasien dengan demensia senilis seringkali mengalami gejala psikologis hanya berupa
kemunduran mental umum (demensia simplex). Tetapi tidak jarang juga terjadi kebingungan
dan delirium atau depresi serta agitasi. Pada presbiofrenia terdapat gejala utama berupa
gangguan ingatan serta konfabulasi, dapat dianggap sebagai suatu jenis demensia senilis
dengan beberapa gejala yang menonjol dan timbul sedikit lebih cepat.
Annafira Yuniar
132011101026

Prognosis penyakit ini buruk karena jalannya penyakit yang progresif, demensia
makin lama makin berat sehingga pasien hidup secara vegetatif saja. Untuk kepentingan
diagnosis, perlu dibedakan antara demensia senilis dengan aterosklerosis otak, tetapi kedua
hal ini tidak jarang terjadi secara bersama-sama.
Pengobatan pasien dengan demensia senilis meliputi mempertahankan perasaan aman
dan harga diri. Perlu untuk mencoba memuaskan kebutuhan pasien akan rasa kasih sayang,
rasa tercapainya sesuatu dan rasa perlu dihargai. Kamar pasien jangan sampai gelap gulita
dan taruhlah barang-barang yang dikenal pasien sejak dulu untuk mempermudah
orientasinya. Bila perlu dapat diberi hipnotika ringan pada malam hari. Klorpromazin
berguna bila pasien gelisah dan marah-marah atau pada delirium. Bila terdapat anorexia dapat
diberi vitamin C, anerin dan asam nikotinik. Obat untuk memperbaiki metabolisme sel otak
dapat ditambahkan.

2. Demensia Presenilis
Sesuai dengan judulnya, demensia jenis ini terjadi sebelum masa senil. Terdapat
beberapa macam demensia presenilis, terutama 2 jenis demensia yang akan dijelaskan berikut
ini.
a. Morbus Alzheimer
Penyakit alzheimer timbul antara umur 50 dan 60 tahun. Terdapat degenerasi korteks
yang difus pada otak di lapisan-lapisan luar, terutama di daerah frontal dan temporal.
Sehingga terjadi atrofi otak, sistem ventrikel membesar serta banyak hawa di ruang
subarachnoidal. Penyakit ini tidak mempunyai ciri khas yang tercermin melalui gangguan
intelegensi dan kelainan perlaku. Terdapat disorientasi, gangguan ingatan, emosi yang labil,
kekeliruan mengenai hitungan atau pembicaraan sehari-hari. Pasien juga mengalami afasi,
sering terdapat perseverasi, pembicaraan logoklonia dan bila sudah berat, maka pasien tidak
dapat dimengerti lagi. Pada beberapa kasus, pasien menjadi gelisah dan hiperaktif.
Kadang dapat timbuk apraxia, hemiplegi atau paraplegia. Parese pada muka dan
spasme pada ekstremitas juga sering terjadi sehingga pada stadium akhir timbul kontraktur.
Penyakit ini biasa berlangsung 5-20 tahun, kadang-kadang terlihat naik-turun.
b. Morbus Pick
Secara patologis, ciri khasnya adalah atrofi dan gliosis di daerah-daerah asosiatif.
Yang terganggu ialah daerah korteks yang secara filogenetik lebih muda dan penting buat
fungsi asosiasi yang lebih tinggi. Oleh karena itu yang terutama terganggu adalah
pembicaraan dan proses berpikir.
Penyakit ini mungkin herediter. Biasanya terjadi pada usia 45-60 tahun. Terdapat
atrofi pada daerah tertentu terutama pada daerah frontal dan temporal. Otak yang mengecil
beratnya menjadi kurang dari 1000 gram. Terlihat tanda-tanda degenerasi secara mikroskopis.
Terdapat kromatiolisa dan apa yang tidak terdapat pada M.Alzheimer tetapi disini ada ialah
sel-sel yang menggelembung (balloned cells).
M. Pick terdapat dua kali lebih banyak pada kaum wanita dibandingkan pria. Gejala
permulaannya yaitu ingatan berkurang, kesukaran dalam pemikiran dan konsentrasi, kurang
spontanitas, emosi menjadi tumpul. Penderita menjadi acuh tak acuh dan sulit menyesuaikan
diri.
Annafira Yuniar
132011101026

Dalam waktu satu tahun sudah terjadi demensia yang jelas. Sering terdapat gejala-
gejala fokal seperti afasia, apraxia, alexia, agrafia, tetapi gejala ini seringkali diselubungi
demensia umum. Ciri afasia yang terjadi pada penyakit ini adalah terjadinya secara perlahan
dan terdapat logore yang spontan. Tidak jarang terdapat ekholalia dan reaksi stereotip. Pada
fase lanjut demensia menjadi hebat.
Sampai saat ini tidak ada pengobatan khusus terhadap demensia presenilis. Dapat
direncanakan pengobatan simptomatis dalam lingkungan yang memadai. Bila gelisah juga
dapat dipertimbangkan pemberian obat psikotropik.

