Anda di halaman 1dari 17

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE

JIGSAW DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN


PENALARAN PADA MATERI BANGUN RUANG
PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP

Oleh
ADIB MASRUHAN
40313001

PROPOSAL PENELITIAN MATEMATIKA


Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Matematika untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas UTS

UNIVERSITAS PERADABAN
BUMIAYU
2016
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan
seseorang. Karena itu pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat
berpengaruh terhadap pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas.
Pendidikan dapat mendorong individu dalam meraih potensi yang
berkualitas sebagai bekal untuk masa sekarang dan masa yang akan datang
dalam menghadapi permasalahan yang ada. Banyak sekali ilmu yang terdapat
dalam dunia pendidikan untuk meningkatkan kualitas yang bermanfaat bagi
diri sendiri maupun orang lain salah satunya adalah matematika.
Matematika merupakan salah satu pelajaran yang sangat penting
bagi peserta didik yang selalu diterapkan dalam kehidupan sehari hari.
Sehingga matematika sudah dipelajari dari sejak SD sampai ke jenjang
selanjutnya. Matematika sangat berperan penting terhadap kualitas peserta
didik sehingga siswa mempunya potensi atau kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis kritis dan kreatif. Sebagaimana yang telah dirumuskan
dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) matematika bahwa
tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah antara lain agar peserta didik sanggup menghadapi perubahan
keadaan di kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan
bertindak atau dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur,
efektif dan efisien.
Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM,
2000) tujuan umum pembelajaran matematika yaitu: (1) belajar untuk
berkomunikasi (mathematical communication), (2) belajar untuk bernalar
(mathematical reasoning), (3) belajar untuk memecahkan masalah
(mathematical problem solving), (4) belajar untuk mengaitkan ide
(mathematical connections), dan (5) pembentukan sikap positif terhadap
matematika (positive attitudes toward mathematics). Tujuan tersebut
menunjukkan betapa pentingnya belajar matematika, karena dengan belajar
matematika sejumlah kemampuan dan keterampilan tertentu berguna tidak
hanya saat belajar matematika namun dapat diaplikasikan dalam memecahkan
berbagai masalah sehari-hari.
Dalam pembelajaran matematika, idealnya peserta didik dibiasakan
memperoleh pemahaman melalui pengalaman dan pengetahuan yang
dikembangkan oleh peserta didik sesuai perkembangan berpikirnya. Namun
pada kenyataanya, pembelajaran matematika di sekolah hanya menekankan
pada pemberian rumus, contoh soal, dan latihan soal. Namun disamping hal
tersebut siswa juga harus mempunyai penalaran matematis. Penalaran
Matematika yang mencakup kemampuan untuk berpikir secara logis dan
sistematis merupakan ranah kognitif Matematika yang paling tinggi (Kusnandi,
2002). Peningkatan kualitas siswa dalam proses bernalar Matematis
merupakan suatu hal penting yang sedang menjadi fokus dalam dunia
pendidikan Matematika untuk dilakukan pengkajian secara lebih mendalam.
Materi Matematika dan penalaran Matematika merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi Matematika dipahami melalui
penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar Matematika
baik secara individu maupun kelompok. Sejatinya semua siswa tidak bisa
belajar secara individu tetapi melainkan secara kelompok yang perlu adanya
interaksi antar sesama di lingkungannya.
Menurut Vygotsky sebagaimana dikutip oleh Endang S. dan
Sumaryanta (2005) bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu dengan
orang-orang lain merupakan faktor yang terpenting yang mendorong atau
memicu perkembangan kognitif seseorang. Proses belajar akan terjadi secara
efektif dan efisien apabila siswa belajar secara kooperatif dengan suasana
lingkungan yang mendukung (supportive) dengan bimbingan orang yang lebih
mampu. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika siswa dapat
bekerjasama/berdiskusi atau pembelajaran kooperatif dalam menyelesaikan
permasalahan sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dalam
pembelajaran matematika.
Geometri adalah salah satu cabang matematika yang mempelajari
mengenai benda-benda, luas permukaan, titik-titik, garis-garis, sudut-sudut
beserta hubungan-hubungan yang tercipta, sifat-sifat, dan semua ukuran yang
berlaku, termasuk letak-letak titik, garis dan sudut di dalam ruang. Salah satu
materi yang termasuk dalam geometri adalah bangun ruang. Bangun ruang
merupakan salah satu materi yang diajarkan pada kelas VIII.
Menurut Van Hiele, peserta didik akan melalui lima tingkatan
hirarkis pemahaman dalam belajar geometri, lima tingkatan tersebut adalah
sebagai berikut: tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1 (analisis), tingkat 2 (deduksi
informal), tingkat 3 (deduksi), dan tingkat 4 (rigor). Selanjutnya apakah usia
mempengaruhi pemahaman peserta didik dan tingkat berpikir peserta didik
dalam gometri, Van Hiele berkeyakinan bahwa tingkat perkembangan berpikir
peserta didik lebih tergantung pada pembelajaran daripada umur atau
kematangan biologis.
Berdasarkan pengalaman salah satu guru matematika di suatu
sekolah MTS, menyatakan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan
dalam menyelesaikan soal matematika khususnya soal bangun ruang yang
membutuhkan penalaran sehingga hasilnya sangat kurang memuaskan.
Sebagai bukti hasil belajar siswa kelas VIII pada salah satu materi yang
membutuhkan penalaran yaitu materi bangun ruang sisi datar. Hasil dari
ulangan harian tersebut menunjukkan bahwa 60 % siswa mendapat nilai kurang
dari 7,0 atau kurang dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang digunakan
di madrasah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran
matematis siswa dalam menyelesaikan soal bangun ruang sisi datar masih
rendah. 3 Kenyataannya menunjukkan bahwa tidak banyak siswa yang mau
dan suka mengunakan nalarya untuk memecahkan masalah matematis. Mereka
lebih cenderung menunggu jawaban yangdikerjakan oleh teman-temanya atau
jawaban yang telah diberikan guru di papan tulis. Hal ini sesuai dengan
pendapat Syalhub (2008: 110) yang mengatakan bahwa, siswa yang berada
dalam suatu kelas yang sama, akan berbeda-beda dari segi tingkat respon
mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan. Begitu juga mereka
berbeda dalam tingkat penalarannya
Banyak faktor yang menyebabkan kemampuan penalaran masalah
peserta didik rendah. Salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan
penalaran peserta didik rendah adalah model pembelajaran yang diterapkan
guru masih belum tepat. Banyak guru matematika yang cara mengajarnya
terlalu menekankan pada penguasaan konsep belaka. Penumpukan konsep
pada peserta didik dapat saja kurang bermanfaat bahkan tidak bermanfaat sama
sekali kalau hal tersebut hanya dikomunikasikan oleh guru kepada peserta
didik melalui satu arah.
Salah satu model pembelajaran yang diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan penalaran matematika peseta didik adalah model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Model pembelajaran kooperatif dapat
membantu guru untuk melibatkan peserta didiknya dalam proses belajar
mengajar. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang
mendorong siswa bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah
masalah, menyelesaikan tugas, atau mengerjakan untuk mencapai prestasi
belajar yang memuaskan. Saat ini model pembelajaran kooperatif telah banyak
digunakan dan dikembangkan oleh para pakar pendidikan. Ada banyak alasan
yang membuat pembelajaran kooperatif memasuki jalur utama praktik
pendidikan. Salah satunya dalam penelitian Lara dan Reparaz (2007) yang
menyatakan: It is well known that cooperative learning consist of the instructional
use of small groups in which students work togethet to maximize their own learning
and that of others. The need for members of a group to work together, cooperative
with each other on an assignment. A real cooperative situation activates, in the
members of a group, the full awareness that they have to work together to do the
ask, this objective. Penjelasan di atas mempunyai arti pembelajaran kooperatif
terdiri dari penggunaan instruksional kelompok-kelompok kecil dimana siswa
bekerja sama untuk memaksimalkan belajar mereka sendiri dan orang lain.
Kebutuhan bagi anggota kelompok untuk bekerja sama, bekerja sama dengan
satu sama lain pada sebuah tugas. Sebuah situasi nyata mengaktifkan
kooperatifitas dalam anggota-anggota kelompok, kesadaran penuh bahwa
mereka harus bekerja sama untuk melakukan tugas dan tujuan yang ingin
dicapai.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “ Apakah penerapan model
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan penalaran
matematis siswa ?

C. Batasan Masalah
1. Apakah rata-rata kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan
model pembelajaran kooperatif lebih baik dari pada rata-rata kemampuan
pemecahan masalah peserta didik dengan model pembelajaran non
kooperatif?
2. Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis
antara siswa yang memiliki pengetahuan awal matematika tinggi, sedang
dan rendah setelah memperoleh pembelajaran kooperatif
3. Apakah model pembelajaran kooperatif berpengaruh positif terhadap
kemampuan pemecahan masalah peserta didik

D. Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui rata-rata kemampuan pemecahan masalah peserta
didik yang mendapatkan pembelajaran kooperatif lebih baik dari rata-rata
kemampuan penalaran peserta didik yang mendapat pembelajaran non
kooperatif
b. Untuk mengetahui model pembelajaran kooperatif berpengaruh positif
terhadap kemampuan penalatan peserta didik.
c. Untuk mengetahui perbedaan antara peserta didik yang memiliki
pengetahuan awal matematika tinggi, sedang dan rendah setelah
memperoleh pembelajaran kooperatif

E. Manfaat
Manfaat penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini menjadi suatu kajian ilmiah tentang pelaksanaan pembelajaran
matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif terhadap
kemampuan penalaran pada materi bangun ruang
b. Manfaat Praktis
1) Bagi peserta didik
a) Peserta didik dapat menguasai materi bangun ruang
b) Dapat meningkatkan kemampuan penalaran peserta didik
2) Bagi guru
a) Menambah pengetahuan bagi guru dalam menciptakan kegiatan
pembelajaran efektif yang mendorong partisipasi peserta didik pada
pembelajaran
b) Model pembelajaran kooperatif dapat dijadikan alternatif model
pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar
c) Sebagai masukan untuk dapat menerapkan model pembelajaran
yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran pada pembelajaran
matematika
3) Bagi peneliti
a) Sebagai bahan untuk mengkaji model pembelajaran kooperatif
terhadap kemampuan penalaran
b) Menjadi pengalaman dalam proses pembelajaran menggunakan
model pembelajaran kooperatif pada materi bangun ruang
4) Bagi Sekolah
a) Sebagai referensi untuk mengembangkan proses pembelajaran
matematika yang lebih baik.
b) dapat memberikan konstribusi yang baik dalam rangka perbaikan
proses pembelajaran

F. Kajian Pustaka
Dalam penelitian ilmiah diperlukannya hasil penelitian terdahulu
(Prior research) yang berkaitan dengan tema yang digunakan.
Suatu penelitian oleh Amelia (2013), mengenai penerapan model
cooperative untuk meningkatkan penalaran siswa pada kelas VII terdapat
peningkatan penalaran matematis siswa dengan interprestasi tinggi, kemudian
aktivitas siswa ikut bertambah, dan bertambahnya siswa yang memiliki nilai
ketuntasan minimal dan respon siswa mencapai 75 % baik
Penelitian oleh Nafi’ati (2008), mengenai penggunaan model
pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan minat dan prestasi belajara
matematika siswa kelas VIII MTS Lengkong Pati bahwa uji coba yang di
lakukan sebanyak 3 siklus menunjukan adanya tingkat kenaikan. Masing
masing siklus sampai tahap 3 sebesar 53,1 %, 67,1% dan 72,7%. Peningkatan
dari siklus I ke siklus II yaitu 14,0 % dan peningkatan dari siklus I ke siklus III
mencapai 29,6%,. Kemudian berdasarkan hasil angket siswa setelah
dilakukannya penelititan menunjukan presentase minat siswa dalam
pembelajajaran matematika sebesar 70 % meningkat 9,8 % dari sebelumnya
yang hanya mempunya minat sebesar 60,4 % Hal tersebut menunjukan adanya
perubahan yang lebih baik setelah dilakukan penelitian dengan pembelajaran
kooperatif.
Penelitian-penelitian di atas memiliki kesamaan pada permasalahan,
model dan pendekatan yang digunakan. Perbedaannya penelitian yang
dilakukan kali ini merupakan penelitian eksperimen untuk melakukan
pengujian lebih lanjut mengenai pembelajaran model kooperatif jigsaw dalam
meningkatkan penalaran siswa pada materi bangun ruang kelas VII
G. Landasan Teori
a. Belajar
Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya (Slameto, 2010: 2). Cronbach, sebagaimana dikutip oleh
Djamarah (2011: 13) berpendapat bahwa “learning is shown by change in
behavior as a result of experience” yang dapat diartikan bahwa belajar
merupakan suatu aktivitas yang ditinjukkan oleh perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman.
Proses belajar bersifat internal dan unik dalam diri individu peserta didik.
Belajar hakikatnya adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar
dapat diindikasikan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan,
pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, keterampilan dan
kemampuan, serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada
individu yang belajar. Oleh karena itu, seseorang dikatakan telah belajar
jika seseorang melakukan aktivitas dan diakhir dari aktivitasnya itu telah
memperoleh perubahan dalam dirinya dengan pemilikan pengalaman baru
(Djamarah, 2011: 14). Dengan demikian, inti dari belajar adalah adanya
perubahan tingkah laku karena adanya suatu pengalaman. Perubahan
tingkah laku tersebut dapat berupa perubahan keterampilan, kebiasaan,
sikap, pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi.

b. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran menurut Fontana, dalam Suherman et al, (2003: 7)
merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar
program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal. Proses
pembelajaran adalah proses pendidikan dalam lingkup persekolahan,
sehingga arti dari proses pembelajaran dalah proses sosialisasi individu
peserta didik dengan lingkungan sekolah, seperti guru, sumber/fasilitas,
dan teman sesama peserta didik. Proses pembelajaran bersifat eksternal
yang sengaja direncanakan dan bersifat rekayasa perilaku.
Pembelajaran matematika menurut Suyitno, sebagaimana dikutip oleh
Rohman (2013: 19) adalah suatu proses atau kerja guru mata pelajaran
matematika dalam mengajarkan matematika kepada peserta didiknya,
yang didalamnya terkandung upaya guru untuk menciptakan iklim dan
pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan
tentang matematika yang sangat beragam agar terjadi interaksi optimal
antara guru dengan peserta didik serta antar peserta didik dalam
mempelajari matematika.
c. Teori Teori belajar
1) Teori J. Bruner
Menurut Bruner, dalam Slameto (2010: 11) belajar
tidak untuk mengubah tingkah laku seseorang tetapi untuk
mengubah kuriulum sekolah menjadi sedemikian rupa sehingga
peserta didik dapat belajar lebih banyak dan mudah. Alangkah
baiknya bila sekolah menyediakan kesempatan bagi peserta
didik untuk maju dengan cepat sesuai dengan kemampuan
peserta didik dalam mata pelajaran tertentu.
J. Bruner, sebagaimana dikutip oleh Suherman
(2003: 43) menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih
berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep
dan struktur-struktur yang termuat dalam poko bahasan yang
diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-
konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan
struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan,
anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu.
Menurut Slameto (2010: 11), proses belajar Bruner
mementingkan partisipasi aktif dari tiap peserta didik, dan
mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk
meningkatkan proses belajar perlu lingkungan yang dinamakan
“discovery learning environment”, ialah lingkungan di mana
peserta didik dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan
baru yang belum dikenal atu pengertian yang mirip dengan yang
sudah diketahui.
Bruner mengemukakan bahwa dalam proses
belajarnya anak melewati 3 tahap, yaitu:
a) Tahap Enaktif
Dalam tahap ini anak secara langsung terlihat dalam
memanipulasi (mengotak-atik) objek.
b) Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan
dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek
yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi
objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
c) Tahap simbolik
Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau
lambing-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat
dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada
tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa
ketergantungan terhadap objek riil
d. Model pembelajaran Kooperatif type jigsaw
1. Pengertian Model Pembelajaran Jigsaw
Jigsaw adalah tipe pembelajaran kooperatif yang dikembangkan
oleh Elliot Aronson’s, (Aronson, Blaney, Stephen, Sikes, and
SNAPP, 1978). Model pembelajaran ini didesain untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya
sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya
mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap
memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada kelompoknya.
Sehingga baik kemampuan secara kognitif maupun social siswa
sangat diperlukan. Model pembelajaran Jigsaw ini diladasi oleh teori
belajar humanistic, karena teori belajar humanistic menjelaskan
bahwa pada hakekatnya setiap manusia adalah unik, memiliki
potensi individual dan dorongan internal untuk berkembang dan
menentukan perilakunya.
Teknik mengajar Jigsaw sebagain metode pembelajaran kooperatif
bisa digunakan dalam pengakaran membaca, menulis,
mendengarkan ataupun berbicara. Teknik ini menggabungkan
kegiatan membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara sehingga
dapat digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperi ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan social, matematika, agama,
dan bahasa. Teknik ini cocok untuk semua kelas/ tingkatan.
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model
pembelajaran kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil yang
