Oleh
TUMESAS KADUPE LAIA
11 02 046
A. Latar belakang
Individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga
individu tersebut dapat bekerja secara produktif , menyadari kemampuan sendiri,
dapat mengatasi tekanan, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya,
kondisi tersebut disebut dengan kesehatan jiwa (UU Kesehatan jiwa No. 18 Tahun
2014). Kesehatan jiwa merupakan keadaan diri yang mampu bertanggung jawab,
dapat mengatasi ketegangan sehari-hari, adanya kesadaran diri tidak kuatir dengan
apapun, berfungsi dengan baik dan diterima dalam suatu kelompok di masyarakat
yang pada umumnya puas dengan kehidupannya (Shives, 2012).
Menurut data WHO (2009), diperkirakan 450 juta orang mengalami
gangguan jiwa di seluruh dunia, sekitar 10% orang dewasa akan mengalami
gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk pada usia tertentu selama hidupnya
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa. Dari penyakit secara keseluruhan,
gangguan jiwa mencapai 13% dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% di
tahun 2030, gangguan jiwa tersebut berhubungan dengan bunuh diri, gangguan jiwa
mengakibatkan lebih dari 90% dari satu juta kasus bunuh diri . (Pardede, Keliat, &
Wardani, 2013).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) kementrian kesehatan pada tahun
2007, menunjukan sebesar 4,6 per mil (penderita gangguan jiwa berat sebesar empat
sampai lima dari 1000 penduduk indonesia). Sedangkan Rikesdas Tahun 2013
Prevalensi penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa berat sebesar 1,7 per
mil. Departemen kesehatan tahun 2009, mengungkapkan bahwa saat ini lebih dari
28 juta orang jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia, dengan kategori
gangguan jiwa ringan 11,16% dan 0,46% menderita gangguan jiwa berat. Menurut
data statistik direktorat Kesehatan jiwa menunjukkan 70% klien dengan gangguan
jiwa berat terbesar di Indonesia adalah skizofrenia . Sesuai dengan data yang telah
di laporkan
di atas, bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang mempunyai
prevelensi paling tinggi. Sedangkan jumlah pasien meningkat hingga 100% di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara per hari hanya menerima 25-30
penderita pada tahun 2006-2007, dan mengalami peningkatan pada wal tahun 2008,
dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan dan 50 penderita menjalani rawat inap
per harinya (Garcia, 2009).
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa atau penyakit yang dialami oleh 1%
penduduk. Disabilitas pada penderita skizofrenia merupakan akibat dari gejala-gejala
yang serius dan pola perjalanan penyakit kronis, sekitar 80% yang dirawat dengan
gangguan sizofrenia. Sebanyak 25% pasien skizofrenia dapat sembuh, 25% dapat
mandiri, 25% membutuhkan bantuan, dan 25% kondisi berat (keliat, 2006).
Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1% dan biasanya
timbul pada usia sekitar 18-45 tahun, namun penderita skizofrenia ada juga yang baru
berusia 11-12 tahun. Diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia apabila
penduduk indonesia sekitar 200 juta jiwa, dimana sekitar 99% pasien di RS Jiwa di
Indonesia adalah penderita skizofrenia (Arif, 2006). Stigma dan diskriminasi
terhadap penderita skizofrenia lebih besar dari masyarakat disekitarnya
dibandingkan individu yang menderita penyakit medis lainnya. Perlakuan yang tidak
manusiawi sering didapatkan oleh penderita skizofrenia, misalnya
diasingkan,dipasung atau diisolasi dan perlakuan kekerasan. Sebutan orang gila
(insanity atau madness) sering sekali ditujukan terhadap penderita skizofrenia (Arif,
2006).
Frekuensi kekambuhan penderita skizofrenia bertambah disebabkan oleh
ekspresi emosi keluarga yang tinggi. Secara signifikan, pasien skizofrenia yang
tinggal dalam lingkungan keluarga dengan gaya afektif yang negatif atau ekspresi
emosi yang tinggi (highly expressed emotion) lebih sering mengalami kekambuhan
dibandingkan dengan yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan gaya afektif
normal atau ekspresi emosi yang rendah (low expressed emotion). Kemungkinan
kambuh akan bertambah besar apabila keluarga menunjukkan ekspresi emosi secara
berlebihan,
misalnya keluarga sering mengomeli klien atau mengekang klien dengan aturan yang
berlebihan.
Persepsi dalam bentuk verbal dan non verbal disebut dengan ekspresi emosi
yang merupakan aspek penting menentukan efektivitas dalam komunikasi hubungan
interpersonal. Sikap yang ditunjukkan yaitu sikap permusuhan, kritik yang
berlebihan, dan dukungan yang tidak tepat. Pasien dengan keluarga yang lama
kontak lebih atau sama dengan 35 jam per minggu dan mempunyai ekspresi emosi
tinggi mempunyai risiko kambuh atau rawat inap ulang dua kali lebih besar,
prognosis gangguan jiwa dapat diperbaiki apabila ekspresi emosi keluarga terhadap
pasien gangguan jiwa menurun .(Sadock & Sadock, 2007).
Hasil penelitian Carla & Sumarni (2008) yang berjudul “Hubungan antara
ekspresi emosi keluarga pasien dengan kekambuhan penderita skizofrenia di RS dr.
Sardjito Yogyakarta”. Analisis kai kuadrat menunjukkan X2= 8,22 ; p=0,001, hasil
tersebut menunjukkan adanya hubungan antara ekspresi emosi keluarga pasien
dengan tingkat kekambuhan pada skizofrenia.
Adapun prediktor terjadinya kekambuhan antara lain: psikopatologi (tipe
residual, gejala afektif, sindrom paranoid, halusinasi, gejala negatif), onset dan
previous course (akut/kronis, manifestasi awal, upaya bunuh diri, dan faktor
presipitasi), pemberian neuroleptik, kepribadian premorbid, faktor biologi (genetik,
pria/ wanita, dan umur) , pengalaman hidup (pengalaman traumatik, gangguan
psikiatrik dan perkembangan saat anak), social adjustment (status perkawinan,
pekerjaan, pengalaman seksual, dan tingkat pendidikan),dan situasi emosi keluarga
(ekspresi emosi keluarga yang tinggi/rendah) terhadap pasien . Terdapat penelitian
yang juga menyebutkan bahwa adanya riwayat keluarga yang kuat dari skizofrenia
merupakan salah satu faktor risiko tinggi terjadinya kekambuhan (Dewi & Marchira,
2009).
Seorang pasien skizofrenia yang telah menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa dan
diperbolehkan pulang kemudian kembali menunjukkan gejala-gejala sebelum
dirawat inap merupakan keadaan yang disebut dengan relaps. Terdapat potensi
membahayakan bagi pasien dan keluarganya jika relaps terjadi. Pasien harus kembali
melakukan perawatan inap di rumah sakit jiwa (rehospitalisasi) untuk ditangani oleh
pihak yang berwenang apabila relaps terjadi. (Amelia & Anwar, 2013).