3. Demensia Paralitika
Demensia jenis ini dinamakan juga meningo-ensefalitis luetika atau polio-ensefalitis
luetika. Penyakit ini disebabkan oleh Spirochaeta Treponema pallidum yang menembus
sawar darah otak dengan mudah. Hal ini dapat terjadi selama infeksi primer.
Demensia ini lebih banyak terjadi pada kaum pria dibandingkan wanita. Terdapat
proses peradangan dan proses degenerasi terutama di bagian frontal pada permulaan, tetapi
akhirnya seluruh bagian otak dapat dihinggapi oleh keradangan dan degenerasi. Selaput otak
menjadi menebal, sulkus melebar dan giri mengecil. Kapiler bertambah banyak dan pada
perivaskuler didapati kumpulan sel, terutama limfosit dan sel plasma (cuffing pada kapiler).
Periode inkubasi dari demensia tipe ini adalah 5 sampai 30 tahun atau lebih sesudah infeksi
sifilis primer, sering antara 10-20 tahun.
Gejala-gejalanya dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu gejala psikiatrik, somatis dan
serologis.
a. Gejala psikiatrik: pada stadium permulaan pasien menjadi lekas lelah, mudah marah, sukar
konsentrasi, sukar tidur dan kadang bingung. Pada keadaan lebih lanjut, pasien lekas lupa,
apatis, egoistik, merosot dalam hal etik dan moral. Mungkin dapat timbul waham
kebesaran, paranoid, nihilistik atau depresi. Terdapat demensia yang difus yaitu ingatan,
penilaian, emosi dan pikiran semuanya berkurang.
b. Gejala somatis: pada permulaan terdapat sakit kepala, otot muka yang kehilangan tonus
sehingga roman muka menjadi kosong dan mimik berkurang. Sering terjadi gangguan
pada pupil, tidak bundar dan gejala Argy II Robertson (miosis, reflek cahaya negatif tetapi
reflek konvergensi positif).
Terjadi kelemahan dan inkoordinasi semua otot, tremor pada otot muka, kadang terlihat
tarikan otot yang cepat sekali seperti kilatan pada muka. Terdapat pula gejala disartri.
Dapat timbul spasme, hiperfleksi dan ataxia yang pada stadium akhir dapat demikian berat
sehingga pasien hanya diam di tempat tidur saja.
c. Gejala serologis: tekanan intrakranial sedikit meninggi. Pada cairan otak terdapat reaksi
None Pandy yang positif, pleiositosis, reaksi Wasermann dan Kahn positif, VDRL dengan
titer tinggi, kurva sol emas: endapan terbanyak pada tabung pertama.
Bila tidak diobati, akan terjadi demensia yang berat dan dapat mengakibatkan pasien
meninggal dunia. Jalannya penyakit kadang intermitten dan dapat juga timbul kesembuhan
yang spontan.
Annafira Yuniar
132011101026

Bila diobati, prognosis bergantung pada stadium dimulainya pengobatan serta pada
kemanjuran pengobatan. Bila Spirochaeta mati karena terapi maka gejala yang timbul karena
keradangan akan hilang namun gejala akibat degenerasi akan tetap ada.
Gejala neurologis demensia ini harus dibedakan dari gejala aterosklerosis otak.
Penyakit yang dapat menyerupai demensia paralitika adalah demensia senilis, tumor otak,
sklerosis multiple, morbus alzheimer dan morbus pick, serta penyakit lain yang merusak otak
terutama lobus frontalis.
Pengobatan penyakit ini menggunakan penisilin, diberi injeksi dalam jangka waktu
yang agak panjang sampai sejumlah 12-15 unit. Cairan otak diperiksa lagi dalam 1-3 minggu
sesudah satu seri selesai. Bila belum normal, maka seri pengobatan diulangi. Sesudah 4-6
bulan seri pertama selesai, cairan otak diperiksa kembali. Terhadap gejala psikiatrik dapat
diberikan neuroleptika bila perlu. Dapat diberi 2-3x seri suntikan penisilin, namun bila cairan
otak belum normal perlu dipertimbangkan antibiotik lain karena mungkin spirochaeta sudah
resisten terhadap penisilin.

Referensi:
1. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
2. Rumah Sakit Umum dr. Soetomo. 2004. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu
Kedokteran Jiwa Edisi III. Surabaya: Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai