NIM : D1091161040
Kemacetan di ibukota DKI Jakarta tidak dapat dihindari, terutama pada titik-titik
persimpangan baik di jalan-jalan protokol hingga di jalan lingkungan. Semakin hari,
kemacetan di Jakarta semakin parah. Menurut sebuah penelitian, kemacetan tersebut
membuat masyarakat Jakarta mengalami kerugian hingga Rp 48 triliun per tahun. Puncak
kemacetan diperkirakan terjadi pada jam sibuk di pagi hari (sekitar pukul 6.30-9.00 WIB) dan
sore hari (sekitar pukul 16.30-19.30 WIB). Kemacetan ini mengakibatkan stres yang tinggi
pada pengguna jalan, meningkatnya polusi udara kota, hingga terganggunya kegiatan bisnis.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta untuk
mengatasi masalah ini. Mulai dari diberlakukannya program three in one, pembangunan jalan
layang. Namun, hasil yang diharapkan tidak dapat terlaksana. Faktanya, Jakarta tetap menjadi
kota dengan transportasi yang buruk. Sampai pada tingkat dunia, Jakarta menjadi kota paling
padat dan macet, setara dengan kepadatan Kota Tokyo dan Bangkok. Hanya bedanya Kota
Tokyo dan Bangkok mempunyai sistem transportasi yang baik sehingga padatnya kendaraan
tidak menjadikan masalah kemacetan.
Sarana transportasi umum yang dibuat oleh pemerintah adalah penyediaan Bus Trans
Jakarta atau biasa disebut dengan Busway. Bus ini secara fungsinya sama dengan angkutan
umum lainnya. Hanya saja, dengan kebijakan pemerintah Busway ini mendapatkan
‘perlakuan’ khusus yaitu berupa jalur khusus yang tidak boleh dilewati oleh kendaraan lain.
Tujuannya adalah untuk mempersingkat waktu tempuh karena kemacetan yang setiap waktu
melanda Jakarta.
Untuk mengatasi permasalahan mengenai kebijakan ini, maka akan dilakukan beberapa
tahap yaitu analisis formulasi kebijakan transportasi dijakarta,yang terdiri dari aktor-aktor
kebijakan, proses perumusan, nilai-nilai yang berpengaruh dalam pembuatan keputusan dan
model perumusan kebijakan.
Aktor-aktor kebijakan yang terlibat dalam sebuah kebijakan sangatlah berpengaruh dalam
proses perumusan kebijakan publik. Aktor-aktor disini tidak hanya sebagai pembuat
kebijakan agar dapat disahkan secara legal saja, namun juga pihak-pihak yang berpengaruh
ketika perencanaannya, seperti:
Lalu proses perumusan ada empat tahap dalam perumusan kebijakan publik yaitu:
perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan
masalah, dan tahap penetapan kebijakan. Kebijakan ERP ini merupakan salah satu kebijakan
publik yang juga mengalami empat tahap tersebut. Agar lebih jelas, maka berikut akan
dijelaskan mengenai empat tahap tersebut dalam proses perumusannya:
Berawal dari masalah publik yang terjadi di Jakarta, yaitu kemacetan. Hampir setiap
hari ibukota Indonesia ini mengalami kemacetan yang parah. Masalah seperti kemacetan
ini merupakan masalah publik karena mengakibatkan kerugian bagi orang banyak dan
harus segera diselesaikan. Kemacetan di Jakarta diakibatkan oleh padatnya jumlah
kendaraan yang melintas tanpa diimbangi ruas jalan yang cukup, sehingga laju kendaraan
akan menjadi lambat. Lambatnya laju kendaraan inilah yang menyebabkan kemacetan.
Jadi ketika keadaan seperti ini masyarakat membutuhkan sistem transportasi yang baik di
Jakarta. Jika pemerintah ingin menambah panjang jalan untuk menampung jumlah
kendaraan. Sehingga dalam perumusan masalahnya pemerintah ingin membuat suatu cara
agar kemacetan di Jakarta dapat dikurangi secara signifikan. Cara ini merupakan suatu hal
yang belum pernah diterapkan sebelumnya dan juga harus bisa mengakomodir kebutuhan
masyarakat akan kenyamanan dan keamanan saat bepergian.
Adapun alternatif yang muncul dalam masalah ini adalah pembangunan sistem angkutan
monorel, transportyasi busway, setelah melalui penilitian maka dipilih transportasi
busway yang tidak mengeluarkan biaya yang terlalu besar.
Penetapan kebjakan ini harus disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta untuk dilegalkan
sebagai kebijakan melalui Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
mengenai Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Trans Jakarta-
Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Kemudian nilai-nilai yang berpengaruh dalam pembuatan keputusan ada lima nilai yang
dapat membantu dalam mengarahkan perilaku para pembuat keputusan, yaitu:
Nilai politik : Dalam sebuah proses pembuatan kebijakan tentu terdapat maksud-maksud
politis yang akan memberikan keuntungan bagi para pembuatnya yaitu pemerintah
Jakarta sendiri.
Nilai-nilai organisasi : Kebijakan Busway dikeluarkan dengan pertimbangan bisa
memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat.
Nilai-nilai pribadi : Kebijakan Busway ini dilaksanakan dengan kerjasama antara
pemerintah dan pihak swasta sebagai penyedia layanan dan pengelolanya
Nilai-nilai kebijakan : Kebijakan Busway ini juga dipengaruhi dengan pertimbangan
moral bahwa dengan adanya kebijakan ini akan bisa mengakomodir kepentingan
masyarakat akan sistem transportasi yang baik
Nilai-nilai ideologi : Dalam kebijakan ini tidak begitu muncul nilai-nilai ideologi yang
keluar. Kemacetan di Jakarta merupakan masalah yang perlu penanganan yang bersifat
teknis.
Dari analisis kebijakan diatas maka saya dapat menyimpulkan bahwa studi kasus ini
menggunakan model perumusah kebijakan yang menggunakan pendekatan rational komprehensif.
Berikut beberapa alasannya:
Kemacetan merupakan suatu masalah yang dianggap penting dan bermakna dibandingkan
dengan masalah lainnya.
Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki. Para pembuat kebijakan
Busway telah menyelidiki berbagai alternatif yang akan dikemukakan dalam pembahasan.
Pembuat keputusan memiliki alternatif beserta konsekuensinya yang memaksimalkan
pencapaian tujuan, nilai atau sasaran-sasaran yang hendak dicapai.