Syaifullah Al Ayyuby
Email: syaifullahalayyuby@yahoo.com
ABSTRAK
Tulisan ini mencoba mengungkapkan bagaimana peranan pola relasi petani dengan aktor-
aktor ekonomi distributor gabah dalam tata niaga gabah. Permasalahan harga gabah
menjadi berita yang sangat sensitive bagi petani. Berbagai macam cara digunakan
pemerintah untuk berusaha mengentas dan menaikkan harga gabah di tingkat petani. Mulai
dari menentukan Harga Pembelian pemerintah (HPP) agar mampu mendongkrak harga
gabah di pasaran, Serap Gabah (Sergab), revitalisasi pertanian hingga bahkan
menginstruksikan TNI AD dalam Pertanian dengan harapan merubah pola pikiran petani
dan pelaku pasar. Dalam karya ini, penulis menggunakan metode kualitatif untuk dapat
menginterpretasi temuan data. Lokasi yang dipilih adalah Kecamatan Rejoso, Kabupaten
Nganjuk. Hal ini dikarenakan posisi letak kecamatan ini cukup strategis selain dari
infrastruktur dan tanah yang relative subur untuk pertanian, Kecamatan Rejoso juga dekat
dengan gudang Bulog Kedondong. Hasilnya, pemerintah melalui Bulog dengan
programnya ternyata masih belum mengangkat tingkat keberhasilan. Upaya swasembada
yang di impikan Indonesia masih setengah hati. Struktur pasar sudah berjalan sangat lama,
actor-aktor yang terlibat pun sudah cukup familier dengan system tataniaga yang berlaku
selama ini. Sosok Sumanto sebagai petani modern memiliki jalan yang relative berbeda.
Dari system yang sudah terbentuk rupanya membangkitkan kesadaran diskursif untuk
menentang struktur. Melalui informasi yang banyak yang ia dapat, membuatnya memilih
jalan untuk melompat dari struktur yang terbentuk oleh distributor-distributor gabah.
Anthony Giddens dengan teori strukturasinya, mampu menjelaskan dan member solusi
bahwa dalam struktur tata niaga gabah ini untuk merubah pola prilaku actor adalah tidak
hanya dengan mengubah struktur. Akan tetapi juga dengan didorong adanya pioneering
yang dinamakan agen seperti Sumanto. Di lain sisi, KUD dan satgas Bulog yang dulunya
menjadi rational choice petani dalam menjual gabah karena harga yang diberikan cukup
stabil kini hilang dominasinya. Memilih menjual kepada tengkulak adalah pilihan rasional
agar petani tetap bertahan daripada menjualnya dengan harga dari pemerintah namun
penuh ketidakpastian dalam penampungan. Alasan minimnya modal dan juga terbatasnya
satuan petugas menjadi alasan klasik untuk membenarkan tindakannya. Adanya
perlawanan dari tengkulak dengan system ijon-nya serta turut masuknya dalam kemitraan
Bulog adalah upayanya dalam mempertahankan struktur pasar dan menjaga dominasi
ekonominya atas petani.
ABSTRACT
This essay will try to express how the role of a pattern relation farmers by economic actors
distributor of grain in commercial distribution of grain. The problems the price of grain
into news that is very sensitive for farmers. Various ways used by government to strive
mengentas and raise the grain at the farm gate .Starting from determining the purchasing
price of the government (HPP) to be able to boost the price of grain in the market,
absorptive grain (sergab), revitalization agricultural to even instructed army in
agriculture in the hope of change the pattern of the mind farmers and market players. In
this work, the use writers a qualitative methodology to be interpreting the data. Locations
is Kecamatan Rejoso, district Nganjuk. It was because this area position is quite strategic
instead of infrastructure and relative fertile ground for agriculture, in Rejoso also close to
shed Bulog Kedondong. As a result, the government through its program bulog with
apparently still not raised the level of success. Self-sufficient efforts to aspire to Indonesia
is still half of the heart. The structure of the markets already been very long, The actors
involved can already quite familiar with a trading system so system which is valid for this.
The figure of Sumanto as farmers modern has a roadway relative different. Of systems that
had been formed apparently raise awareness of discursive to oppose the structure. But also
by being propelled the pioneering called an agent as Sumanto. On the other side, and
logistics KUD task force formerly be rational choice farmers in selling grain because the
given stable enough now lost dominasinya. Choose selling to tengkulak is a choice rational
so that farmers remain than sell them at from the government yet full of uncertainty in
shelters. The lack of capital and also limited a unit of the classic as an excuse to justify
their actions. Any resistance from tengkulak with Ijon-system and also the presence in
partnership Bulog is his campaign in defending the market structure and keep their
dominance of farmers.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam konteks pemaknaan ekonomis, pangan tidak lagi berhenti sebagai sekedar
materi saja, melainkan sesuatu yang bersifat menguntungkan, yang memberi keuntungan
kepada siapa yang menguasainya. Dalam posisinya sebagai barang yang dapat memberi
keuntungan, pangan menjadi sebuah komoditas strategis. Ini terjadi karena, pertama-tama,
perlakuan dan distribusi atas beras secara terpaksa harus distrukturkan di dalam hukum-
hukum tata niaga. Bukan saja berlaku hukum supply and demand yang menyebabkan
ketersediaan beras menjadi bersifat alamiah dan tidak netral. Tetapi juga tergerogoti oleh
nafsu kekuasaan untuk mengontrol sumber-sumber dan prasarana dari proses produksinya.
Dalam konteks inilah terlihat dekatnya hubungan antara pangan dan akumulasi kekuasaan
politik.1
Hubungan beras dan politik beranjak dari asumsi bahwa seluruh kehidupan
manusia hanya dapat secara dramatis diredusir hanya pada perburuan terhadap makanan. 2
Lepas dari berbagai cara, gaya, kebiasaan, serta selera masing-masing kelompok
1
Khudori. “Politik Nasi Megawati”. Koran Tempo, 12 Januari 2004.
2
Ali, Fachry dkk. Beras, Koperasi, dan Politik Orde Baru: Bustanul Arifin 70 Tahun. Jakarta: Sinar Harapan,
1995.
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 149
KERANGKA TEORITIK
Teori strukturasi yang diulas oleh Giddens adalah jawaban dari perdebatan antara
agen dan juga struktur. Giddens mengakui bahwa teori strukturasi yang ia kemukakan
merupakan asimilasi dari pengaruh Marxian. Antara strukturalisme dan fungsionalisme
pada dasarnya memiliki kemiripan yang cukup jelas sekalipun muncul perdebatan
pemaknaan diantara keduanya. Keduanya cenderung mengekspresikan sudut pandang
naturalistic dan menuju ke bentuk yang lebih obyektivisme. Strukturalisme dan
fungsionalisme menekankan keunggulan keutuhan sosial atas bagian-bagian
individualnya (yakni aktor-aktor kostituennya, subyek-subyek manusia).
Teori Strukturasi menekankan nahwa praktik sosial yang terjadi berulang-berulang
itu yang pada dasarnya adalah sebuah teori yang menghubungkan antara agen dan
struktur keduanya. Menurut Giddens antara agen dan struktur seperti dua mata uang
3
Hakekat, Data. “Jalur Tengkulak Beras”. Sabtu 30 Mei 2015. Diakses dari
http://.datahakekat.blogspot.co.id/2015/05/jalur-tengkulak-beras.html?m=1, pada 25 Maret 2016 pukul
19.48.
4
Khudori. Kata Pengantar: Dr. H. Husein Sawit. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap
Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book.
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 150
logam yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya memiki hubungan dwi rangkap walaupun
berbeda sisi tapi tetap saling memiliki hubungan yang erat dan berhubungan.
Titik tolak dari analisis Giddens adalah tindakan manusia, aktivitas “bukanlah
hasil dari sebuah tindakan yang tiba-tiba langsung saja terjadi oleh actor social, tetapi
tercipta secara terus menurus dan diciptakan secara berulang-ulang melalui suatu cara,
dan dengan cara itu juga mereka menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor di dalam
dan melalui aktivitas mereka, agen menciptakan kondisi yang memungkinkan aktivitas
ini berlangsung”. Menurut Giddens aktivitas tidak dihasilkan melalui kesadaran asli,
melalui konstruksi tentang realitas, atau tidak diciptakan oleh struktur sosial. Guna
menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor, orang sebagai subjek terlibat dalam
praktik sosial dan melalui praktik sosial itulah baik kesadaran maupun struktur kemudian
diciptakan. Dalam kondisi refleksivitas manusia tak hanya merenungi diri sendiri, tetapi
juga terlibat dalam memonitor aliran terus-menerus dari aktivitas dan kondisi structural
atau juga dalam Bahasa singkatnya mengalami peubahan-perubahan. Secara umum
Giddens mengalami proses dialektika dimana praktik sosial, struktur, dan kesadaran itu
diciptakan. Intinya, Giddens menjelaskan masalah agen-struktur secara dengan acuan
historis, processual, dan dinamisasi.
Banyak peneliti social mempelajari masalah actor dan struktur ini menganggap
bahwa tidak hanya aktor saja yang bersifat refleksif, struktur pun demikian. Pemikiran-
pemikiran ini membawa Giddens untuk gagasa tentang “hermeneutika ganda” yang garis
besarnya baik aktor sosial maupun sosiolog menggunakan Bahasa (cara). Aktor sosial
menggunakan bahasa untuk menerangkan apa yang mereka kerjakan dan sosiolog
menggunakan bahasa untuk menerangkan tindakan yang dilakukan dan dibentuk oleh
aktor sosial.
Dalam The Constitution of Society, Giddens menekankan peran onterpretasi dan
sistem makna dalam hidup manusia. Manusia adalah subjek dan pelaku sebagai dualitas
yang saling mendukung. Manusia adalah subjek yang aktif dan kreatif. Giddens menlak
pendapat bahwa manusia adalah boneka ciptaan aturan-aturan dan struktur-struktur
eksternal. Menurutnya struktur berada diluar individu. Struktur memiliki keberadaan
yang sebenarnya dalam pola-pola pikir, berisi aturan-aturan dan sumber-sumber
(pengetahuan, kemampuan, dan kecakapan praktis) yang diperoleh seseorang melalui
sosialisasi. Struktur sebagai medium dan hasil dari tindakan.5
Menurut teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah
pengalaman aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas kemasyarakatan, melainkan
praktik-praktik sosial yang terjadi di sepanjang ruang dan waktu. 6 Aktivitas sosial
memiliki tujuan bahwa aktivitas sosial tidak dilaksanakan oleh aktor sosial melainkan
secara terus menerus mereka ciptakan melalui alat-alat yang digunakan untuk
mengekspresikan dirinya sendiri sebagari aktor.
Dalam teori strukturasi, Giddens mengungkapkan agen atau aktor memiliki tiga
tingkatan kesadaran:
1. Kesadaran diskursif (discursive consciousness). Yaitu, apa yang mampu dikatakan
atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentag kondisi-kondisi sosial,
khususnya tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif
adalah suatu kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif.
5
Sutrisno, Mudji dan Purtanto, Hendar. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 187
6
Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 151
antara apa yang dapat dikatakan dan apa yang secara khas dapat dilakukan. Ada
hambatana-hambatan yang berpusat pada represi, antara kesadaran diskursif dan alam
bawah sadar. Giddens menawarkan konsep tersebut sebagai pengganti tri tunggal
psikoanalitis Freud.
Pemahaman tentang kesadaran praktis ini sangat fundamental bagi teori strukturasi.
Struktur dibentuk oleh kesadaran praktis, berupa tindakan berulang-ulang, yang tidak
memerlukan proses perenungan (refleksif), dan tidak ada “pengambilan jarak” oleh si agen
terhadap struktur. Ketika makin banyak agen mengadopsi cara-cara mapan atau rutinitas
keseharian dalam melakukan sesuatu, mereka sebenarnya telah memperkuat tatanan
struktur (order). Perubahan (change) struktur bisa terjadi jika semakin banyak aktor/agen
yang mengadopsi kesadaran diskursif.
