Anda di halaman 1dari 19

BAB II

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien, laki-laki, 51 th, datang ke IGD RSUP M.Djamil, Padang

tanggal 28 Mei 2017 dengan keluhan nyeri dada sejak 7 jam sebelum masuk

rumah sakit. Pasien mengeluhkan nyeri dada sejak 7 jam sebelum masuk rumah

sakit. Nyeri pertama kali dirasakan saat duduk dan dirasakan terus-menerus

hingga pasien masuk ke IGD M.Djamil. Nyeri dirasakan dibagian tengah dada

seperti tebakar dan ditusuk-tusuk dan menjalar ke bahu, lengan, dan punggung

kiri. Keluhan tidak terpengaruh dengan perubahan posisi dan bernapas dan tidak

membaik dengan istirahat.

Pasien juga mengeluhkan keringat dingin yang membasahi seluruh

pakaian pasien. Pasien merupakan rujukan dari RSUD Lubuk Sikaping dengan

diagnosis Infark Miokard Anterolateral dan telah mendapat terapi okigen 3 lt per

menit, IVFD RL 16 tpm, ISDN 5mg sublingual, clopidogel 300 mg, aspilet 160

mg, morfin 2 mg (IV).

Pasien tidak pernah mengeluhkan keluhan yang sama sebelumnya. Pasien

tidak memiliki riwayat gastritis. Riwayat hipertensi, dislipidemia, dan Diabetes

melitus tidak diketahui sebelumnya. Pasien merokok sebanyak 2 bungkus per hari

sejak 35 tahun yang lalu. Pasien minum kopi 3-4 gelas per hari. Pasien suka

memakan gulai gajeboh.

Kakak kandung pasien menderita hipertensi dan adik kandung pasien

meninggal karena penyakit jantung. Ayah pasien meninggal karena stroke. Pasien
bekerja sebagai wiraswasta (supir travel) dengan aktifitas sedang. Pasien tidak

rutin berolahraga.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang,

kesadaran composmentis cooperatif, tekanan darah 110/70, frekuensi nadi 72x

/menit, frekuensi nafas 20x / menit, suhu 36.8 C, tidak ditemukan udem pada

kedua tungkai, turgor kulit baik, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,

tidak ditemukan pembesaran Kelenjar Getah Bening, JVP 5-1 cm H2O.

Pada pemeriksaan fisik jantung, iktus kordis tidak terlihat saat inspeksi,

pada palpassi iktus kordis teraba di satu jari medial linea midklavikula sinistra

RIC 5. Pada perkusi didapatkan batas jantung kanan di linea sternalis dextra, batas

jantung kiri di satu jari medial linea midklavikla sinistra RIC 5, batas jantung atas

di RIC 2. Pada auskultasi jantung bunyi jantung 1 dan 2 regular, tidak ada murmur

maupun gallop. Pada pemeriksaan fisik paru, dada simetris kiri dan kanan pada

saat statis dan dinamis, batas kiri sama dengan kanan, perkusi sonor di seluruh

lapangan paru, suara nafas vesikular, tidak ada ronkhi dan wheezing. Pada

pemeriksaan fisik abdomen, perut tidak dapat membuncit, perabaan supel, hepar

dan lien tidak teraba, perkusi timpani, bising usus normal.

Hasil pemeriksaan laboratorium IGD didapatkan HB 14, hematokrit 42%,

leukosit 17.560/mm3, trombosit 302.000 mm3, gula darah sewaktu 140 mg/dl,

ureum 14mg/dl, kreatinin darah 0,9 mg/dl, kalsium 8,9 mg/dl, natrium 132

mmol/l, kalium 4,6 mmol/l, klorida serum 100 mmol/l, troponin I, 7,14 ng/l. Hasil

labor menunjukkan peningkatan kadar troponin I dan penurunan kadar natrium.


Gambaran pemeriksaan EKG tanggal 28 Mei 2017 saat masuk IGD

didapatkan irama sinus rythm, reguler, QRS rate 68x/menit, aksis normal, PR

interval normal, gelombang P normal, QRS durasi 0,08 detik, Q patologis di V1-

V4, ST elevasi 1-3 mm di V1-V5, LVH (-), RVH (-). Didapatkan kesimpulan akut

STEMI anterior ekstensif.

Gambar …. EKG tanggal 28 Mei 2017 saat masuk IGD

Gambar 1 Foto Polos Toraks Tn. YT


Pemeriksaan foto rontgen toraks di dapatkan CTR < 50%, segmen aorta

normal, segmeen pulmonal normal, pinggang jantung normal, tidak tampak

infiltrat dan kranialisasi.

