Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
II.1.1 Definisi Kromatografi
Kromatografi dalam bidang kimia merupakan sebuah teknik analisis
yang digunakan untuk memisahkan sebuah campuran ataupun
persenyawaan kimia (Adnan, 1997).
Penentuan jumlah komponen senyawa dapat dideteksi dengan
kromatografi lapis tipis (KLT) dengan plat KLT yang sudah siap pakai.
Terjadinya pemisahan komponen-komponen pada KLT dengan Rf tertentu
dapat dijadikan sebagai panduan untuk memisahkan komponen kimia
tersebut dengan menggunakan kolom kromatografi dan sebagai fase diam
dapat digunakan silica gel dan eluen yang digunakan berdasrkan basil yang
diperoleh dari KLT dan akan lebih baik kalau kepolaran eluen pada kolom
kromatografi sedikit sibawah eluen pada KLT (Lenny, 2006).
Pada hakekatnya KLT merupakan metode kromatografi cair yang
melibatkan dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase geraknya berupa
campuran pelarut pengembang dan fasa diamnya dapat berupa serbuk halus
yang berfungsi sebagai permukaan penyerap (kromatografi cair-padat) atau
berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair).
Fase diam pada KLT sering disebut penyerap walaupun berfungsi sebagai
penyangga untuk zat cair di dalam sistem kromatografi cair-cair. Hampir
segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap pada KLT, contohnya
silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah
diatomae) dan selulosa. Silika gel merupakan penyerap paling banyak
dipakai dalam KLT (Iskandar, 2007).
Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi adsorbsi dan
adsorben bertindak sebagai fase stasioner. Empat macam adsorben yang
umum digunakan adalah silica gel (asam silikat), alumina (aluminium
oxyde), kieselghur (diatomeus earth) dan selulosa. Dari keempat jenis
adsorben tersebut, yang paling banyak dipakai adalah silica gel karena
mempunyai daya pemisahan yang baik (adnan, 1997).
II.1.2 Prinsip KLT
Prinsip KLT yaitu perpindahan analit pada fase diam karena pengaruh
fase gerak. Proses ini biasa disebut elusi. Semakin kecil ukuran rata-rata
partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka
semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya (Gritter,
1991). Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak
sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara
menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan
secara menurun (descending) (Ibnu, 2007).
II.1.3 Kelebihan Kromatografi
Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan
kromatografi kertas adalah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang
lebih sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan
lebih cepat (adnan, 1997).
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih
murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan
yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan
lebih sederhana dan dapat dikatakan hampir semua laboratorium dapat
melaksanakan setiap saat secara cepat (Ibnu, 2007).
Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini (Ibnu, 2007) :
 Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
 Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi
warna, fluorosensi atau dengan radiasi menggunakan sinar
ultraviolet.
 Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun
(descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi.
 Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang
akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
II.1.4 Gugus kromoform dan ausokrom
Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan
karena adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang
terikat oleh ausokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor
adalah gugus atom yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar
UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan
gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak
jenuh lebih dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal.
Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan emisi cahaya yang
dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari
tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi emisi yang
dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan
perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda (Mufidah,
2001).
II.1.5 Identifikasi senyawa dengan KLT
Analisis dengan KLT dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
simplisia yang kelompok kandungan kimianya telah diketahui. Kelompok
kandungan kimia tersebut antara lain (Ditjen POM, 1979) :
a. Alkaloid
b. Glikosida jantung
c. Flavanoid
d. Saponin
e. Minyak atsiri
f. Kumarin dan asam fenol karboksilat
g. Valepotriat
Lempeng yang digunakan lempeng silika gel 254 P dengan ukuran 10
x 10 cm. Lempeng dapat berupa lempeng kaca atau lempeng lain yang
cocok. Untuk menentukan kelompok kandungan kimia suatu simplisia
sekurang-kurangnya diperlukan 10 lempeng (Ditjen POM, 1979).
Fasa diam pada KLT sering disebut penyerap walaupun berfungsi
sebagai penyangga untuk zat cair di dalam sistem kromatografi cair-cair.
Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap pada KLT,
contohnya silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur
(tanah diatomae) dan selulosa. Silika gel merupakan penyerap paling
banyak dipakai dalam KLT (Iskandar, 2007)
II.1.6 Rf
Fase diam yang unmum diguankan adalah silica gel, baik yang
normal fase maupun reversed fase. Pada KLT komponen bergerak dengan
kecepatan yang berbeda-beda mengkuti naiknya eluen, katrena daya serap
adsorben pada komponen-komponen tidak sama, maka komponen bergerak
dengan kecepatan berbeda dan hal inilah yang merupakan atau
menyebabkan terjadinya pemisahan. Perbandingan kecepatan permukaan
dari pelarut dengan jarak yang ditempuh oleh ssebyawa terlarut merupakan
dasar untuk mengidentifikasi komponen-komponen yang terdapaat dalam
ekstrak atau campuran senyawa tersebut (Sudjadi, 1986)
Perbandingan kecepatan ini disingkat dengan Rf (Rate of Flow).
Rf = Jarak yang ditempuh senyawa terlaru
Jarak yang ditempuh oleh pelarut
II.2 Uraian Tanaman
II.2.1 Awar-awar
1. Klasifikasi (van Steenis, 1975)
Regnum : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Urticales
Family : Moraceae Awar-awar
Genus : Ficus (Ficus septica)
Species : Ficus septica Burm. F.
2. Morfologi tanaman
Pohon atau semak tinggi tegak 1-5 meter. Batang pokok bengkok
bengkok, lunak, ranting bulat silindris, berongga, gundul, bergetah bening.
Daun penumpu tunggal, besar, sangat runcing, daun tunggal, bertangkai,
duduk daun berseling atau berhadapan, bertangkai 2,53 cm. Helaian
berbentuk bulat telur atau elips, dengan pangkal membulat, ujung
menyempit cukup tumpul, tepi rata, 9-30 kali 9-16 cm, dari atas hijau tua
mengkilat, dengan banyak bintik-bintik yang pucat, dari bawah hijau
muda, sisi kiri kanan tulang daun tengah dengan 6-12 tulang daun
samping; kedua belah sisi tulang daun menyolok karena warnanya yang
pucat. Bunga majemuk susunan periuk berpasangan, bertangkai pendek,
pada pangkaInya dengan 3 daun pelindung, hijau muda atau hijau abu-abu,
diameter lebih kurang 1,5 cm, pada beberapa tanaman ada bunga jantan
dan bunga gal, pada yang lain bunga betina. Buah tipe periuk, berdaging ,
hijau-hijau abu-abu, diameter 1,5 – 2 cm. Waktu berbunga Januari –
Desember. Tumbuhan ini banyak ditemukan di Jawa dan Madura; tumbuh
pada daerah dengan ketinggian 1200 m dpl, banyak ditemukan di tepi
jalan, semak belukar dan hutan terbuka (van Steenis, 1975).
3. Manfaat
Daun digunakan untuk obat penyakit kulit, radang usus buntu,
mengatasi bisul, gigitan ular berbisa dan sesak napas. Akar digunakan
untuk penawar racun ikan dan penanggulangan asma. Perasan air dari
tumbukan akar awar-awar dan adas pulowaras dapat digunakan
untuk mengobati keracunan ikan, gadung dan kepiting. Jika ditumbuk
dengan segenggam akar alang-alang dan airnya diperas merupakan obat
penyebab muntah yang sangat manjur. Untuk obat bisul dipakai ± 5 gram
daun segar Ficus septica Burm., ditumbuk sampai lumat, kemudian
ditempelkan pada bisul. Getah dimanfaatkan untuk mengatasi bengkak-
bengkak dan kepala pusing. Buah untuk pencahar (van Steenis, 1975).
4. Kandungan kimia
Daun Ficus septica Burm. mengandung senyawa flavonoid genistin
dan kaempferitrin, kumarin, senyawa fenolik, pirimidin dan alkaloid
antofin, saponin triterpenoid, sterol, saponin dan tanin. Daun dan batang
mengandung alkaloid isotylocrebin dan tylocrebin (Wu et al., 2002)
II.3 Uraian Bahan
1. Methanol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : METANOL
Nama Lain : Metanol
RM/BM : CH3OH/34,00 gr/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, bau khas


Kelarutan :.Dapat bercampur dengan air, membentuk cairan
.jernih tidak berwarna
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup
Kegunaan : Sebagai eluen
2. Alkohol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol, Alcohol, Ethyl alkohol
RM/BM : C2H5OH/46,07 gr/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap, dan


mudah bergerak, bau khas, rasa panas, mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform I
dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya
ditempat sejuk, jauh dari nyala api.
Kegunaan : Untuk mensterilkan alat.

3. N-Heksan (Dirjen POM, 1979; sweetman, 2009)


Nama Resmi : HEXAMINUM
Nama Lain : Heksamina
RM/BM : C6H12N4/140,19 gr/mol
Rumus Struktur :

Pemerian :.Hablur mengkilap tidak berwarna atau serbuk


hablur putih, tidak berbau, rasa membakar dan
manis kemudian agak pahit, jika dipanaskan pada
suhu lebih kurang 260o menyublim
Kelarutan :Larut dalam 1,5 bagian air, dalam 12,5 mL etanol
(95%) P dan dalam lebih kurang 10 bagian
kloroform P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai eluen
II.4 Prosedur Kerja
1. Pembuatan lempeng
a. Siapkan lempeng ukuran 20x20 cm
b. Potong menjadi 20 bagian dengan ukuran 5x1 cm
c. Lempeng yang sudah dipotong diberi batas atas 0,5 cm dan batas
bawah 0,5 cm
2. Pembuatan eluen
a. Ambil pelarut methanol dan n-heksan
b. Campurkan dalam 1 wadah dengan perbandingan 1:1
c. Kemudian lanjutkan dengan proses penjenuhan dengan mnggunakan
tisu
d. Eluen siap digunakan
e. Jika noda pada lempeng tidak sesuai, maka diulang kembali langkah
diatas dengan menggunakan perbandingan yang berbeda sampai
mendapatkan noda yang diinginkan secara berurutan
1) Methanol : Heksan 1:2
2) Methanol : Heksan 1:3
3) Methanol : Heksan 2:3
4) Methanol : Etil Asetat 1:3
5) Methanol : Etil Asetat 1:4
3. Penotolan, Elusi dan Pengamatan
a. Siapkan 0,2-1 gr ekstrak dan larutkan dengan 2 mL methanol
b. Gunakan penotol untuk mengambil ekstrak
c. Totol pada garis bawah yang ada pada lempeng
d. Masukkan lempeng yang sudah ditotol ke dalam eluen yang sudah
dijenuhkan
e. Usahakan tinggi eluen tidak melebihi garis bawah pada lempeng
f. Diamkan eluen naik sampai tidak melebihi batas atas lempeng
g. Angkat lempeng dan amati pada sinar UV 254 dan UV 366
h. Lingkari noda yang nampak menggunakan pensil
i. Jika tidak ada noda maka dapat digunakan metode pemanasan
lempeng
j. Jika noda masih tidak muncul dapat digunakan pereaksi dengan cara
lempeng disemprot
k. Hitung nila Rf dengan rumus Jarak Tempuh Noda : Jark Tempuh
Eluen

Anda mungkin juga menyukai