Yaitu, manakala si agen “mengambil jarak” dari struktur, dan melakukan sesuatu
tindakan dengan mencari makna/nilai dari tindakannya tersebut. Hasilnya bisa berupa
tindakan yang menyimpang dari rutinitas atau kemapanan, dan praktis telah mengubah
struktur tersebut. Perubahan juga bisa terjadi karena konsekuensi dari tindakan, yang
hasilnya sebenarnya tidak diniatkan sebelumnya (unintended consequences). Unintended
consequences mungkin secara sistematis menjadi umpan balik, ke arah kondisi-kondisi
yang tidak diketahui bagi munculnya tindakan-tindakan lain lebih jauh. Dalam kasus
unintended consequences ini, bukan adanya atau tidak-adanya niat (intensi) yang penting.
Namun, adanya kompetensi atau kapabilitas di pihak si agen untuk melakukan perubahan.
Jadi, hal ini sebenarnya berkaitan dengan kuasa atau power. Giddens menekankan
pentingnya power, yang merupakan sarana mencapai tujuan, dan karenanya terlibat secara
langsung dalam tindakan-tindakan setiap orang. Power adalah kapasitas transformatif
seseorang untuk mengubah dunia sosial dan material.
PEMBAHASAN
III.1. Keterlibatan Babinsa dalam Mengawasi Program Pendampingan Pertanian
Perintah Presiden No.2 Tahun 2015 adalah upaya gebrakan baru oleh Presiden Joko
Widodo untuk menargetkan upaya swasembada pangan. Target yang diinginkan adalah
mencapai produksi Padi 82 juta ton, Jagung 24,1 juta ton, Kedelai 2,6 juta ton, Gula 3,8
juta ton, Daging Sapi 755,1 ribu ton, Ikan 18,8 juta ton, dan Garam 4,5 juta ton. Akan
tetapi dalam tiga tahun pertamanya. Presiden Joko Widodo menargetkan bisa mencapai
target swasembada pangan untuk tiga komoditas yaitu Padi, Jagung dan Kedelai.
Strategi yang dilakukan adalah membangun jaringan irigasi 1 juta hektar,
merehabilitasi 3 juta hektar jaringan irigasi untuk mengembalikan layanan irigasi,
beroperasi dan terpeliharanya jaringan irigasi 7,3 juta hektar, membangun 115 ribu hektar
jaringan tata air tambak untuk mendukung pengembangan ekonomi maritime dan kelautan,
dan membangun 49 waduk baru, tidak cuma itu saja, pemerintah pun membagi pupuk dan
benih secara gratis kepada para petani terutama di sentra-sentra produksi padi, jagung dan
kedelai. Bahkan pemerintah juga membagikan 1000 hand traktor, combine harvester dan
alat penanam padi jajar legowo kepada para petani. Pemerintah juga menyiapkan anggaran
Rp 16,9 triliun yang merupakan dana pengalihan subsidi BBM. Namun di tengah pekerjaan
besar tersebut, tentu saja ada tantangan di dalam upaya mencapai target swasembada
pangan selama tiga tahun tersebut. Dapat kita memahami bahwa waktu tiga tahun bukanlah
waktu yang panjang apalagi banyak sekali infrastuktur pertanian yang sudah rusak seperti
saluran irigasi, belum lagi persoalan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri
dan sebagai areal permukiman penduduk. Dan yang paling krusial adalah menurunnya
tenaga kerja di sektor pertanian yang mulai menganggap bahwa sektor ini kurang
menjamin masa depan. 7
Seiring dengan berjalannya program tersebut, Presiden Joko Widodo dan juga
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengajak TNI AD untuk mewujudkan
7
Latief, Aflam. “Babinsa TNI-AD Bukan Penyuluh Pertanian” Minggu, 13 April 2016. Diakses dari
http://kodim1402.kodam-wirabuana.mil.id/ 10 Juni 2016 pukul 05.44
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 154
gabah dengan alasan keterbatasan modal dan juga tidak ada instruksi dari Kadivre
SubDolog untuk melakukan serap gabah melebihi jumlah yang sudah ditargetkan. Alhasil
tengkulaklah yang kembali merebut hati petani untuk mau memberikan gabahnya dibeli
oleh mereka dengan harga yang sedikit lebih mahal.
Permasalahan antara jaringan-jaringan yang terbentuk dalam tata niaga beras ini
memang sungguh rumit untuk dijelaskan. Me-Neoliberalkan jalur tata niaga ini memiliki
dampak yang cukup tidak karuan. Bulog sebagai perum yang wajib harus mencari
keuntungan-pun ada kemungkinan menjual beras-beras petani yang sudah dibeli untuk
dioper ke distributor dengan harga mahal. Walaupun ketika kepala gudang Bulog sebagai
ujung informasi ini masih bungkam tentang kemana beras-beras dari gudang ini
didistribusikan, namun jawaban menarik diungkap oleh Danramil yang memperoleh
informasi dari anak buahnya yang juga ditempatkan di Sub gudang Bulog sebagai berikut:
“iya mendampingi, dari petani. Jadi ada yang dari sawah langsung, nanti
kira-kita 2 bulan lagi 1 bulan setengah lagi boleh main ke nganjuk begitu
ada panen raya itu tentara buwanyak di sisi sawah. Mari-mari dikumpulkan,
panen dikumpulkan Bulog datang. Kita sudah calling Bulog tanggal sekian
ini misalnya di desa A, panen kapan? Saya kordinir mau panen kumpulkan,
siang kita sudah calling Bulog, datangkan harga sekian beli sudah. Nanti
kan diolah juga berasnya, nah nanti keluar tidaknya beras itu apa kata
pemerintah juga jadi ini untu raskin sekian ratus ton, ini untuk
diperbantukan, ini untuk perusahaan sekian dan lain-lain saya kurang tahu,
ini dipasarkan ini untuk konsumsi dan lain sebagainya.”
Memang sedikit memberikan arti yang multitafsir, namun adanya
kemungkinan dari Bulog sendiri untuk mendistribusikan berasnya ke distributor
pengolahan beras juga menjadi kenyataan. Memang tidak menjadi masalah, namun
dalam penelitian ini menandakan bahwa Bulog merupakan salah satu jaringan actor
yang terbentuk dalam tata niaga beras. Bulog disini memerankan dua peranan yaitu
sebagai ketahanan pangan dan penstabil harga kala terjadi gejolak lejitan harga
beras di pasaran karena peranannya dibawah tuntutan pemerintah, dilain sisi dia
juga memainkan peran untuk mencari keuntungan layaknya swasta-swasta pada
umumnya.