Pada pasien ini didapatkan skor TIMI 4/14 sehingga memiliki angka

mortalitas dalam 30 hari sebesar 7,3% dan skor GRACE 137 sehingga

dikategorikan memiliki angka mortalitas menengah.

Tabel 1 Skor TIMI

Usia < 65 tahun 0

Angina 1

SBP > 100 0

HR < 100 0

KILLIP I 0

Berat 67 Kg 1

ST Elevasi 1

Waktu reperfusi > 4 jam 1

Tabel 2 Skor GRACE

Usia 50-59 tahun 36

Laju denyut jantung 70-89 7

Tekanan Darah Sistolik 100-119 47

Skor kreatinin 0-34 2

Gagal jantung berdasarkan skor 0


KILLIP (KILLIP I)

Henti jantung saat tiba di rumah sakit 0

Peningkatan Marka Jantung 15

Deviasi Segmen ST 30

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratoriumm,

pemeriksaan EKG, pemeriksaan rontgen toraks, pasien ini di diagnosis dengan

Akut STEMI Anterior Ekstensif onset 7 jam KILLIP I, TIMI 4/14.

Tatalaksana emergensi yang diberikan pada pasien ini bed rest, pemberian

oksigen 4 L/menit nasal kanul, ISDN 5 mg, aspilet 160 mg, klopidogrel 300 mg.

Pasien dipindahkan ke CVCU dan direncanakan PPCI.

Gambaran pemeriksaan EKG tanggal 28 Mei 2017 post PPCI didapatkan

irama sinus rythm, reguler, QRS rate 83x/menit, aksis normal, PR interval normal,

gelombang P normal, QRS durasi 0,08 detik, Q patologis di V1-V4, ST elevasi 1-

3 mm di V3, LVH (-), RVH (-). Didapatkan kesimpulan akut STEMI anterior

ekstensif.
Gambar …. EKG tanggal 28 Mei 2017 post PPCI

Hasil pemeriksaaan pada tanggal 29 mei 2017, pasien tidak mengeluhkan

nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit sedang,

kesadaran composmentis cooperatif, tekanan darah 101/60 mmHg, frekuensi nadi

86x / menit, frekuensi nafas 18x / menit, suhu 37,10 C, bunyi jantung regular,

tidak ditemukan murmur maupun gallop, suara nafas vesikular, tidak ditemukan

ronkhi maupun wheezing, akral hangat, tidak ada udem tungkai. Dilakukan

pemeriksaan laboratorium yang ke dua didapatkan total kolesterol 288 mg/dl,

HDL 43 mg/dl, LDL 219mg/dl, trigliserida 131 mg/dl, SGOT 269 u/l SGPT 86

u/l, magnesium 1,7 mg/dl. Didapatkan kesan dislipidemia, SGOT dan SGPT

meningkat, dan magnesium menurun.

Pemeriksaan EKG tanggal 29 mei 2017 didapatkan didapatkan irama sinus

rythm, reguler, QRS rate 94x /menit, aksis normal, PR interval normal,

gelombang P normal, QRS durasi 0,08 detik, Q patologis di V1-V4, ST elevasi 1-

3 mm V2-V3, LVH (-), RVH (-). Didapatkan kesimpulan akut STEMI anterior

ekstensif.
Gambar …. EKG tanggal 29 Mei 2017

Berdasarkan pemeriksaan pada tanggal 29 Mei 2017 pasien didiagnosis

dengan STEMI akut anterior ekstensif onset 7 jam, TIMI 4/14, KILLIP I, post

PPCI tanpa stent diproksimal LAD pada CAD 2VD (inkomplit di PL) dengan

trombusburden grade V on high dose aspilet (sd 4-6-17), brilinta 2x90 mg,

atovarstatin 1x40 mg, ramipril 1x2,5 mg, lassic 1x40 mg, hipomagnesium (1,7)

post koreksi magnesium. Tatalaksana lanjutan post PPCI yaitu cek magnesium

post koreksi, rehabilitasi, dan pemberian cairan 1800 cc/24 jam, TBC 0 sd 200

cc/24 jam.

