TINJAUAN PUSTAKA
vermiformis, dan sampai saat ini masih merupakan penyebab akut abdomen yang
Jean Fernel dari Prancis memberikan deskripsi acute typhlitis (berasal dari
1554. Dia menemukan obstruksi lumen sekum dan apendiks dengan nekrosis,
perforasi dan spillage dari isi usus ke dalam kavitas abdomen. Tahun 1711,
infeksi primer dan tempat terbentuknya abses pada kasus acute typhlitis. Tahun
Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh
Reginald Heber Fitz pada tahun 1886. Dia mengemukakan hubungan antara
apendisitis dengan penyakit inflamasi yang berasal dari perut kanan bawah serta
6
7
“Gridiron” yang sampai sekarang masih dipakai. Pada tahun 1902, kasus
apendisitis akut mulai dikenal oleh mayarakat umum pada saat Raja Edward VII
terkena penyakit tersebut dan membaik setelah Lord Joseph Lister dan Sir
bervariasi, dari agenesis komplit sampai lebih dari 30 cm, akan tetapi biasanya
berukuran 5-10 cm dan lebar sekitar 0,5-1 cm. Jarak apendiks sekitar 2,5 cm di
pelvik (31%), preileal (1%), postileal (1,5%), promontorik (1%) dan subsekal
(2,3%) (Gambar 2.1) (Wakeley, 1933; Rybkin dan Thoeni, 2007). Pangkal
sepertiga bagian lateralis dan sepertiga bagian tengah dari garis Monro-Richter,
yaitu garis antara spina iliaka anterior superior dan umbilikus) (Shelton, dkk.,
2003).
Sekum mendapat darah dari arteri sekalis dan apendiks vermiformis dari
arteri apendikularis, keduanya cabang dari arteri ileokolika. Darah vena dialirkan
nodus limfatik presekalis dan dari apendiks vermiformis ke nodus limfatikus pada
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral
Apendiks menghasilkan lendir 2-3 ml per hari. Lendir itu secara normal
yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang merupakan
zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan
imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks
kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain dan di
sering ditemukan. Di Inggris terdapat 40.000 pasien dengan apendisitis akut yang
didapatkan angka insidensi yang meningkat setiap tahunnya, yaitu dari 7,62
menjadi 9,38 per 10.000 orang antara tahun 1993-2008 (Buckius, dkk., 2012).
(Anderson, dkk., 2012; Petroianu, 2012). Apendisitis akut dapat terjadi pada
semua kelompok usia, akan tetapi hal ini sangat jarang pada orang dengan usia
sangat lanjut. Frekuensi apendisitis akut tertinggi ditemukan pada kelompok usia
kompleks adalah 3:1 (Buckius, dkk., 2012). Apendisitis akut banyak didapatkan
pada ras kulit putih yaitu sebesar 74% dan paling jarang pada kulit hitam yaitu
yang signifikan pada ras hispanik, asia dan orang asli amerika sedangkan pada ras
angka kejadian apendisitis akut pada dewasa muda yaitu usia 10-19 tahun (Humes
menunjukkan penurunan insiden apendisitis akut antara tahun 1996 dan 2004.
Penurunan apendisitis akut pada laki-laki kelompok usia 10-14 tahun adalah
10
Tabel 2.1.
Frekuensi pasien dengan apendisitis sederhana maupun komplikata
(Buckius, dkk., 2012)
sebesar 27,8% dan pada kelompok usia 15-19 tahun adalah 12,8%. Tren ini juga
sama pada populasi perempuan dengan penurunan insiden sebesar 35,9% pada
kelompok usia 10-14 tahun dan menurun menjadi 22,5% pada kelompok usia 15-
19 tahun. Sebuah studi retrospektif di Spanyol yang dilakukan antara tahun 1998-
2012).
Rasio terjadinya perforasi lebih tinggi pada anak kecil dan orang lanjut
usia. Angka terjadinya perforasi pada anak kecil berumur kurang dari 5 tahun
sebesar 82% dan mendekati 100% pada anak usia 1 tahun. Secara keseluruhan,
Apendisitis akut yang terjadi pada orang lanjut usia atau lebih dari 50 tahun
11
sangatlah jarang. Keadaan ini lebih disebabkan oleh penyakit lain, seperti tumor
(Carr, 2000).
Hingga saat ini etiologi dari apendisitis akut masih belum jelas diketahui
dengan pasti. Selama ini dipercaya bahwa obstruksi lumen apendiks merupakan
penyebab tersering, diikuti oleh infeksi bakteri sekunder pada dinding apendiks.
Fekalit, hiperplasi limfoid, benda asing, parasit dan tumor merupakan penyebab
obstruksi pada apendisitis akut (Prystowsky, 2005; Birnbaum dan Wilson, 2000).
Dennis (1939) ditemukan obstruksi lumen yang pada akhirnya menjadi apendisitis
berlanjut menjadi inflamasi. Obstruksi lumen yang terjadi pada bagian proksimal
apendiks hanya 1 ml, dimana peningkatan volume intralumen sebesar 0,5 ml dapat
hipoksik dan terjadi ulserasi. Hal ini menimbulkan kerusakan pada barrier
12
(20%). Secara umum, lebih dari 10 jenis bakteri dapat ditemukan. Perbandingan
bakteri anaerobik dan aerobik adalah 3:1. Pada tahap awal apendisitis akut,
kerusakan mukosa yang terjadi oleh karena infeksi dan inflamasi merupakan
menyebabkan nyeri yang spesifik pada perut kanan bawah. Jika proses ini
gangrenosa adalah 46,2 jam dan pada perforasi adalah 70,9 jam (Prystowsky,
seringkali tidak ditemukan pada saat operasi (Carr, 2000). Pada penelitian dalam
skala kecil yang dilakukan oleh Horton (1977), dilaporkan fekalit hanya
ditemukan sebanyak 9% sedangkan 25% lumen berisi kosong. Sisa kasus lainnya
lumen berisi feses yang lembek dan material purulen. Penelitian tersebut diperkuat
oleh Arnbjörnsson dan Bengmark (1984) yang mengukur tekanan intralumen pada
yang tidak meningkat pada sebagian besar kasus, terutama pada apendisitis
13
superfisial terjadi lebih awal daripada dilatasi apendiks. Infeksi virus disinyalir
memiliki peran penting terbentuknya ulserasi tersebut. Hal ini diikuti oleh invasi
biasa. Sayuran hijau dan tomat memegang peran sebagai pelindung mukosa
apendiks tersebut, akan tetapi, biasanya hanya melibatkan bagian distal dari
apendiks. Pada penglihatan secara kasat mata, akan terlihat pembuluh darah
apendiks yang melebar dan serosa yang mengkilap. Seiring dengan perkembangan
penyakit, abses intramural terbentuk, dilatasi lumen dan edema pada dinding
14
apendiks. Pada tahap ini, mesoapendiks biasanya ikut terlibat dalam proses
Tabel 2.2.
Klasifikasi apendisitis akut dan hubungan antara gambaran makro dan
mikroskopik (Carr, 2000)
apendisitis akut, inflamasi hanya terbatas pada mukosa apendiks sehingga disebut
apendisitis mukosal atau kataralis. Hal ini ditandai dengan ditemukannya netrofil
intraluminal akut digunakan. Hal ini biasa ditemukan secara kebetulan ketika
15
eksudat fibropurulen atau netrofil purulen di dalam lumen apendiks. Secara klinis,
2000).
biasanya mengalami inflamasi disertai dengan ulserasi. Pada tahap ini biasanya
gejala nyeri pada perut kanan bawah sudah mulai muncul. Perubahan lain yang
terjadi antara lain edema, serositis fibrinopurulen, mikro abses yang terjadi pada
dinding apendiks dan thrombus pada pembuluh darah (Gambar 2.2.) (Carr, 2000).
apendiks dan hal ini merupakan tanda yang signifikan ditemukan pada
16
kasus yang tidak tertangani dengan baik, perforasi akan terjadi. Bila tekanan
lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark
dan gangren. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan ataupun merah
2.5.1 Anamnesis
bervariasinya gejala yang muncul (Ahmad, dkk., 2011; Chong, dkk., 2010).
