Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kista ovarium merupakan salah satu tumor jinak ginekologi yang paling
sering dijumpai pada wanita di masa reproduksinya. Kista ovarium sendiri adalah
suatu kantong yang berisi cairan atau setengah cairan yang muncul dalam
ovarium (Helm, 2013). Kista ovarium dapat terjadi pada semua usia namun lebih
umum terjadi pada wanita usia reproduktif dimana periode hormonal aktif terjadi
untuk masa pertumbuhan. Seorang wanita dapat memiliki satu atau lebih kista
yang ukurannya pun bervariasi. Pada banyak kasus, kista tidak berbahaya dan
dapat menghilang dengan sendirinya, namun pada kasus lainnya kista juga
dapat menimbulkan masalah dan membutuhkan pengobatan (ACOG, 2015).
Kista ovarium merupakan kelainan ginekologis yang pada sebagian besar pasien
tidak menunjukkan gejala, namun pada penyakit ini dapat pula timbul keluhan
seperti nyeri pada perut bagian bawah, nyeri saat bersenggama dan kesulitan
saat buang air besar (Helm, 2013).
Ada beberapa jenis kista ovarium dan dikategorikan menjadi kista
fungsional dan kista patologis. Kista fungsional merupakan kista yang paling
umum, tidak berbahaya dan terjadi sebagai bentuk bagian dari siklus menstruasi,
sedangkan kista patologis yaitu tumor pada ovarium yang dapat bersifat jinak
atau ganas (NHS, 2012). Kista yang bersifat ganas disebut juga dengan kanker
ovarium. Kanker ovarium merupakan pembunuh yang diam-diam karena
memang seringkali penderita tidak merasakan atau mengeluhkan apa-apa
(Benson dan Pernoll, 2008).
Pemeriksaan USG masih menjadi pilihan utama untuk mendeteksi
adanya kista. Gambaran yang didapatkan pada pemeriksaan USG dapat
membantu menentukan karakteristik morfologi dari kista itu sendiri. Penggunaan
CT Scan dan MRI bisa dipertimbangkan namun tidak sering dilakukan karena
pertimbangan biaya. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia
angka kejadian kista ovarium di Indonesia mencapai 37,2%, dan paling sering
terdapat pada wanita berusia antara 20-50 tahun, dan jarang sekali pada masa
pubertas. (Hanifa W, 2005). Penanganan kista ovarium dapat dilakukan dengan
menggunakan terapi hormonal maupun terapi operatif. Terapi operatif biasanya
dilakukan apabila kista yang ada besar atau menimbulkan gejala (ACOG, 2015).

1
Kista Ovarium menjadi sangat menarik untuk dibahas karena sebagian
besar pasien dengan kista ovarium berada dalam kondisi asimptomatik dan baru
dapat didiagnosis secara tidak sengaja ketika menjalani pemeriksaan USG atau
sedang dalam operasi sectio caesaria. Dalam laporan kasus ini akan dibahas
mengenai pasien dengan kista ovarium. Tujuan dari laporan kasus ini adalah
untuk membahas mengenai faktor resiko terjadinya kista ovarium, cara
penegakan diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien dalam laporan kasus ini. Dengan harapan laporan kasus ini dapat
menambah informasi dan wawasan mengenai kista ovarium.

1.2 Tujuan
Tujuan pembahasan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk mengetahui faktor resiko yang diduga berperan dalam terjadinya
kista ovarium pada pasien dalam laporan kasus ini.
2. Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosis kista ovarium pada pasien
dalam laporan kasus ini.
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien dengan kista ovarium.
4. Untuk mengetahui prognosis pada pasien dengan kista ovarium.

1.3 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman dokter muda mengenai kista ovarium dalam hal pelaksanaan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakan diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi serta monitoring pada pasien dengan kista ovarium.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
2.1.1 Pasien
No. Reg. : 11218xxx
Nama : Ny. I
Umur : 48 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Pedagang
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Bandulan VI K3/56 Malang
Status : Menikah, 1x sejak usia 20 tahun
Kehamilan : P2002 Ab000
Tgl periksa :

2.2 SUBYEKTIF
2.2.1 Keluhan Utama
Nyeri perut disertai badan yang terasa lemas

2.2.2 Perjalanan Penyakit Saat Ini


Pasien mengeluh perut terasa membesar sejak 3 bulan yang lalu.
Tidak ada hipertensi, tidak ada jantung berdebar-debar, dan tidak ada
mual serta muntah.
Hari pertama haid terakhir (HPHT) : 5 Agustus 2015
Menarche : 16 tahun
Lamanya haid : 6 - 8 hari
Banyaknya haid : Sedang, ganti pembalut 5 – 6
kali/ hari saat haid
Nyeri haid : tidak ada
Fluor Albus : tidak ada

3
2.2.3 Riwayat Pernikahan
1 kali selama 28 tahun, saat usia 20 tahun.

2.2.4 Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Usia Cara Tempat
NO. BBL L/P Umur H/M
Kehamilan Lahir Persalinan
1. At 2900 SptB Bidan L 20 th H
2. At 2800 SptB Dokter P 18 th H

2.2.5 Riwayat Kontrasepsi


- Pasien pernah menggunakan KB suntik tiap bulan selama 3 bulan
dan sudah berhenti selama 15 tahun
- Pasien tidak menggunakan kontrasepsi saat ini

2.2.6 Riwayat Penyakit Dahulu


- Tidak ada riwayat penurunan berat badan
- Riwayat penyakit seperti hipertensi, DM, penyakit jantung, liver, dan
asma disangkal oleh pasien
- Riwayat operasi trepanasi kepala oleh karena kecelakaan tahun
1990 di Surabaya

2.2.7 Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat keluarga dengan keganasan disangkal
- Riwayat keluarga pasien memiliki penyakit seperti hipertensi, DM,
penyakit jantung, liver, dan asma disangkal oleh pasien

2.2.8 Anamesis
S: Pasien merupakan rujukan dari SpOG dengan diagnosis suspect Ca
Ovarium. Pada jam 12.15 pasien mengeluh nyeri perut disertai lemas
lalu pergi ke poli kandungan RS Soepraoen dan dilakukan USG lalu
didapatkan kecurigaan kanker ovarium yang kemudian di rujuk ke
RSSA.Pada jam 15.00 pasien tiba di RSSA dengan keluhan perut
terasa membesar sejak 3 bulan yang lalu dan melakukan terapi
alternatif sejak diberitahu ada kista ovarium. riwayat menstruasi
teratur setiap bulan selama 5-6 hari dengan ganti pembalut 2-3 hari.

4
nyeri (-). Riwayat penurunan berat badan (+) dengan kurang lebih 5 kg
dalam 3 bulan terakhir. sebelumnya tidak ada riwayat tumor.

2.3 OBYEKTIF
2.3.1 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
O: KU cukup, GCS 456
TD: 110/70 N: 84x RR:20x/menit
K/L: DBN
Thorax: c/S1 S2 P/ RH -|- WH -|-
-|- -|-
-|- -|-
Abdomen: Slightly distended, BU (+), teraba masa kistik solid, batas tegas,
permukaan rata, ukuran 12x12 cm, mobilitas terbatas, tidak nyeri, shifting dullnes
(+).
Genitalia: Flek (-), Fluor (-)
inspeksi: Flek (-) Fluor (-)
VT: Flek (-), Fluor (-)
Mukosa licin, cervix DBN
AP D/S - ditemukan massa kistik dengan ukuran 12x12 cm, batas tegas,
mobilitas (+)

2.3.2 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium:
DL : 9.2/14.248/27,7/283.000
FH : 12,3/29,0
SGOT/SGPT : 55/79
Ur/Cr : 37,5/ 0,96
SE : 136/3,57/111
GDS: 109
Alb: 3,39

5
2.4 Assesment
- Cystoma Ovarii Suspek Ganas
- Anemia
- Leukositosis
- Transaminitis

2.5 Planning
 USG Ginekologi
 USG Doppler
 Diet TKTP
 Transfusi PRC 2 labu hingga Hb >10
 Injeksi Cefazoline 3x1
 Oral Asam Mefenamat 3x1
Roburantia 1x1
Curcuma 3x1

6
BAB 3
PERMASALAHAN

3.1 Apa saja faktor resiko cystoma ovarii pada pasien ini?
3.2 Bagaimana cara menegakkan cystoma ovarii pada pasien ini?
3.3 Bagaimana manajemen dan penatalaksanaan cystoma ovarii pada pasien
ini?
3.4 Bagaimana prognosis cystoma ovarii pada pasien ini?

7
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Anatomi Alat Reproduksi Wanita


Sistem reproduksi wanita terdiri atas organ genitalia eksterna dan interna.
Organ genitalia eksterna terdiri dari mons pubis, labium majus pudendi, labium
minus pudendi, vestibulum vaginae, clitoris, bulbus vestibuli, dan glandula
vestibularis major (Wibowo dan Paryana, 2007).
1. Organ genetalia eksterna
Organ reproduksi wanita eksterna sering disebut sebagai vulva yang
mencakup semua organ yang dapat dilihat dari luar, yaitu yang dimulai
dari mons pubis yang disebut juga gunung venus, menonjol ke bagian
depan terletak di depan symphysis pubis dan terdiri dari jaringan lemak.
Setelah pubertas, kulit mons veneris tertutup oleh rambut ikal yang
membentuk pola distribusi tertentu yaitu pada wanita berbentuk segitiga.
a) Labium majus pudendi
Labium majus pudendi merupakan lipatan kulit memanjang yang
berjalan dari mons pubis ke bawah dan ke belakang (posterior).
Permukaan luarnya banyak mengandung banyak pigmen dan
ditumbuhi rambut setelah pubertas dan juga mengandung banyak
glandula sebacea. Permukaan dalamnya lebih halus, tidak berambut,
dan mengandung jaringan lemak.
b) Labium minus pudendi
Labium minus pudendi merupakan dua lipatan kecil dari kulit halus
tidak mengandung lemak yang terletak diantara kedua labium maju,
pada tiap sisi ostium vaginae.
c) Vestibulum vaginae
Vestibulum vaginae adalah celah diantara labium minus sebagai
tempat muara vagina (liang senggama), urethra, dan glandula
vestibularis major. Ostium urethrae externum terletak di belakang
clitoris dan di depan ostium vaginae. Ostium vaginae lebih besar
daripada ostium urethrae externum, tetapi ukurannya dapat bervariasi
tergantung juga pada kondisi dari hymen yang menutupinya. Vagina
merupakan suatu tabung yang dilapisi membran dari jenis epithelium
bergaris khusus, dialiri banyak pembuluh darah dan serabut saraf.

8
Panjang vagina dari vestibulum sampai uterus adalah 7,5 cm. Bagian
ini merupakan penghubung antara introitus vagina dan uterus. Pada
puncak vagina menonjol leher rahim yang disebut porsio. Bentuk
vagina sebelah dalam berlipat-lipat disebut rugae.
d) Clitoris
Clitoris yang merupakan homolog dari penis ini terdiri dari jaringan
yang erektil dan mengandung banyak pembuluh darah dan serat
saraf. Berbeda dengan penis, clitoris tidak ditembus oleh urethra.
e) Glandula vestibularis major
Glandula vestibularis major merupakan kelenjar yang berbentuk agak
bundar dan terletak di belakang bulbus vestibuli. Kelenjar ini homolog
dengan glandula bulbourethralis pada laki-laki. Saluran keluar kelenjar
ini bermuara pada vestibulum vaginae dan menghasilkan mukus
untuk lubrikasi.
f) Himen merupakan lipatan membran irregular yang menutupi sebagian
ostium vaginae, sehingga masih ada lubang kecil yang dapat dilalui
darah saat menstruasi (Wibowo dan Paryana, 2007).
2. Organ genitalia interna yang terdiri dari :
a) Uterus
Berbentuk seperti buah pir, dengan berat sekitar 30 gr. Terletak di
panggul kecil diantara rectum (bagian usus sebelum dubur) dan di
depannya terletak kandung kemih. Uterus terdiri dari :
- Fundus uteri (dasar rahim). Bagian uterus yang terletak antara
pangkal saluran telur. Pada pemeriksaan kehamilan, perabaan
fundus uteri dapat memperkirakan usia kehamilan
- Korpus uteri. Bagian uterus yang terbesar pada kehamilan,
bagian ini berfungsi sebagai tempat janin berkembang.
Rongga yang terdapat pada korpus uteri disebut kavum uteri
atau rongga rahim.
- Serviks uteri. Ujung serviks yang menuju puncak vagina
disebut porsio, hubungan antara kavum uteri dan kanalis
servikalis disebut ostium uteri internum (Wiknjosastro, 2005).

9
b) Tuba fallopi
Tuba fallopi berasal dari ujung ligamentum latum berjalan kearah
lateral, dengan panjang sekitar 12cm. Tuba fallopi merupakan
bagian yang paling sensitif terhadap infeksi dan menjadi penyebab
utama terjadinya infertilitas. Fungsi tuba fallopi sangat vital dalam
proseskehamilan, yaitu menjadi saluran spermatozoa dan ovum,
mempunyai fungsi penangkap ovum, tempat terjadinya
pembuahan (fertilitas), menjadi saluran dan tempat pertumbuhan
hasil pembuahan sebelum mampu menanamkan diri pada lapisan
dalam rahim (Tambayong, 2002)
c) Indung Telur (Ovarium)
Ovarium merupakan sepasang organ genitalia interna wanita yang
terletak di kiri dan kanan uterus serta di bawah tuba uterina.
Ovarium wanita dewasa berukuran kira-kira sebesar ibu jari
tangan dengan ukuran panjang kira-kira 4cm dan lebar dan tebal
kira-kira 1,5 cm. Ovarium dihubungkan dengan uterus melalui
ligamentum ovarii proprium.Arteri ovarika berjalan menuju ovarium
berjalan menuju ovarium melalui ligamentum suspensorium ovarii
(Prawirohardjo, 2011).Struktur ovarium terdiri dari korteks di
bagian luar dan medulla di bagian dalam. Korteks tersusun atas
epitel germinativum berupa epitel kuboid-kolumnar simpleks,
tunika albuginea berupa jaringan ikat padat, dan stroma yang
merupakan tempat bagi berbagai fase pertumbuhan folikel
ovarium yaitu folikel ovarium yakni folikel primordial, folikel primer,
folikel sekunder, dan folikel de Graaf. Sedangkan medulla berisi
jaringan saraf, pembuluh darah, dan pembuluh limfe (Eroschenko,
2000).
d) Parametrium (Penyangga Rahim) merupakan lipatan peritoneum
dengan berbagai penebalan,yang menghubungkan rahim dengan
tulang panggul, lipatanatasnya mengandung tuba fallopi dan ikut
serta menyangga indung telur (Tambayong, 2002).

10
4.2 Fisiologi Ovarium
Ovarium merupakan organ reproduksi utama wanita yang berfungsi
dalam pembentukan sel gamet (ovum) serta sekresi hormon seks yaitu estrogen
dan progesteron. Ovarium memiliki siklus bulanan yang berhubungan dengan
maturasi ovum yang disebut siklus ovarium. Siklus ovarium mencakup fase
folikuler dan fase luteal. Fase folikuler merupakan periode pertumbuhan folikel
pada hari ke 1-14 hingga didapatkan folikel matur yakni folikel de Graaf. Fase
luteal merupakan periode aktivitas korpus luteum mensekresi hormon estrogen
dan progesteron yang terjadi pada hari 15-28.Ovulasi terjadi di antara fase
folikuler dan fase luteal yakni pada hari ke-14. Selama siklus ovarium yang sudah
dimulai sejak masa anak-anak, terjadi interaksi hormonal yakni antara GnRH
(Gonadotropin-Releasing Hormone), FSH-LH, serta estrogen dan progesteron.
Menginjak masa pubertas, pada hari pertama, GnRH menstimulasi pelepasan
FSH dan LH. Kedua hormon hipofisis anterior tersebut menstimulasi
pertumbuhan dan maturasi folikel serta pelepasan estrogen dalam kadar rendah
dalam ovarium. Sekresi estrogen ini secara perlahan menghambat pelepasan
FSH dan LH. Kadar estrogen yang meningkat menimbulkan umpan balik positif
pada hipofisis anterior dan menyebabkan pelepasan LH secara tiba-tiba.
Lonjakan LH (LH surge) menyebabkan oosit primer menyelesaikan meiosis I dan
oosit sekunder melanjutkan metafase II. Pada hari ke-14, LH memicu ovulasi dan
mengubah folikel yang ruptur menjadi corpus luteum yang kemudian mensekresi
hormon estrogen, progesteron, dan inhibin. Hormon-hormon tersebut
memberikan umpan balik negatif yang menghambat pelepasan FSH dan LH
sehingga penurunan LH menghentikan aktivitas luteal. Pada hari ke 26-28 terjadi
penurunan hormon-hormon ovarium sehingga terjadi menstruasi dan kemudian
dimulailah siklus baru (Guyton dan Hall, 2006).

4.3 Kista Ovarium


4.3.1 Definisi
Kista (cystic) ovarium merupakan suatu kantong yang berisi cairan atau
jaringan lain yang berkembang pada permukaan atau pada ovarium itu sendiri.
Kista dapat bersifat neoplastik maupun non neoplastik tapi pada umumnya
bersifat jinak dan jarang berkembang menjadi ganas (ACOG, 2015). Cystoma
ovarii adalah pertumbuhan yang berlebihan pada ovarium oleh karena suatu

11
sebab membesar dan berisi cairan kadang berlendir, sehingga tumor tersebut
membentuk suatu kantong yang besar dinamakan kista (Syaifudin, 2008).

4.3.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Kista ovarium merupakan jenis yang paling sering terjadi terutama yang
bersifat non neoplastik, seperti kista retensi yang berasal dari korpus luteum.
Tetapi di samping itu ditemukan pula jenis yang merupakan neoplasma.
Penyebab kista ovarium belum diketahui secara pasti namun diduga
berhubungan dengan hormon gonadotropin (FSH dan LH) yakni adanya
stimulasi berlebihan terhadap hormon-hormon tersebut (Sastrawinata, Sulaiman.
dkk. 2004).
- Gestational tropoblastik neoplasma (mola hidatidosa dan
khoriokarsinoma)
- Fungsi ovarium, ovulasi yang terus menerus akan menyebabkan epitel
permukaan ovarium mengalami perubahan neoplastik
- Zat karsinogen, zat radioaktif, asbes, virus eksogen, dan hidrokarbon
polikistik
- Pada pasien yang sedang diobati akibat kasus infertilitas dimana terjadi
induksiovulasi melalui manipulasi hormonal.
Faktor resiko terjadinya kista ovarium (Stoppler, 2014):
- Riwayat kista terdahulu
- Siklus haid tidak teratur
- Perut buncit (peningkatan distribusi lemak tubuh bagian atas)
- Menarche di usia dini (11 tahun atau lebih muda)
- Infertil
- Pengobatan infertilitas dengan gonadotropin
- Hipotiroid
- Penggunaan obat-obatan: tamoxifen (terapi kanker payudara) dan
klomifen
- Merokok

12
Faktor risiko untuk kista adenokarsinoma ovarium meliputi berikut ini (Helm,
2015) :
- Riwayat keluarga yang kuat
- Usia lanjut
- Ras kulit putih
- Infertilitas
- Nulliparity
- Riwayat kanker payudara
- Mutasi gen BRCA

4.3.3 Epidemiologi
Kista ovarium dapat terjadi pada setiap wanita. Kista ovarium fungsional
dapat terjadi pada semua usia, tetapi jauh lebih umum pada wanita usia
reproduksi, jarang setelah menopause. Sebagian besar kista ini fungsional dan
jinak. Cystadeno carcinoma ovarium epitel ganas adalah satu-satunya kista
ovarium terkait dengan predileksi ras. Insiden lebih tinggi terjadi pada
Perempuan dari Eropa utara, eropa barat dan Amerika Utara daripada
perempuan dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Kista ovarium biasanya terdapat
pada 50% dari wanita yang mengalami siklus menstruasi yang tidak teratur. 30%
dari wanita dengan siklus menstruasi teratur dan 6% dari wanita postmenopause.
(Helm,2015)

Di Indonesia insiden kista ovarium yaitu 7% dari populasi wanita dan 85%
bersifat jinak (Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi 2006). Insiden
sebenarnya dari kista ovarium di Indonesia tidak diketahui secara pasti,
diperkirakan prevalensi dari kista ovarium sebesar 60% dari seluruh kasus
gangguan ovarium. (Wiknjosastro, 2009).

4.3.4 Patofisiologi
Fungsi ovarium yang normal tergantung kepada sejumlah hormon dan
kegagalan pembentukan salah satu harmon tersebut bisa mempengaruhi fungsi
ovarium. Ovarium tidak akan berfungsi secara normal jika tubuh wanita tidak
menghasilkan hormon hipofisa dalam jumlah yang tepat. Fungsi ovarium yang
abnormal kadang menyebabkan penimbunan folikel yang terbentuk secara tidak
sempurna di dalam ovarium. Folikel tersebut gagal mengalami pematangan dan

13
gagal melepaskan sel telur, terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium
karena itu terbentuk kista di dalam ovarium (Corvin, E.J 2008: 649).

4.3.5 Klasifikasi
a. Kista non fungsional
Suatu kista inklusi serosa terbentuk dari invaginasi pada epitel permukaan
ovarium, yang dilapisi epitel dan berdiameter <1 cm (Sinclair,2009;603)

b. Kista fungsional
1) Kista unilokular atau kista sederhana
Kista ini biasanya terbentuk dari folikel praovulasi yang mengandung
oosit. Kista ini bisa memiliki ukuran 4 cm dan menetap ke siklus selanjutnya.
Kista dapat kembali kambuh dan sering terjadi pada awal maupun akhir masa
reproduksi. Lima puluh persen kista sembuh dalam 60 hari. Nyeri dapat timbul
akibat ruptur, torsi, atau hemoragi (Sinclair, 2009: 603).

14
2) Kista folikel
Menurut Benson dan Pernoll (2008: 574), kista folikel adalah struktur
normal, fisiologis, sementara dan sering kali multiple, yang berasal dari
kegagalan resorbsi cairan folikel dari yang tidak berkembang sempurna. Paling
sering terjadi pada wanita muda yang masih menstruasi dan merupakan kista
yang paling lazim dijumpai dalam ovarium normal. Kista folikel biasanya tidak
bergejala dan menghilang dengan spontan dalam waktu < 60 hari. Jika muncul
gejala, biasanya menyebabkan interval antar menstruasi yang sangat pendek
atau sangat panjang. Perdarahan intraperitoneal dan torsi merupakan komplikasi
yang jarang terjadi. Kista yang terus membesar dan menetap > 60 hari
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

3) Kista korpus luteum


Menurut Wiknjosastro (2007: 353), dalam keadaan normal korpus luteum
lambat laun mengecil dan menjadi korpus albikans. Kadang-kadang korpus
luteum mempertahankan diri (korpus luteum persistens). Perdarahan yang sering
terjadi di dalamnya menyebabkan terjadinya kista, berisi cairan yang berwarna
merah coklat karena darah tua. Frekuensi kista korpus luteum lebih jarang
daripada kista folikel, dan yang pertama bisa menjadi lebih besar daripada yang
kedua.
Pada pembelahan ovarium kista korpus luteum memberi gambaran yang
khas. Dinding kista terdiri atas lapisan berwarna kuning, terdiri atas sel-sel
luteum yang berasal dari sel-sel teka. Kista korpus luteum dapat menimbulkan
gangguan haid, berupa amenorea diikuti oleh perdarahan tidak teratur. Adanya
kista dapat pula menyebabkan rasa berat dibagian bawah. Perdarahan yang
berulang dalam kista dapat menyebabkan ruptur. Rasa nyeri di dalam perut yang
mendadak dengan adanya amenorea sering menimbulkan kesulitan dalam
diagnosis diferensial dengan kehamilan ektopik yang terganggu. Jika dilakukan
operasi, gambaran yang khas kista korpus luteum memudahkan pembuatan
diagnosis. Penanganan kista korpus luteum ialah menunggu sampai kista hilang
sendiri. Dalam hal dilakukan operasi atas dugaan kehamilan ektopik terganggu,
kista korpus luteum diangkat tanpa mengorbankan ovarium.

15
4) Kista theka-lutein
Kista theka lutein merupakan kista yang berisi cairan bening dan berwana
hitam seperti jerami. Timbulnya kista ini berkitan dengan tumor ovarium dan
terapi hormon (Nugroho, 2010:103). Kista theka lutein biasanya bilateral, kecil
dan lebih jarang dibandingkan kista folikel atau kista korpus luteum. Kista teka
lutein diisi oleh cairan berwana kekuning-kuningan. Berhubungan dengan
penyakit trofoblastik kehamilan (misalnya mola hidatidosa dan koriokarsinoma),
kehamilan ganda atau kehamilan dengan penyulit diabetes mellitus atau
sensitisasi Rh, penyakit ovarium polikistik (sindrom Stein-Laventhel) dan
pemberian zat perangsang ovulasi (misalnya klomifen atau terapi hCG).
Komplikasi jarang terjadi meliputi ruptur (dengan perdarahan intraperitoneal)
serta torsi ovarium (Benson dan Pernoll, 2008: 576).

5) Sindrom polikistik ovari (Policystic Ovarian Syndrom-PCOS)


Menurut Yatim (2005: 21-22), polikistik ovarium ditemukan pada 5-10%
perempun usia dewasa tua sampai usia menopause, yang timbul karena
gangguan perkembangan folikel ovarium hingga tidak timbul ovulasi. Penderita
polikistik ini juga sering terlihat bulimia, androgen meningkat dan prolaktin darah
juga meningkat (hiperprolaktinemia).
Polikistik ovarium sering dijumpai pada pemeriksaan USG perempuan
usia pertengahan, tetapi bukan berarti tidak normal, mungkin ini ada kaitannya
dengan prevalensi siklus tidak terjadi ovulasi tinggi pada kelompok usia ini.
Publikasi lain mengemukaan bahwa sindrom polikistik terdapat pada 5-10%
perempuan menjelang umur menopause.

16
Kejadian ini berkaitan dengan gangguan hormone yang mulai terjadi
pada kelompok umur tersebut. Perempuan yang mengandung polikistik dapat
diketahui, antara lain:
a) Darah menstruasi yang keluar sedikit (oligomenorrhea).
b) Tidak keluar darah menstruasi (amenorrhea).
c) Tidak terjadi ovulasi.
d) Mandul.
e) Berjerawat.

4.3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
1. Nyeri abdomen
Dapat timbul mendadak ataupun perlahan-lahan tergantung pada jenis
kelainan, perdarahan bertahap atau torsi intermitten, perdarahan akut,
ruptut mendadak ataupun torsi. Nyeri dapat terlokalisir pada salah satu
kuadran atau menyeluruh pada abdomen bagian bawah. Rasa iritasi
peritoneum dengan cairan atau darah, rasa nyeri cenderung konstan dan
diperhebat oleh pergerakkan. Pada torsi kista ovarium torsi mungkin
ringan dan intermiten bila torsinya tidak lengkap, atau berat dan konstan
bila terjadi infark. Nyeri yang berkaitan dengan rupturnya kista folikel
biasanya membaik dalam beberapa jam.

2. Mual dan muntah


Dapat terjadi segera atau beberapa jam setelah timbulnya nyeri
mendadak.