terdiri dari 4-5 orang dengan memperhatikan keheterogenan,
bekerjasama positif dan setiap anggota bertanggung jawab untuk
mempelajari masalah tertentu dari materi yang diberikan dan
menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain.
Dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat
kelompok ahli dan kelompok asal. Kelompok asal adalah kelompok
awal siswa terdiri dari berapa anggota kelompok ahli yang dibentuk
dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Sedangkan
kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota
kelompok lain (kelompok asal) yang ditugaskan untuk mendalami
topik tertentu untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok
asal.
Disini, peran guru adalah memfasilitasi dan memotivasi para
anggota kelompok ahli agar mudah untuk memahami materi yang
diberikan.
Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap
anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan. Artinya
para siswa harus memiliki tanggunga jawab dan kerja sama yang
positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan
memecahkan masalah yang diberikan.
2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Jigsaw
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran dengan Model
Pembelajaran tipe Jigsaw adalah sebagai berikut:
1. Membentuk kelompok heterogen yang beranggotakan 4 – 6
orang
2. Tiap orang dalam kelompok diberi sub topik yang berbeda.
3. Setiap kelompok membaca dan mendiskusikan sub topik
masing-masing dan menetapkan anggota ahli yang akan
bergabung dalam kelompok ahli.
4. Anggota ahli dari masing-masing kelompok berkumpul dan
mengintegrasikan semua sub topik yang telah dibagikan sesuai
dengan banyaknya kelompok.
5. Kelompok ahli berdiskusi untuk membahas topik yang
diberikan dan saling membantu untuk menguasai topik tersebut.
6. Setelah memahami materi, kelompok ahli menyebar dan
kembali ke kelompok masing-masing, kemudian menjelaskan
materi kepada rekan kelompoknya.
7. Tiap kelompok memperesentasikan hasil diskusi.
8. Guru memberikan tes individual pada akhir pembelajaran
tentang materi yang telah didiskusikan.
9. Siswa mengerjakan tes individual atau kelompok yang
mencakup semua topik.
3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Jigsaw
Bila dibandingkan dengan metode pembelajaran tradisional, model
pembelajaran Jigsaw memiliki beberapa kelebihan yaitu:
1. Mempermudah pekerjaan guru dalam mengajar, karena sudah
ada kelompok ahli yang bertugas menjelaskan materi kepada
rekan-rekannya.
2. Pemerataan penguasaan materi dapat dicapai dalam waktu yang
lebih singkat
3. Metode pembelajaran ini dapat melatih siswa untuk lebih aktif
dalam berbicara dan berpendapat.
Beberapa hal yang bisa menjadi kelemahan aplikasi model ini di
lapangan, menurut Roy Killen, 1996, adalah :
1. Prinsip utama pembelajaran ini adalah ‘peer teaching’,
pembelajran oleh teman sendiri, ini akan menjadi kendala karena
perbedaan persepsi dalam memahami konsep yang akan
diskusikan bersama siswa lain.
2. Apabila siswa tidak memiliki rasa percaya diri dalam berdiskusi
menyampaikan materi pada teman.
3. Rekod siswa tentang nilai, kepribadian, perhatian siswa harus
sudah dimiliki oleh guru dan biasanya butuh waktu yang sangat
lama untuk mengenali tipe-tipe siswa dalam kelas tersebut.
4. Butuh waktu yang cukup dan persiapan yang matang sebelum
model pembelajaran ini bisa berjalan dengan baik.
5. Aplikasi metode ini pada kelas yang lebih besar (lebih dari 40
siswa) sangatlah sulit.
Dalam penerapannya sering dijumpai beberapa permasalahan, yaitu :
1. Siswa yang aktif akan lebih mendominasi diskusi, dan
cenderung mengontrol jalannya diskusi.
2. Siswa yang memiliki kemampuan membaca dan berpikir
rendah akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan materi
apabila ditunjuk sebagai tenaga ahli.
3. Siswa yang cerdas cenderung merasa bosan.
4. Pembagian kelompok yang tidak heterogen, dimungkinkan
kelompok yang anggotanya lemah semua.
5. Penugasan anggota kelompok untuk menjadi tim ahli sering
tidak sesuai antara kemampuan dengan kompetensi yang harus
dipelajari.
6. Siswa yang tidak terbiasa berkompetisi akan kesulitan untuk
mengikuti proses pembelajaran.
Diskusi dalam kelompok ini, untuk mengatasi masalah atau kelemahan
yang muncul dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Pengelompokan dilakukan terlebih dahulu, mengurutkan
kemampuan belajar siswa dalam kelas.
2. Sebelum tim ahli, misalnya ahli materi pertama kembali ke
kelompok asal yang akan bertugas sebagai tutor sebaya, perlu
dilakukan tes penguasaan materi yang menjadi tugass mereka

H. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori diatas, makan dapat dirumuskan hipotesis
sebagai jawaban dari permasalahan yang diajukan antara laian :
a. Rata-rata kemampuan penalaran peserta didik yang mendapatkan
pembelajaran kooperatif jigsaw lebih baik dari kemampuan rata-rata
pemecahan masalah peserta didik yag mendapat pembelajaran non
kooperatif jigsaw
b. adanya perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara
siswa yang memiliki pengetahuan awal matematika tinggi, sedang dan
rendah setelah memperoleh pembelajaran kooperatif jigsaw
c. model pembelajaran kooperatif berpengaruh positif terhadap kemampuan
pemecahan masalah peserta didik
I. Kerangka Fikir
Berdasarkan kendala yang terdapat dalam proses belajar siswa adalah
kurangnya interaksi antar siswa maupun interaksi dengan guru. yang
menyebabkan kemampuan siswa tidak bisa berkembang secara efektif. Murid
yang tidak aktif atau pendiam apalagi faktor guru yang kurang peka terhadap
perkembangan kemampuan siswanya maka minat belajar siswa akan menurun.
Selain itu kemampuan dan cara belajar siswa yang berbeda-beda
mengakibatkan perlunya strategi pembelajaran yang aktif untuk meningkatkan
semangat siswa dan keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran
matematika.