Kondisi pemunculan kembali tanda dan gejala satu penyakit setelah mereda
disebut dengan kekambuhan (relapse). Penderita skizofrenia mengalami
kekambuhan sekitar 33% dan kembali mengalami rawat inap sekitar 12,1%.
Penyakit skizofrenia cenderung menjadi kronis, dan belum menunjukkan hasil yang
memuaskan pada sekitar 20 hingga 40% penderita skizofrenia yang diobati.
Kekambuhan penderita skizofrenia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
meliputi ekspresi emosi keluarga, pengetahuan keluarga, ketersediaan pelayanan
kesehatan, dan kepatuhan minum obat (Fadly & Mitra, 2013).
Pasien, keluarga, dan masyarakat akan dirugikan dan berada dalam keadaan
bahaya jika terjadinya relaps pada pasien skizofrenia. Pasien bisa saja berperilaku
menyimpang seperti mengamuk, bertindak anarkis seperti menghancurkan barang-
barang atau yang lebih parah lagi pasien akan melukai bahkan membunuh orang lain
atau dirinya sendiri ketika tanda-tanda kekambuhan atau relaps muncul. Masyarakat
akan menganggap bahwa gangguan yang diderita pasien tersebut sudah tidak bisa
disembuhkan lagi jika hal tersebut terjadi. Dari segi materi, keluarga akan dirugikan
karena jika pasien mengalami rehospitalisasi atau kembali menjalani rawat inap di
rumah sakit jiwa maka akan banyak biaya untuk pengobatan yang harus mereka
dikeluarkan. (Amelia & Anwar, 2013)
Menurut data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Prof.
Dr Muhammad Ildrem Provsu Medan tahun 2014, berjumlah 14.349 orang pasien
gangguan jiwa yang dirawat, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak
11,055 orang (77 %) dan sebanyak 876 orang (58,67%) penderita yang mengalami
kekambuhan. Angka penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prov. Dr Muhammad
Ildrem Provsu tinggi dan sesuai dengan data tersebut karena terjadinya kekambuhan
sebagian besar penderita skizofrenia di rawat kembali. Berdasarkan uraian diatas,
maka penulis tertarik mengetahui apakah ada “Hubungan ekspresi emosi keluarga
dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia di RS. Jiwa Prof.Dr.Muhammad Ildrem
Tahun 2015.”
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka peneliti menyusun
serangkaian rumusan masalah dalam peneliti yaitu :
1. Klien gangguan jiwa ditemukan sebayak 14, 349, orang yang dirawat diruangan
rawat inap di RS. Jiwa Prof, Dr Muhammad Ildrem Provsu Medan dan ditemukan
gangguan skizofrenia sebanyak 11.055 (77,0%)
2. Ditemukan 876 orang pasien dengan kekambuhan.
Berdasarkan data di atas, permasalahan penelitian dirumuskan oleh peneliti yaitu
apakah ada hubungan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan
pasien skizofrenia di RS. Jiwa Prov. Dr. Muhammad Ildrem Medan Tahun 2015.?
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan ekspresi emosi keluarag dengan frekuensi
kekambuahan skizofernia di RS Jiwa Prof. Dr Muhammad Ildrem Provsu Medan
Tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya ekspresi emosi keluarga di RS Jiwa Prof. Dr Muhammad
Ildrem. Provsu Medan Tahun 2015.
b. Diketahuinya frekuensi kekambuhan pasien skizofernia di RS Jiwa Prof.
Dr Muhammad Ildrem Provsu Medan Tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit Jiwa
Dapat dijadikan sebagai masukan bagi perawat Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Sumatra Utara dalam memberikan pelayanan kesehatan khususnya pada klien
yang mengalami skizofrenia.
2. Bagi Keluarga
Dapat menambah pengetahuan keluarga tentang skizofrenia sehingga dapat
merawat dan mampu memahami cara menghadapi anggota keluarga yang
mengalami skizofrenia.
A. Konsep Skizofrenia
1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikofungsional dengan gangguan
utama pada proses pikir (keretakan, perpecahan) antara proses pikir, afek atau
emosi, kemauan dan psikomotor disertai distrosi kenyataan, asosiasi terbagi-bagi
sehingga terjadi ikoherensi, serta mengganggu kemampuan untuk perfikir secara
jernih, membuat keputusan dan berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut
terutama karena adanya waham dan halusinasi. (Townsend, 2009).
Penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas
(halusinasi atau waham), efek tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak
mampu berpikir abstrak) serta mengalami kesukaran melakukan aktifitas sehari-
hari. Hal tersebut merupakan tanda bahwa skizofrenia merupakan suatu
gangguan jiwa berat (Keliat.dkk,2012).
2. Penyebab Skizofrenia.
Sampai saat ini penyebab skizofrenia belum bisa dipastikan. Penelitian ilmiah
menunjukkan bahwa skizofrenia adalah akibat suatu tipe disfungsi otak. Videbeck
(2008), menjelaskan bahwa skizofrenia disebabkan oleh beberapa faktor :
a. Faktor genetik
Penelitian genetik berfokus pada keluarga terdekat, seperti orang tua,
saudara kandung, dan anak cucu untuk melihat apakah skizofrenia diwariskan
atau diturunkan secara genetik. Penelitian telah dilakukan yaitu penelitian anak
kembar yang menunjukkan bahwa kembar identik berisiko mengalami
gangguan sebesar 50%, sedangkan kembar fraternal berisiko 15%. Hal ini
mengindikasikan bahwa skizofrenia sedikit diturunkan. Selain itu, anak-anak
yang memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia memilki risiko
15%, angka ini meningkat sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita
skizofrenia.
b. Faktor neuroanatomi dan neurokimia
Para Ilmuan mampu meneliti struktur otak (neuroanatomi) dan aktivitas
otak (neurokimia). Penelitian neurotomi menunjukkan bahwa individu
penderita skizofrenia memiliki jaringan otak yang relatif lebih sedikit, hal ini
dapat memperlihatkan suatu kegagalan perkembangan atau kehilangan
jaringan selanjutnya. Riset secara konsisten menunjukkan penurunan volume
otak dan fungsi otak yang abnormal pada area temporal dan frontal individu
penderiita skizofrenia. Patologi ini berkorelasi dengan tanda-tanda positif
skizofrenia seperti psikosis dan tanda-tanda negatif seperti tidak memiliki
kemauan, motivasi dan anhedonia.
Penelitian neurokimia secara konsisten memperlihatkan adanya
perubahan system neurotransmitter otak pada individu penderita skizofrenia.
Tampaknya terjadi malfungsi pada jaringan neuron yang mntransmisikan
informasi berupa sinyal-sinyal listrik dari sel saraf melalui aksonnya dan
melewati sinaps ke reseptor pascasinaptik di sel-sel saraf yang lain. Transmisi
sinyal yang melewati sianps memerlukan suatu rangkaian kompleks peristiwa
biokimia. Penelitian memperlihatkan kerja dopamine, serotonin, norepinefrin,
asetilkolin, glutamat, dan bebrapa peptide neuromodular.
c. Faktor imunovirologi
Perubahan patologi otak pada individu penderita skizofrenia dapat
disebabkan oleh pajanan virus, atau respon imun tubuh terhadap virus dapat
mengubah fisiologi otak.
4. Tipe-Tipe Skizofrenia
Tipe-tipe skizofrenia (Arif,2006) yaitu :
a. Skizofrenia tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah adanya waham yang mencolok atau
halusinasi auditorik.Wahamnya biasanya adalah waham kejar atau waham
kebesaran,atau waham degan tema yang lainnya misalnya waham
kecemburuan,keagamaan,atau somatisasi.Halusinasi juga biasanya berkalitan
dengan tema wahamnya.Ciri lainnya meliputi anxiety,kemarahan,menjaga
jarak,dan suka beragumentasi.
b. Skizofrenia tipe Disorganized
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah pembicaraan yang kacau,tingkah laku
kacau dan afek yang datar atau inappropriate.Pembicaraan yang kacau dapat
disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi
pembicaraan.
c. Skizofrenia tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi aktivitas motor yang berlebihan,negativism yang ekstrim,mutism (
sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi),motoric immobility,gerakan-
gerakan yang tidak terkendali,echolalia (mengulang ucapan orang lain) atau
echpraxia (mengikuti tingkah laku orang lain).
d. Skizofrenia tipe Undifferentiated
Skizofrenia tipe ini merupakan sejenis skizofrenia yang dimana gejala-gejala
yang muncul sulit digolongkan pada tipe skizofrenia tertentu.
e. Skizofrenia tipe Residual
Gambaran klinis pada skizofrenia tipe ini tanpa disertai gejala yang menonjol
seperti halnya delusi,halusinasi,pembicaraan kavau,atau tingkah laku
kacau.Terdapat bukti bahwa gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh
adanya negative symptom atau positive symptom yang lebih halus.
5. Terapi Skizofrenia
Ganguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung
berlanjut (kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada skizofrenia
memerlukan waktu relatif lama berbulan bahkan bertahun, hal ini dimaksudkan
untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relapse). Terapi yang dimaksud
meliputi terapi dengan obat-obatan anti Skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi,
terapi psikososial dan terapi psikorelegius (Hawari,2012).
1) Psikofarmaka
Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat-syarat
antara lain sebagai berikut :
a) Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu relatif singkat.
b) Tidak ada efek samping, kalaupun ada relatif kecil.
c) Dapat menghilangkan dalam waktu relatif singkat gejala positif
maupun negatif skizofrenia.
d) Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat).
e) Tidak menyebabkan kantuk.
f) Memperbaiki pola tidur.
g) Tidak menyebabkan habituasi, adiksi, dan dependensi.
h) Tidak menyebabkan lemas otot.
i) Kalau mungkin pemakaiannya dosis tunggal (single dose).
2) Psikoterapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia, baru
dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka sudah
mencapai tahapan di mana kemampuan menilai realitas (Reality Testing
Ability/RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri (insight) sudah
baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap
mendapat terapi psikofarmaka.
Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan dan latar belakang
penderita sebelum sakit (Pramorbid), adapun macam psikoterapi adalah
sebagai berikut :
a) Psikoterapi Suportif, dimaksudkan untuk memberikan dorongan,
semangat dan motivasi agar penderita tidak putus asa dan semangat
juangnya (fighting spirit) dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan
menurun.
b) Psikoterapi Re-edukatif, dimaksudkan untuk memberikan pendidikan
ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu
lalu.
c) Psikoterapi Re-konstruktif, dimaksudkan untuk memperbaiki kembali
(re-konstruksi) kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi
pribadi utuh seperti semula sebelum sakit.
d) Psikoterapi Kognitif, dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi
kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu
membedakan nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan buruk.
e) Psikoterapi Psiko-dinamik, dimaksudkan untuk menganalisa dan
menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan
seseorang jatuh sakit dan upaya untuk mencari jalan keluarnya.
f) Psikoterapi Perilaku, dimaksudkan untuk memulihkan gangguan
perilaku yang terganggu (maladatif) menjadi perilaku yang adaptif
(mampu menyesuaikan diri).
g) Psikoterapi keluarga, dimaksudkan untuk memulihkan hubungan
penderita dengan keluarganya.
3) Terapi Psikososial
Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,
mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain, sehingga tidak menjadi
beban bagi keluarga dan masyarakat.
4) Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap penderita Skizofrenia
dimaksudkan gejala patologis dengan pola sentral keagamaan dapat
diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat
dipulihkan kembali di jalan yang benar.
B. Konsep Kekambuhan
1. Definisi Kekambuhan
Kekambuhan adalah sakit lagi setelah sembuh dari suatu penyakit atau dari
sakit,dan biasanya lebih berat.Kambuh atau relaps,yaitu dimana terulanginya
kembali gejala-gejala yang cukup berat dan memperngaruhi aktivitas sehari-
hari,setelah klien kembali ke rumah dari perawatan di rmah sakit (Maramis,2009).
2. Penyebab
Menurut Sullinger (1088) dalam Yosep (2010) terdapat empat faktor penyebab
klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit yaitu :
a. Klien
Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur
mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak
memakan obat secara teratur.
b. Dokter (pemberi resep)
Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh,namun pemakaian obat
neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia
yang dapat menganggu hubungan sosial seperti geraka yang tidak terkontrol.
c. Penanggung jawab klien
Setelah klien pulang ke rumah maka perawat tetap bertanggung jawab atas
program adaptasi klien di rumah.
d. Keluarga
Berdasarkan penelitian di Inggris (Vaugh,1976) dan di AS (Synder,1981)
memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosional yang tinggi
(bermusuhan,mengkritik, banyak melibatkan diri dengan klien diperkirakan
kambuh dalam waktu 9 bulan,hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga
dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dengan ekspresi
emosi keluarga yang rendah,selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress
yang menyenangkan (naik pangkat,menikah) maupun yang menyedihkan
(kematian/kecelakaan).
3. Gejala
Sullinger (1998) dalam Yosep (2010) mengkaji beberapa gejala kekambuhan yang
diidentifikasi oleh klien dan keluarga yaitu :
a. Nervous
b. Tidak nafsu makan
c. Sukar konsentrasi
d. Sulit tidur
e. Depresi
f. Tidak ada minat
g. Menarik diri
C. Konsep keluarga
1. Definisi keluarga
Keluarga merupakan dua orang atau lebih dihubungkan oleh ikatan perkawinan,
adopsi, kelahiran yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan
budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental,emosional dan
sosial dari tiap anggota (Sudiharto,2007).
2. Tipe keluarga
a. Tipe atau Bentuk Keluarga
Beberapa tipe atau bentuk keluarga menurut Sudiharto (2007) adalah sebagai
berikut:
1) Keluarga inti (Nuclear Family)
Keluarga yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan yang
terdiri dari suam, istri, dan anak-anak, baik dikarenakan kelahiran (natural)
maupun adopsi.