Kesulitan ini akan muncul terutama pada anak kecil, sedangkan pada usia lanjut
dapat berupa nyeri abdomen yang samar dan bahkan tanpa rasa nyeri. Seringkali
17
progresif ini bermula sebagai nyeri kolik yang dirasakan pada bagian
periumbilikus disertai rasa mual dan muntah, dan kemudian bermigrasi serta
menetap di fossa iliaka kanan dalam 24 jam pertama. Nyeri ditemukan pada lebih
dari 95% pasien dengan apendisitis akut. Seringkali nyeri ini tidak dirasakan di
fossa iliaka kanan, akan tetapi dapat terjadi pada lokasi yang berbeda, contoh
apendiks retrosekal, kehamilan, pelvik dan lain-lain. Nyeri abdomen tersebut akan
bertambah bila pasien bergerak, batuk atau bersin. Anoreksia sering merupakan
fitur yang predominan, diikuti dengan rasa mual dan bahkan muntah (Petroianu,
2012; Froggatt dan Harmston, 2011; Hung, dkk., 2012; Lewis, dkk., 1975;
Prystowsky, 2005).
Demam ini dikarateristikkan sebagai demam yang tidak terlalu tinggi (38ºC).
Gejala klasik apendisitis akut ini terdapat pada setengah sampai dua
pertiga penderita. Kegagalan dalam mengenali gejala dan tanda apendisitis akut
(Prystowsky, 2005).
18
Pada pemeriksaan abdomen akan ditemukan nyeri tekan pada fossa iliaka
kanan. Hal ini terdapat pada 95% pasien dengan apendisitis akut. Penekanan
maksimal dilakukan pada titik McBurney, yaitu titik sepertiga lateral dari garis
apabila gejala nyeri sudah jelas karena akan membuat pasien tidak nyaman
(Petroianu, 2012).
yang berlanjut sampai ke peritoneum parietalis dan merupakan hal yang sangat
penting sebagai indikasi operasi. Nyeri ketok, rigiditas otot dan nyeri tekan lepas
mendiagnosis apendisitis akut (Shelton, dkk., 2003; Humes dan Simpson, 2006).
pada kurang dari 10% pasien dengan apendisitis akut (Humes dan Simpson,
2006).
Nyeri pada pemeriksaan rektal dan vagina dapat ditemukan, bahkan tidak
Sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan laboratorium yang berdiri
biasanya disertai peningkatan sel darah putih (lekositosis) dan jumlah netrofil.
ditemukan pada lebih 75% sebagian besar kasus. Akan tetapi, peningkatan ini juga
ditemukan pada pasien usia lanjut dan kehamilan yang menderita apendisitis akut.
Pada pasien gangguan sistem imun seperti penderita Acquired Immune Deficiency
Pada penelitian prospektif yang dilakukan Cardall, dkk. (2004) untuk menilai
positif 42%, nilai prediksi negatif 82% untuk lekosit dan sensitivitas 47%,
spesifisitas 64%, nilai prediksi positif 37%, nilai prediksi negatif 72% untuk
demam lebih dari 99,0ºF. Mereka menyimpulkan bahwa lekositosis dan demam
apendisitis.
netrofil, beberapa tes laboratorium lain dapat dipakai secara luas dan bersifat
praktis. Pengukuran CRP, suatu reaktan fase akut, telah mulai ditingkatkan.
20
Angka normal CRP adalah < 10 mg/l sedangkan pada penderita dengan
apendisitis akut meningkat >25 mg/l. Pada apendiks gangrenosa, angka CRP
melampaui 55 mg/l dan pada apendiks perforasi > 66 mg/l. Peningkatan CRP
pada apendisitis akut memiliki angka sensitivitas sebesar 47-75% dan spesifisitas
sebesar 56-82%. CRP ini meningkat dalam 12 jam sejak munculnya gejala.