17
3. Riwayat menstruasi
Pada umumnya tumor ovarium tidak mengubah pola haid, kecuali jika
tumor itu sendiri mengeluarkan hormone. Kelainan dapat terjadi pada
wanita hamil maupun tidak hamil. Perdarahan dari korpus luteum yang
rupture terjadi kapan saja setelah ovulasi, termasuk pada awal kehamilan.
Kemungkinan rupture endometrioma harus dipertimbangkan bila pasien
mempunyai riwayat dismenorhea sekunder yang terjadi selama siklus
mestruasi sebelumnya.
4. Gejala akibat pertumbuhan tumor
Dapat terjadi gangguan miksi pada tumor yang tidak seberapa besar
namun terletak di depan uterus dan menekan vesica urinaria. Selain
gangguan miksi, tekanan tumor dapat mengakibatkan obstipasi dan
edema pada tungkai. Pada tumor yang besar dapat terjadi tidak nafsu
makan dan rasa sesak.
5. Gejala lainnya
Berupa sinkope atau syok atau keduanya yang member kesan
perdarahan intraperitoneum yang hebat ataupun suatu torsi akut. Sering
miksi dan defekasi menunjukkan iritasi peritoneum. Nyeri pundak member
kesan iritasi diafragma dari perdarahan yang hebat atau isi kista yang
rupture.

b. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital
Suhu biasanya normal atau sedikit meningkat, denyut nadi biasanya
cepat, tekanan darah dan pernafasan dalam batas normal, kecuali
apabila terdapat perdarahan intraperitoneum yang hebat sehingga
menyebabkan gejala-gejala syok hipovolemik.
2. Pemeriksaan abdomen
Nyeri tekan unilateral pada kuadran bagian bawah dengan atau tanpa
nyeri lepas, rigiditas dan pergeseran member kesan adanya proses
terlokalisasi. Bising usus biasanya normal. Perdarahan yang lebih
ekstensif atau rupturnya isi kista menyebabkan peritonitis abdominalis
bagian bawah yang biasanya disertai oleh rigiditas, nyeri lepas, bising
usus menurun atau negative, dan distensi abdomen. Jarang teraba
massa lunak pada palpasi abdomen.

18
3. Pemeriksaan pelvis
Ukuran uterus biasanya normal kecuali bila pasien hamil. Apabila serviks
digerakkan terdapat rasa nyeri. Daerah adneksa yang terkena cenderung
menjadi sangat lunak, dan pada perdarahan intraperitoneum suatu massa
diskret tidak dapat diidentifikasi. Apabila ditemukan suatu massa atau
tumor, diteliti sifat-sifatnya (besar, lokasi, permukaan, konsistensi, dapat
digerakkan atau tidak). Sering pasien mengalami nyeri tekan yang sangat
hebat sehingga pemeriksaan bimanual yang adekuat tidak mungkin
dilakukan kecuali pasien sudah diberikan analgesia sistemik atau bahkan
anesthesia. Penonjolan dalam kavum Douglasi member kesan
perdarahan intraperitoneum yang ekstensif.

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada tes laboratorium yang diagnostic untuk kista ovarium. Cancer
Antigen (CA 125) adalah protein yang dihasilkan oleh membrane sel
ovarium normal dan karsinoma ovarium. Level serum kurang dari 35 U/ml
adalah kadar CA 125, ditemukan meningkat pada 85% pasien dengan
karsinoma epitel ovarium. Terkadang CA 125 ditemukan meningkat pada
kasus jinak dan pada 6% pasien sehat.
2. Laparoskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuah tumor
berasal dari ovarium atau tidak, serta untuk menentukan sifat-sifat tumor
itu.
3. Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor, apakah
tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing, apakah tumor
kistik atau solid, dan dapat pula dibedakan antara cairan dalam rongga
perut yang bebas dan yang tidak.
USG adalah alat diagnostik yang utama untuk kista ovarium. USG sulit
membedakan kista ovarium dengan hidrosalpings, paraovarian dan kista
tuba. USG transvaginal dapat memberikan pemeriksaan morfologi yang
jelas dari struktur pelvis dan tidak memerlukan kandungan kemih yang
penuh.

19
4. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks.
Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat adanya gigi
dalam tumor. Foto abdomen tegak dan dekubitus lateral dapat
menunjukkan adanya cairan bebas intraperitoneum.
5. Parasintesis
Pungsi ascites berguna untuk menentukan sebab ascites. Perlu
diperhatikan bahwa tindakan tersebut dapat mencemarkan kavum
peritonei dengan isi kista bila dinding kista tertusuk.
6. Tes kehamilan
HCG negatif kecuali bila terjadi kehamilan.
7. CT scan
Untuk mengidentifikasi kista ovarium dan massa pelvic. CT scan kurang
baik bila dibandingkan dengan MRI, CT scan dapat dipakai untuk
mengidentifikasi organ intraabdomen dan retroperitoneum dan dalam
kasus keganasan ovarium.
8. MRI
MRI memberikan gambaran jaringan lunak lebih baik dari CT scan, dapat
memberikan gambaran massa ginekologik yang lebih baik. MRI ini
biasanya tidak diperlukan.

d. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar :
1. Anamnesis
o Timbul benjolan di perut dalam waktu yang lama
o Keluhan rasa pegal atau berat dalam perut
o Kadang disertai gangguan BAK dan BAB, edema tungkai, tidak nafsu
makan dan sesak
o Kadang disertai gangguan haid bila tumor mengeluarkan hormone
o Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir, pecah
2. Pemeriksaan fisik
o Ditemukan tumor di rongga perut bagian depan dengan ukuran > 5
cm.
o Pada pemeriksaan dalam, letak tumor di parametrium kiri atau
kanan, atau mengisi kavum Douglasi

20
o Konsistensi kistik, mobile, permukaan tumor umumnya rata.
3. Pemeriksaan penunjang
o Pilihan utama menggunakan USG dan dapat disertai pemeriksaan
penunjang lain yang telah dibahas pada bagian pemeriksaan
penunjang.

Diagnosis tumor ovarium dalam kehamilan


Pada kehamilan muda, diagnosis adalah lebih mudah bila pembesaran
kista teraba terpisah dari uterus. Apabila suatu tumor ovarium tidak memenuhi
ruang panggul, maka diagnosis dengan pemeriksaan fisis sulit ditegakkan karena
pembesaran abdomen terutama karena kehamilan lanjut. Pada trimester kedua,
kista yang besar menyulitkan pemeriksaan, sehingga pasien diperiksa dalam
posisi Tredelenburg yaitu posisi kepala lebih rendah daripada kaki, yang akan
memisahkan kedua massa tersebut (Hingorani’s sign). Pemeriksaan penunjang
seperti USG dapat membantu membedakan secara akurat antara pembesaran
uterus dan masa kistik ekstrauterin.

4.4 Tatalaksana
a. Observasi
Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor (dipantau)
selama 1-2 bulan, karena kista fungsional akan menghilang dengan sendirinya
setelah satu atau dua siklus haid. Tindakan ini diambil jika tidak curiga ganas
(kanker) (Nugroho, 2010: 105).

b. Terapi bedah atau operasi


Bila tumor ovarium disertai gejala akut misalnya torsi, maka tindakan
operasi harus dilakukan pada waktu itu juga, bila tidak ada gejala akut, tindakan
operasi harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan seksama.
Kista berukuran besar dan menetap setelah berbulan-bulan biasanya
memerlukan operasi pengangkatan. Selain itu, wanita menopause yang memiliki
kista ovarium juga disarankan operasi pengangkatan untuk meminimalisir resiko
terjadinya kanker ovarium. Wanita usia 50-70 tahun memiliki resiko cukup besar
terkena kenker jenis ini. Bila hanya kistanya yang diangkat, maka operasi ini
disebut ovarian cystectomy. Bila pembedahan mengangkat seluruh ovarium
termasuk tuba fallopi, maka disebut salpingo-oophorectomy.

21
Faktor-faktor yang menentukan tipe pembedahan, antara lain tergantung
pada usia pasien, keinginan pasien untuk memiliki anak, kondisi ovarium dan
jenis kista.
Kista ovarium yang menyebabkan posisi batang ovarium terlilit (twisted)
dan menghentikan pasokan darah ke ovarium, memerlukan tindakan darurat
pembedahan (emergency surgery) untuk mengembalikan posisi ovarium.
Prinsip pengobatan kista dengan pembedahan (operasi) menurut Yatim,
(2005: 23) yaitu:
1) Apabila kistanya kecil (misalnya, sebesar permen) dan pada pemeriksaan
sonogram tidak terlihat tanda-tanda proses keganasan, biasanya dokter
melakukan operasi dengan laparoskopi. Dengan cara ini, alat laparoskopi
dimasukkan ke dalam rongga panggul dengan melakukan sayatan kecil
pada dinding perut, yaitu sayatan searah dengan garis rambut kemaluan.
2) Apabila kistanya besar, biasanya pengangkatan kista dilakukan dengan
laparatomi. Teknik ini dilakukan dengan pembiusan total. Dengan cara
laparotomi, kista bisa diperiksa apakah sudah mengalami proses
keganasan (kanker) atau tidak. Bila sudah dalam proses keganasan,
operasi sekalian mengangkat ovarium dan saluran tuba, jaringan lemak
sekitar serta kelenjar limfe.

4.4.1 Perawatan Post Operasi


Menurut Johnson (2008) perawatan post operasi yang perlu dilakukan
antara lain:
a. Perawatan luka insisi/post operasi
Beberapa prinsip yang perlu diimplementasikan antara lain:
1) Balutan dari kamar operasi dapat dibuka pada hari pertama pasca operasi.
2) Luka harus dikaji setelah operasi sampai hari pasca operasi sampai klien
diperbolehkan pulang.
3) Luka mengeluarkan cairan atau tembus, pembalut harus segera diganti.
4) Pembalutan dilakukan dengan teknik aseptik.

b. Pemberian cairan
Pada 24 jam pertama pasien harus puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung elektrolit yang

22
diperlukan agar tidak terjadi hipotermia, dehidrasi, dan komplikasi pada organ
lainnya.
Cairan yang dibutuhkan biasanya dekstrose 5-10%, garam fisiologis, dan
ranger laktat (RL) secara bergantian. Jumlah tetesan tergantung pada keadaan
dan kebutuhan, biasanya kira-kira 20 tetes per menit. Bila kadar hemoglobin
darah rendah, berikan transfusi darah atau pocked-cell sesuai dengan
kebutuhan.

c. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah klien flatus, lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan per oral, sebenarnya pemberian
sedikit minuman sudah boleh diberikan 6-10 jam pasca operasi berupa air putih
atau air teh yang jumlahnya dapat dinaikkan pada hari pertama dan kedua pasca
operasi.
Setelah infuse dihentikan, berikan makanan bubur saring, minuman, buah
dan susu. Selanjutnya secara bertahap diperbolehkan makan bubur dan akhirnya
makanan biasa.

d. Nyeri
Dalam 24 jam pertama, rasa nyeri masih dirasakan di daerah operasi. Untuk
mengurangi rasa nyeri dapat diberikan obat-obatan anti sakit dan penenang
seperti suntikan intramuskuler (IM) pethidin dengan dosis 100-150 mg atau
morpin sebanyak 10-15 mg atau secara perinfus atau obat-obatan lainnya.

e. Mobilisasi
Mobilisasi segera sangat berguna untuk membantu jalannya
penyembuhan klien. Miring ke kanan dan ke kiri sudah dapat dimulai 6-10 jam
pertama pasca operasi setelah klien sadar. Latihan pernafasan dapat dilakukan
sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar. Pada hari kedua pasien
dapat latihan duduk selama 5 menit dan tarik nafas dalam-dalam. Kemudian
posisi tidur diubah menjadi setengah duduk atau semi fowler.
Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari klien dianjurkan belajar
duduk sehari, belajar berjalan dan kemudian berjalan sendiri pada hari ketiga
sampai hari kelima pasca operasi.

