Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

TUBERKULOSIS PARU

Oleh:

Nurhayani Fatimah 1210312112

Fauzul Azhim 1010312101

Arfan Gifari 1210313058

Preseptor:

dr. Sabrina Ermayanti, Sp.P (K) FISR

dr. Afriani, Sp.P

BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

BAB 2 LAPORAN KASUS 3

BAB 3 DISKUSI 10

DAFTAR PUSTAKA 25

i
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 OAT Lini Pertama 20

Tabel 3.2 Dosis OAT 21

Tabel 3.3 OAT Kombipak Kategori 1 21

Tabel 3.4 Panduan OAT KDT Kategori 1 21

Tabel 3.5 Hasil Pengobatan TB 23

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rontgen Toraks 11 Januari 2018 8

Gambar 2.2 Rontgen Toraks 13 Januari 2018 8

Gambar 3.1 Alur Diagnosis Tuberkulosis 14

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

TB paru menjadi penyebab utama kematian pada orang dewasa yang

terinfeksi HIV. Pada beberapa negara, kematian akibat penyakit ini meningkat

sampai 50%, biasanya terjadi sekitar 2 bulan setelah diagnosis TB ditegakkan.

Keterlambatan dalam penegakan diagnosis TB paru mungkin menjadi kontributor

yang penting dalam menyebabkan tingginya angka kematian. Tiap tahun

diperkirakan terjadi 239 kasus baru TB paru per 100.000 penduduk dengan

estimasi prevalens HIV diantara pasien TB paru sebesar 0,8% secara nasional.3

Data dari RS Provinsi di Jayapura menunjukkan pada triwulan pertama

2007, 13 diantara 40 pasien TB ternyata positif HIV. Data klinik PPTI

(Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia) di Jakarta sejak 2004–

2007 menunjukkan prevalensi HIV pada pasien dugaan TB paru dengan faktor

risiko antara 3–5% dan prevalensi pada pasien TB paru antara 5–10% dengan

kecenderungan meningkat setiap tahunnya.1

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas mengenai kasus tuberkulosis paru pada penderita

HIV dengan diskusi yang merujuk pada berbagai literatur.

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

mengenai tuberkulosis paru serta membandingkan kasus yang didapat dengan

teori mulai dari temuan klinis sampai pemeriksaan fisik serta penunjangnya.

1
1.4 Metode Penulisan

Penulisan case report ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang

merujuk pada berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan

Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu

pengetahuan mengenai tuberkulosis paru.

2
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. N

Umur : 43 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Sungai Rumbai Dharmasraya

Negeri Asal : Dharmasraya

2.2. Anamnesis

Seorang pasien laki-laki berumur 43 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M.

Djamil Padang pada tanggal 13 Januari 2018 dengan:

Keluhan Utama

Batuk yang semakin meningkat sejak 2 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Batuk yang semakin meningkat sejak 2 minggu yang lalu. Batuk sudah

dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, dahak tidak ada. Karena batuknya pasien

dirawat di RSUD Dharmasraya selama 3 hari dan dilakukan foto rontgen

thoraks dan pemeriksaan darah. Pasien diberi obat OAT FDC 1x3 tab mulai

tanggal 13 Januari 2018. Pasien kemudian di rujuk ke RSUP Dr.M. Djamil

Padang.

 Batuk berdarah tidak ada. Riwayat batuk darah tidak ada.

 Sesak nafas tidak ada. Riwayat sesak nafas tidak ada.

 Nyeri dada tidak ada.

3
 Demam sejak 2 hari yang lalu, hilang timbul, tidak tinggi dan tidak

menggigil. Riwayat demam ada sejak 4 bulan yang lalu bersifat hilang

timbul.

 Keringat malam ada sejak 4 bulan yang lalu, hilang timbul.

 Nyeri ulu hati, mual, dan muntah tidak ada.

 Penurunan nafsu makan ada sejak 4 bulan yang lalu.

 Penurunan berat badan ada sebanyak 10 kg dari 74 kg ke 64 kg dalam 4

bulan ini.

 Buang air kecil & buang air besar tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien tidak pernah menderita TB.

 Tidak ada riwayat penyakit hipertensi

 Riwayat diabetes mellitus ada sejak 10 tahun yang lalu kontrol teratur ke

Puskesmas dan mendapat obat Metformin.

 Riwayat keganasan tidak ada.

Riwayat Pengobatan

Pasien tidak pernah mendapatkan dan meminum OAT sebelumnya.

Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat meminum OAT, memiliki

penyakit hipertensi, maupun diabetes mellitus.

Riwayat kebiasaan, sosial, pekerjaan

 Pasien seorang guru SD, merokok 32 batang perhari selama 22 tahun

dengan IB berat dan sudah berhenti sejak 1 tahun yang lalu

4
 Riwayat seks bebas ada sesama jenis sejak 3 tahun yang lalu, terakhir pada

6 bulan yang lalu. Riwayat berhubungan lewat anal saat pasien kelas 6 SD.

 Riwayat narkoba suntik dan meminum alkohol tidak ada.

2.3. Pemeriksaan Fisik

Vital sign

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : Composmentis kooperatif

Suhu : 36,5 °C

Tekanan darah : 120/60 mmHg

Frekuensi nafas : 20x/min

Frekuensi nadi : 90x/min

Tinggi badan : 165 cm

Berat badan : 64 kg

Kepala : Tidak ada kelainan

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Mulut : Carries dentis (-), lidah kotor (+)

Leher : JVP : 5-2 cm H2O

Trakea : normal tidak ada deviasi

KGB : tidak ada pembesaran KGB leher, supraklavikula,

infraklavikula dan aksila.

Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

5
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi jantung normal, tidak ada bunyi jantung tambahan

Paru depan (dada)

Inspeksi : Statis : dada kiri dan kanan simetris

Dinamis : pergerakan dinding dada kiri sama dengan kanan

Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : Suara nafas bronchovesikuler, ronki +/+, wheezing -/-

Paru belakang (punggung)

Inspeksi : Statis : dada kiri dan kanan simetris

Dinamis : pergerakan dinding dada kiri sama dengan kanan

Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : Suara nafas bronchovesikuler, ronki +/+, wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : distensi abdomen (-)

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Genitalia : tidak diperiksa

Extremitas : udem (-), sianosis (-), clubbing finger (-)

6
2.4. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

- Tanggal 13 Januari 2018

Hb : 12,6 g/dl pH : 7,50

Leukosit : 8.200 /mm3 PCO2 : 29 mmHg

Hematocrit : 38% PaO2 : 74,4 mmHg

Trombosit : 371.000/mm3 HCO3- : 23,6 mmol/L

Gula darah sewaktu : 155 mg/dl BE : 2,0

Ureum darah/ Kreatinin darah : 24 / 0,7 SaO2 : 96,3 %

Na/K/Cl : 131 / 4,3 / 98

Total protein : 7,5 g/dl

Albumin : 3,2 g/dl

Globulin : 4,3 g/dl

Bilirubin total : 0,8

Bilirubin direk : 0,4

Bilirubin indirek : 0,4

SGOT/SGPT : 28/22

Kesan: hiponatremi, hipoalbuminemia, dan hipoglobulinemia

Alkalosis respiratorik terkompensasi sebagian

7
b. Gambaran Rontgen Thorak

Gambar 2.1 Rontgen Toraks 11 Januari 2018

Gambar 2.2 Rontgen Thoraks 13 Januari 2018

Tampak infitrat pada apeks paru kiri dan kanan

Kesan : TB paru

c. Rapid test : Reaktif

8
2.5. Diagnosis kerja

TB Paru kasus baru BTA (?) Rontgen (+) dalam pengobatan OAT Kat I

Fase Intensif H-4 + SIDA + DM Tipe II terkontrol + Candidiasis oral +

Community Acquired Pneumonia

2.6. Tatalaksana

- IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf

- Cefixim 2x200 mg

- Inj Ranitidin 2x1 ampul

- Isoniazid 1x300 mg

- Rifampisisn 1x600 mg

- Pirazinamid 1x1500 mg

- Etambutol 1x1000 mg

- Vit B6 1x10 mg

- Metformin 2x500 mg

- Nystatin drop 4x1

9
BAB 3

DISKUSI

Pasien laki-laki usia 43 tahun datang pada tanggal 13 Januari 2018 ke RSUP

Dr. M. Djamil Padang rujukan dari RSUD Dharmasraya dengan keluhan batuk

yang semakin meningkat sejak 2 minggu yang lalu. Batuk sudah dirasakan sejak 3

bulan yang lalu, dahak tidak ada. Demam dan keringat malam ada sejak 4 bulan

yang lalu, hilang timbul, tidak tinggi dan tidak menggigil. Nafsu makan menurun

dan terjadi penurunan BB 10 kg dalam 4 bulan ini.

Infeksi pada paru dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur yang

disebut sebagai pneumonia, kecuali bakteri yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis disebut dengan tuberkulosis paru. Keluhan utama yang sering terjadi

pada pasien pneumonia adalah sesak napas, peningkatan suhu tubuh, dan batuk

produktif dengan mukus purulen kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan

seringkali berbau busuk. Kemungkinan infeksi pneumonia sebagai diagnosis

primer pada pasien ini dapat disingkirkan karena tidak sesuai dengan gambaran

klinis awal.

Pasien dapat didiagnosis sebagai TB Paru karena batuk pada pasien sudah

dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang

disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis

sebagian besar terjadi pada paru yang mencakup 80% dari keseluruhan kejadian

penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis

ekstrapulmonar.2 Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan

bersarang di jaringan paru. Di tempat tersebut, kuman akan membentuk suatu

10
sarang pneumonik yang disebut sarang primer atau afek primer. Dari sarang

primer kemudian terjadi peradangan saluran getah bening menuju hilus

(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah

bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer dengan limfangitis lokal dan

limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer.2

Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum)

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,

garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

c. Menyebar dengan cara :

 Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya seperti epituberkulosis, yaitu

suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus sehingga

menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan dan

mengakibatkan atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar

sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan

menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang

dikenal sebagai epituberkulosis.

 Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke

paru sebelahnya.

 Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini

sangat berhubungan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi

kuman basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan,

akan tetapi bila tidak terdapat imun yang adekuat, penyebaran ini akan

11
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier,

maupun meningitis tuberkulosa. Penyebaran ini juga dapat

menimbulkan tuberkulosis pada bagian tubuh lainnya, misalnya tulang,

ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.2

Tuberkulosis primer ini dapat muncul bertahun-tahun kemudian, biasanya

pada usia 15-40 tahun yang disebut tuberkulosis post primer. Bentuk tuberkulosis

inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi

sumber penularan. Nasib afek primer ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai

berikut :2

a. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat

b. Sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan

dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri

menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk

perkapuran.

c. Afek primer meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti

akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya

berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti

sklerotik). Nasib kaviti ini mungkin meluas kembali, dapat pula memadat

dan membungkus diri (encapsulated) yang disebut tuberkuloma, atau

kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.

Keluhan pasien yang datang dengan batuk > 2 minggu disertai gejala

sistemik berupa demam dan keringat malam hilang timbul sesuai dengan gejala

klinis pada pasien infeksi TB. Pada pasien TB gejala klinis yang terjadi dapat

dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

12
a. Gejala Respiratorik

Gejala ini mencakup batuk ≥ 3 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri

dada. Gejala respiratorik yang dialami oleh pasien sangat bervariasi

tergantung dari luas lesi yang mengenai paru pasien. Kadang penderita

terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam

proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang

pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan

untuk membuang dahak ke luar.

b. Gejala Sistemik

Seperti demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan

menurun. Infeksi TB menyebabkan peningkatan metabolisme energi dan

protein dalam tubuh. Asupan yang tidak adekuat menimbulkan pemakaian

cadangan energi tubuh yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis

dan mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan dan kelainan biokimia

tubuh.

Jika terjadi TB ekstra paru, maka gejala yang dialami pasien tergantung dari

organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi

pembesaran yang lambat dan tidak nyeri pada kelenjar getah bening. Meningitis

tuberkulosa akan terlihat seperti gejala meningitis, sementara pada pleuritis

tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang

rongga pleuranya terdapat cairan. Pasien ini tidak memiliki gejala TB ekstra paru.

13
Gambar 3.1 Alur Diagnosis Tuberkulosis

14
Penegakkan diagnosis TB berpedoman pada 6 standar diagnosis pada ISTC

III (International Standards for TB Care). Gejala klinis pasien mengarah kepada

kemungkinan diagnosis TB. Hasil pemeriksaan fisik auskultasi paru terdengar

suara nafas bronkovesikuler dan terdengar ronki basah halus. Suara nafas

bronkovesikular merupakan bunyi campuran antara suara nafas bronkial dan

vesikular. Bunyi tambahan berupa ronki basah halus terjadi karena aliran udara

yang melewati infiltrat dalam paru. Hasil rontgen foto toraks pasien menunjukkan

adanya infiltrat pada kedua apeks paru kanan dan kiri. Artinya, pasien

terdiagnosis TB paru secara klinis.

Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan bakteriologis melalui pemeriksaan

Tes Cepat Molekuler (TCM) dengan hasil MTB positif dan Rifampisin Resistence

undetected. Hal ini menunjukkan pasien sudah terkonfirmasi TB secara

bakteriologis dan menyingkirkan pasien dengan resistensi obat.

Faktor risiko terjadinya infeksi TB ini tergantung pada faktor dari host

(manusia), konsentrasi kuman dan lamanya waktu kontak, maupun dari faktor

lingkungan seperti ventilasi, pencahayaan, dan kepadatan hunian rumah. Faktor

usia mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit TB. Anak-anak

hingga usia lima tahun memiliki kerentanan yang tinggi namun anak dengan usia

antara lima tahun hingga awal pubertas relatif tahan terhadap infeksi TB. Survei

di beberapa negara menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak

terinfeksi TB daripada perempuan. Kemungkinan karena perbedaan gen terkait

atau faktor gaya hidup seperti merokok. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang

rendah, seperti infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan

berkembangnya TB aktif (sakit TB). Beberapa faktor lain yang dapat menurunkan

15
daya tahan tubuh, yaitu ketergantungan alkohol, penggunaan narkoba suntik,

merokok, diabetes melitus, orang-orang dengan terapi kortikosteroid, gastrektomi,

dan stadium akhir penyakit ginjal.3

Pasien ini memiliki faktor risiko berupa jenis kelamin maupun daya tahan

tubuh yang rendah sehingga memudahkan terjadinya infeksi paru oleh kuman TB.

Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu kontrol teratur

ke Puskesmas dan mendapat obat Metformin. Diabetes mellitus merupakan

penyakit kronik yang berkaitan dengan gangguan fungsi imunitas tubuh, sehingga

penderita rentan terserang infeksi, termasuk TB paru. Penyebab infeksi TB paru

pada penderita DM adalah karena defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme

pertahan tubuh termasuk gangguan fungsi dari epitel pernapasan serta motilitas

silia. Pada penderita DM, terjadi ganguan kemotaksis dan fagositosis sehingga

menyulitkan tubuh dalam proses eliminasi infeksi TB. Penderita DM ini berisiko

2 hingga 3 kali lebih tinggi untuk mengidap penyakit TB paru dibandingkan tanpa

DM.5

Selain itu, pasien juga memiliki riwayat seks bebas sesama jenis sejak 3

tahun yang lalu, terakhir pada 6 bulan yang lalu. Pasien juga pernah berhubungan

seks lewat anal saat pasien kelas 6 SD. Hal ini dapat memudahkan terjadinya

infeksi HIV. Orang dengan HIV memiliki risiko 30 kali lebih besar untuk sakit

TB dibandingkan orang yang tidak terinfeksi HIV. Menurut Permenkes No.21

tahun 2013 pasal 24 tentang Penanggulangan HIV-AIDS menyebutkan bahwa

setiap orang dewasa, remaja, dan anak-anak yang datang ke fasilitas kesehatan

dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang patut diduga telah terjadi infeksi

16
HIV terutama pada pasien dengan riwayat penyakit TB dan IMS ditawarkan untuk

pemeriksaan HIV.8

Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan rapid test dengan hasil reaktif

dan perhitungan CD4 dengan jumlah 241 mm3. Perjalanan infeksi HIV di dalam

tubuh manusia diawali dengan interaksi gp 120 pada selubung HIV yang

berikatan dengan reseptor spesifik CD4. Sel target utama adalah sel yang mampu

mengekspresikan reseptor CD4 antara lain astrosit, mikroglia, monosit- makrofag,

limfosit, Langerhan’s dan dendritik. Pada TB paru aktif, makrofag terinfeksi oleh

M. tb yang akan mengekspresikan TNF- á bersamaan dengan Monocyte

Chemotactic Protein 1 (MCP- 1) yang mengaktifkan replikasi HIV-1. M.

tuberculosis dapat menyebabkan infeksi lanjut pada CD4 sel T limfosit dan

monosit . M tuberculosis juga mengaktifkan replikasi HIV-1 pada CD4 T limfosit

yang terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalam sel dendrit dapat memfasilitasi

transmisi HIV-1 ke CD4 T limfosit yang apabila berdiferensiasi ke M. Tb dapat

berkembang menjadi infeksi laten HIV- 1.7

Individu yang terinfeksi HIV pada TB paru aktif sangat dipengaruhi oleh

derajat imunodefisiensi. Pada pasien terinfeksi HIV dengan CD4+ > 350 cell/µL

gejala klinik TB sesuai dengan pasien TB tanpa HIV. Gejala mayor terbatas pada

paru dan biasanya gambaran foto toraks lobus atas berupa gambaran infiltrat

fibronodular dengan atau tanpa kavitas. Pada HIV stadium lanjut gambaran foto

toraks pada pasien TB paru berbeda dibandingkan dengan pasien dengan derajat

keparahan imunosupresi lebih rendah. Pada lobus bawah, lobus tengah, gambaran

infiltrate milier lebih biasa dan kavitas lebih jarang. Limfadenopati mediastinum

juga dapat ditemukan. Gejala klinik TB paru pada pasien dengan HIV tergantung

17
dari derajat imunosupresi sebagai hasil dari infeksi HIV. Pasien dengan kadar

CD4 > 200/mm lebih sering memberikan manifestasi TB paru dibandingkan

dengan ekstraparu.7

Selain itu, pasien adalah seorang perokok yang menghabiskan 32 batang

sehari selama 22 tahun dan sudah berhenti 1 tahun terakhir. Indeks Brinkman

pasien ini berada dalam kategori berat, dimana nilai 0-199 seseorang dikatakan

perokok ringan, 200-599 perokok sedang, dan > 600 perokok berat. Asap rokok

dapat merusak sistem pertahanan paru sehingga ikut berkontribusi memudahkan

terjadinya infeksi pada paru.

Hubungan antara merokok dan TB pertama kali dilaporkan pada tahun

1918.Mekanisme pasti yang menghubungkan merokok dengan TB tidak

sepenuhnya dipahami, namun ada banyak bukti menurunnya pertahanan saluran

napas berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksi TB pada perokok. Trakea,

bronkus dan bronkiolus yang membentuk saluran udara yang memasok udara ke

paru memberikan garis pertahanan pertama dengan mencegah kuman TB untuk

mencapai alveoli. Merokok terbukti dapat mengganggu bersihan mukosilier.

Makrofag alveolar paru yang merupakan pertahanan utama terjadi penurunan

fungsi fagositosis dan membunuh kuman pada individu yang merokok, seperti

dilaporkan pada diabetes, merokok telah ditemukan berhubungan dengan

penurunan tingkat sitokin proinflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini

sangat penting untuk respons awal pertahanan lokal untuk infeksi kuman termasuk

TB. Risiko TB dapat dikurangi dengan hampir dua pertiganya jika seseorang

berhenti merokok. Ini menjadi bukti kuat dalam peran penting merokok dalam

penanggulangan TB.6

18
Berdasarkan teori yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan diagnosis

pasien ini adalah TB Paru kasus baru BTA (?) Rontgen (+) dalam pengobatan

OAT Kat I Fase Intensif H-4 + SIDA + DM Tipe II terkontrol + Candidiasis oral

+ Community Acquired Pneumonia (perbaikan).

Pasien diberikan infuse Nacl 0,9 tetes permenit karena Nacl 0,9%

merupakan cairan infuse yang fisiologis yang diberikan untuk cairan maintenance.

Cefixime bersifat baktersid dan berspektrum luas teradap mkroorganisme

gam positif dan gram negatif. Cefixi memiliki aktivitas yang poten terhadap

kuman Streptococcus sp, E.Coli, Haemophillus Influenza. Mekanisme kerjanya

yaitu mengambat sistesis dinding sel.

Ranitidin adalah obat hisytamin antagonis reseptor H2 yang berkerja dengan

cara menghambat histamine secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi

sekresi asam lambung. Indikasi ranitidin salah satunya adalah untuk pengobatan

pada pasien gastritis.

Vit B6 atau pyridoxine adala nutrisi yang sangat penting bagi darah, kulit,

dan sistem saraf pusat. Vitamin ini dapat bermanfaat untuk mengatasi anemia dan

mengatasi kekurangan vitamin B6.

Metformin antidiabetik oral golongan biguanid dan termasuk pilihan

pertama untuk penderita diabetes melitus tipe 2, khususna otang dengan kelebihan

berat badan dan gemuk serta orang dengan fungsi ginjal normal.

Nystatin adalah obat anti jamur yang digunakan untuk mengattasi infeksi

candidiasi oral pada pasien. Nystatin memilii efek fungistatik dan fungisida yang

bekerja dengan cara berikatan dengan ergosterol pada membran sel jamur. Hal ini

19
menyebabkan terbentuknya pori-pori dalam membran sel sehingga kalium dan isi

sel lain akan keluar dan menyebabkan terjadinya kematian sel.

Pengobatan TB yang adekuat mengguunakan OAT harus mengandung

minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.Obat harus diberikan

dalam dosis yang tepat, ditelan dalam dosis yang teratur, diawasi langsung oleh

PMO (pengawas makan obat). Pengobatan TB dibagi dalam tahap awal serta

tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.1

Tabel 3.1 OAT Lini Pertama

Panduan OAT menurut Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia

adalah:1

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Kategori 2 : 2(HRZE)S/9HRZE)/5(HR)3E3

Kategori Anak : (HRZ)/4HR atau 2HRZA(S)/4-10HR

Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien Tb resisten obat di Indonesia

terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisis, kapreomisin, Levofloksasin,

Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu

pirazinamid dan etambutol.

20
OAT disediakan dalam dua bentuk yaitu KDT (kombinasi dosis tetap) dan

kombipak. Pada OAT KDT, trdapat 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet yang

disesuaikan dengan BB pasien. Pada paket OAT kombipak, terdiri atas obat leas

isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol yang dikemas dalam bentuk

blister. OAT kombipak digunakan pada asien yang terbukti mengalami efek

samping pada OAT KDT sebelumnya.1

Pasien ini didiagnosis TB kasus baru dan diberikan OAT Kategori I dengan

dosis Isoniazid 1x300 mg, Rifampisisn 1x600 mg, Pirazinamid 1x1500 mg, dan

Etambutol 1x1000 mg.

Tabel 3.2 Dosis OAT

Tabel 3.3 OAT Kombipak Kategori 1

Tabel 3.4 Panduan OAT KDT Kategori 11

21
Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA termasuk wanita hamil prinsipnya

adalah sama seperti pada pasien TB lainnya. Pasien TB dengan HIV positif

diberikan OAT dan ARV, dengan mendahulukan pengobatan TB untuk

mengurangi angka kesakitan dan kematian. Pengobatan ARV sebaiknya dimulai

segera dalam waktu 2-8 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan TB dan

dapat ditoleransi baik.1

Pemantauan kemajuan dan hasil pengbatan pada dewasa dilaksanakan

dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis pada akhir bulan ke-2 dan

ke-5. Untuk pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan pemriksaan dahak dua

kali yaitu sewaktu dan pagi. Bila pemeriksaan menunjukkan hasil negatif, maka

pengobatan dapat dilanjutkan ke fase lanjutan dan kembali memeriksa dahak pada

akhir bulan ke-5 dan akhir pengobatan. Bila hasil dahak positif, tetap lanjutkan

pengobatan tanpa pemberian sisipan seperti program sebelumnya. Pasien

kemudian kembali memeriksakan dahak pada 1 bulan setelah fase lanjutan. Bila

hasil tetap masih positif, lakukan uji kepekaan obat. Bila fasilitas tidak

mendukung untuk dilakukannya uji kepekaan obat, maka obat fase lanjutan tetap

dilanjutkan dan kembali melakukan pemeriksaan pada akhir bulan ke-5.4

22
Tabel 3.5 Hasil pengobatan TB

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum

pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.

Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah :2

 Batuk darah

 Pneumotoraks

 Luluh paru

 Gagal napas

 Gagal jantung

 Efusi pleura

23
Prognosis TB paru umumnya baik dengan pengobatan yang tepat,

ketersediaan obat dan pengawasan minum obat yang baik. Namun apabila pasien

dengan tb paru tidak diobati setelah lima tahun akan memiliki prognosis :8

 50% meninggal

 25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi

 25% manjadi kasus kronis yang tetap menular

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2014.
2. PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia.
Jakarta: PDPI, 2014.
3. Infodatin. Tuberkulosis, Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta: Pusadatin,
2014.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
5. Wijaya Indra, 2015. Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus.
Continuing Medical Education-2229, vol 42, no 6.
6. Wijaya AA, 2012. Merokok dan tuberkulosis. Departemen Pulmonoologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FK Universitas Indonesia. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia vol 8, hal 18-23.
7. Riadi A, 2012. Tuberulosis dan HIV-AIDS. Jurnal Tuberkulosis Indonesia
vol 8, hal 24-9.
8. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-infeksi
TB-HIV. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2012.

25

Anda mungkin juga menyukai