Kombinasi dari lekositosis, netrofilia lebih dari 75% dan peningkatan CRP
(Petroianu, 2012; Shogilev, dkk., 2014). Tsioplis, dkk. (2013) melaporkan bahwa
apendisitis.
beratnya derajat infeksi dan bahkan kadar CRP dipakai untuk membedakan
apendisitis flegmonosa dengan perforasi apendisitis (Kaya, dkk., 2012). Nilai cut-
off CRP yang diberikan oleh Moon, dkk. (2011) sebesar 7,05 mg/dL
karena kemungkinan terjadinya perforasi sangat tinggi, terutama pada anak kecil
dan orang tua. Yokoyama, dkk. (2009) melaporkan bahwa hanya CRP yang
4,95 mg/dl. Asfar, dkk. (2000) mencatat angka sensitivitas CRP dalam
prediksi positif 96,7%, nilai prediksi negatif 76,5% dan kejadian apendisektomi
21
negatif sebesar 19,2% (15 dari 78 pasien yang dioperasi; dimana dari 15 pasien
tersebut didapatkan kadar CRP normal pada 13 pasien). Mereka menilai bahwa
kadar CRP pre-operatif yang normal pada pasien dengan kecurigaan apendisitis
akut berhubungan dengan apendiks yang normal. Hal yang serupa dilaporkan oleh
sensitivitas 93,5%, spesifisitas 80%, akurasi 91%, negatif palsu 3%, positif palsu
prediksi positif 100% dan nilai prediksi negatif 81% (Kumar, dkk., 2011). Hal
evaluasi klinis ditambah dengan pemeriksaan lekosit, netrofil dan CRP dapat
penggunaan CRP yang dikombinasi dengan lekositosis merupakan alat bantu yang
dilakukan oleh mereka tersebut juga mirip oleh penelitian yang dilakukan
Mekhail, dkk. (2011). Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Gavela, dkk.
(2012) tentang evaluasi procalcitonin (PCT) dan CRP sebagai prediktor derajat
keparahan apendisitis pada anak kecil, mereka mendapatkan bahwa CRP dan PCT
dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi hasil akhir apendisitis akut pada
22
anak kecil. Kadar CRP > 3 mg/dl dan/atau PCT > 0,18 mg/mL memiliki resiko
Mereka juga mendapatkan angka sensitivitas 95%, spesifisitas 74%, nilai prediksi
positif 68%, nilai prediksi negatif 96,2% untuk CRP dan sensitivitas 97%,
spesifisitas 80%, nilai prediksi positif 72%, nilai prediksi negatif 89,3% untuk
PCT. Hal serupa juga dilaporkan oleh Wu, dkk. (2005), mereka mendapatkan nilai
cut-off CRP selama 3 hari berturut-turut memberikan nilai prediksi yang berguna
terutama untuk mendiagnosis apendisitis akut pada tahap awal. Untuk kasus
apendisitis akut pada anak kecil yang menderita obesitas, kadar CRP bukan
merupakan marker inflamasi yang bisa dipercaya. Hal ini disebabkan lemak
viseral merupakan organ endokrin penting yang terlibat secara kompleks dalam
hubungannya dengan inflamasi sistemik yang dapat mengganggu kadar CRP pada
Akan tetapi pada penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Hallan dan
Asberg (1997), mereka melaporkan CRP merupakan alat bantu diagnostik untuk
apendisitis akut dengan tingkat akurasi yang medium dan sedikit lebih inferior
yang positif bervariasi antara 5 sampai 25 mg/l serta hanya 2 artikel yang
berbeda untuk menegakkan apendisitis akut pada anak kecil apabila dibandingkan
23
keuntungan, antara lain biaya yang relatif lebih murah, obyektif dan lebih mudah
dilakukan oleh karena tanpa resiko terpapar radiasi atau kebutuhan sedasi untuk
apendisitis akut dengan nyeri abdomen yang tidak spesifik. Ada beberapa sistem
skoring diagnosis yang dikenal, antara lain skor Alvarado, skor RIPASA, versi
modifikasi skor Alvarado, skor apendisitis pediatri, serta yang jarang dipakai
seperti skor Kharbanda dan Lintula (Wray, dkk., 2013; Chong, dkk., 2010;
Memon, dkk., 2013). Skor Alvarado sendiri merupakan sistem skoring yang
sederhana, mudah diterapkan dan paling banyak diadopsi oleh klinisi. Pada tahun
MANTRELS oleh karena terdiri dari kombinasi 8 gejala klinis dan tanda yang
dipulangkan, diobservasi atau dioperasi. Rentang skor dari 0-10, dimana skor < 5
merupakan indikasi bagi pasien untuk dipulangkan, skor 5-6 dilakukan observasi
indikasi tindakan pembedahan (Wray, dkk., 2013; Ohle, dkk., 2011). Berdasarkan
skor Alvarado, kemungkinan pasien menderita apendisitis akut dengan skor < 5
adalah 30%, skor 5-6 adalah 66% dan skor ≥ 7 adalah 93% (Tabel 2.3.) (Ohle,
dkk., 2011). Penilaian obyektif adalah nyeri pada fossa iliaka kanan. Ali, dkk
sebesar 70,96%, angka prediksi positif 85,24%, angka prediksi negatif 75,86%
sensitivitas sebesar 86% pada grup dengan skor ≥ 7 dan 90,6% pada grup dengan
skor 5-6. Nilai prediksi positif sebesar 85,4% (laki-laki 88,3% dan perempuan
81,4%) dan tingkat akurasi sebesar 85,4%. Penelitian ini serupa dengan studi yang
93,5%, nilai prediksi positif sebesar 92,3% dan akurasi sebesar 89,9%. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Ohle, dkk. (2011) mendapatkan angka sensitivitas
sebesar 94-99% untuk skor < 5, 82% untuk skor ≥ 7 dan spesifisitas sebesar 81%.
sebagai alat diagnostik yang efektif dan cepat dalam mendiagnosis apendisitis
akut.
Tabel 2.3.
Probabilitas apendisitis berdasarkan skor Alvarado dan strategi
penatalaksanaan (Ohle, dkk., 2011)
apendisektomi yang tidak diperlukan (Birnbaum dan Wilson, 2000; Humes dan
Simpson, 2006).
apendisitis akut. Tehnik kompresi ini memiliki peran yang penting dalam
bantu yang cepat, non-invasif, murah dan tidak memerlukan persiapan ataupun
apendisitis akut terutama pada pasien yang hamil dan anak kecil. Anielski, dkk.
menghindari penafsiran yang berlebihan. Akan tetapi hal ini tertutup oleh
menganalisa pasien dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Kekurangan lain
dari ultrasonografi antara lain letak atau posisi apendiks yang menyulitkan, biaya
dalam usus sehingga menyulitkan operator untuk melihat kondisi apendiks atau
berat badan pasien yang berlebihan (indeks massa tubuh > 25 merupakan faktor
yang dapat menurunkan sensitivitas sampai 37%) (Anielski, dkk., 2010; Lee, J.
H., 2003).
spesifisitas 86-100%, akurasi 87-96%, nilai prediksi positif sebesar 91-94% dan
(Birnbaum dan Wilson, 2000). Akurasi yang diberikan oleh ultrasonografi dapat
2007; Wray, dkk., 2013; Kurane, dkk., 2008). Pada penelitian meta-analisis yang
27
dilakukan oleh Doria, dkk. (2006) mengenai penggunaan ultrasonografi atau CT-
Scan dalam mendiagnosis apendisitis akut pada pasien anak kecil, mereka
dibanding ultrasonografi (94% dan 95% vs 88% dan 94%). Ultrasonografi harus
dilakukan dengan memeriksa abdomen dan organ pelvis. Hal ini penting terutama
angka kejadian apendisektomi negatif yang lebih rendah dibandingkan yang tidak
kanan bawah. Menempatkan pasien dengan posisi dekubitus lateral kiri sangat
Ditemukan juga adanya perubahan inflamasi pada jaringan sekitar khususnya pada
penumpukan cairan di sekitar sekum (Birnbaum dan Wilson, 2000; Kaiser, dkk.,
28
2002; Morrow dan Newman, 2007; Rybkin dan Thoeni, 2007; Kurane, dkk.,
A B
Gambar 2.4. Gambaran ultrasonografi apendisitis akut. (a) Axis memanjang dan
(b) Potongan melintang (Birnbaum dan Wilson, 2000)
dalam hal spesifisitas (96% vs 76%), akurasi (94% vs 83%) dan nilai prediksi
negatif (95% vs 76%). Dalam hal sensitivitas dan nilai prediksi positif, CT-scan
menyerupai ultrasonografi (91% vs 89% dan 95% vs 96%) (Shelton, dkk., 2003;
Hlibczuk, dkk., 2010; Birnbaum dan Wilson, 2000; Doria, 2009; Poortman, dkk.,
inflamasi periapendiks, kelainan abdomen akut selain apendisitis akut dan lebih
CT-scan, apendiks yang mengalami inflamasi memiliki diameter lebih besar dari 9
Diameter apendiks normal yang ditemukan pada orang dewasa bervariasi mulai
dari 3 mm sampai 10 mm. Kadang kala dijumpai juga apendikolit yang terdapat
untuk melakukan pemeriksaan ini (Shelton, dkk., 2003; Birnbaum dan Wilson,
2000).
mahal dan tidak mudah dilakukan di semua rumah sakit, terutama di Unit Gawat
pada akhirnya akan meningkatkan jumlah komplikasi, beban biaya dan masa
rawat inap serta waktu untuk beraktivitas kembali. Angka mortalitas akibat
meningkat sampai diatas 20% pada pasien dengan usia diatas 70 tahun (Ali, dkk.,
2013). Lee, dkk. (2001) bahkan melaporkan bahwa CT-scan dan ultrasonografi
2.6 Penatalaksanaan
diterima secara universal serta dilakukan lebih dari 250.000 kali per tahun di
paling sering dilakukan (Shelton, dkk., 2003). Beberapa studi melaporkan bahwa
30
pilihan pertama pada pasien dengan apendisitis akut. Pemberian analgesia tidak
dianjurkan karena hal tersebut akan mengaburkan gejala yang muncul. Tindakan
operasi adalah pilihan standar dalam menangani kasus apendisitis (Humes dan
tanpa resiko. Resiko jangka panjang terjadinya obstruksi akibat adhesi setelah
secara luas (Wray, dkk., 2013). Semua pasien harus mendapatkan antibiotika
infeksi paska operasi dan pembentukan abses intraabdomen (Humes dan Simpson,
2006).
mortalitas 0,8 per 1.000 untuk kasus apendisitis yang belum perforasi dan
meningkat menjadi 5,1 per 1.000 kasus apendiks perforasi. Secara keseluruhan,
perforasi terjadi antara 16-30% dan meningkat secara bermakna pada penderita
usia lanjut dan anak kecil (Humes dan Simpson, 2006; Oliak, dkk., 2000). Infeksi
luka operasi tergantung dari derajat kontaminasi intraoperatif, berkisar antara <
< 12 jam dengan 12-24 jam. Apabila lebih dari 36 jam sejak gejala pertama
dan meningkat sebagai respon terhadap inflamasi sebagai suatu protein fase akut.
Lebih lanjut CRP merupakan turunan pentraksin dan disintesis oleh hati. CRP
juga diproduksi oleh dinding pembuluh darah seperti sel endotel, sel otot polos
CRP ditemukan untuk pertama kalinya oleh Tillet dan Francis pada tahun
1930. CRP adalah protein residual 224 dengan berat molekul 118-144 kDa. Gen
pneumonia dan merupakan protein yang muncul pertama kali pada fase akut
kerusakan jaringan (Clyne dan Olshaker, 1999; Aziz dkk., 2003). Respon pada
fase akut meliputi respon fisiologik dan biokimia dari mahkluk endotermik
khusus, sintesis jumlah protein diatur di hati melalui kontrol sitokin yang
dihasilkan oleh jaringan yang sakit. Ini sama sekali tidak ada hubungan dengan
protein C ataupun peptida C. Protein fase akut yang lain termasuk inhibitor
proteinase dan sistem koagulasi, sistem komplemen, protein transport dan serum
Konsentrasi median CRP di tubuh orang dewasa sehat adalah 0,8 mg/l, 90
persentil mencapai 3,0 mg/l dan 99 persentil mencapai 10 mg/l. CRP sebagai
infeksi ataupun trauma. Bahkan pada reaksi fase akut CRP dapat meningkat
10.000 kali lipat (< 50 µg/l - > 500 mg/l). Plasma CRP diproduksi oleh hepatosit
melalui kontrol sitokin IL-6. CRP dapat meningkat melebihi 5 mg/l dan timbul 4-
puncaknya dalam 48 jam. Waktu paruh di dalam plasma adalah 19 jam dan
sebagai pencetus inflamasi dihilangkan maka CRP akan kembali ke angka normal
secara cepat. Kadar CRP > 10 mg/l mengindikasikan reaksi inflamasi yang
bermakna. Kadar serum CRP yang meningkat terlihat pada kondisi trauma,
produksi CRP dan polimorfisme genetik IL-1 dan IL-6 juga telah dikemukakan.
mortalitas dan morbiditas (Aziz, dkk., 2003; Pepys dan Hirschfield, 2003;
Marnell, dkk., 2005; Volanakis, 2001). Pada kebanyakan kasus, representasi CRP
bervariasi menandakan inflamasi yang terjadi seperti dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4.
ligand-binding plasma. Molekul CRP pada manusia tersusun atas lima subunit
polipeptida nonglikosilasi yang identik, masing-masing terdiri dari 206 sisa asam
“lectin fold” yang terdiri atas lembaran 2 lapis β dengan topologi jellyroll yang
datar. Situs yang mengikat ligan tersusun atas lengkungan dengan 2 ion kasium
yang terikat 4 Å terpisah oleh ikatan protein dan terletak pada bagian konkaf,
sedangkan bagian lain membawa heliks α tunggal (Gambar 2.5.) (Pepys dan
Gambar 2.5. Struktur molekul dan morfologi CRP. (a). Dengan mikrograf
elektron menunjukkan struktur pentamerik, (b). Struktur kristal dengan diagram
berwarna yang menunjukkan “lectin fold” dan dua atom kalsium yang terikat
pada masing-masing protomer, dan (c) Molekul CRP dengan molekul fosfokolin
tunggal yang terletak pada masing-masing protomer (Pepys dan Hirschfield,
2003)
cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respon imun didapat.
infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi dapat bersifat lokal, sistemik, akut dan
pertama digambarkan oleh orang Romawi sekitar 2000 tahun yang lalu berupa
kemerahan, bengkak, panas dan nyeri. Pada abad ke-2, Galen menambahkan
35
petanda inflamasi ke-5 berupa gangguan fungsi alat yang terkena. Dalam beberapa
dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan yang disebut
36
limfosit dan sitokin berinteraksi satu dengan yang lain. Patogen yang menembus
sawar luar imunitas nonspesifik seperti kulit, membran mukosa, infeksi atau
dan puncaknya terjadi pada 6 jam pertama. Untuk memenuhi hal tersebut
normal memproduksi lebih dari 1010 neutrofil per hari tetapi pada inflamasi dapat
meningkat sampai 10 kali lipat. Pada inflamasi akut, neutrofil dalam sirkulasi
tersebut disebabkan oleh migrasi neutrofil ke sirkulasi yang berasal dari sumsum
sel-sel yang untuk sementara menempel pada dinding vaskular yang keluar dari
Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi
mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat yang
37
yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem
Pada inflamasi akut, pelepasan berbagai mediator sel mast (histamin dan
bradikinin) disertai aktivasi komplemen, sistem koagulasi, sel inflamasi dan sel
sistemik seperti panas, neutrofil dan protein fase akut seperti CRP. Inflamasi akan
pulih bila mediator tersebut menjadi tidak aktif. Bila penyebab tidak dapat
disingkirkan atau timbul pajanan ulang maka akan terjadi inflamasi kronik
atau cedera jaringan. Inflamasi akut melibatkan baik respon lokal dan sistemik.
Reaksi lokal terdiri atas tumor, rubor, kalor, dolor dan gangguan fungsi. Bila
darah keluar dari sirkulasi darah, kinin, sistem pembekuan dan fibrinolitik
diaktifkan. Banyak perubahan vaskular yang terjadi dini disebabkan oleh efek
dan kontraksi otot polos. Prostaglandin juga berperan dalam vasodilatasi dan
menempel pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga
jaringan, memakan patogen dan melepas mediator yang berperan dalam respon
inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan melepas sitokin (IL-1, IL-6 dan
TNF-α) yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut
menginduksi koagulasi dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel
mengenal molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah dan
selanjutnya ke jaringan. IL-1 dan TNF-α juga memacu makrofag dan sel endotel
rongga jaringan. Lama dan intensitas inflamasi lokal akut perlu dikontrol agar
tidak terjadi kerusakan jaringan. TGF-β membatasi respon inflamasi dan memacu
2014).
39
Gambar 2.7. Tahapan migrasi lekosit dari sirkulasi ke jaringan tempat terjadinya
infeksi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)
Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat dan
disebut respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat dalam kadar beberapa
protein plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang
cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Inflamasi akut merupakan
respon khas imunitas nonspesifik. Hal ini adalah respon cepat terhadap kerusakan
sel dan berlangsung (beberapa jam – hari) serta dipacu oleh sejumlah sebab
seperti kerusakan kimiawi dan termal serta infeksi. Infeksi dihadapi oleh
makrofag yang melepas sejumlah kemokin dan sitokin yang menarik neutrofil ke
tempat infeksi. Inflamasi juga dapat dipicu oleh sel mast residen yang cenderung
neutrofil, tetapi juga monosit dan limfosit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein
yang disebut protein fase akut yang terdiri atas a1-antitripsin, komplemen (C3 dan
sebagainya (Gambar 2.8.). Produksi sitokin TNF-α dan IL-6 menyebabkan unsur
spontan pada fase akut yang dihasilkan oleh hepar seperti CRP tampak meningkat
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Dalam klinik, pengukuran protein fase akut
Gambar 2.8. Stimulasi dan sintesis acute phase reactan selama proses inflamasi
(Hengst, 2003)
41
penderita dengan apendisitis akut dan perubahan tersebut tergantung pada berat
Salah satu reaksi yang terjadi setelah infeksi adalah pelepasan zat dari hepar
berupa acute phase reactans (APR) kedalam darah. Salah satu APR yang paling
terkenal adalah C-reactive protein (CRP). APR teraktivasi hasil respon sistemik
terhadap infeksi termasuk pada apendisitis akut. CRP yang merupakan salah satu
protein fase akut, termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah
CRP digunakan untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat
100 kali atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan
Ca++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan
viskositas plasma dan LED. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi
yang persisten. CRP lebih sensitif dibandingkan LED karena dapat dijadikan
indikator respon fase akut dalam 24 jam pertama proses inflamasi sedangkan LED
terjadi setelahnya. Tidak seperti LED, CRP merupakan protein serum stabil yang
inflamasi berhubungan langsung dengan kadar CRP (Clyne dan Olshaker, 1999).
42
Gambar 2.9. Fungsi utama C-reactive protein (CRP) pada sistim imun nonspesifik
(Hengst, 2003)
macam bahan eksogen dan endogen atau mengikat molekul toksik yang
dilepaskan oleh jaringan yang rusak untuk selanjutnya disingkirkan dari sirkulasi
Secara umum, inflamasi yang ringan dan infeksi virus dapat meningkatkan
kadar CRP berkisar antara 10-40 mg/L, sedangkan pada infeksi bakteri dan
penelitian menunjukkan kadar serum CRP 100 mg/L memiliki sensitivitas 80-
85% untuk infeksi bakteri. Pada kebanyakan kasus, CRP lebih mencerminkan
inflamasi dan atau kerusakan jaringan yang sedang terjadi dibanding parameter
laboratorium respon fase akut yang lain seperti viskositas plasma dan laju endap
darah. Lebih lanjut, CRP pada fase akut tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan
proses makan. Kerusakan hati mempengaruhi produksi CRP dan hanya sedikit
43
obat yang dapat mempengaruhi kadar CRP. Konsentrasi CRP merupakan petanda
dan penyakit yang dikarakteristikkan dengan absennya CRP pada respon fase akut
mempunyai arti klinis maka variasi biologis yang harus diperhatikan supaya tidak
kadar CRP adalah diet dan penurunan berat badan, latihan fisik, berhenti
pemeriksaan dan tidak perlu puasa. Sampel serum akan stabil dalam
penyimpanan 3 hari dengan suhu 20-250C, 8 hari pada suhu 2-80C dan untuk
jangka waktu lama disimpan pada suhu -700c (Ridker, dkk., 2000).
Awalnya metode yang umum dipakai adalah ELISA yang secara tunggal
hanya untuk riset, tidak secara rutin disediakan di laboratorium klinis kemudian
digunakan secara rutin di laboratorium klinis. Uji CRP yang disetujui oleh Food
Behring karena banyak digunakan dalam penelitian dalam skala besar dan
yaitu metode IRMA dan ELISA serta mempunyai kepekaan tinggi yaitu 0,15