23
f. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak nyaman
pada klien. Karena itu dianjurkan pemasangan kateter tetap (balon kateter) yang
terpasang 24-48 jam atau lebih lama tergantung jenis operasi. Dengan cara ini
urine dapat ditampung dan diukur dalam kantong plastik secara periodik. Bila
tidak dipasang kateter tetap dianjurkan untuk melakukan pemasangan kateter
rutin kira-kira 12 jam pasca operasi, kecuali bila klien dapat berkemih sendiri.

g. Pemberian Obat-obatan
1) Antibiotik, kemoterapi dan anti inflamasi
2) Obat-obatan pencegah perut kembung
3) Obat-obatan lainnya

h. Perawatan Rutin
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan dan pengukuran adalah:
1) Tanda-tanda vital, meliputi: tekanan darah (TD), nadi, pernafasan, dan
suhu.
2) Jumlah cairan yang masuk dan yang keluar.
3) Pemeriksaan lainnya menurut jenis operasi dan kasus.

4.5 Prognosis
Prognosis dari kista jinak sangat baik. Kista jinak tersebut dapat tumbuh
di jaringan sisa ovarium atau di ovarium kontralateral. Kematian disebabkan
karena karsinoma ovari ganas berhubungan dengan stadium saat terdiagnosis
pertama kali dan pasien dengan keganasan ini sering ditemukan sudah dalam
stadium akhir (Purcell, 2003).
Tumor sel granuloma memiliki angka bertahan hidup 82% sedangakan
karsinoma sel skuamosa yang berasal dari kista dermoid berkaitan dengan
prognosis yang buruk.Tumor yang lebih tidak agresif dengan potensi keganasan
yang rendah mempunyai sifat yang lebih jinak tetapi tetap berhubungan dengan
angka kematian yang tinggi. Secara keseluruhan angka bertahan hidup selama 5
tahun adalah 86.2%. (Helm, 2015).

24
BAB 5
KESIMPULAN

Kista (cystic) ovarium merupakan suatu kantong yang berisi cairan atau
jaringan lain yang berkembang pada permukaan atau pada ovarium itu sendiri.
Pada wanita, bagian tubuh yang seing terjadi kista adalah ovarium.
Penyebabnya dikaitkan dengan hormone FSH dan LH serta beberapa teori yang
mendukung. Klasifikasi dari kista ada yang bersifat neoplastik dan nonneoplastik
bila dilihat dari tingkat keganasannya. Pada tumor yang bersifat nonneoplastik,
kista yang ada seringkali merupakan kista fungsional dan akan menghilang
dengan alami maupun dengan terapi minimal. Sedangkan tumor yang bersifat
neoplastik, beberapa kista ada yang cenderung menjadi keganasan sehingga
penegakan diagnosis dini sangat penting untuk penatalaksanaan awal
keganasan. Banyak penderita kista ovarium belum mengalami gejala yang berarti
sebelum kista mendesak ataupun terpuntir pada tangkainya. USG merupakan
pemeriksaan pilihan noninvasive untuk mendeteksi adanya kista ovarium.
Prognosis kista jinak sangat baik.

25
DAFTAR PUSTAKA

ACOG (The American College of Obstetricians and Gynecologists). 2015.


Ovarian Cysts. http://www.acog.org/-/media/For-
Patients/faq075.pdf?dmc=1&ts=20151127T0800332602. Diakses tanggal 27
November 2015 jam 20.00 WIB

Benson, R & Pernoll, M. 2008. Buku Saku Obstetri & Ginekologi. Jakarta:
Penerbit EGC

Corvin, E.J .2008. Penyakit Kandungan. Fitramaya, Yogyakarta.

Eroschenko, VP. 2000. Atlas Histologi Di Fiore dengan Korelasi Fungsional. Jan
Tambayong (penerjemah). 2003. EGC, Jakarta, Indonesia.

Guyton, Arthur C. dan Hall, John E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
11. EGC, Jakarta, Indonesia.

Hanifa, W. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Helm, C. W. 2013. Ovarian Cysts. Medscape.


http://emedicine.medscape.com/article/255865-overview#a3 . Diakses tanggal
27 November 2015 jam 19.20 WIB.

NHS. 2012. Ovarian Cysts. Central Manchester University Hospitals.


https://www.cmft.nhs.uk/media/450052/12%20103%20ovarian%20cysts.pdf.
Diakses tanggal 27 November 2015 jam 19.30 WIB.

Prawirohardjo,S. 2011. Ilmu Kandungan. Ed.3. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Purcell K, Wheeler JE. 2003. Benign disorders of the ovaries & oviducts. Dalam:
Current Obstetric & Gynaecologic diagnosis & treatment Ed 9. Editor:
Decherney AH, Nathan L. New York: Lange Medical Books. Hal 708-15.

26
Sastrawinata, Sulaiman. dkk. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri
Patologi Edisi2. Jakarta: EGC

Sinclair, Constance, 2009. Kondisi Ginekologis dan Pertimbangan Kehamilan


serta Kontrasepsi. Dalam : Buku Saku Kebidanan. Jakarta : EGC, 592-597.

Stoppler, Melissa Conrad. 2012. Ovarian Cysts, (Online), (Diakses dari


http://www.emedicinehealth.com/ovarian_cysts/page2_em.htm#types_of_ovar
ian_cysts pada 29 November 2015).

Stoppler, Melissa Conrad. 2014. Ovarian Cysts, (Online), (Diakses dari


http://www.emedicinehealth.com/ovarian_cysts/page2_em.htm#types_of_ovar
ian_cysts pada 29 November 2015).

Syaifuddin, Bari. 2008. Buku Panduan Praktis Pelayanan


Kontrasepsi.Jakarta.YBP-SP.

Tambayong. 2002.Anatomi Fisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

Wibowo, DS dan Paryana, W. 2007. Anatomi Tubuh Manusia. Elsevier,


Singapore.

Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan, Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. 2009. Tumor Jinak pada Alat-Alat


Genital. Dalam: Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Hal: 13-14, 74, 346 – 361

27

Anda mungkin juga menyukai