2) Keluarga besar (Extended Family)
Keluarga inti ditambah keluarga yang lain (karena hubungan darah),
misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu termasuk keluarga modern,
seperti orang tua tunggal, keluarga tanpa anak, serta keluarga pasangan
sejanis (guy/lesbian families).
3) Keluarga Campuran (Blended Family)
Keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung dan anak-anak
tiri.
4) Keluarga menurut hukum umum (Common Law Family): Anak-anak yang
tinggal bersama.
5) Keluarga orang tua tinggal
Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita, mungkin karena telah
bercerai,berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah menikah, serta
anak-anak mereka yang tinggal bersama.
6) Keluarga Hidup Bersama (Commune Family)
Keluarga yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak yang tinggal bersama
berbagi hak dan tanggung jawab, serta memiliki kepercayaan bersama.
7) Keluarga Serial (Serial Family)
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin
telah punya anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-masing menikah
lagi serta memiliki anak-anak dengan pasangannya masing-masing, tetapi
semuanya mengganggap sebagai satu keluarga.
8) Keluarga Gabungan (Composite Family)
Keluarga yang terdiri dari suami dengan beberapa istri dan anak-anaknya
(poligami) atau istri dengan beberapa suami dan anak-anaknya (poliandri).
9) Hidup bersama dan tinggal bersama (Cohabitation Family)
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada
ikatan perkawinan yang sah.
3. Dukungan Keluarga
Menurut Kaplan dalam Friedman (2010) dan House dalam setiadi (2008),
komponen-komponen keluarga terdiri dari :
a. Dukungan Emosional
Individu yang menerima dukungan emosional akan merasa berharga jika
dukungan emosional memberikan pasien perasaan nyaman, merasa dicintai
meskipun saat mengalami suatu masalah, bantuan dalam bentuk semangat,
empati, rasa percaya, perhatian . Pada dukungan emosional ini keluarga
memberikan semangat saat pasien dirawat di rumah atau rumah sakit jiwa
dan menyediakan tempat istirahat untuk pasien . Jenis dukungan bersifat
emosional atau menjaga keadaan emosi atau ekspresi. Yang termasuk
dukungan emosional ini adalah kepedulian dan perhatian kepada individu,
ekspresi dari empati. Memberikan individu perasaan yang nyaman,
kehangatan personal, cinta, dan emosi , jaminan rasa memiliki dan merasa
dicintai saat mengalami masalah, bantuan dalam bentuk semangat.
Penguatan kembali perasaan dicintai pasien yaitu apabila stres mengurangi
perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai maka dukungan
dapat menggantikannya . Pasien akan kehilangan harga diri apabila
dibiarkan terus menerus dan tidak terkontrol.
b. Dukungan Informasi
Dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama,
termasuk didalamnya memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan
balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang, memberikan solusi dari
masalah yang dihadapi
pasien di rumah atau rumah sakit jiwa. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan
menyarankan tempat, dokter, dan terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik untuk
melawan stressor bagi individu. Pada dukungan informasi penghimpun informasi dan
pemberi informasi adalah keluarga.
c. Dukungan Nyata
Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan,
bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan, dan
material berupa bantuan nyata ,suatu kondisi dimana benda atau jasa akan
membantu memecahkan masalah kritis, termasuk didalamnya bantuan
langsung seperti saat seseorang membantu pekerjaan sehari-hari, menjaga
dan merawat saat sakit , menyediakan informasi dan fasilitas, serta dapat
membantu menyelesaikan masalah yang disebut dengan (Instrumental
Support/ Material Support). Pada dukungan nyata, sumber untuk mencapai
tujuan praktis adalah keluarga. Meskipun sebenarnya, dalam bentuk uang
atau perhatian yang bertujuan untuk proses pengobatan ,setiap orang dengan
sumber-sumber yang tercukupi dapat memberikan dukungan. Akan tetapi,
akan lebih efektif jika dukungan nyata dihargai oleh penerima dengan tepat.
Akan menambah stress individu apabila pemberian dukungan nyata yang
berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan perasaan berhutang.
d. Dukungan Pengharapan
Dukungan pengharapan merupakan dukungan yang diberikan keluarga
kepada pasien berupa dorongan dan motivasi . Dukungan ini merupakan
dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian terhadap individu yang
positif. Tentang masalah pasien, mereka mempunyai seseorang yang dapat
diajak bicara, terjadi melalui ekspresi penghargaan positif keluarga kepada
pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan pasien.
Dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus
pada aspek-aspek positif, dukungan keluarga ini dapat membantu
meningkatkan strategi
koping pasien. Dalam dukungan pengharapan, persepsi pasien akan
ancaman dapat dipengaruhi oleh kelompok dukungan. Dukungan keluarga
dapat membantu pasien mengatasi masalah dan mendefinisikan kembali
situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan dengan memberikan umpan balik
dan mampu membangun harga diri pasien ,keluarga bertindak sebagai
pembimbing.
Dalam keluarga sering terjadi ekspresi emosi yang sulit terkendali sehingga
mencetuskan kekambuhan, menurunkan kadar ekspresi emosi keluarga terhadap
gangguan jiwa akan dapat memperbaiki prognosis gangguan jiwa termasuk
memperbaiki fungsi sosial dan peran yang selanjutnya dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien skiofrenia (Glashan & Hoffman, dalam Badriyah 2011).
18
Menurut hasil penelitian Fadly & Mitra, (2013) Pengetahuan dan Ekspresi
Emosi Keluarga serta Frekuensi Kekambuhan Penderita Skizofrenia.
Berdasarkan analisis bivariat dengan uji korelasi dan regresi linier sederhana
diperoleh bahwa pengetahuan keluarga, sikap keluarga, dan dukungan keluarga
mempunyai hubungan yang kuat dan berarah negatif dengan nilai R masing-
masing -0,747; -0,602; dan -0,617. Hal tersebut berarti semakin tinggi
pengetahuan keluarga, semakin berkurang frekuensi kekambuhan penderita
skizofrenia. Semakin baik sikap keluarga, semakin berkurang frekuensi
kekambuhan penderita skizofrenia. Semakin tinggi dukungan keluarga, semakin
berkurang frekuensi kekambuhan penderita. Sedangkan Untuk variabel ekspresi
emosi keluarga, besar hubungan adalah sedang dengan arah yang positif berarti
semakin meningkat ekspresi emosi semakin meningkatkan frekuensi
kekambuhan penderita skizofrenia.
D. Kerangka konsep
Skema 2.1
Kerangka konsep penelitian
E. Hipotesis
Ha: Ada hubungan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien
skizofrenia di Poliklinik RS Jiwa Prof. DR. Muhammmad Ildrem Medan Tahun
2015.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi dengan menggunakan
pendekatan Cross-Sectional karena pada saat melakukan penelitian, penulis hanya
melakukan satu kali penelitian terhadap subjek yang diteliti dalam waktu yang
bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ekspresi emosi
keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia di Poliklinik RS Jiwa
Prof. dr. Muhammmad Ildrem Medan.
Data yang diperoleh dari Medical Records Rumah Sakit Jiwa Prov.Dr
Muhammad ildrem Provsu Medan tahun 2014. Pasien skizofrenia yang rawat
jalan 11.055 orang dan yang kambuh berjumlah 876 orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian kelurga pasien yang datang untuk
rawat jalan di Poliklinik RS Jiwa Prof. dr. Muhammad Ildrem Medan. Teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Accidental sampling. Ini
dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau
tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian. (Notoatmodjo 2010).
Kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini adalah :
a. Kelurga yang memiliki anggota kelurga yang menderita skizofrenia lebih
satu kali rawat Jalan di RS Jiwa Prof. dr. Muhammad Ildrem Medan
19
20
Adapun rumus untuk menentukan jumlah sampel yang digunakan oleh peneliti
yaitu dengan menggunakan rumus Arikunto (2006), jika jumlah populasi >100
maka diambil 10%-15% atau 20%-25%, maka dalam proposal penelitian ini
diambil 10% dari jumlah populasi yaitu:
876
= 88 orang
Jadi jumlah sampel yang telah ditetapkan oleh penulis berjumlah 88 orang.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik RS Jiwa Prof. DR. Muhammmad Ildrem
Medan Tahun 2015.
D. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan Februari s/d Juni 2015.
E. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional Penelitian
Alat Skala
Variabel Defenisi Operasional Hasil Ukur
Ukur Ukur
Variabel Sikap kelurga yang ditunjukan dengan Kuisioner 1. EE Tinggi: Ordinal
independent: ekspresi emosi yang tinggi atau rendah 46 – 72
Ekspresi emosi yang dapat mengakibatkan prognosis 2. EE
keluarga yang buruk pada anggota keluarga yang Rendah:
menderita skizofrenia yang rawat jalan 18 - 45
dirumah sakit jiwa Prof.dr Muhammad
Ildrem Provsu Medan.
Variabel Terjadinya kekambuhan pada pasien Lembar 1. > 2 Kali Ordinal
dependent: satu kali atau lebih sehingga pasien Observasi 2. 2 Kali
Frekuensi skizofrenia kembali dirawat jalan di 3. 1 Kali
kekambuhan rumah sakit jiwa Prof.dr Muhammad
skizofrenia Ildrem Provsu Medan.
21
F. Aspek Pengukuran
1. Ekspresi Emosi Keluarga
Untuk mengukur ekspresi emosi keluarga dengan memberikan kuisioner kepada
responden sebanyak 18 pernyataan yang sudah diuji Validitas dan Reliabilitas.
Jika responden menjawab “sangat jarang” diberi nilai 1, “jarang” diberi nilai 2,
“sering” diberi nilai 3, “sangat sering” diberi nilai 4. Jadi skor tertinggi adalah 76
dan skor terendah adalah 18. Selanjutnya akan dikategorikan dengan
menggunakan rumus statistik menurut (Hidayat, 2009).
P=
Keterangan :
P= Panjang kelas
R = Rentang (Skor tertinggi-skor terendah)
BK = Banyak kelas
P=
P= 27
b. Data Sekunder
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan hasil survey yang dilakukan
oleh peneliti terdahulu tentang hubungan ekspresi emosi keluarga dengan
frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia dan Data yang diperoleh dari
Medical Records Rumah Sakit Jiwa Prov.Dr Muhammad ildrem Provsu
Medan tahun 2014. Pasien skizofrenia yang rawat jalan 11.055 orang dan
yang kambuh berjumlah 876 orang.
H. Etika Penelitian
Dalam penelitian ini sebelum peneliti mendatangi calon responden untuk meminta
kesediaan menjadi responden penelitian. Peneliti harus melalui beberapa tahap
pengurusan perijinan sebagai berikut ; Peneliti meminta surat ijin dari Dekan
Fakultas Keperwatan & Kebidanan untuk mengambil data Survei awal di RS Jiwa
Prof. Dr Muhammad Ildrem Provsu Medan. Kemudian peneliti mendatangi calon
responden dan meminta persetujuan calon responden untuk menjadi responden
penelitian. Setelah mendapatkan persetujuan barulah dilaksanakan penelitian dengan
memeperhatikan etika-etika dalam melakukan penelitian yaitu:
24
3. Justice (Keadilan)
Prinsip keterbukaan dalam penelitian mengandung makna bahwa penelitian
dilakukan secara jujur, tepat, cermat, hati-hati dan dilakukan secara
professional. Sedangkan prinsip keadilan mengandung makna bahwa penelitian
memberikan keuntungan dan beban secara merata sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan subjek.
b. Coding
Pengkodingan pada umur responden diberi koding 1 untuk umur 18 – 40
tahun, koding 2 untuk umur 41 – 60 tahun dan koding 3 untuk umur > 60
tahun ; pengkodingan pada jenis kelamin, peneliti memberika koding 1
untuk perempuan dan koding 2 untuk laki – laki; pengkodingan pada
pekerjaan, peneliti memberikan koding 1 untuk pekerjaan petani, koding 2
untuk pegawai swasta, koding 3 untuk ibu rumah tangga, koding 4 untuk
PNS, koding 5 untuk pengangguran, koding 6 untuk pekerjaan lainnya;
pengkodingan untuk pendidikan tertinggi, peneliti memberian koding 1
untuk SD, koding 2 untuk SMP, koding 3 untuk SMA dan koding 4 untuk
sarjana; pengkodingan pada hungan keluarga, peneliti memberi koding 1
untuk ayah, koding 2 untuk ibu, koding 3 untuk kakak, koding 4 untuk adik,
koding 5 untuk suami, koding 6 untuk istri, koding 7 untuk anak dan koding
8 untuk lainnya; pengkodingan pada jumlah keluarga, peneliti memberi
koding 1 untuk 1 – 5 orang, koding 2 untuk > 5 orang; pada variabel ekspresi
emosi keluarga, peneliti memberi koding 1 untuk ekspresi emosi tinggi dan
koding 2 untuk ekspresi emosi rendah; dan untuk variabel frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia, peneliti memberi koding 1 untuk > 2 kali,
koding 2 untuk 2 kali dan koding 3 untuk frekuensi kekambuhan 1 kali.
c. Entry Data
Setelah peneliti memberikan koding, maka data tersebut diproses dengan
cara memasukkan ke dalam program computer.
27
d. Tabulating
Memasukkan data ke dalam table distribusi frekuensi maupun tabulasi
silang dari kedua variabel dan karakteristik responden untuk mempermudah
pengolahan dan analisi data dan pengambilan keputusan apakah ada
hubungan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan
skizofrenia.
2. Analisa data
a. Univariat
Analisa univariat digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari
karakteristik responden yaitu umur, jenis kelamin, pekerjaan, pekerjaan,
peendidikan tertinggi, hubungan keluarga, jumlah keluarga dan variabel
penelitian yaitu ekspresi emosi keluarga dan frekuensi kekambuhan
b. Bivariat
Dalam penelitian ini, analisa data secara statistik dilakukan dengan
menggunakan uji non parametric yaitu uji statistik chi-square dengan α = <
0,05 dan CI 95% untuk mengetahui hubungan ekspresi emosi keluarga
dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia di Poliklinik RS Jiwa
Prof. DR. Muhammmad Ildrem Medan Tahun 2015. Setelah dilakukan
analisis statistik chi-square, ada hubungan ekspresi emosi keluarga dengan
frekuensi kekambuhan penyakit skizofrenia dengan p value = 0,000.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian mengenai hubungan ekspresi emosi
keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia di RSJ. Prof. DR.
Muhammad Ildrem Provsu Medan Tahun 2015.
1. Gambaran Umum RSJ. Prof. DR. Muhammad Ildrem Provsu Medan
Rumah Sakit Umum Daerah Sumatra Utara Medan adalah satu-satunya rumah
sakit jiwa pemerintah daerah Sumatra utara Rumah Sakit ini terletak di Padang
Bulan km 10 dengan luas tanah ± 38.210 m². Dengan alamat Jl. Tali Air No. 21
Medan. Pelayanan di Rumah sakit Jiwa Daerah Sumatera Utara Medan di bagi
menjadi dua unit pelayanan yaitu pelayanan rawat jalan dan pelayanan rawat
inap. Perawat dipoliklinik jarang memberikan penyuluhan kepada keluarga
mengenai Hubungan ekspresi emosi keluarga. Sedangkan Kekambuhan pasien
skizofrenia dipengaruhi oleh sikap keluarga yang merawat penderita
skizofrenia.
2. Analisa Univariat
a. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini berjumalah 88 orang keluarga pasien yang
datang untuk rawat jalan di poliklinik RS Jiwa Prof. dr. Muhammad Ildrem
Medan tahun 2015. Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah
umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, hubungan keluarga dan jumlah
keluarga.
28
29
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Karakteristik
Umur, Jenis Kelamin, Pekerjaan, Pendidikan, Hubungan Keluarga
dan Jumlah Keluarga di Poliklinik RS Jiwa
Prof. dr. Muhammad Ildrem Medan
Tahun 2015 (n = 88)
Variabel n %
Umur 18 – 40 Tahun 59 67
41 – 60 Tahun 27 30.7
> 60 Tahun 2 2.3
Jenis Kelamin Perempuan 43 48.9
Laki – Laki 45 51.1
Pekerjaan Petani 29 33
Pegawai Swasta 20 22.7
IRT 22 25
PNS 9 10.2
Pengangguran 2 2.3
Lainnya 6 6.8
Pendidikan SD 7 8
SMP 27 30.7
SMA 38 43.2
Sarjana 16 18.2
Hubungan Ayah 16 18.2
Keluarga Ibu 9 10.2
Kakak 22 25
Adik 17 19.3
Suami 6 6.8
Istri 5 5.7
Anak 12 13.6
Lainnya 1 1.1
Jumlah Keluarga 1 – 5 Orang 59 67
> 5 Orang 29 33
c. Frekuensi Kekambuhan
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia
di RSJ. Prof. dr. Muhammad Ildrem PROVSU Medan Tahun 2015 (n = 88)
Frekuensi Kekambuhan n %
> 2 Kali 7 8,0
2 Kali 21 23,9
1 Kali 60 68,2
3. Analisa Bivariat
Tabel 4.4
Hasil Uji Chi-SquareAntara Ekspresi Emosi Keluarga Dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien
Skizofrenia di RSJ. Prof. dr. Muhammad Ildrem PROVSU Medan Tahun 2015 (n = 88)
Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa dari keluarga yang memiliki ekspresi
emosi tinggi sebanyak 27,3%, dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia
yang mengalami frekuensi kekambuhan > 2 kali sebanyak 8,0%, pasien
skizofrenia mengalami frekuensi kekambuhan 2 kali sebanyak 14,8% dan
mengalami frekuensi kekambuhan 1 kali sebanyak 4,5%. Sedangkan dari 72,7%
keluarga yang memiliki ekspresi emosi rendah, mayoritas 63,6% pasien
skizofrenia mengalami kekambuhan 1 kali.
Setelah uji chi-square dapat di lihat bahwa nilai p value = 0,000 menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara ekspresi emosi keluarga dengan
frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia.
B. Pembahasan
1. Interpretasi dan Diskusi Hasil
a. Ekspresi Emosi Keluarga
Ekspresi emosi keluarga merupakan persepsi dalam bentuk verbal dan non
verbal merupakan aspek penting dalam menentukan efektifitas dalam
berkomunikasi dengan pasien skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian
yang didapatkan menunjukkan bahwa mayoritas keluarga skizofrenia
32
memiliki ekspresi emosi yang rendah sebanyak 72,7%. Hal ini sesuai
dengan jawaban responden yang mengatakan bahwa jarang keluarga yang
mengatakan bahwa pasien skizofrenia menjengkelkan, keluarga
mengatakan bahwa pasien sudah mau melakukan tanpa disuruh, keluarga
sudah tidak mengatakan tidak bisa berpikir lagi tentang nasib pasien
skizofrenia, keluarga sudah mau merawat pasien skizofrenia, keluarga sudah
tidak mengkritiknya lagi. Ini menunjukkan bahwa mayoritas keluarga
pasien skizofrenia memiliki yang baik pasien skizofrenia baik verbal
maupun non verbal. Namun dari hasil penelitian di atas masih ada keluarga
pasien skizofrenia yang memiliki ekspresi emosi tinggi sebanyak 27,3%.
Hal ini dapat dilihat dari hasil kuesioner yang diberikan kepada keluarga
pasien skizofrenia di RSJ. Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provsu Medan tahun
2015 bahwa mereka sering tidak bisa tidur karena pasien skizofrenia 47,7%,
sering pasien skizofrenia melakukan hal – hal yang menyebalkan sehingga
membuat keluarga kesal 35,2%, keluarga sering memaksa pasien
skizofrenia untuk mengubah perilakunya 38,6%, keluarga sering marah
pada pasien skizofrenia 38,6%, dan keluarga tidak peduli terhadap pasien
skizofrenia 36,4%. Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa masih ada
keluarga yang memiliki ekspresi emosi yang tinggi dalam melakuka
perawatan pasien skizofrenia di rumah sedangkan menurut Sadock (2007),
bahwa ekspresi emosi keluarga yang rendah akan memperbaiki prognosis
gangguan jiwa yang di alami oleh pasien skizofrenia.
Peneliti berasumsi bahwa ekspresi emosi keluarga sudah bagus dengan mau
merawat pasien skizofrenia dan sudah banyak keluarga yang tidak marah
lagi pada pasien skizofrenia. Ekspresi emosi keluarga ini juga berhubungan
dengan umur, jenis kelamin dan hubungan keluarga. Semakin dewasa yang
merawat pasien skizofrenia maka akan mempengaruhi ekspresi emosi
keluarga. Jika yang merawat pasien skizofrenia adalah maka akan
mempengaruhi prognosis perbaikan pasien skizofrenia karena perempuan
memiliki sifat feminim yang tidak mau marah terhadap seseorang dan jika
yang merawat adalah keluarga maka pasien memiliki motivasi yang tinggi
untuk sembuh.
Setelah dilakuan uji chi-square dapat di lihat bahwa nilai p value = 0,000
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara ekspresi emosi
keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia
2. Keterbatasan Penelitian
Setelah peneliti melakukan penelitian di RSJ. Prof. Dr. Muhammad Ildrem
Provsu Medan tahun 2015, peneliti mengalami keterbatasan yaitu: Peneliti tidak
mengetahui tingkat pengetahuan keluarga pasien skizofrenia tentang penyakit
skizofrenia dan cara merawat penderita skizofrenia karena pengetahuan
merupakan salah satu faktor yang dapat berhubungan dengan frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia.
A. Kesimpulan
Setelah peneliti melakukan penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa
1. Mayoritas ekspresi emosi keluarga di RSJ. Prof. Dr. Muhammad Ildrem
PROVSU Medan tahun 2015 adalah rendah
2. Mayoritas frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia di RSJ. Prof. Dr.
Muhammad Ildrem PROVSU Medan tahun 2015 yaitu 1 kali.
3. Ada hubungan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan
skizofrenia di RSJ. Prof. Dr. Muhammad Ildrem PROVSU Medan tahun 2015
dengan nilai p value = 0,000 artinya semakin tinggi ekspresi emosi keluarga
maka semakin tinggi frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia sedangkan
semakin rendah ekspresi emosi keluarga maka semakin rendah frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia.
B. Saran
1. Bagi RSJ. Prof. Dr. Muhammad Ildrem PROVSU Medan
Diharapkan agar petugas kesehatan di RSJ. Prof. Dr. Muhammad Ildrem
PROVSU Medan memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga pasien
skizofrenia yang berkunjung ke RSJ terutama tentang cara perawatan pasien
skizofrenia dan hal – hal yang dapat mempengaruhi kekambuhan pasien
skizofrenia.
39
40
Amelia, D.R., & Anwar, Z. (2013). Relaps Pada Pasien Skizofrenia Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan. Fakultas Psikologis Universitas Muhammadyah Malang.
Arif, (2006). Buku Ajar Memahami Dinamika keluarga pasien, Refika aditama.
Bandung.
Arikunto, (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Ed.VI. Jakarta: EGC
Carla, & Sumarni, (2008). Hubungan Antara Ekspresi Emosi Keluarga Pasien Dengan
Kekambuhan Penderita Skizofrenia di RS Dr. Sardjito Yogyakarta, Berita
kedokteran masyarakat.
Dewi, R & Marchira, C R. (2009). Riwayat Gangguan Jiwa Pada Keluarga Dengan
Kekambuhan Pasien Skizofrenia. Jurnal Berita Kedokteran Masyrakat
Dion, Y,; & Betan, Y. (2013). Asuhan keperawatan keluarga konsep dan praktik,
Yogyakarta.
Durand & Barlow, (2007). Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fadly, & Mitra. (2013). Pengetahuan dan Ekspresi Emosi Keluarga serta Frekuensi
Kekambuhan Penderita Skizofrenia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
Program Studi Magister Ilmu Kesehatan STIKes Hang Tuah Pekanbaru.
Garcia,(2009). Gangguan Jiwa Makin Merebak. (http : www. inilah. com /berita/ gaya-
hidup/gangguan-jiwamakin-merebak. Diperoleh 10 April 2015).
Hidayat. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika.
Keliat, BA. et al. (2006). Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa
. Jakarta : EGC
Maramis, W.F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga University
Press.
Marchira, (2008). Hubungan antara Eksprsi Emosi Keluarga Pasien dengan Kekambuhan
Penderita Gangguan Jiwa Psikotik di RS DR Sardjito Yokyakarta. Berita
Kedokteran Masyarakat. 24(4):172-175
Nirmala A,R. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Klien
Skizofrenia Dipoliklinik GM0 RSJ prof. Dr. Hb. Sa’anin Padang, Skripsi Fakultas
Keperawatan Universitas Andalas.
Sadock, (2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/ Clinical
Psychiatry, 10th Edition. Schizophrenia. Lippincott Williams & Wilkins.
Setiadi, (2006). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Edisi 1. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Shaffer, K.A, (2005). On the nature and function of emotion: A component Process
approach. In K.R Scherer & P.E, Ekman.
Shives L. R. (2012). Basic Concepts Of Psychiatric Mental Health Nursing. (8th ed).
Philadelphia: Lippicontt William & ilkins.
Siahaan, C.P. & Wardiah, D. (2012). Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Ketidak patuhan
Minum Obat Pasien Skizofrenia Yang Mengalami Relaps Di Rumah Sakit Jiwa
Provsu Medan, Skripsi USU.
Kepada Yth :
Responden
di
Tempat
Dengan Hormat
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Tumesas Kadupe laia
Nim : 11.02.046
Peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas dan data yang responden berikan. Informasi
yang responden berikan akan saya simpan seaman mungkin dan apabila dalam pemberian
informasi ada yang kurang mengerti maka responden dapat menanyakannya kepada
peneliti.
Demikian permohonan ini, atas bantuan dan kerjasama yang baik saya ucapkan terima
kasih.
Kepada Yth :
Calon Responden
di
Tempat
Dengan Hormat
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Tumesas Kadupe laia
Nim : 11.02.046
Sehubungan dengan penyusunan laporan penelitian yang akan saya lakukan dengan judul
“Hubungan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia”
di RS Jiwa Muhammad Ildrem Provsu Medan Tahun 2015. Yang merupakan untuk
memperoleh gelar S1 Keperawatan di Program Study Ilmu Keperawatan Fakultas
Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan.
Untuk keperluan tersbut dengan kerendahan hati saya mohon kesediaan saudara/I untuk
menjadi responden dalam penelitian ini dengan mengisi kuisioner dengan kejujuran dan
apa adanya. Jawaban dari saudara/i dijamin kerahasiaan nya.
Demikian permohonan saya ini, atas kesediaan dan kerjasama saudara/i saya ucapkan
banyak terimakasih.
MASTER DATA
Hubungan Ekspresi Emosi Keluarga Dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia
di RS Jiwa Prov.DR.Muhammad Ildrem Prov. Medan Tahun 2015
Keterangan
Pendidikan
Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Tertinggi Hubungan Keluarga Jumlah Keluarga
1. 1. 1 - 5
1. 18 - 40 Tahun 1. Perempuan 1. Petani SD 1. Ayah Orang
2.
2. 41 - 60 Tahun 2. Laki - Laki 2. Pegawai Swasta 2. SMP Ibu 2. > 5 Orang
3.> 60 Tahun 3. IRT 3. SMA 3. Kakak
4. PNS 4. Sarjana 4. Adik
5. Pengangguran 5. Suami
6. Lainnya 6. Istri
7. Anak
Ekspresi Emosi Keluarga Frekuensi Kekambuhan 8. Lainnya
1. Ekspresi Emosi Tinggi 1. > 2 Kali
2. Ekspresi Emosi Rendah 2. 2 Kali
3. 1 Kali
Lampiran 9
OUTPUT SPSS
Frequencies
Frequency Table
Pernyataan 1
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 20 22.7 22.7 22.7
Jarang 40 45.5 45.5 68.2
Sering 25 28.4 28.4 96.6
Sangat Sering 3 3.4 3.4 100.0
Total 88 100.0 100.0
Pernyataan 2
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 15 17.0 17.0 17.0
Jarang 41 46.6 46.6 63.6
Sering 31 35.2 35.2 98.9
Sangat Sering 1 1.1 1.1 100.0
Total 88 100.0 100.0
Pernyataan 3
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 11 12.5 12.5 12.5
Jarang 46 52.3 52.3 64.8
Sering 31 35.2 35.2 100.0
Total 88 100.0 100.0
Pernyataan 4
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 10 11.4 11.4 11.4
Jarang 33 37.5 37.5 48.9
Sering 42 47.7 47.7 96.6
Sangat Sering 3 3.4 3.4 100.0
Total 88 100.0 100.0
Pernyataan 5
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 10 11.4 11.4 11.4
Jarang 36 40.9 40.9 52.3
Sering 38 43.2 43.2 95.5
Sangat Sering 4 4.5 4.5 100.0
Total 88 100.0 100.0
Pernyataan 6
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 13 14.8 14.8 14.8
Jarang 30 34.1 34.1 48.9
Sering 38 43.2 43.2 92.0
Sangat Sering 7 8.0 8.0 100.0
Total 88 100.0 100.0
Pernyataan 7
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 9 10.2 10.2 10.2
Jarang 32 36.4 36.4 46.6
Sering 38 43.2 43.2 89.8
Sangat Sering 9 10.2 10.2 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 8
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 13 14.8 14.8 14.8
Jarang 31 35.2 35.2 50.0
Sering 31 35.2 35.2 85.2
Sangat Sering 13 14.8 14.8 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 9
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 18 20.5 20.5 20.5
Jarang 24 27.3 27.3 47.7
Sering 34 38.6 38.6 86.4
Sangat Sering 12 13.6 13.6 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 10
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 18 20.5 20.5 20.5
Jarang 29 33.0 33.0 53.4
Sering 34 38.6 38.6 92.0
Sangat Sering 7 8.0 8.0 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 11
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 20 22.7 22.7 22.7
Jarang 31 35.2 35.2 58.0
Sering 32 36.4 36.4 94.3
Sangat Sering 5 5.7 5.7 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 12
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 16 18.2 18.2 18.2
Jarang 37 42.0 42.0 60.2
Sering 26 29.5 29.5 89.8
Sangat Sering 9 10.2 10.2 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 13
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 24 27.3 27.3 27.3
Jarang 31 35.2 35.2 62.5
Sering 23 26.1 26.1 88.6
Sangat Sering 10 11.4 11.4 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 14
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 17 19.3 19.3 19.3
Jarang 35 39.8 39.8 59.1
Sering 33 37.5 37.5 96.6
Sangat Sering 3 3.4 3.4 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 15
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 15 17.0 17.0 17.0
Jarang 36 40.9 40.9 58.0
Sering 30 34.1 34.1 92.0
Sangat Sering 7 8.0 8.0 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 16
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 14 15.9 15.9 15.9
Jarang 37 42.0 42.0 58.0
Sering 32 36.4 36.4 94.3
Sangat Sering 5 5.7 5.7 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 17
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 23 26.1 26.1 26.1
Jarang 39 44.3 44.3 70.5
Sering 24 27.3 27.3 97.7
Sangat Sering 2 2.3 2.3 100.0
Total 88 100.0 100.0
pernyataan 18
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sangat Jarang 37 42.0 42.0 42.0
Jarang 37 42.0 42.0 84.1
Sering 14 15.9 15.9 100.0
Total 88 100.0 100.0
Frequencies
Frequency Table
Umur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 18 - 40 Tahun 59 67.0 67.0 67.0
41 - 60 Tahun 27 30.7 30.7 97.7
> 60 Tahun 2 2.3 2.3 100.0
Total 88 100.0 100.0
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Perempuan 43 48.9 48.9 48.9
Laki - Laki 45 51.1 51.1 100.0
Total 88 100.0 100.0
Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Petani 29 33.0 33.0 33.0
Pegawai Swasta 20 22.7 22.7 55.7
IRT 22 25.0 25.0 80.7
PNS 9 10.2 10.2 90.9
Pengangguran 2 2.3 2.3 93.2
Lainnya 6 6.8 6.8 100.0
Total 88 100.0 100.0
Pendidikan Tertinggi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid SD 7 8.0 8.0 8.0
SMP 27 30.7 30.7 38.6
SMA 38 43.2 43.2 81.8
Sarjana 16 18.2 18.2 100.0
Total 88 100.0 100.0
Hubungan Keluarga
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ayah 16 18.2 18.2 18.2
Ibu 9 10.2 10.2 28.4
Kakak 22 25.0 25.0 53.4
Adik 17 19.3 19.3 72.7
Suami 6 6.8 6.8 79.5
Istri 5 5.7 5.7 85.2
Anak 12 13.6 13.6 98.9
Lainnya 1 1.1 1.1 100.0
Total 88 100.0 100.0
Jumlah Keluarga
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 - 5 Orang 59 67.0 67.0 67.0
> 5 Orang 29 33.0 33.0 100.0
Total 88 100.0 100.0
Frekuensi Kekambuhan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid > 2 Kali 7 8.0 8.0 8.0
2 Kali 21 23.9 23.9 31.8
1 Kali 60 68.2 68.2 100.0
Total 88 100.0 100.0
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Ekspresi Emosi Keluarga * 88 100.0% 0 .0% 88 100.0%
Frekuensi Kekambuhan
Ekspresi Emosi Keluarga * Frekuensi Kekambuhan Crosstabulation
Frekuensi Kekambuhan
> 2 Kali 2 Kali 1 Kali Total
Ekspresi Emosi Keluarga Ekpresi Emosi Tinggi Count 7 13 4 24
% within Ekspresi Emosi 29.2% 54.2% 16.7% 100.0%
Keluarga
% of Total 8.0% 14.8% 4.5% 27.3%
Ekspresi Emosi Rendah Count 0 8 56 64
% within Ekspresi Emosi .0% 12.5% 87.5% 100.0%
Keluarga
% of Total .0% 9.1% 63.6% 72.7%
Total Count 7 21 60 88
% within Ekspresi Emosi 8.0% 23.9% 68.2% 100.0%
Keluarga
% of Total 8.0% 23.9% 68.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 44.210 2 .000
Likelihood Ratio 45.826 2 .000
Linear-by-Linear Association 43.289 1 .000
N of Valid Cases 88
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.91.