Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pernyataan Masalah


Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses perpindahan panas dan
perpindahan massa yang terjadi secara bersamaan (simultan). Pertama panas harus
ditransfer dari medium pamanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan air,
uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium
sekitarnya. Proses ini menyangkut aliran fluida dimana harus di transfer melalui
struktur bahan selama proses pengeringan berlangsung. Jadi panas harus disediakan
untuk menguapkan air dan air harus terdifusi melalui berbagai macam tahanan agar
dapat lepas dari bahan dan berbentuk uap air yang bebas. Lama proses pengeringan
tergantung pada bahan yang ingin dikeringkan dan cara pemanasan yang digunakan.
Dalam operasi pengeringan pada sistem udara-air ada beberapa definisi yang
lazim digunakan. Perhitungan teknis biasanya didasarkan pada satuan massa gas bebas
uap. Uap yang dimaksud adalah bentuk gas dari komponen yang juga terdapat dalam
fasa cair. Sedangkan gas adalah komponen yang hanya terdapat dalam bentuk gas saja.
Pengeringan biasanya merupakan langkah terakhir dari sederetan operasi. Hasil
pengeringan biasanya merupakan langkah terakhir dari sederetan operasi, dan siap
dikemas.

1.2 Tujuan Percobaan


1. Mempelajari mekanisme pengeringan dengan membuat kurva karakteristik
pengeringan pada kondisi operasi pengeringan tertentu.
2. Menentukan periode-periode laju pengeringan.
3. Menentukan kadar air kesetimbangan.
4. Menentukan titik kritis.
5. Menentukan laju pengeringan pada periode laju pengeringan konstan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kacang Tanah


Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman legum yang
sudah dikenal dan dibudidayakan di Indonesia. Kacang tanah mempunyai nilai
ekonomi tinggi karena kandungan gizinya terutama protein dan lemak yang tinggi.
Akan tetapi peningkatan produksi kacang tanah saat ini tidak diikuti oleh kenaikan
kualitas (mutu) dari kacang tanah. Penurunan kualitas kacang tanah ini dikarenakan
cara budidaya dan penanganan pasca panen yang kurang tepat, sehingga kacang tanah
lebih mudah terkontaminasi penyakit dan serangan mikroorganisme (Marsyaningtyas,
2011).
Kerusakan kacang tanah akibat serangan mikroorganisme ditandai dengan
adanya perubahan kenampakan pada biji, perubahan cita rasa, perubahan warna,
penurunan nutrisi, dan dapat menyebabkan penyakit jika tetap dikonsumsi. Kacang
tanah merupakan salah satu substrat yang sangat bagus bagi tumbuhnya berbagai jenis
jamur. Jamur yang biasa tumbuh adalah dari jenis Aspergillus (Aspergillus flavus dan
Aspergillus parasiticus), Penicillium dan Fusarium (Marsaningtyas, 2011).

2.2 Pengeringan
Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam jumlah yang
relative kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Hasil dari proses
pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan kadar air
keseimbangan udara (atmosfir) normal atau setara dengan nilai aktivitas air yang aman
dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis dan kimiawi. Pengertian proses pengeringan
berbeda dengan proses penguapan (evaporasi). Proses penguapan atau evaporasi adalah
proses pemisahan uap air dalam bentuk murni dari suatu campuran berupa larutan
(cairan) yang mengandung air dalam jumlah yang relatif banyak. Meskipun demikian
ada kerugian yang ditimbulkan selama pengeringan yaitu terjadinya perubahan sifat

2
fisik dan kimiawi bahan serta terjadinya penurunan mutu bahan (Hasibuan, 2010).
Tujuan dilakukannya proses pengeringan adalah untuk:
1. Memudahkan penanganan selanjutnya
2. Mengurangi biaya transportasi dan pengemasan
3. Mengawetkan bahan
4. Meningkatkan nilai guna suatu bahan atau agar dapat memberikan hasil yang baik
5. Mengurangi biaya korosi
Hal ini penting untuk menghindari proses pengeringan lampau dan pengeringan
yang terlalu lama, karena proses pengeringan ini akan meningkatkan biaya operasi.
Metodologi dan teknik pengeringan dapat dikatakan baik apabila phenomena
perpindahan massa dan energi pada proses pengeringan dapat dipahami (Hasibuan,
2010).
Menurut Hasibuan (2010), pengeringan secara mekanis dapat dilakukan dengan
2 metode yaitu:
1. Continuous drying
Suatu pengeringan bahan dimana pemasukan dan pengeluaran bahan dilakukan
terus menerus.
2. Batch drying
Suatu pengeringan dimana bahan masuk kea lat pengering sampai pengeluaran
hasil kering, kemudian baru dimasukkan bahan yang berikutnya.
Menurut Hasibuan (2010), sistem proses pengeringan dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Direct Drying
Pada sistem ini bahan dikeringkan dengan cara mengalirkan udara pengeringan
melewati bahan sehingga panas yang diserap diperoleh dari sentuhan langsung antara
bahan udara pengering, biasanya disebut dengan pengeringan konveksi.
2. Indirect Drying
Pada sistem ini panas pengeringan didapat dari dinding pemanas yang
bersentuhan dengan bahan yang dikeringkan secara konduksi.

3
2.3 Prinsip Dasar Pengeringan
Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses perpindahan massa dan
perpindahan panas yang terjadi secara bersamaan (simultan). Proses perpindahan panas
yang terjadi adalah dengan cara konveksi serta perpindahan panas secara konduksi dan
radiasi tetap terjadi dalam jumlah yang relatif kecil. Pertama-tama panas harus
ditransfer dari medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan air,
uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium
sekitarnya. Proses ini akan menyangkut aliran fluida dengan cairan harus disediakan
untuk menguapkan air dan air harus mendifusi melalui berbagai macam tahanan agar
dapat lepas dari bahan dan berbentuk uap air yang bebas (Irawan, 2011).
Menurut Irawan (2011), lama proses pengeringan tergantung pada bahan yang
dikeringkan dan cara pemanasan yang digunakan, sedangkan waktu proses
pengeringannya ditetapkan dalam dua periode, yaitu:
1. Periode pengeringan dengan laju tetap (Constant rate period)
Pada periode ini bahan-bahan yang dikeringkan memiliki kecepatan pengeringan
yang konstan. Proses penguapan pada periode ini terjadi pada air tak terikat, dimana
suhu pada bahan sama dengan suhu bola basah udara pengering. Periode pengeringan
dengan laju tetap dapat dianggap sebagai keadaan steady.
2. Periode pengeringan dengan laju menurun (Falling rate period)
Periode kedua proses pengeringan yang terjadi adalah turunnya laju pengeringan
batu bara (R=0). Pada periode ini terjadi peristiwa penguapan kandungan yang ada di
dalam batu bara (internal moisture).
Prinsip pengeringan biasanya akan melibatkan dua kejadian yaitu panas harus
diberikan pada bahan dan air harus dikeluarkan dari bahan. Dua fenomena ini
menyangkut pindah panas ke dalam dan pindah massa ke luar. Yang dimaksudkan
dengan pindah panas adalah peristiwa perpindahan energi dari udara ke dalam bahan
yang dapat menyebabkan berpindahnya sejumlah massa (kandungan air) karena gaya
dorong untuk keluar dari bahan (pindah massa). Dalam pengeringan umumnya
diinginkan kecepatan pengeringan yang maksimum, oleh karena itu semua usaha
dibuat untuk mempercepat pindah panas dan pindah massa (Irawan, 2011).

4
2.4 Klasifikasi Peralatan Pengeringan Zat Padat dan Pasta
Pengeringan zat padat dan pasta terdiri dari pengeringan talam (tray dryer) dan
pengeringan konveyor-tabir (screen-conveyor dryer) untuk bahan-bahan yang tidak
boleh diaduk, dan pengeringan menara (tower dryer), pengeringan putar (ratary dryer),
pengeringan konveyor-sekrup (screw-conveyor dryer), pengeringan hamparan
fluidisasi (fluid-bed dryer) dan pengeringan kilat (flask dryer), dimana pengadukan
boleh dilakukan (Caca, 2010).
1. Tray Dryer
Pengeringan ini terdiri dari sebuah ruang dari logam lembaran yang berisi dua
buah truk yang mendukung rak-rak. Setiap rak mempunyai sejumlah piringan sebagai
penapis tempat bahan yang akan dikeringkan diletakkan. Udara panas disirkulasikan
pada kecepatan 7 sampai 15 ft/det diantara piringan dengan bantuan kipas dan motor,
mengalir melalui pemanas, kemudian sekat-sekat membagi udara tersebut secara
seragam di atas susunan piringan tadi. Sebagian udara basah diventilasikan keluar
melalui talang pembuang; sedang udara segar masuk melalui pemasuk. Rak-rak itu
disusun di atas roda truk, sehingga pada akhir siklus pengeringan truk itu dapat ditarik
keluar dari ruang pengering dan dibawa ke bagian akhir untuk off loading bahan yang
selesai dikeringkan (Caca, 2010).
Tray dryer sangat bermanfaat bila laju produksi kecil. Alat ini dapat di gunakan
untuk pengeringan segala macam bahan tetapi karena memerlukan tenaga kerja manual
untuk pemuatan dan pengosongan, biaya operasinya agak mahal alat ini biasanya
diterapkaan untuk pengeringan bahan-bahan bernilai tinggi seperti zat warna dan bahan
farmasi (Caca, 2010).

5
Gambar 2.1 Sketsa Tray Dryer (Caca, 2010)

2. Screen Conveyor Dryer


Lapisan bahan yang akan dikeringkan setebal 1 sampai 6-in diangkut secara
perlahan-lahan di atas lapisan screen melalui ruang lurus seperti pengering. Ruang
tersebut terdiri dari sederetan bagian terpisah yang masing-masing mempunyai kipas
dan pemanas udaranya sendiri. Pada ujung masuk ke pengering itu, udara biasanya
mengalir ke atas melalui lapisan screen dan zat padat. Di dekat ujung keluar dimana
bahan itu sudah kering dan umumnya menjadi berdebu, udara dikeluarkan ke bawah
melalui screen tersebut. Temperatur udara dan kelembaban mungkin tidak sama pada
masing- masing bahan, sehingga terdapat kondisi pengeringan yang optimum pada
setiap titik. (Caca, 2010).

Gambar 2.2 Screen Conveyor Dryer (Caca, 2010)

6
3. Tower Dryer
Tower dryer terdiri dari sederetan piringan bundar yang dipasang bersusun ke
atas pada suatu poros tengah yang berputar. Umpan padat dijatuhkan pada piringan
teratas dan dikenakan pada arus udara panas atau gas yang mengalir melintasi setiap
piringan. Zat padat itu lalu didorong keluar dan dijatuhkan kedalam piringan berikut
dibawahnya. Proses tersebut dialami zat padat yang dikeringkan sampai keluar dari
piringan terbawah sebagai hasil yang kering pada dasar menara. Aliran zat padat dan
gas pengering tersebut dapat searah dan berlawanan arah (Caca, 2010).
Turbo Dryer adalah salah satu contoh tower dryer dengan resirkulasi dalam pada
gas pemanas. Kipas-kipas turbin digunakan untuk mensirkulasikan udara atau gas kea
rah luar di antara beberapa piringan di atas elemen pemanas, dan ke arah dalam di
antara piringan-piringan lain. Turbo dryer berfungsi sebagian dengan pengeringan
sirkulasi silang seperti pada tray dryer dan sebagian dengan mengontakkan partikel-
partikel melalui gas panas pada waktu partikel itu jatuh dari piringan yang satu ke
piringan yang berikutnya (Caca, 2010).

Gambar 2.3 Turbo Dryer I (Caca, 2010)

4. Rotary Dryer
Rotary dryer terdiri dari sebuah selongsong berbentuk silinder yang berputar
horisontal atau agak miring ke bawah ke arah luar. Umpan basah masuk dari suatu
ujung silinder, sedangkan bahan kering dari ujung yang satu lagi. Pada waktu

7
selongsong berputar, sayap-sayap yang terdapat di dalam mengangkat zat padat
tersebut dan mendorong padatan jatuh ke bawah melalui bagian dalam selongsong.
Rotary dryer ada yang dipanaskan dengan kontak langsung gas dengan zat padat,
dengan gas panas yang mengalir melalui mantel luar, atau dengan uap yang kondensasi
di dalam seperangkat tabung longitudinal yang dipasangkan pada permukaan dalam
selongsong. Jenis yang dirancang sedemikian rupa dinamakan rotary dryer dengan
tabung uap. Dalam rotary dryer langsung tak langsung (diretc-indirect rotary dryer),
gas panas terlebih dahulu dilewatkan melalui mantel dan masuk ke dalam selongsong
dimana gas tersebut berada pada kontak dengan zat padat yang dikeringkan (Caca,
2010).

Gambar 2.4 Rotary Dryer arus Counter Current A (Caca, 2010)

5. Screw Conveyor Dryer


Screw conveyor dryer adalah suatu pengering kontinu dengan sistem kontak tak
langsung. Pada pokoknya pengering ini terdiri dari sebuah screw conveyor horisontal
yang terletak di dalam suatu selongsong-bermantel berbentuk silinder. Zat padat yang
diumpankan di satu ujung diangkut perlahan-lahan melalui zona panas dan dikeluarkan
dari ujung yang satu ke ujung yang satu lagi (Caca, 2010)
Uap yang keluar disedot melalui pipa yang dipasang pada atap selongsong.
Selongsong umumnya memiliki diameter 3 sampai 24 in. (75-600 mm) dan panjangnya
sampai 20ft(6in). Bila diperlukan selongsongyang lebih panjang, digunakan beberapa
selongsong yang dipasang bersusun satu di atas yang lain. Sering pula unit paling
bawah dalam susunan itu merupakan pendingin dimana air atau bahan pendingin lain

8
yang dialirkan di dalam mantel itu menurunkan suhu suatu zat padat yang telah
dikeringkan tersebut sebelum keluar dari pengering (Caca, 2010).

Gambar 2.5 Screw Conveyor Dryer (Caca, 2010)

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Pengeringan


Proses pengeringan suatu material padatan dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain luas permukaan kontak antara padatan dengan fluida panas, perbedaan
temperatur antara padatan dengan fluida panas, kecepatan aliran fluida panas serta
tekanan udara. Berikut ini dijelaskan tentang faktor-faktor tersebut (Irawan, 2011).
1. Luas Permukaan
Air menguap melalui permukaan bahan, sedangkan air yang ada di bagian tengah
akan merembes ke bagian permukaan dan kemudian menguap. Untuk mempercepat
pengeringan umumnya bahan yang akan dikerigkan dipotong-potong atau dihaluskan
terlebih dahulu. Hal ini terjadi karena:
a. Pemotongan atau penghalusan tersebut akan memperluas permukaan bahan dan
permukaan yang luas dapat berhubungan dengan medium pemanasan sehingga
air mudah keluar.
b. Partikel-partikel kecil atau lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana panas
hatus bergerak sampai ke pusat bahan. Potongan kecil juga akan mengurangi
jarak melalui massa air dari pusat bahan yang harus keluar ke permukaan bahan
dan kemudian keluar dari bahan tersebut (Irawan, 2011).

9
2. Perbedaan Suhu dan Udara Sekitarnya
Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan, makin
cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan makin cepat pula penghilangan air dari
bahan. Air yang keluar dari bahan yang dikeringkan akan menjenuhkan udara sehingga
kemampuannya untuk menyingkirkan air berkurang. Jadi dengan semakin tinggi suhu
pengeringan maka proses pengeringan akan semakin cepat. Akan tetapi bila tidak
sesuai dengan bahan yang dikeringkan, akibatnya akan terjadi suatu peristiwa yang
disebut "Case Hardening", yaitu suatu keadaan dimana bagian luar bahan sudah kering
sedangkan bagian dalamnya masih basah (Irawan, 2011).
3. Kecepatan Aliran Udara
Udara yang bergerak dan mempunyai gerakan yang tinggi selain dapat
mengambil uap air juga akan menghilangkan uap air tersebut dari permukaan bahan,
sehingga akan mencegah terjadinya atmosfir jenuh yang akan memperlambat
penghilangan air. Apabila aliran udara disekitar tempat pengeringan berjalan dengan
baik, proses pengeringan akan semakin cepat, yaitu semakin mudah dan semakin cepat
uap air terbawa dan teruapkan (Irawan, 2011).
4. Tekanan Udara
Semakin kecil tekanan udara akan semakin besar kemampuan udara untuk
mengangkut air selama pengeringan, karena dengan semakin kecilnya tekanan berarti
kerapatan udara makin berkurang sehingga uap air dapat lebih banyak tetampung dan
disingkirkan dari bahan. Sebaliknya, jika tekanan udara semakin besar maka udara
disekitar pengeringan akan lembab, sehingga kemampuan menampung uap air terbatas
dan menghambat proses atau laju pengeringan (Irawan, 2011).

2.6 Kelembaban Udara


Kelembaban udara adalah tingkat kebasahan udara karena dalam udara air selalu
terkandung dalam bentuk uap air. Kandungan uap air dalam udara hangat lebih banyak
daripada kandungan uap air dalam udara dingin. Kalau udara banyak mengandung uap
air didinginkan maka suhunya turun dan udara tidak dapat menahan lagi uap air

10
sebanyak itu. Uap air berubah menjadi titik-titik air. Udara yan mengandung uap air
sebanyak yang dapat dikandungnya disebut udara jenuh (Salmin ,2001).
Kelembaban juga dapat didefinisikan sebagai konsentrasi uap air di udara. Angka
konsentasi ini dapat diekspresikan dalam kelembapan absolut, kelembapan spesifik
atau kelembapan relatif. Alat untuk mengukur kelembapan disebut higrometer. Sebuah
humidistat digunakan untuk mengatur tingkat kelembapan udara dalam sebuah
bangunan dengan sebuah pengawalembap (dehumidifier). Dapat dianalogikan dengan
sebuah termometer dan termostat untuk suhu udara. Perubahan tekanan sebagian uap
air di udara berhubungan dengan perubahan suhu. Konsentrasi air di udara pada tingkat
permukaan laut dapat mencapai 3% pada 30 °C (86 °F), dan tidak melebihi 0,5% pada
0 °C (32 °F) (Salmin, 2001).
Macam-macam kelembaban udara sebagai berikut:
1. Kelembaban relatif / Nisbi
Kelembaban relative/nisbi yaitu perbandingan jumlah uap air di udara dengan
yang terkandung di udara pada suhu yang sama, atau perbandingan kandungan
(tekanan) uap air aktual dengan keadaan jenuhnya (g/kg). Kelembaban relatif dari
suatu campuran udara-air didefinisikan sebagai rasio dari tekanan parsial uap air dalam
campuran terhadap tekanan uap jenuh air pada temperatur tersebut. Kelembaban relatif
menggunakan satuan persen dan ada beberapa cara menentukannya antar lain dengan
menggunakan kelembaban relatif campuran, tekanan parsial uap air dalam campuran,
dan tekanan uap jenuh air pada temperatur tersebut dalam campuran (Jamulya, 2001).
Kelembaban nisbi paling umum digunakan tetapi sering disalah mengerti, tidak
menunjukkan jumlah uap air yang sebenarnya di udara, tergantung suhu udara. Udara
yang panas memiliki kemampuan yang besar dalam menampung uap air dibandingkan
udara yang dingin. Pada udara dingin air akan cenderung berbentuk cair bukan uap
Massa udara lembab adalah total massa dari seluruh gas-gas atmosfer yang terkandung,
termasuk uap air. Jika massa uap air tidak diikutkan maka disebut sebagai massa udara
kering (dry air). Data klimatologi kelembaban nisbi (relatif)
atau relative humidity (disingkat RH) dan dinyatakan dalam% (persen). Kelembaban

11
diukur sebagai persen, relatif terhadap titik jenuh dimana udara tidak mampu lagi
menampung tambahan uap air (i.e. 100% kelembaban) (Jamulya, 2001).
Tingkat kelembaban bervariasi menurut suhu. Semakin hangat suhu udara,
semakin banyak uap air yan dapat ditampung. Semakin rendah suhu udara, semakin
sedikit jumlah uap air yang dapat ditampung. Jadi pada siang hari yang panas dapat
menjadi lebih lembab dibandingkan dengan hari yang dingin (Jamulya, 2001).
2. Kelembaban absolut/mutlak
Kelembaban absolut/mutlak yaitu banyaknya uap air dalam gram pada 1 m3, atau
kandungan uap air (dapat dinyatakan dengan massa uap air atau tekanannya) per satuan
volume (kg/m3) (Jamulya, 2001).
3. Kelembaban spesifik
Kelembapan spesifik adalah metode untuk mengukur jumlah uap air di udara
dengan rasio terhadap uap air di udara kering. Kelembapan spesifik diekspresikan
dalam rasio kilogram uap air, mw, per kilogram udara (Jamulya, 2001).

2.7 Kadar Air Kesetimbangan


Zat padat basah jika dikontakkan dengan udara yang mempunyai kelembaban dan
suhu tertentu dengan dalam waktu cukup lama, maka akan dicapai keadaan
kesetimbangan dimana kandungan air pada zat padat tidak berubah. Kandungan air
pada kondisi ini disebut kadar air kesetimbangan (Fiona, 2004).
Pada prinsipnya air dalam bahan padat berada dalam dua keadaan. Sejumlah air
berada dalam pori-pori padatan karena adanya tegangan permukaan yang disebut
unbounded water atau air bebas. Air ini mempunyai tekanan uap dan panas laten
penguapan sama dengan air murni. Sedang air yang berada dalam bahan padatan
mempunyai interaksi dengan bahan padat misalnya, air kristal atau yang ada di
permukaan zat padat misalnya air teradsorpsi disebut air terikat atau bounded water.
Air terikat ini mempunyai tekanan uap yang lebih kecil dari air murni (Fiona, 2004).

12
2.8 Kurva Kecepatan Pengeringan
Dari data percobaan pengeringan akan dapat dibuat kurva yang menyatakan
hubungan antara kadar air dan waktu pengeringan, seperti dapat dilihat dalam gambar
2.1. Dari data tersebut dapat diubah ke kecepatan pengeringan, N kg air/jam m2 sebagai
fungsi dari kandungan air (X) seperti gambar 2 dengan menentukan perubahan ∆X
dalam waktu ∆t (Tim Penyusun, 2013).
𝐿𝑠 Δ𝑋
𝑁= − ...................................................... (2.1)
𝐴 Δ𝑡

Keterangan:
𝐿𝑠 = berat padatan kering (kg)
A = luas padatan (m)
X = kadar air bahan (kg air/kg padatan kering)
t = waktu (menit)

C B

Kg air
A
Jam m2 D

X*
E X = Kg air / kg padatan kering

Gambar 2.6 Kurva Hubungan Kadar Air Padatan dengan Kecepatan Pengeringan
(Tim Penyusun, 2013)

Perhatikan Gambar 2.6 pada permulaan operasi, biasanya temperatur padatan


lebih rendah dibanding temperatur kesetimbangan, sehingga kecepatan pengeringan

13
akan naik dengan kenaikan temperatur bahan. Periode ini (AB) disebut periode
penyesuaian awal dan biasanya sangat pendek dibanding keseluruhan operasi (Tim
Penyusun, 2013).
Setelah temperatur kesetimbangan tercapai, maka periode kecepatan pengeringan
tetap dimulai (BC). Pada peride ini akan terjadi penguapan cairan dari permukaan
padatan, kcepatan penguapan di permukaan tersebut masih bisa oleh difusi maupun
efek kapiler air dari dalam padatan ke permukaan padatan. Dengan demikian
permukaan padatan akan tetap basah (Tim Penyusun, 2013).
Setelah mencapai kadar air kritis Xc, kecepatan difusi air dari dalam padatan tidak
bisa mengimbangi kecepatan penguapan di permukaan padatan. Dengan demikian akan
terjadi tempat-tempat kering (dry spot). Ini akan mengurangi kecepatan menurun yang
pertama (CD). Pada period DE kecepatan pengeringan ditentukan oleh kecepatan difusi
dari dalam padatan ke permukaan padatan. Ini akan terus berlangsung sampai tercapai
kadar air kesetimbangan X* (Tim Penyusun, 2013).

2.9 Psychrometer
Psychrometer (termometer bola basah dan termometer bola kering) digunakan
untuk mengukur kelembaban udara. Prinsip kerja yang digunakan Psychrometer adalah
didasarkan pada prinsip termodinamika, terutama tentang hubungan suhu dan tekanan
jenuh udara. Pembacaan alat ini yaitu berdasarkan suhu yang ditunjukkan oleh bola
basah dan bola kering, maka dapat diketahui selisih suhu antara bola kering terhadap
bola basah. Pembasah termometer bola basah harus dijaga agar jangan sampai kotor.
Gantilah kain pembasah bila kotor atau daya airnya telah berkurang. Dua minggu atau
sebulan sekali perlu diganti, tergantung cepatnya kotor (Tjasyono, 1999).
Pakailah air bebas ion atau aquades. Air banyak mengandung mineral akan
mengakibatkan terjadinya endapan garam pada termometer bola basah dan
mengganggu pengukuran. Waktu pembacaan terlebih dahulu bacalah termometer bola
kering kemudian termometer bola basah. Suhu udara yang ditunjukkan termometer
bola kering lebih mudah berubah daripada termometer bola basah. Semua alat

14
pengukur kelembapan udara ditaruh dalam sangkar cuaca terlindung dari radiasi surya
langsung atau radiasi bumi serta hujan (Tjasyono, 1999).
Nilai selisih ini kemudian menghasilkan presentase kelembaban nisbi dengan
bantuan tabel kelembaban atau mistar geser Relatif Humidity (RH). Jika semua syarat
penggunaan terpenuhi, maka Psychrometer mempunyai ketelitian yang tinggi sehingga
alat ini lebih sering digunakan dibandingkan dengan higrometer maupun higrograf.
Alat ini ditempatkan dalam sangkar meteorologi dalam kedudukan tegak. Salah satu
bola termometernya terbuka dan disebut termometer bola kering dan yang lainnya bola
termometer dibungkus dengan kain kasa. Ujung dari kain kain kasa ini dimasukkan ke
dalam bejana yang diisi dengan air suling atau aquades (Tjasyono, 1999).

2.10 Temperatur Bola Basah dan Pengukuran Kelembaban


Sifat-sifat yang dibahas dan yang terlihat pada grafik kelembaban (Gambar 2.7)
adalah besaran-besaran statik atau kesetimbangan. Di samping itu, yang terpenting
adalah laju perpindahan massa dan kalor antara gas dan zat cair yang tidak berada pada
kesetimbangan. Suatu besaran yang bergantung pada kedua laju ini adalah temperatur
bola basah.

Gambar 2.7 Grafik Kelembaban Sistem Udara-Air pada 1 atm (Mc. Cabe, 1985)

15
Temperatur bola basah adalah suatu temperatur peralihan dari keadaan tak
setimbang menjadi keadaan tunak yang dicapai bila suatu massa yang kecil dari zat cair
dicelupkan dalam keadaan adiabatik di dalam suatu arus gas yang kontinu. Massa zat
cair itu sedemikian kecil dilembabkan dengan fasa gas, sehingga perubahan sifat-sifat
gas kecil sekali dan dapat diabaikan sehingga pengeruh proses ini hanya terbatas pada
zat cair saja. Metoda pengukuran temperatur bola basah terlihat pada Gambar 2.8.
Sebuah termometer atau suatu piranti pengukur temperatur seperti termokopeldibalut
dengansumbu yang dijenuhkan dengan zat cair murni dan dicelupkan di dalam aliran
gas yangmempunyai temperatur tertentu T dan kelembaban ψ (Tjasyono, 1999).
Diasumsikan awalnya temperature zat cair tersebut kira-kira sama dengan gas.
Karena gas tidak jenuh, zat cair lalu menguapdan karena proses adiabatik, kalor laten
didapatkan dari pendinginan zat cair. Jika temperatur zat cair telah turun sampai di
bawah temperatur gas, kalor sensibel akanberpindah dari gas ke zat cair. Akhirnya akan
tercapai suatu keadaan kesetimbangan padatemperatur zat cair, dimana kalor yang
diperlukan untuk menguapkan zat cair danmemanaskan uap sampai ke temperatur gas
menjadi bersis sama dengan kalor sensible yang mengalir dari gas ke zat cair.
Temperatur ini adalah temperatur dalam keadaantunak, ditandai dengan TW, dan
disebut temperatur bola basah. Temperatur ini merupakan fungsi T’ dan ψ (Tjasyono,
1999).

Gambar 2.8 Prinsip Pengukuran Temperatur Bola Basah (Tjasyono, 1999)

16
Menurut Tjasyono (1999), untuk mengukur temperatur bola basah secara teliti,
ada 3 hal yang harus diperhatikan:
1. Sumbu harus basah seluruhnya dan tidak ada bagian sumbu yang kering yang
kontak dengan gas.
2. Kecepatan gas harus cukup besar sehingga laju alir kalor radiasi dari lingkungan
yang panas ke bola basah itu dapat diabaikan terhadap laju aliran kalor sensible
yang disebabkan oleh konduksi dan konveksi dari gas ke bola basah
3. Jika hasrus ditambahkan zat cair pengganti ke bola basah itu, zat cair yang
ditambahkan tersebut harus berada pada temperatur bola basah.

2.11 Mekanisme Pengeringan


Bila perpindahan kalor dan perpindahan massa terjadi bersama-sama, mekanisme
pengeringan bergantung pada sifat zat padat serta pada metoda yang digunakan untuk
mengontakkan zat padat dan gas. Ada 3 macam zat padat: kristal, zat padat berpori dan
zat padat tidak berpori. Partikel kristal tidak mengandung zat cair sampai ke dalam
partikelnya sehingga pengringan hanya berlangsung pada permukaan zat padat saja.
Zat padat berpori, seperti katalis, mengandung zat cair di dalam saluran-saluran di
dalam partikelnya (Departemen Teknik Kimia ITB, 2010).
Laju pengeringan zat padat yang mengandung zat cair sampai ke dalam
poriporinya juga bergantung pada cara zat cair itu bergerak serta jarak yang harus
ditempuh untuk sampai ke permukaan. Hal ini sangat penting terutama dalam
pengeringan cross flow zat padat. Pengeringan metoda cross flow biasanya sangat
lambat dan dilaksanakan dengan system batch (Departemen Teknik Kimia ITB, 2010).

2.12 Perpindahan Kalor di dalam Pengering


Pengeringan zat pdat basah menurut definisinya adalah suatu proses termal.
Walaupun prosesnya bertambah rumit karena adanya difusi di dalam zat padat
ataumelalui gas, pengeringan bahan dapat dilakukan dengan terus memanaskannya
sampai diatas titik didih zat cair, misalnya dengan mengontakkan zat padat tersebut
dengan uapyang sangat panas (superheated steam). Dalam sebagian besar proses

17
peneringanadiabtik, difusi selalu ada, tetapi biasanya laju pengerting itu dibatasi oleh
perpindahankalor, bukan perpindahan massa. Karena itu, sebagian besar pengering
dirancang hanyaatas dasar perpindahan kalor saja (Departemen Teknik Kimia ITB,
2010).