Pada tahun 2015 terjadi perubahan harga dasar atau HPP. Dari Januari hingga
Februari 2015, HPP masih menggunakan Inpres RI No. 3 Tahun 2012. Dan mulai Maret
2015, HPP berpedoman pada Inpres RI No. 5 tahun 2015. Tabel berikut menunjukkan
perubahan HPP yang telah ditetapkan oleh Inpres.
Tabel III. 1
Perubahan Harga Gabah
Kualitas
Januari - Februari 2015 Maret 2015
Gabah
HPP HPP HPP HPP
Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat
Petani Penggiling Petani Penggiling
Gabah Kering Rp 4150,- Rp 4600,-
- -
Giling /Kg /Kg
Gabah Kering Rp 3300,- Rp 3350,- Rp ,- Rp 3750,-
Panen /Kg /Kg /Kg3700 /Kg
Sumber: Inpres No. 3 Tahun 2012 dan Inpres No. 5 tahun 2015
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 158
Bentuk struktur yang tercipta dalam tata niaga pertanian ini tidak dibentuk begitu
saja secara sekilas. Kedekatan hubungan antara petani dengan para pemilik usaha
pengolaan padi dan pemilik modal sudah lama terjadi. Rutinitas kegiatan tersebut yang
selalu berulanglah yang kemudian struktur tata niaga ini semakin kokoh dan erat dalam
bekerja. Sebanarnya tidak ada masalah dalam mekanisme ekonomi, namun
problematikanya adalah tidak ada jaminan akankah produksi gabah bisa dibayar dengan
harga yang relative stabil dengan range yang tidak jauh pula dari harga beras di pasaran
yang cukup tinggi.
Inpres No. 5 Tahun 2015 ini memang menjadi acuan bagaimana pemerintah
menetapkan harga tawar yang sesuai dengan hasil produksi petani. Namun selama
menjalankan system pasar yang liberal, maka pasar pun akan menciptakan sendiri
bagaimana posisi tawar mereka terhadap petani dengan caranya. Dari data yang diulas oleh
BPS menemukan beberapa adanya laporan tentang pembelian dibawah HPP sebagai
berikut.
Tabel III. 2
Jumlah Kasus Harga Gabah di Bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP)
Gabah Kering
Gabah Kering Gabah
Panen
Panen Tingkat Kering
Tingkat
Penggilingan Giling
Tahun/Bula Petani
n Jumla
Jumlah Jumlah
h
Observ (%) Observ (%) (%)
Obser
asi asi
vasi
20
Januari 584 0.00 584 0.00 131 0.00
16
Februar
625 0.00 625 0.00 153 0.00
i
11.0
Maret 791 791 11.13 112 7.14
0
10.3
April 1,268 1,268 11.20 116 0.00
3
Mei 788 1.02 788 1.02 118 0.00
Juni 732 0.14 732 0.4 114 7.9
20
Januari 667 0.00 667 0.00 98 0.00
15
Februar
738 0.00 738 0.00 135 0.00
i
11.2 11.8
Maret 1,036 1,036 11.78 118
0 6
23.2 16.6
April 1,536 1,536 22.92 90
4 7
15.2
Mei 919 5.55 919 4.13 125
0
Juni 691 0.87 691 0.87 137 4.38
Juli 949 0.00 949 0.00 117 5.98
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 159
Agustu
1,165 0.34 1,165 0.34 86 5.81
s
Septem
945 0.63 945 0.00 137 0.00
ber
Oktobe
928 0.00 928 0.00 148 3.38
r
Novem
909 0.00 909 0.00 180 0.00
ber
Desem
815 0.00 815 0.00 146 0.00
ber
Sumber: BPS Indonesia 2016
Semenjak diberlakukannya Impres No. 5 Tahun 2015 ini menunjukkan adanya
penurunan di beberapa bulan nonproduktif pertanian karena memang kondisinya dalam
masa tanam. Namun jika dilihat dari musim panen laporan pembelian dibawah seolah
melejit tinggi.
Memang tidak bisa di pungkiri bahwa hukum supply and demand menjadi acuan
yang cukup teoritis dalam menilai harga barang disamping harga produksi. Tapi gabah dan
beras adalah kebutuhan yang sangat penting dan pasti dibutuhkan publik. Tidak ada
jaminan dari pemerintah bahwa penetapan HPP yang diinstruksikan oleh presiden itu bisa
mendongkrak harga pembelian di tingkat tengkulak. Harapan dengan penetapan harga
minimum pemerintah itu menjadi isapan jempol belaka. Bulog tidak mampu menampung
seluruh gabah petani dengan alibi keterbatasan modal. Di lain pihak, petani pun juga
membutuhkan suntikan dana yang cepat untuk mempersiapkan masa tanam berikutnya.
Alhasil kesempatan inilah yang menjadikan tengkulak menjadi rational choice petani.
Sebenarnya kalau kita menarik sedikit ke belakang ada actor penting yang dapat
mengambil peran untuk menjaga stabilitas harga gabah dan beras petani. Satgas Dolog dan
juga KUD yang memiliki kedekatan ekstra dengan petani. KUD yang dimiliki oleh setiap
desa bisa menjadi pilihan petani dalam menjual gabahnya dibandingkan dengan tengkulak
maupun penebas. Hal ini diungkap oleh seorang petani bernama Suhandoko dan Paniran
dari Ds. Mojorembun.
“Njual gabah teng tengkulak tengkulak, nek adol sekawan ewu….. rugi
okeh to mas…… kalau KUD berfungsi nggeh sae nyaingi tengkulak to mas,
kalau harganya sama pasti dikasih KUD nah kalau kacek yo di kekno
tengkulak. Jane tiap deso niku wonten mas kantor KUD, gudang KUD
wonten sedoyo tapi nyatanya kosong”
Peran KUD yang hilang kini sebagai actor menjadikan tengkulak primadona petani
untuk menjual gabahnya. KUD dirasa petani mampu menjaga harga dibandingkan dengan
tengkulak. Namun kini KUD justru mati suri, dari beberapa desa seperti di Ds. Ngadiboyo,
Ds. Talun, Ds. Mojorembun mengisyaratkan bahwa keberadaan KUD sudah tidak ada.
Penampung yang lebih dekat di kecamatan ini adalah di beberapa penggiling besar yang
dimiliki oleh Bu Noh dan Imorudin.
Tabel III. 3
Rata-Rata Harga Gabah Menurut Kualitas, Komponen Mutu dan HPP di Tingkat Provinsi
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 160
5 2 5 6 1 9
2377.2 2016.6 2417.6 2063.3 1748.8
2006 1699.1 - 2250 1730
3 4 4 7 2
2650.8 2315.5 2083.9 200 2366.2 2135.8
2007 2707.8 2575 2035
1 9 5 0 7 5
2811.9 2438.1 2090.3 220 2493.1 2144.7
2008 2869.1 2800 2240
5 1 1 0 3 7
2987.2 2687.5 2340.0 240 2745.0 2399.8
2009 3048.7 3000 2440
2 9 4 0 6 9
3547.9 3096.5 264 3614.2 3162.1 2745.4
2010 2677.2 3300 2685
3 2 0 9 5 6
4046.0 3543.4 3024.0 264 4118.2 3605.8 3096.0
2011 3300 2685
3 2 2 0 8 6 9
4463.0 3891.9 330 4541.7 3963.0
2012 3459.1 3528.3 4150 3350
4 9 0 1 8
3962.7 3556.4 330 4671.5 4036.6 3630.0
2013 4592.5 4150 3350
8 3 0 5 7 7
4766.5 4268.0 3693.5 330 4846.9 4347.0 3774.5
2014 4150 3350
8 5 4 0 5 5 3
Sumber: BPS 2015
Dari penjelasan diatas tentang ekonomi pasar gabah kini dapat dilihat bahwa ada
struktur yang tercipta dalam pasar gabah. Actor ekonomi dalam distribusi tersebut
memiliki masing-masing kelebihan. Gabah itu mau diserahkan tengkulak besar atau kecil,
penggiling atau penebas, Bulog atau KUD. Pola relasi petani seringkali berkutat pada actor
actor ekonomi tersebut berlaku pada petani tradisional.
Gambar III. 1
Bagan Distribusi Beras di Kabupaten Nganjuk
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 163
Dari table tersebut dari strata yang paling bawah adalah kedekatan petani dengan
tengkulak kecil dengan satgas Bulog. Namun di lain sisi tengkulak besar pun nyatanya ikut
dalam proses perebutan untuk memperoleh gabah dari petani secara langsung. Perlu
diketahui, bahwa kebanyakan dari tingkat ini hasil produksi yang dijual adalah masih
dalam bentuk GKP. Biasanya proses terjadinya penawaran secara langsung bertatap muka
antara petani dan tengkulak di sawah. Sedangkan satgas Bulog hanya turun ketika ada
datangnya musim panen saja walau tidak menyerap seluruh gabah di petani.
“pun dadi gabah, hla pas panen baru di dol. Tengkulak sekitar daerah mriki
mawon. Hla wong di dol teng nggene Bulog regane rendah kok. Wes petani
niku rugi bulog tukune rendah padahal didol teng nggene tengkulak local ae
wes rugi. Yo biasane 3000-3200 teng Bulog…. Tengkulak bisa 3.800
4.000….. pernah anjlog walah.. sampe 1000-1500. Gabah niku anjlog e 200
rupiyah sampek 3 kali nggak abis, aa petani mek begini.”
“Kalau panen, kadang-kadang ada tengkulak lewat dipanggil, di jual nggak?
Harganya segini, barengnya bagus nggak? Yo deloken elek po apik. Harga
iku yo ndelok apik ora e barang misal e apik yo mundak titik misal e 3000
iso dadi 3100 lek jelek yo 2900. Iyo harga basah belum kering, yo petani
mung seperti saya ini kan sedikit toh klo mau ngeringin pake layar (terpal).
Ada yang nyimpan tapi untuk makan sendiri.”
Cuplikan tersebut adalah opini dari wawancara dengan petani di sekitar kecamatan
Rejoso yang membenarkan bahwa kebanyakan dari petani lebih memilih menjual
gabahnya ke tengkulak. Gabah di tangan tengkulak memang naik turun dari mulai Rp
2800,- hingga Rp 4000,-/Kg. Selipun harga di tangan tengkulak anjlog yang mereka sendiri
tidak tahu sebabnya, mereka akhirnya juga akan tetap memilih menjual ke tengkulak
karena faktanya Bulog-pun tidak pernah mereka temui di lapangan.
“kenyataan e nggak enek mas, endi bulog ono nyerang-nyerang deso. Lek
sabene tahun-tahun ndisek ono, KUD masih berfungsi..Lek KUD wonten
nggeh sae soale nyaingi tengkulak to mas. Kalau harganya sama petani pasti
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 164
dikekno KUD mas lek kacek yo dikekno tengkulak. Padahal jan e tiap deso
niku kantor KUD tapi sakniki kosong.
“dulu pernah jual ke KUD, dulu saya masih kecil. KUD sama penggiling
iku belinya sama pernah, mahal KUD pernah. Jaman dulu kacek 100
rupiyah tahun 85-87. Yo makmur dulu waktu saya masih joko.
Faktanya para petani miskin ini masih merindukan adanya KUD yang dulu sempat
menjadi ujung tombak swasembada beras. Mereka menganggap bahwa keberadaan
tengkulak sekarang ini justru membuat mereka semakin sengsara. Posisi tawar mereka
terhadap tengkulak pun sangat rendah. Tengkulak kecil, tengkulak besar sudah mematok
harga sehingga negosiasi hanya seputar tingkat barang kualitas barang saja yang berbeda
Rp 100,-. Sementara Bulog memanfaatkan moment dengan membeli GKP mereka dengan
harga yang dirasa jauh dari tengkulak yang menjadikan tidak seimbang antara kerja keras
mereka dengan harga tawarnya.
“pernah nego karo tengkulak tapi harga wes di patok e mas dadi raiso
nawar. Tapi tahun tahun ini kebanyakan jatuh. Beras iku nggak tau mas
kemana… tengkulak kecil ya ada tengkulak besar yo ada…. Yo kadang-
kadang tengkulak besar turun ke lapangan yo ada. Alah harga e yo sama
wong tengkulak kecil masuk e yok e tengkulak besar. Tengkulak besar
malah sakngisore tengkulak kecil… iya tengkulak kecil dikasih harga upah.
Misal e tengkulak besar 3000 tengkulak kecil 2800 punya keutungan 200.
Kalau masuk nggak wani diatas tengkulak kecil tengkulak besar.
“yo nggak adil, jaman pak harto kuia nu mas Pelita iki makmur, beras kerja
imbang, harga jual juga tinggi dan beras g mahal. Sejatine yo imbang….
Bulog iku nggak pernah nek di sini mbuh nek di sana-sana.”
Kondisi ini akan sangat berbeda dengan petani modern yang dapat melejit langsung
ke tangan konsumen entah itu ke rumah makan ataupun distributor. Sekalipun hasil tanam
mereka tidak banyak tapi mereka selalu mengusahakan untuk menjaga kualitas produksi
tanam mereka. Petani modern ini saya temukan di daerah Desa Talun. Sekalipun
didekatnya terlihat ada tempat penggilingan beliau tidak memilih menjual hasil panennya
ke tengkulak maupun penggiling. Berikut opini dari Sumanto:
“Iya pernah dulu ke tengulak karena kebutuhan, itu tadi misalnya pupuk
pinjam waktunya bayar akhirnya dijual murah-murah”
“Ada juga yang jual masih dalam bentuk padi berdiri, atau ijon”
“Banyak tengkulak sampe dari Jember, Banyuwangi situ penggilingan padi
yang besar. Itu kan dia beli dari penebas terus di jemur terus dijual beras
terus tengkulaknya di oper ke Bulog……Kalau di jual ke tengkulak kurang
hasil, ya dulu pernah Cuma di distributor juga kurang hasil, Kan enak
sekam di jual sendiri terus katulnya bisa dipake pakan ternak atau dijual.”
Beliau memilih untuk menjual ke tengkulak karena memang kurang hasil
sementara kalau beliau bisa mampu mencapai pasar dirasa mendapat profit yang cukup
baik. Sumanto ini adalah salah seorang petani yang tergolong dalam Petani Tanah karena
kepemilikan lahannya sendiri walau dalam mengelola masih mengandalkan buruh. Akan
tetapi paling tidak di posisi yang seperti ini posisi tawar mereka dalam menjual hasil
produksi kala mampu menjaring relasi dengan pihak-pihak diluar tata niaga ini secara
langsung.
“Dulu belajar, kadang warungnya tahu dari temannya terus kadang beli
nasi sambil menawarkan. Kalau dijual? Beras e di jual di took-toko warung-
warung, kalau di jual di took selisih e karo warung yo sekitar 200-150
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 165
berada dalam struktur pasar dan juga relasi petani. Setidaknya ada 3 layers dalam melihat
pola relasi petani dengan actor ekonomi distributor gabah ini.
1. Pemerintah dengan Petani
Pemerintah melalui Bulog dan dinas pertanian tentu sangat dekat dengan petani.
Bulog memiliki peranan dalam menjaga ketahanan pangan dan juga stabilitas harga
pangan di pasaran. Sementara dinas pertanian berusaha bagaimana cara meningkatkan
hasil dan kualitas dari produksi pertanian. Relasi antara Bulog dan petani hanya terbatas
pada penyaluran hasil produksi.
Hukum yang dibuat pemerintah dengan mengatur ulang HPP tidak begitu signifikan
menuai hasil untuk menarik petani menjual gabahnya ke Bulog. Hal ini dikarenakan di
lapangan terjadi inkonsistensi dalam menerapkan HPP (strukur). Bulog adalah lembaga
yang diwajibkan mencari keuntungan pasti juga memiliki akal hitam untuk bagaimana
caranya mendapatkan pasokan beras dengan harga yang sedikit lebih murah dan sesuai
target.
Serap gabah dalam masa panen raya menjadi jalan yang dirasa relevan untuk
mencegah bagaimana tengkulak ini tidak mengambil start terlebih dahulu. Namun
faktanya tengkulak ini bereaksi guna mencegah dan melawan struktur ini. Mereka
memiliki cara yang lebih jitu yaitu system ijon. Sistem ijon ini adalah system membeli
padi sebelum waktu panen. Hal ini dibenarkan keberadaannya oleh Kepala BPP dan
juga petani sekelas Sumanto. Sistem ijon ini biasanya dilakukan oleh penebas dengan
banyak modal. Petani seperti ini biasanya menjual karena terdesak oleh suatu hal yang
dirasa urgen atau kekhawatiran mereka terhadap anjlognya harga gabah nanti tidak
terjadi. Azas spekulasi menjadi modal penting bagi petani dan penebas ini untuk
menentukan taksiran harga yang pas untuk nilai sepetak tanah garapan. Di jalur lain,
para tengkulak ini masuk dalam program kemitraan Bulog yang awalnya memerangi
tengkulak justru terjadi negosiasi.
Dapat disimpulkan bahwa hubungan petani dengan pemerintah ini kurang dekat
dalam fase distribusi. Pemerintah masih berkutat dalam proses peningkatan produksi
saja. Terjadinya inkonsistensi pembelian gabah yang rutin kepada petani ini justru tidak
akan segera membangun kesadaran petani. Menjualnya kepada tengkulak-pun secara
tidak sadar bahwa petani-petani tersebut juga menggerogoti system. Disinilah letak
stukturasi terjadi, ketika pemerintah hendak merubah struktur justru mendapat reaksi
juga dari actor yang disebut tengkulak. Mereka memiliki cara lain agar struktur itu tidak
mengahbisi mereka dengan membius petani dengan menguasai modal sebagai sumber
ekonomi. Opini Yani yang membenarkan adanya pembelian beras dari tengkulak ini
juga akan membunuh petani. Alasan yang paling relevan bagi mereka adalah tuntutan
pemerintahan yang good governance menyertakan swasta. Bayangkan jika ada beberapa
persyaratan yang penulis ulas di subbab pertama dalam bab ini mampu mentransformasi
tengkulak menjadi lebih kuat karena dasar surat ijin dan juga mampu memenuhi kuota
stock beras mereka dengan cepat dan harga yang murah.
2. Aktor Ekonomi dengan Petani
Petani dengan actor ekonomi seperti penggiling, pemodal, tengkulak juga sangat
dekat. Dengan dominasi peranan modal menjadi suatu daya tarik petani untuk
berdekatan dengan mereka. Jalinan yang terlibat keduanya cukup baik. Biasanya para
spekulan ini menyediakan bibit tanaman. Secara politis merekas seolah memiliki
tindakan timbal balik yang harus dilengkapi. Ada beberapa penggiling mau menerima
gabah petani ketika petani itu membeli bibit dan pupuk untuk produksi darinya. Seolah
terjalin struktur ikatan yang cukup romantic disini.
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 167
Terbukti di beberapa daerah ada sawah dalam masa pembibitan dengan pemberian
nama daru UD tertentu. Menurut Suhandoko memang ada yang seperti itu, kegiatan
tersebut juga sudah lama. Biasanya dalam struktur seperti itu didominasi oleh tokoh-
tokoh setempat seperti kepala desa, juragan atau pemilik modal yang dianggap mampu.
Jika ditelaah menurut strukturasi Giddens, kondisi seperti ini disebut struktur
dominasi yang mencakup skemata penguasaan atas orang dan barang. 8 Anggap saja
konsepsi penyediaan bibit dan pupuk ini adalah medium dalam praktik social ini. Dalam
praktik ini terjadi jual beli ketika gabah tersebut berasal dari pihak penjual dijual
kembali oleh petani ke penjual tersebut. Artinya tidak bolah ada barang lain selain dari
barang yang ia tawarkan. Jika tidak diberikan bisa jadi ada sanksi yang berlaku dengan
tidak diberikannya pupuk atau bibit.
Tindakan yang dilakukan oleh petani adalah bentuk dari struktur dagang. Struktur
dagang tersebut dibuat oleh actor ekonomi. Ketika petani tidak menjual kepadanya
maka tidak berlaku lagi baginya struktur tersebut ytang kemudian akhirnya menjadikan
sanksi. Ketidak ada an bibit dan pupuk tersebut juga akan menjadikan petani merugi
sehingga tindakan yang ia lakukan adalah akibat struktur yang dibuat. Sementara pola
relasi yang diabuat adalah bentuk dari hasil kerutinanya mengaminkan struktur itu.
Terjadi negosiasi juga antar actor ini sehingga membentuk struktur dan struktur
terbentuk inilah yang disebut strukturasi.
3. Petani dengan Konsumen
Petani mandiri yang direpresentasikan oleh Sumanto ini lebih jauh dalam melangkah
dan bereaksi atas struktur. Berdasarkan kesadaran diskursif yang seperti dijelaskan oleh
Giddens, beliau menimbang bahwa menjadi petani yang berkutat di struktur tersebut
justru merugikan. Sumanto awalnya menjadi petani yang menjual hasil panennya dalam
bentuk gabah ke tengkulak dengan harga yang sudah ditentukan.
Pilihan yang tersedia waktu itu hanya KUD, Bulog dan tengkulak. Seiring dengan
lenyapnya KUD dan juga berkurangnya intensitas dari Bulog untuk melakukan serap
gabah. Kondisi tersebut kemudian menjadikan tengkulak memiliki posisi yang lebih
baik dari petani, alhasil mau tidak mau tidak mau dia juga menjualnya ke tengkulak
karena tidak ada akses lain (struktur).
Disitulah kemudian struktur tata niaga dan relasi itu tercipta. Lama- kelamaan
seiring dengan impact dari struktur itu yang menjadikan keterbatasan dalam proses
tawar-menawar gabah. Sumanto berani memulai untuk melawan struktur saat pada titik
tertentu menjadikan dia harus mencari strategi lain agar hasil panenya lebih bernilai.
Maksudnya bahwa dia menjual sendiri barang produksinya ke pasar yang lebih real.
Hanya dengan merubah bentuk dari gabah menjadi padi beliau merasa bahwa
keuntungannya menjadi lebih banyak dibanding dengan bentuk gabah apalagi yang baru
panen. Selain itu sisa-sisa panen masih bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak dan juga
pupuk.
Inilah yang dinakaman kesadaran diskursif ketika struktur tata niaga yang ada justru
melemahkan petani, petani modern seperti ini mencoba menjadi actor perubahan dengan
langsung menyentuh pasar berbekal informasi yang kuat. Harusnya petani-petani lain
mulai memikirkan solusi yang sama bahwa dengan cara bertani tradisional yang kurang
ini membuat inovasi baru entah merubah barang produksi atau meningkatkan jumlah
produksi untuk keluar dari struktur ini dengan membentuk gapoktan atau sejenisnya
untuk bisa merambah pasar yang lebih luas. Walaupun akhirnya juga akan memicu
8
Majalah BASIS Edisi Khusus Anthony Giddens. Nomor 01-02, Tahun Ke-49, Januari-Februari 2000. Hal.20
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 168
munculnya actor dan struktur yang baru sesuang dengan relativitas yang terjadi antara
keduanya.
Konklusinya, struktur tata niaga dan pola relasi petani ini sudah lama dijalankan
bahkan sebagai rutinitan. Saat ada yang mencoba menguatkan struktur maka actor lain
akan berusaha bereaksi, baik itu reaksi yang positif atau justru melakukan perlawanan.
Upaya untuk menaikkan posisi tawar petani memang tidak bisa sekali dua kali dilakukan
melalui struktur melainkan juga adanya konsistensi untuk menyambung struktur dan
memicu kondisi kesadaran dari diri petani tersebut. Walaupun dengan kesadaran praktis
petani bisa memilih kemana akan menjual gabahnya begitu juga actor ekonomi ini
mensuplly barang yang dia beli itu adalah bentuk dari reaksi struktur pada rational choice-
nya. Kala struktur seperti ini maka mereka berbuat seperti itu, ketika struktur sudah seperti
itu maka ada upaya untuk menjadikan seperti yang lain/ tapi itu semua tergantung pada
konteks relativisme yang diungkapkan Giddens. Dualitas actor dan struktur tersebut akan
saling bekerja seiring dengan intensitas keberlanjutan praktik social-ekonomi mereka
untuk saling merespon.
KESIMPULAN
Pola relasi yang terjadi antara petani dan actor ekonomi distribusi gabah ini
memang tercipta sudah cukup lama. Hal ini berakibat pada terbentuknya struktur
mekanisme tata niaga pasar gabah yang cukup mapan. Namun disisi lain, struktur ini
menjadikan kebanyakan petani menjadi kelompok yang tereksploitasi. Range harga beras
yang tinggi di pasaran tidak menjamin harga gabah di tingkat petani juga mahal.
Seiring dengan banyaknya informasi dan kesadaran diskrusif oleh petani sendiri
dari kondisi merugikan ini menyebabkan munculnya petani-petani mandiri. Sosok
Sumanto sebagai representasi petani mandiri menjadikan posisi tawar produk pertaniannya
menjadi lebih bernilai. Di lain pihak banyak dengan kekuatan modal banyak pemilik modal
maupun petani memutar haluan untuk menjadi pedagang maupun pengelola industry
pertanian seperti Bu Noh maupun Imorudin.
HPP yang ditetapkan oleh pemerintah tidak banyak membawa dampak bagi
berlakunya system perdagangan di pasar. Pasar tetaplah pasar yang memiliki cara sendiri
dalam meggerakkan roda ekonominya. Tidak adanya jaminan yang kuat dari berlakunya
HPP di tingkat penebas maupun pembeli di sector swasta menjadikan petani tetap terpuruk.
Bulog sebagai lembaga hauslah bertransformasi menjadi badan usaha yang kembali kuat
dan memiliki kapasitas modal yang kuat. Sehingga usaha mengembalikan swasembada
pangan dan pengekspor beras bagi Indonesia bukan lagi sebuah keniscahyaan.
Peranan petani sebagai actor penting yang terintregasi pasar yang merugikannya
haruslah segera sadar. Entah itu dari bentuk pola pikir atau informasi yang masuk dalam
menunjang posisinya untuk lebih kuat dalam pasar. Selama ini petani kita hanya nerimo
ing pandum dengan struktur yang tercipta dalam tata niaga pasar gabah dan beras tanpa
adanya solusi. Bisa jadi pemerintah yang dengan membiarkan keadaan seperti ini lama
kelamaan juga akan menjadi boom waktu. Dimana jumlah petani mulai berkurang, lahan
pertanian berubah kita tidak akan kembali berdaulat akan pangan.
Percaya atau tidak actor-aktor dari system yang terlibat tersebut merupakan suatu
jaringan dimana mereka memiliki kepentingan untuk mengambil untung maupun
menguasai sumber daya tersebut. Petani miskin tidak juga kunjung sejahtera karena adanya
tengkulak dan actor yang terlibat ini mengambil untung mengatasnamakan ekonomi.
Distributor ini bisa untung banyak karena mereka memiliki modal yang besar karena
adanya ijin usaha dengan bunga yang kecil. Berbeda dengan petani biasa yang meminjam
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 169
dengan bunga yang cukup besar sehingga permodalan untuk meningkatkan mutu dan jenis
barang produksi tidak ada.
Hal lain adalah karena petani dalam tekanan untuk mempersiapkan musim tanam
berikutnya dengan modal besar harus rela menjual panennya dengan harga kecil.
Sementara dengan kondisi yang seperti itu, tengkulak memiliki kuasa untuk membeli
gabah dengan harga yang anjlog untuk kemudian ditimbun dan dikeluarkan kala pasar
membutuhkan stock beras yang cukup banyak dengan harga yang melejit tinggi.
Rekanan yang dibangun bulog yang diharap mampu menjaga stabilitas harga gabah
adalah isapan jempol belaka. Adanya jaringan actor ini akan memperluas kemungkinan
praktik suap menyuap untuk meuluskan usaha-usahnya. Terlihat bahwa rekanan yang ada
di Bulog Nganjuk ada yang dari luar domisili namun pensuplaynya dari dalam Nganjuk
dengan harga yang jauh dibawah HPP karena melalui tangan selanjutnya.
Petani-petani miskin dan juga buruh tani dalam kondisi tata niaga yang seperti ini
selamanya tidak akan mencapai sejahtera karena semua program hanya bius saja agar
mereka seolah tidak dibuat khawatir. Ada jasa yang mereka lupakan bahwa padi bukan
hanya sekedar komoditas, tapi juga budaya dan kultur yang harusnya lebih mahal dan tak
bisa ditukar dengan harga yang cukup murah. Bukankah kalau tidak ada petani kita masih
belum mampu untuk cadangan makanan lain.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agusyanto, Ruddy. Jaringan Soial Dalam Organisasi. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007.
Aini, Nurul dan Ng. Philipus. Sosiologi dan Politik. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2004.
Ali, Fachry dkk. Beras, Koperasi, dan Politik Orde Baru: Bustanul Arifin 70 Tahun.
Jakarta: Sinar Harapan, 1995.
Arifin, Bustanul. DIAGNOSIS EKONOMI POLITIK PANGAN dan PERTANIAN.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Arifin, Bustanul. PEMBANGUNAN PERTANIAN: Paradigma Kebijakan dan Strategi
Revitalisasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Breman, Jan. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa di Masa Kolonial. Jakarta:
LP3ES, 1986.
Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia.
Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar, 1999.
George Ritzer, Douglas J. Goodman. Teori Sosilogi Modern. Jakarta: Prenada Media,
2004.
Giddens, Anthony. TEORI STRUKTURASI: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial
Masyarakat (Terjemah). Yogyakarta: Pustaka Peajar, 2010.
Khudori. “Ironi Negeri Beras”. Yogyakarta: INSISTPress, 2008.
Khudori. Kata Pengantar: Dr. H. Husein Sawit. Neoliberalisme Menumpas Petani:
Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book, 2004
Lisa Harrison. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana Pernada Media Grup.
Planck, Ulrich. Sosiologi Pertanian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Rahim, Abd. Hastuti, Diah. EKONOMIKA PERTANIAN: “Pengantar, Teori dan Kasus”.
Jakarta: Swadaya, 2007.
R.W. Asmarantaka. Pemasaran produk-produk Pertanian. Bunga Rampai Agribisnis: Seri
Pemasaran. Bogor: IPB Press, 2009.
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170 170
Undang-Undang
Inpres No. 5 Tahun 2012
Inpres No. 5 Tahun 2015
UU No. 5 Tahun 1999