Pemeriksaan pada hari selanjutnya tanggal 30 Mei 2017 pasien tidak

memiliki keluhan nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum

sakit sedang, kesadaran composmentis cooperatif, tekanan darah 81/56 mmHg,

frekuensi nadi 90x / menit, frekuensi nafas 20x / menit, suhu 37,00 C, bunyi

jantung regular, tidak ditemukan murmur maupun gallop, suara nafas vesikular,

tidak ditemukan ronkhi maupun wheezing, akral hangat, tidak ada udem tungkai.
Berdasarkan pemeriksaan pada tanggal 30 Mei 2017 pasien didiagnosis

dengan STEMI akut anterior ekstensif onset 7 jam, TIMI 4/14, KILLIP I, post

PPCI tanpa stent diproksimal LAD pada CAD 2VD (inkomplit di PL) dengan

trombusburden grade V on high dose aspilet 1x160 (sd 4-6-17), brilinta 2x90 mg,

atovarstatin 1x40 mg, ramipril 1x2,5 mg, laxadyn 1x10 mg, alprazolam 1x0,5.

Tatalaksana lanjutan post PPCI yaitu mobilisasi dan rencana untuk pulang. Serta

pada tanggal 31 Mei 2017 pasien pulang.


BAB III

DISKUSI

Seorang pasien, laki-laki, 51 th, datang ke IGD RSUP M.Djamil, Padang

tanggal 28 Mei 2017 dengan keluhan nyeri dada sejak 7 jam sebelum masuk

rumah sakit. Nyeri dirasakan dibagian tengah dada seperti tebakar dan ditusuk-

tusuk, menjalar, durasi > 20 menit, tidak membaik dengan istirahat dan disertai

dengan keringat dingin. Nyeri dada pada pasien ini merupakan nyeri dada khas

angina.1

Berdasarkan tatalaksana sindroma koroner akut PERKI tahun 2015 edisi

ketiga, keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada. Nyeri

dada dibedakan menjadi nyeri dada tipikal dan atipikal. Keluhan angina tipikal

berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,

rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung

intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit).1 Pada pasien ini ditemukan

nyeri dada yang berlangsung selama 7 jam, nyeri dada disertai penjalaran ke ke

bahu, lengan, dan punggung kiri.

Nyeri pada iskemik miokard disertai dengan keluhan penyerta seperti

diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.1 Pada pasien

ini dijumpai adanya keringat dingin yang membasahi hingga seluruh pakaian,

tidak ada keluhan mual, muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.

Sedangkan keluhan angina atipikal lebih sering dijumpai pada pasien usia muda

(25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal

menahun, atau demensia. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara
lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan

(indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah

mendadak yang sulit diuraikan.1

Diagnosis Sindroma Koroner Akut menjadi lebih kuat jika ditemukan

karakteristik berikut pada pasien:

 Pria

 Sebelumnya diketahui memiliki penyakit aterosklerosis

 Hipertensi

 Merokok

 Dislipidemia

 Merokok

 Diabetes Melitus

 Riwayat penyakit jantung pada keluarga

 Mempunyai faktor umur

Pada pasien ini ditemukan kesesuaian dengan literatur yaitu, pasien soerang

laki-laki dengan usia 51 tahun, dengan riwayat merokok selama 35 tahun

sebanyak 2 bungkus per hari dan disertai dengan riwayat hipertensi pada kakak

pasien, penyakit jantung pada adik pasien dan riwayat penyakit stroke pada ayah

pasien.

Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang,

kesadaran composmentis cooperatif, tekanan darah 110/70, frekuensi nadi 72x

/menit, frekuensi nafas 20x / menit, suhu 36.8 C. Pada pemeriksaan vital sign

didapatkan hasil dalam batas normal. Pada pemeriksaan jantung dan paru tidak

ada ditemukan kelainan.


Dari hasil pemeriksaan EKG didapatkan bahwa irama sinus rythm, QRS rate

67x /menit, aksis normal, gelombang P normal, PR interval normal, QRS durasi

0,08 detik, ST elevasi 1-3 mm V1-V5 akut, Q patologis di V1-......., LVH (-),

RVH (-). Didapatkan kesimpulan akut STEMI anterior ekstensif.

Pada EKG ditemukan elevasi pada segmen ST di V1-V5. Pasien SKA

dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (complete)

baru atau persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi

reperfusi. Oleh karena itu, pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI

dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung

tersedia. Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi adalah

angina tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik

untuk STEMI. Sebagian besar pasien STEMI akan mengalami peningkatan marka

jantung, sehingga berlanjut menjadi infark miokard dengan elevasi segmen ST

(ST-Elevation Myocardial Infarction, STEMI).1 Pada pemeriksaan EKG juga

didapatkan gambaran Q patologis. Gelombang Q patologis berhubungan dengan

infark transmural yang disertai dengan adanya fibrosis pada seluruh dinding.2

Ciri – ciri STEMI pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut2 :

1. Gelombang T hiperakut

Pada periode awal terjadinya STEMI, bisa didapatkan adanya gelombang T

prominen. Gelombang T prominen itu disebut gelombang T hiperakut, yaitu

gelombang T yang tingginya lebih dari 6 mm pada sadapan ekstremitas dan lebih

dari 10 mm pada sadapan prekordial. Gelombang T hiperakut ini merupakan tanda

sugestif untuk STEMI dan terjadi dalam 30 menit setelah onset gejala. Namun,

gelombang T prominen ini tidak selalu spesifik untuk iskemia.


Gambar. 2 Perubahan morfologi segmen ST
dan gelombang T pada SKA.2

2. Gambaran awal elevasi segmen ST

Jika oklusi terjadi dalam waktu lama dan derajatnya signifikan (menyumbat

90% lumen arteri koroner), gelombang T prominen akan diikuti dengan deviasi

segmen ST. Elevasi segmen ST menggambarkan adanya daerah miokardium yang

berisiko mengalami kerusakan ireversibel menuju kematian sel (dapat diukur

berdasarkan peningkatan kadar troponin) dan lokasinya melibatkan lapisan

epikardial.

Diagnosis STEMI ditegakkan jika didapatkan elevasi segmen ST minimal

0,1 mV (1 mm) pada sadapan ekstremitas dan lebih dari 0,2 mV (2 mm) pada

sadapan prekordial di dua atau lebih sadapan yang bersesuaian. Elevasi segmen

ST merupakan gambaran khas infark miokardium akut transmural, tetapi bisa

ditemukan pula pada kelainan lain. Pada kebanyakan kasus, untuk membedakan

STEMI dari kelainan lain biasanya tidak sulit, cukup dengan memperhatikan
gambaran klinisnya.

3. Elevasi segmen ST yang khas (berbentuk konveks)

Gelombang R mulai menghilang. Pada saat bersamaan, mulai terbentuk

gelombang Q patologis. Gelombang Q patologis berhubungan dengan infark

transmural yang disertai dengan adanya fibrosis pada seluruh dinding. Pada 75%

pasien, elevasi segmen ST yang khas ini terbentuk dalam beberapa jam sampai

beberapa hari.

4. Inversi gelombang T

Bila berlangsung lama dan tidak dilakukan reperfusi arteri koroner, elevasi

segmen ST mulai menghilang kembali ke garis isoelektrik. Bersamaan dengan itu,

mulai timbul gambaran inversi gelombang T. Gelombang T dapat kembali normal

dalam beberapa 2 hari, minggu, atau bulan.

5. Morfologi segmen ST kembali normal

Segmen ST biasanya stabil dalam 12 jam, kemudian mengalami resolusi

sempurna setelah 72 jam. Elevasi segmen ST biasanya menghilang sempurna

dalam 2 minggu pada 95% kasus infark miokardium inferior dan 40% kasus

infark miokardium anterior. Elevasi segmen ST yang menetap setelah 2 minggu

berhubungan dengan morbiditas yang lebih tinggi. Jika elevasi segmen ST

menetap selama beberapa bulan, perlu dipikirkan kemungkinan adanya aneurisma

ventrikel.

Untuk menentukan lokasi iskemia atau infark miokard serta memprediksi

pembuluh koroner mana yang terlibat, diperlukan dua atau lebih sadapan

bersesuaian sebagaimana tersaji pada tabel berikut.


Tabel.3 Hubungan anatomis sadapan EKG pada SKA (sadapan aVR tidak
memiliki makna diagnostik pada SKA). Infark tidak hanya terbatas pada satu
daerah jantung saja. Sebagai contoh, jika terdapat perubahan pada sadapan V dan
V (anterior) serta pada sadapan I, aVL, V , dan V (lateral), diagnosisnya menjadi
infark miokard anterolateral.

Pemeriksaan foto rontgen toraks di dapatkan CTR < 50%, segmen aorta

normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung normal, tidak tampak

infiltrat dan kranialisasi. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar

troponin I. Troponin I normal <0,01 yang merupakan marka nekrosis miosit

jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I atau T

merupakan marka yang memilkiki sensitifitas dan spesifitas lebih tinggi dari

CKMB. Troponin I mempunyai spesifitas yang lebih tinggi dari troponin T.

Peningkatan marka jantung hanya menunjukan adanya nekrosis miosit namun,

tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut


(penyebab koroner atau nonkoroner). Troponin merupakan pengatur kerja aktin

dan miosin dalam otot jantung dan lebih spesifik jika dibandingkan dengan

CKMB. Enzim ini mulai meningkat pada 3 sampai 12 jam setelah onset iskemik

dan puncaknya dalam 12 sampai 24 jam, masih tetap tinggi sampai hari ke-8

sampai 21 (troponin T) dan 7 sampai 14 hari (troponin I). Peningkatan troponin

menjadi bukti adanya nekrosis miokard.1

Pasien – pasien dengan sindroma koroner akut harus ditentukan stratifikasi

faktor risiko untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya yaitu, konservatif

atau intervensi segera. Salah satu stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI

(Thrombolysis In Myocardial Infarction) dan GRACE (Global Registry of Acuter

Coronary Events). Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7

variabel yang masing-masing setara dengan 1 poin seperti tabel

Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang

masing-masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia ≥65

tahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG,

terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marka

jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang

ada, stenosis koroner ≥50% merupakan variabel yang sangat mungkin tidak

terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%);

skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7

: risiko tinggi (risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%).1

Klasifikasi GRACE mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas

Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang

gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut
jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di

rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi

kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap

mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan

skor risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian

menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan

setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap

mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan

skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan mempunyai risiko kematian

menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).1

Pada pasien ini didapatkan skor TIMI 4/14 sehingga memiliki angka

mortalitas dalam 30 hari sebesar 7,3% dan skor GRACE 137 sehingga

dikategorikan memiliki angka mortalitas menengah. Berdasarkan skor KILLIP

didapatkan KILLIP I karena pada temuan klinis pasien tidak terdapat gagal

jantung (tidak terdapat ronki maupun S3) sehingga memiliki angka mortalitas

sebesar 6%.

Tabel 4 skor TIMI3


Tabel 5 skor GRACE1

Tabel 6 skor KILLIP untuk stratifikasi3


Tatalaksana emergensi pada pasien ini dilakukan tirah baring kemudian

diberikan oksigen 4 liter permenit dan di IGD RSUD Lubuk Sikaping pasien

diberi ISDN 5mg sublingual, clopidogel 300 mg, aspilet 160 mg, morfin 2 mg

(IV). Keduanya merupakan antiplatelet rekomendasi IA pada pasien STEMI.1

Lalu pada pasien direncanakan PPCI dengan tujuan untuk reperfusi arteri koroner.

Berdasarkan pemeriksaan pada tanggal 29 Mei 2017 pasien didiagnosis

dengan STEMI akut anterior ekstensif onset 7 jam, TIMI 4/14, KILLIP I, post

PPCI tanpa stent diproksimal LAD pada CAD 2VD (inkomplit di PL) dengan

trombusburden grade V on high dose aspilet (sd 4-6-17), brilinta 2x90 mg,

atovarstatin 1x40 mg, ramipril 1x2,5 mg, lassic 1x40 mg, hipomagnesium (1,7)

post koreksi magnesium. Tatalaksana lanjutan post PPCI yaitu cek magnesium

post koreksi, rehabilitasi, dan pemberian cairan 1800 cc/24 jam, TBC 0 sd 200

cc/24 jam.

Berdasarkan pemeriksaan pada tanggal 30 Mei 2017 pasien didiagnosis

dengan STEMI akut anterior ekstensif onset 7 jam, TIMI 4/14, KILLIP I, post

PPCI tanpa stent diproksimal LAD pada CAD 2VD (inkomplit di PL) dengan

trombusburden grade V on high dose aspilet 1x160 (sd 4-6-17), brilinta 2x90 mg,

atovarstatin 1x40 mg, ramipril 1x2,5 mg, laxadyn 1x10 mg, alprazolam 1x0,5.

Tatalaksana lanjutan post PPCI yaitu mobilisasi dan rencana untuk pulang. Serta

pada tanggal 31 Mei 2017 pasien pulang.


Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman

tatalaksana sindrom koroner akut. Edisi ketiga. Jakarta: Centra

Communication; 2015.

2. Myrtha R. Perubahan gambaran ekg pada sindrom koroner akut (ska). CDK

188, 2011; 38 (7) pp: 541 – 542.

3. Fitchett, D.H., Theroux, P., Brophy, J.M., et al., 2011, Assessment and
Management of Acute Coronary Syndromes (ACS): A Canadian Perspective
on Current Guideline-Recommended Treatment–Part 2: ST Segment
Elevation Myocardial Infarction, Canadian Journal of Cardiology, 27 :
S402–S412.

Anda mungkin juga menyukai