2.13 Koefisien Perpindahan Kalor


Dalam perhitungan pengering berlaku persamaan dasar perpindahan kalor seperti
persamaan:
qT = U x A x ΔT ................................................ (2.2)
Dimana:
U = Koefisien perpindahan kalor overall
A = Luas perpindahan kalor
ΔT = Beda temperatur rata-rata
Terkadang A dan ΔT diketahui dan kapasitas pengering dapat diperkirakan
darnilai U menurut perhitungan ataupun pengukuran, tetapi sering terdapat
suatuketidakpastian yang tidak dapat diabaikan karena luas nyata perpindahan kalor.
Fraksiperpindahan panas yang berada dalam kontak dengan zat padat di dalam
pengeringumpamanya sudah diperkirakan; luas total permukaan zat padat yang terkena
padapermukaan panas, atau gas panas pun sulit diperkirakan (Departemen Teknik
Kimia ITB, 2010).
Oleh karena itu, banyak pengering yang dirancang atas dasar
koefisienperpindahan kalor volumeterik Ua, dimana a adalah luas bidang peprindahan
kalor persatuan volume pengering. Persamaan yang menentukan adalah:
qT = Ua x V x ΔT ..................................................... (2.3)
Dimana:
Ua = Koefisien perpindahan kalor volumetrik
A = Volume pengering
ΔT = Beda temperatur rata-rata
Oleh karena pola suhu cukup kompleks, beda suhu rata-rata untuk
pengeringtersebut secara keseluruhan sulit didefinisikan. Karena itu koefisien

18
perpindahan kalorsulit ditaksir dan terbatas penggunaannya. Suatu persamaan umum
yang sangat berguna untuk perhitungan ini adalah perpindahan kalor dari gas ke
partikel bola tunggal atau bola tersisih seperti berikut:
ho𝐷𝑝 𝐷𝑝𝐺 0,5 𝐶𝑝𝜇𝑓 1/3
= 2 + 0,6 ∗ ( 𝜇𝑓 ) ( ) .................................. (2.4)
𝑘𝑓 𝑘𝑓

Terlihat bahwa untuk kebanyakan pengering tidak ada suatu korelasi umum yang
dapat digunakan, dan setiap koefisiennya harus ditentukan melalui eksperimen.
Koefisiem- koefisien empiric biasanya didasarkan atas definisi yang bersifat agak
sembarang mengenai luas permukaan perpindahan kalor dan perbedaan temperatur
rata-rata (Departemen Teknik Kimia ITB, 2010).

2.14 Perpindahan Massa di dalam Pengering


Dalam semua pengering dimana gas dialirkan di atas atau melalui zat padat,
perpindahan massa selalu terjadi dari permukaan zat padat ke dalam gas, dan terkadang
melalui saluran-saluran berpori yang terdapat di dalam zat padat. Dalam hal ini laju
pengeringan mungkin ditentukan oleh tahanan terhadap perpindahan massa, bukan
perpindahan kalor. Dipandang dari fasa gas, pengeringan ini hampir sama dengan
humidifikasi adiabatic. Dari fasa padat, proses ini merupakan evaporasi bila zat padat
sagat basah dan seperti desorpsi dari adsorber bila zat padat mendekati kering.
Laju rata-rata perpindahan massa mv, dapat dengan mudah dihitung dari
hubungan:
mv= ms x (Xa –Xb) .............................................. (2.5)
jika gas masuk pada kelembaban ψa, kelembaban keluar ψb, dihitung dari:
𝑚𝑠 𝑥 (𝑋𝑎 − 𝑋𝑏 )
ψb= ψa+ ............................................ (2.6)
𝑚𝑔
𝑚
ψb= ψa+ 𝑚 𝑣 ................................................. (2.7)
𝑔

Untuk menggunakan persamaan ini diperlukan pengetahuan mengenai


mekanisme gerakan zat cair dan uap di dalam zat padat dan melalui zat padat itu, serta
pengetahuan mengenai keseimbangan fasa yang agak rumt mengenai zat padat basah
dan gaas lembab (Departemen Teknik Kimia ITB, 2010).

19
2.15 Gerakan Cairan dalam Zat Padat
Apabila penguapan permukaan terjadi, haruslah ada gerakan cairan dari dalam
zat padat menuju ke permukaan. Sifat gerakan cairan ini akan mempengaruhi
pengeringan selama periode kecepatan menurun. Berikut akan ditinjau secara singkat
beberapa teori yang telah diajukan mengenai gerakan cairan pada pengeringan sirkulasi
melintang dan hubungannya dengan kurva kecepatan menurun (Trioksi, 2012)
1. Difusi cairan
Difusi cairan terjadi karena ada perbedaan konsentrasi cairan antara di dalam
dengan di permukaan zat padat. Perpindahan cairan dengan jalan difusi ini boleh jadi
hanya dapat terjadi dalam zat padat yang membentuk larutan zat padat fase tunggal
dengan cairan misalnya sabun, lem, dan bahan-bahan lain yang sejenis, atau untuk
keadaan tertentu dimana cairan terikat yang akan dikeringkan, seperti pada
pengeringan air bagian akhir dari lempung, tepung, tekstil, kertas dan kayu. Ternyata
bahwa difusivitas cairan biasanya turun dengan cepat dengan turunnya kandungan
cairan (Trioksi, 2012).
Selama periode kecepatan pengeringan tetap, konsentrasi cairan permukaan
berkurang, tetapi konsentrasi cairan di dalam zat padat masih tinggi. Karena difusivitas
cairan dalam zat padat masih tinggi, maka kecepatan penguapan dari permukaan zat
padat masih dapat diimbangi oleh gerakan cairan dari dalam zat padat ke permukaan.
Apabila tempat-tempat kering mulai tampak pada permukaan zat padat yang
dikeringkan, mulailah terjadi penguapan permukaan yang tidak jenuh. Kecepatan
pengeringan selanjutnya akan ditentukan oleh kecepatan difusi dalam zat padat.
Apabila kecepatan pengeringan tetap awalnya sangat cepat, periode penguapan
permukaan tidak jenuh dapat tidak terlihat, dan kecepatan menurun dimana difusi
memegang peranan segera akan terjadi setelah periode kecepatan tetap berakhir
(Trioksi, 2012).
2. Gerakan kapiler
Gerakan cairan melalui kapiler terjadi apabila zat padat yang dikeringkan berupa
butiran-butiran atau berpori, seperti pasir, lempung dan bahan warna cat. Gerakan
cairan ini melibatkan tegangan muka, seperti gerakan minyak melalui sumbu lampu.

20
Pada zat padat yang berpori, saluran-saluran kapiler berasal dari reservoir cairan kecil-
kecil di dalam zat padat dan yang berakhir pada permukaan. Pada waktu pengeringan
berlangsung, pertama-tama cairan bergerak karena peristiwa kapilaritas ke permukaan
dengan kecepatan yang cukup untuk mempertahankan permukaan tetap basah sehingga
kecepatan pengeringan tetap (Trioksi, 2012).
Air akan diganti oleh udara yang masuk ke dalam zat padat melalui beberapa
lubang-lubang dan retakan-retakan. Cairan permukaan akhirnya akan tertarik ke dalam
ruangan-ruangan antara butiran-butiran, permukaan basah pada permukaan akan
berkurang, dan selanjutnya akan terjadi periode pengeringan permukaan yang tidak
jenuh. Reservoir di bawah permukaan akhirnya mengering, dan cairan akan tinggal di
dalam kapiler dan penguapan akan terjadi di bawah permukaan pada zona atau bidang
yang makin lama makin dalam dan periode kecepatan menurun kedua akan terjadi.
Selama periode ini, difusi uap di dalam zat padat akan terjadi dari bidang dimana
penguapan terjadi ke permukaan (Trioksi, 2012).

3. Difusi uap
Difusi uap ini khususnya terjadi pada pengeringan zat padat dimana panas
diberikan pada suatu permukaan, sedangkan pengeringan berlangsung melalui
permukaan yang lain. Dalam hal ini cairan dapat menguap di bawah permukaan dan
mendifusi keluar sebagai uap (Trioksi, 2012).

4. Tekanan
Karena pengkerutan zat padat selama pengeringan, cairan di dalam zat padat
dapat terperas keluar karena tekanan yang timbul karena proses pengkerutan (Trioksi,
2012).

21
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Bahan yang Digunakan


1. Kacang Tanah
2. Air

3.2 Alat yang Digunakan


1. Tray Drier
2. Oven
3. Tray
4. Neraca digital
5. Anemometer
6. Psychrometer
7. Penggaris
8. Stopwatch
9. Cawan pengering
10. Pipet tetes
11. Gelas ukur
12. Baskom plastic

3.3 Rangkaian Alat

Neraca Digital
Pengatur
Pemanas
Pemanas

Psychrometer
Pengatur Laju Tray Anemometer
Udara

Gambar 3.1 Rangkaian Alat Tray Dryer

22
3.4 Prosedur Percobaan
1. Disiapkan kacang tanah lebih kurang 1,5 kg dan diberikan air sekitar 600 ml
dicampur sampai rata dalam baskom plastik.
2. Sampel diambil lebih kurang 50 gram kemudian ditimbang dan dicatat sebagai
berat sampel basah (Wb) lalu dioven pada suhu 110oC sampai didapatkan berat
konstan (Wc).
3. Disiapkan tray dryer, dan dihidupkan MCB nya. Lalu dinyalakan pengatur laju
alir udara selanjutnya dinyalakan pengatur suhu udara pengering.
4. Diukur luas penampang dryer di ujung (A1) m2 dan di bagian tengah (A2) m2.
5. Kemudian dibasahi kain di psychrometer dengan menggunakan pipet tetes,
dilakukan disetiap kali mengukur kelembaban udara.
6. Diatur laju alir udara dan suhu pengering sesuai dengan lembar penugasan yang
diberikan, ditunggu sampai keadaan steady tercapai. Lalu diukur laju, suhu dan
suhu bola basah udara pengering, dipastikan sesuai dengan yang ditugaskan.
7. Tray disiapkan, dibersihkan dan dikeringkan. Diukur panjang dan lebarnya,
dicatat luas tray (A) m2 lalu ditimbang dan dicatat massanya (Wt) kg.
8. Kemudian dimasukkan kacang tanah basah lebih kurang 600 gram (Wm) dan
diratakan di tray, diusahakan ketebalan pasir di tray seragam. Lalu diukur
ketebalan pasir catat (Δx).
9. Sesaat sebelum masuk ke dalam tray ditimbang kacang tanah basah + tray dicatat
massanya sebagai Wo, dimasukkan ke dalam tray. Pada setiap 10 menit
dikeluarkan tray dari pengering, ditimbang dan dicatat massanya. Diusahakan
tray yang berisi kacang tanah berada di luar sesingkat mungkin.
10. Dilakukan pengecekan setiap saat laju dan suhu udara pengering, jika ada
perubahan diatur pengatur suhu dan laju udara.
11. Percobaan dilakukan selama 1 jam sebanyak 5 kali run untuk variasi laju alir
udara pada level 4 dan 6 dan suhunya pada level 3 dan 5. Dan untuk run ke 5
divariasikan letak tray nya yaitu pada tray 3 dan 4 sedangkan pada run 1 sampai
4 pada tray 1 dan 2.

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan


4.1.1 Laju alir udara level 4 dan suhu level 3 pada tray 1 dan tray 2
Tabel 4.1 Data pengeringan laju alir udara level 4 dan suhu level 3 sampai berat sampel
mencapai konstan dengan selisih penimbangan 0,l gram
Kelembaban Massa
Wak Kadar air
Flow kacang
tu (kg air/kg N
rate Bola Bola hijau ∆X
(me kacang (kg/m2.jam)
(m/s) basah kering basah
nit) tanah)
(kg)
0 0,6 41 44 0,6002 0,0618536 0 0

10 0,6 41 44 0,60007 0,0616504 -0,000203241 0,013494835

20 0,78 41 44 0,59919 0,0602723 -0,001378107 0,091503632

30 0,82 41 44 0,5983 0,0588744 -0,00139789 0,092817225

40 0,99 41 44 0,59457 0,0529703 -0,005904096 0,392020674

50 1,01 41 44 0,59185 0,048618 -0,00435232 0,288985727

60 1,04 41 44 0,58868 0,0434948 -0,005123125 0,340165655

70 1,06 41 44 0,58671 0,0402832 -0,003211664 0,213248305

80 1,08 42 46 0,58664 0,0401687 -0,000114517 0,007603701

24
4.1.2 Laju alir udara level 4 dan suhu level 5 pada tray 1 dan tray 2
Tabel 4.2 Data pengeringan laju alir udara level 4 dan suhu level 5
Kelembaban Massa
Wakt Kadar air
Flow kacang
u (kg air/kg N
rate Bola Bola hijau ∆X
(meni acang (kg/m2.jam)
(m/s) basah kering basah
t) tanah)
(kg)
0 0,6 44 46 0,60059 0,0618536 0 0

10 0,6 44 46 0,60626 0,0706276 0,008773942 -0,582815602

20 0,78 44 48 0,602 0,0640509 -0,006576622 0,436857016

30 0,82 44 48 0,59778 0,0574437 -0,006607289 0,438894058

40 0,99 45 48 0,59371 0,0509822 -0,006461411 0,429204026

50 1,01 45 48 0,59039 0,0456455 -0,005336708 0,354494784

60 1,04 45 48 0,58728 0,0405917 -0,00505388 0,335707704

4.1.3 Laju alir udara level 6 dan suhu level 3 pada tray 1 dan tray 2
Tabel 4.3 Data pengeringan laju alir udara level 6 dan suhu level 3
Wakt Kelembaban Massa Kadar air
Flow
u Bola Bola kacang (kg air/kg N
rate ∆X
(meni basa keri hijau kacang (kg/m2.jam)
(m/s)
t) h ng basah (kg) tanah)
0 0,6 44 46 0,60026 0,0618536 0 0
10 0,6 44 46 0,60367 0,067153 0,005299384 -0,351986203
20 0,78 44 48 0,59892 0,0597546 -0,007398356 0,491400347
30 0,82 44 48 0,5944 0,0526047 -0,007149914 0,474898805
40 0,99 45 48 0,59008 0,0456688 -0,00693592 0,460685253
50 1,01 45 48 0,5859 0,0388603 -0,006808507 0,45222248
60 1,04 45 48 0,58188 0,0322201 -0,006640169 0,441041426

25
4.1.4 Laju alir udara level 6 dan suhu level 5 pada tray 1 dan tray 2
Tabel 4.4 Data pengeringan laju alir udara level 6 dan suhu level 5
Kelembaban Massa
Wakt Kadar air
Flow kacang
u Bola (kg air/kg N
rate Bola hijau ∆X
(menit basa kacang (Kg/m2.jam)
(m/s) kering basah
) h tanah)
(kg)
0 1,11 43 47 0,60003 0,0618536 0 0

10 1,11 43 47 0,60259 0,0658392 0,003985554 -0,264646344

20 1,13 43 47 0,59691 0,05695 -0,008889168 0,590253238

30 1,15 44 48 0,59121 0,0478578 -0,009092175 0,603733184

40 1,18 44 48 0,58202 0,0328237 -0,015034168 0,998289835

50 1,21 44 48 0,58106 0,0312257 -0,001597923 0,106104343

60 1,26 44 48 0,57589 0,0225287 -0,008697083 0,577498478

4.1.5 Laju alir udara level 6 dan suhu level 5 pada tray 3 dan tray 4
Tabel 4.5 Data pengeringan laju alir udara level 6 dan suhu level 5
Kelembaban Massa
Wak Kadar air
Flow kacang
tu (kg air/kg N
rate Bola Bola hijau ∆X
(me kacang (Kg/m2.jam)
(m/s) basah kering basah
nit) tanah)
(kg)
0 1,11 43 47 0,6001 0,0618536 0 0

10 1,11 43 47 0,60462 0,068867 0,007013366 -0,465736162

20 1,13 43 47 0,60026 0,0621037 -0,006763302 0,449130178

30 1,15 44 48 0,59596 0,0553365 -0,006767156 0,449386064

40 1,18 44 48 0,59173 0,0485836 -0,006752956 0,448443082

50 1,21 44 48 0,58692 0,0407864 -0,007797167 0,517785924

60 1,26 44 48 0,58406 0,0360894 -0,004697036 0,311915761

26
4.2 Pembahasan
4.2.1 Laju alir udara level 4 dan suhu level 3 pada tray 1 dan tray 2
Pada percobaan ini dilakukan pengaliran udara pada sampel kacang tanah dengan
laju alir udara pada level 4 dan suhu pada level 3, dimana pengaliran udara dilakukan
sampai berat sampel konstan yaitu sampai selisih penimbangan 0,1 gram. Udara yang
dialirkan tersebut berasal dari blower yang berada pada ujung alat tray drier. Udara
yang dialirkan tersebut bertujan untuk mengurangi kadar air didalam bahan kacang
tanah. Percobaan ini diawali dengan pengukuran kadar air mula-mula pada sampel, hal
ini bertujuan untuk mengetahui berapa kadar air yang hilang jika percobaan selesai
dilakukan, dalam percobaan ini didapatkan data dalam bentuk grafik kadar air vs laju
pengeringan:

0.6

0.5
Laju Pengeringan (kg/m2.jam)

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
-0.1
Waktu (jam)

Gambar 4.1 Grafik laju pengeringan vs kadar air pada tray 1

Pada grafik dapat dilihat bahwa pada awal percobaan laju pengeringan sangat
meningkat, hal ini disebabkan karena kadar air dalam sampel dapat diuapkan dengan
waktu yang singkat, kemudian terjadi penurunan, hal ini disebabkan karena waktu yang
dibutuhkan untuk pengeringan tidak tercapai sengingga kadar air dalam sampel tidak
dapat teruapkan dengan sempurna, pada akhir percobaan didapatkan penurunan yang

27
sangat signifikan hal ini terjadi karena titik kritis sudah tercapai sehingga laju
pengeringan tidak dapat diimbangi oleh difusi air.

0.45
Laju Pengeringan (kg/m2.jam) 0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
Waktu (jam)

Gambar 4.2 Grafik laju pengeringan vs kadar air pada tray 2

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa laju pengeringan meningkat tajam pada
awal percobaan, setelah itu terjadi penurunan secara perlahan dan kemudian
mengalami penurunan, hal ini disebabkan pada awal pengeringan kadar air yang
terdapat didalam sampel cukup banyak sehingga massa air mudah teruapkan, tetapi
setelah menit berikutnya terjadi penurunan laju pengeringan yang disebabkan
berkurangnya kadar air didalam bahan sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk
menguapkan air yang terdapat didalam sampel, karena waktu penimbangan hanya
setiap 10 menit maka waktu yang dibutuhkan untuk penguapan air didalam tray drier
kurang efektif. Kadar air pada fase ini banyak terdapat dibagian dalam sampel kacang
tanah. Dalam keadaan ini disebut juga sebagai titik kritis dimana laju pengeringan tidak
bisa diimbangi oleh difusi air dari dalam padatan kepermukaan padatan, sehingga pada
permukaan padatan terbentuk tempat-tempat kering (Dry Spot). Hal ini lah yang
menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan pengeringan pada sampel.

28
4.2.2 Laju alir udara level 4 dan suhu level 5 pada tray 1 dan tray 2
Pada percobaan ini dilakukan pengaliran udara pada sampel kacang tanah dengan
laju alir udara pada level 4 dan suhu pada level 5, dimana pengaliran udara dilakukan
selama 60 menit dengan pengukuran berat bahan setiap 10 menit. Udara yang dialirkan
tersebut bertujan untuk mengurangi kadar air didalam bahan kacang tanah. Perbedaan
pada percobaan sebelumya ialah peningkatan suhu aliran udara, karena koefisien
perpindahan panas konvektif dari udara ke padatan basah dipengaruhi oleh turbulensi,
maka semakin tinggi laju udara semakin tinggi turbulensinya, sehingga akan
memperbesar laju perpindahan panas, semakin banyak energi panas yang diterima
maka semakin banyak air yang bisa teruapkan, sehingga semakin tinggi laju
pengeringan yang didapatkan. Dari percobaan didapat data pada tray 1 dalam bentuk
grafik berikut ini:
1
0.9
Laju Pengeringan (kg/m2.jam)

0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (jam)

Gambar 4.3 Grafik laju pengeringan vs kadar air pada tray 1

Pada grafik dapat dilihat bahwa pada awal percobaan laju pengeringan meningkat
sangat tajam, hal ini disebabkan karena pada sampel sangat banyak mengandung air,
sehingga sangat mudah diuapkan dengan waktu yang singkat, kemudian pada grafik
dapat dilihat penurunan yang tidak terlalu signifikan, hal ini sebabkan karena waktu
yang dibutuhkan untuk penguapan air tidak dapat menguapkan air yang sudah diserap

29
oleh sampel, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk menguapkan air tersebut,
kemudian dapat dilihat pada akhir percobaan bahwa grafik menunjukkan naiknya laju
pengeringan hal ini disebabkan karena waktu yang digunakan untuk penguapan air
dalam sampel sangat efektif dan menyebabkan pengurangan kadar air sampel yang
signifikan. Pada percobaan ini tidak didapatkan titik kritis karena tidak adanya
penurunan yang sangat signifikan terhapat laju pengeringan, hal ini disebebkan karena
waktu yang digunakan hanya 60 menit. Selanjutnya grafik laju pengeringan pada tray
2 dapat dilihat:
0.6

0.4
Laju Pengeringan (kg/m2.jam)

0.2

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
-0.2

-0.4

-0.6

-0.8
Waktu (jam)

Gambar 4.4 Grafik laju pengeringan vs kadar air percobaan 2 pada tray 2

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa pada percobaan pertama terjadi penurunan
laju pengeringan yang mana pada saat ini kadar air didalam sampel cukup banyak yang
mengakibatkan mudah teruapnya molekul-molekul air ke udara sehingga ini dapat
meningkatakan laju pengeringan. Setelah itu terjadi penurunan laju pengeringan yang
disebabkan kadar air yag terdapat pada sampel berkurang sehingga penguapan molekul
air jadi semakin sulit. Setelah itu terjadi penurunan pada laju pengeringan air yang
disebabkan molekul air dan udara sudah hampir mencapai titik kejenuhan. Pada
percobaan ini tidak terdapat penurunan yang sangat signifikan, karena waktu percobaan
hanya 60 menit sehingga tidak semua kadar air pada sampel teruapkan.

30
4.2.3 Laju alir udara level 6 dan suhu level 3 pada tray 1 dan 2
Pada percobaan ini dilakukan pengaliran udara pada sampel kacang hijau dengan
laju alir udara pada level 5 dan suhu pada level 2, dimana penagliran udara dilakukan
selama 60 menit dengan pengkuran berat bahan setiap 10 menit. Udara yang dialirkan
tersebut bertujan untuk mengurangi kadar air didalam bahan kacang tanah. Perbedaan
pada percobaan sebelumya ialah peningkatan laju aliran udara, sehingga daripercobaan
didapat grafik beikut ini:
0.6
Laju Pengeringan (kg/m2.jam)

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (jam)

Gambar 4.5 Grafik laju pengeringan vs kadar air pada tray 1

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa pada 10 menit pertama terjadi peningkatan
laju pengeringan yang sangat tajam yang mana pada saat ini kadar air didalam sampel
cukup banyak yang mengakibatkan mudah teruapnya molekul-molekul air ke udara.
Setelah itu terjadi penurunan laju pengeringan yang disebabkan kadar air yag terdapat
pada sampel berkurang sehingga penguapan molekul air jadi semakin sulit yang
disebabkan molekul air dan udara sudah hampir mencapai titik kejenuhan.

31
0.6
0.5

Laju Pengeringan (kg/m2.jam)


0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
-0.1
-0.2
-0.3
-0.4
Waktu (jam)

Gambar 4.6 Grafik laju pengeringan vs kadar air pada tray 2

Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa pada awal percobaan didapatkan
penurunan laju pengeringan hal ini disebebkan karena adanya pengaruh letak tray pada
alat tray drier, letak tray tersebut dipengaruhi oleh blower yang terdapat pada alat,
blower pada alat mengarah keatas yang artinya laju pengeringan lebih efektif pada tray
1 dibandingkan dengan tray yang lain, karena tray 1 berhadapan langsung dengan
blower yang mengarahkan laju udara. Kemudian secara perlahan laju pengeringan
mulai naik, hal ini disebabkan karena sudah adanya perpindahan panas merata dari
dalam alat sehingga menyebabkan kadar air dalam sampel mulai dapat diuapkan.

4.2.4 Laju alir udara level 6 dan suhu level 5 pada tray 1 dan tray 2
Pada percobaan ini dilakukan pengaliran udara pada sampel kacang tanah dengan
laju alir udara pada level 6 dan suhu pada level 5, dimana penagliran udara dilakukan
selama 60 menit dengan pengkuran berat bahan setiap 10 menit. Percobaan ini
menggunakan level tertinggi laju alir udara dan suhu udara pengeringan, hal ini yang
menyebabkan penurunan kadar air berlansung lebih cepat dari percobaan sebelumnya,
dari percobaan didapat grafik beikut ini:

32
0.8

0.7

Laju Pengeringan (kg/m2.jam)


0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (jam)

Gambar 4.7 Grafik laju pengeringan vs kadar air pada tray 1

Dari grafik diatas data yang didapat mengalami fluktasi hal tersebut disebabkan
besarnya suhu dan laju alir yang digunakan yang mengakibatkan perpindahan massa
air tidak stabil, yang mana pada 10 menit pertama mengalami kenaikan laju
pengeringan yang disebabkan banyaknya kadar air yang terdapat didalam sampel dan
selanjutnya mengalami penurunan laju pengeringan. Pada fase ini laju pengeringan
sesuai karakteristik pengeringan.

1.2

1
Laju Pengeringan (kg/m2.jam)

0.8

0.6

0.4

0.2

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
-0.2

-0.4
Waktu (jam)

Gambar 4.8 Grafik laju pengeringan vs kadar air pada tray 2

33
Pada grafik diatas didapatkan penurunan pada percobaan pertama hal ini
disebabkan oleh waktu yang digunakan kurang untuk menguapkan air pada sampel,
ditambah lagi karena tray yang digunakan pada tray 2 sehingga laju udara pada sampel
kurang efisien, kemudian grafik mulai naik yang artinya pengeringan sudah mulai
terjadi pada sampel, karena waktu yang digunakan sudah mulai cukup untuk terjadinya
pengeringan dan laju udara pada alat sudah mulai menyebar pada tray-tray.

4.2.5 Laju alir udara level 6 dan suhu level 5 pada tray 3 dan tray 4
Dari data yang didapat dilakukan perbandingan pada laju aliran 6 dengan
menggunakan suhu level 5 dengan variasi pada tray 3 dan tray 4, yang mana suhu
mempengaruhi laju pengeringan dengan membantu melepaskan partikel air menuju
udara, dimana ketika suhu meningkat maka pertikel udara akan bergerak semakin cepat
hal ini yang menyebabkan putusnya rantai atau gaya tarik antar partikel air, yang
menyebabkan penguapan air. Penguapan diperlukan untuk proses pengeringan untuk
mengurangi kadar air didalam sampel. Sedangkan variasi pada tray digunakan untuk
membandingkan laju pengeringan pada setiap tray, Dari percobaan didapat data dalam
bentuk grafik sebagai berikut:

0.7
Laju Pengeringan (kg/m2.jam)

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (jam)

Gambar 4.9 Grafik laju pengeringan vs kadar air pada tray 3

Pada grafik diatas didapatkan hasil bahwa kecepatan pengeringan sampel, pada
tray 3 dibandingkan dengan data yang berada pada tray 1 dan tray 2 dengan suhu dan

34
laju udara yang sama, pengeringan yang terjadi sangatlah tidak efisien karena laju
pengeringan sangatlah rendah, hal ini menunjukkan bahwa letak tray sangat
mempengaruhi laju pengeringan pada praktikum pengeringan. Sedangkan grafik yang
didapatkan pada awal percobaan grafik naik, yang menunjukkan waktu yang digunakan
untuk menguapkan air sudah cukup. Kemudian pada grafik juga ada yang menurun,
hal tersebut dikarena waktu yang dibutuhkan untuk menguapkan air pada sampel
kurang baik dan ditambah lagi dengan peletak tray pada tray 3 yang kurang bagus.

0.6

0.4
Laju Pengeringan
(kg/m2.jam)

0.2

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
-0.2

-0.4

-0.6
Waktu (jam)
Gambar 4.10 Grafik laju pengeringan vs kadar air pada tray 3

Pada grafik dapat dilihat pada percobaan pertama didapatkan grafik sangat
menurun, hal ini dikarena waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan sangat tidak baik
dan ditambah lagi dengan peletakan tray pada tray 4 yang dimana tidak berhadapan
langsung dengan laju udara yang diberikan oleh blower yang ada pada alat tray drier.
Kemudian laju pengeringan mulai naik dengan signifikan hal ini terjadi karena waktu
yang digunakan untuk pengeringan sudah cukup dan suhu pada tray 4 yang sudah mulai
konstan dengan suhu tray lainnya, sehingga menyebabkan kenaikkan laju pengeringan
yang sangat signifikan. Pada pecobaan ini agar pengeringan berjalan dengan baik
seharusnya menggunakan waktu yang cukup lama agar pada suhu dan laju udara pada
tray konstan dengan tray-tray lainnya. Hal ini dibutuhkan karena tray 4 sangatlah jauh
dibawah sehingga tidak efisien dalam mengeringkan sampel.

35
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Laju pengeringan dipengaruhi oleh level laju udara, level temperatur, serta letak
tray.
2. Kadar air mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu
pengeringan.
3. Semakin tinggi laju pengeringan maka kadar air yang dihasilkan semakin rendah.

5.2 Saran
1. Praktikan harus berhati-hati dalam pengoperasian alat.
2. Praktikan harus menggunakan standar keselamatan laboratorium.
3. Mengikuti prosedur praktikum dengan baik.

36
DAFTAR PUSTAKA

Caca. 2010. Proses Pengeringan pada Bahan. Bandung: Intitut Teknologi Bandung.
Chaldun, ahmad. 1995. Klimatologi Umum. Surabaya: Karya Swajaya.
Departemen Teknik Kimia ITB. 2010. Modul 2.02 Pengeringan. Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
Fiona, Watt. 2004. Kadar Air Kesetimbangan. Bandung: Pakar Raya.
Hasibuan, Rosdaneli. 2010. Proses Pengeringan. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Irawan, Anton. 2011. Modul Laboratorium Pengeringan. Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
Jamulya. 2001. Kelembaban Udara. Jakarta: Tira Pustaka.
McCabe, W. I. and Smith, J. C. 1985. Unit Operation of Chemical Engineering, 4 th
edition. Singapore: McGraw Hill Book Company.
Marsaningtyas, Euzhan. 2011. Penerapan Dcs pada Rotary Dryer untuk Pengeringan
Kacang Tanah. Semarang: Universitas Diponegoro
Tim Penyusun. 2013. Penuntun Praktikum Laboratorium Teknik Kimia 2. Pekanbaru:
Universitas Riau.
Tjasyono, Bayung. 1999. Termometer Bola Kering dan Termometer Bola Basah.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Trioksi, Elzi. 2012. Makalah Pengeringan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

37

Anda mungkin juga menyukai