Model pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu strategi


pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran
tersebut. dengan belajar kooperatif ini maka terjadi adanya interaksi antar siswa
maupun dengan guru sehingga sausana kelas menjadi aktif sehingga belajar
bisa lebih menyenangkan.

Materi bangun ruang merupakan salah satu materi yang membutuhkan


adanya penalaran sehingga bisa memahami materi tersebut. untuk itu guru
harus melatih penalaran siswa dengan pembelajaran kooperatif ini. Karena
kemampuan penalaran siswa tidak akan berkembang jika pembelajarannya
tidak tepat.
J. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Nafi’ati Ulya. 2008. “Model Pembelajaran Kooperatif Untuk Meningkatkan
Minat dan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VII”. E-Journal
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jurusan Pendidikan
Matematika. Vol 2 (1).
National Council of Teachers of Mathematics. 2000. Principles and Standards
for School Mathematics. NCTM: Reston VA. (Online). Tersedia:
http://www.nctm.org/. (27 April 2016)
Nazamim. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas V MI Ma’arif
Kediwung Dlingo Bantul. Skripsi Pada Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga: tidak diterbitkan
Arismawan. 2015. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw,
http://ainamulyana.blogspot.co.id/2012/02/model-pembelajaran-
kooperatif-tipe.html ( 28 April 2016)
Novalin A dkk. 2014. “Ekperimentasi Model Pembelajaran Jigsaw ditinjau dari
kemampuan penalaran siswa kelas VIII SMP”. E-Journal Universitas
Sebelas Maret Jurusan Pendidikan Matematika. Vol 3 (2).
Djamarah, S. B. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai