Anda di halaman 1dari 19

KEPERAWATAN ANAK

“Hospitalisasi”

Disusun Oleh:

Kelompok 1

ISLAMIAH

MUSLIMIN. A

Keperawat B

Dosen Pembimbing
Huriati, S.Kep,Ns,M.Kes

PRODI KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2018-2019
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………….

Daftar Isi…………………………………………………………………………...

Bab 1 Pendahuluan

A. Latar Belakang…………………………………………………………….

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………

C. Tujuan Penulisan………………………………………………………….

Bab II Pembahasan

A. Definisi Hospitalisasi………………………………………………………

B. Respon Emosional Terhadap Hospitalisasi……………………………...

C. Faktor-Faktor Yang Dapat Menyebabkan Stress Akibat Hospitalisasi

Pada Anak………………………………………………………………….

D. Metode Pendekatan Hospitalisasi Pada Anak…………………………

Bab III Penutup

A. Kesimpulan………………………………………………………………...

B. Saran ……………………………………………………………………….

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hospitalisasi merupakan perawatan yang dilakukan dirumah sakit dan

dapat menimbulkan trauma dan stress pada klien yang baru mengalami rawat inap

dirumah sakit. Hospitalisasi dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan yang

memaksa seseorang harus menjalani rawat inap dirumah sakit untuk menjalani

pengobatan maupun terapi yang dikarenakan klien tersebut mengalami sakit. (Yupi

Supartini, 2012).

Pengalaman hospitalis dapat menggangu psikologi seseorang terlebih bila

seseorang tersebut tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan barunnya dirumah

sakit. Pengalaman hospitalis yang dialami klien selama rawat inap tersebut hanya

menggangu psikologi klien, tetapi juga akan sangat berpengaruh pada psikososial

klien dalam berinteraksi terutama pada pihak rumah sakit termasukpada perawat.

(Ambarwati, 2012).

Masalah yang dapat ditimbulkan dari hospitalisasi biasanya berupa rasa

cemas, rasa kehilangan, dan takut akan tindakan yang dilakukan oleh pihak rumah

sakit, jika masalah tersebut tidak diatasi maka akan mempengaruhi perkembangan

psikososial terutama pada anak-anak. (Ambarwati, 2012).

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan hospitalisasi ?

2. Bagaimana respon emotional terhadap hospitalisasi disegala umur ?

3. Bagaimana faktor-faktor yang dapat menyebabkan Stres Akibat

Hospitalisasi pada Anak?


4. Bagaimana metode pendekatan hospitalisasi pada anak?

C. Tujan Penulisan

1. Mengetahui hospitalisasi pada anak

2. Mengetahui berbagai respon anak terhadap hospitalisasi

3. Mengetahui faktor-faktor penyebab stress akibat hospitalisasi

4. Mengetahui metode pendekatan hospitalisasi pada anak


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah masuknya individu ke rumah sakit sebagai pasien

dengan berbagai alasan seperti pemeriksaan diagnostik, prosedur operasi,


perawatan medis, pemberian obat dan menstabilkan atau pemantauan kondisi

tubuh. (Heri Saputro, 2017).

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang

berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di umah sakit,

menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.

Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai

kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman

yang sangat traumatik dan penuh dengan stress. (Yupi Supartini, 2012).

Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah,

sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2000).Perasaan tersebut dappat timbul

karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya,

rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa

dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan. Tidak hanya anak,

orang tua juga mengalami hal yang sama. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa orang tua mengalami kecemasan yang tinggi saat perawatan anaknya

di rumah sakit walaupun beberapa orang tua juga dilaporkan tidak

mengalaminya karena perawatan anak dirasakan dapat mengatasi


permasalahannya (Hallstrom dan Elander, 1997, Brewis, E, 1995). Terutama
pada mereka yang baru pertama kali mengalami perawatan anak di rumah

sakit, dan orang tua yang kurang mendapat dukungan emosi dan sosial dari

keluarga, kerabat, bahkan petugas kesehatan akan menunjukkan perasaan

cemasnya. Penelitian lain menunjukkan pada saatmendengarkan keputusan

doktertentang dignosis penyakit anaknya merupakan kejadian yang sangat

membuat stress orang tua (Tiedeman, 1997).

Apabila anak stress selama dalam perawatan, orang tua menjadi stress

pula, dan stress orang tua akan membuat stress anak semakin meningkat,

(Supatini, 2000). Anak adalah bagian dari kehidupan orang tuanya sehingga

apabila adapengalaman yang mengganggu kehidupannya maka orang tua pun

merasa sangat stress.Dengan demikian, asuhan keperawatan tidak bisa hanya

berfokus pada anak, tetapi juga pada orang tuanya. (Yupi Supartini, 2012).

B. Respon Emosional Terhadap Hospitalisasi

1. Masa Bayi (Infant, 0-1 tahun)


Masalah utama yang terjadi adalah karena dampak dari perpisahan
dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan
kasih sayang. Pada anak usia lebih dari enam bulan terjadi stranger
anxiety atau cemas bila berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya
dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang sering muncul paada anak
usia ini adalah menangis, marah dan banyak melakukan gerakan sebagai
sikap stranger anxiety. Bila ditinggalkan ibunya, bayi akan merasakan
cemas karena perpisahan dan perilaku yang ditunjukkan adalah dengan
menangis keras. Respons terhadap nyeri atau adanya perlukaan biasanya
menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang
tidak menyenangkan. (Yupi Supartini, 2012). Fokus intervensi
keperawatan adalah, meminimalkan stressor, memaksimalkan manfaat
hospitalisasi memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga,
mempersiapkan anak sebelum masuk rumah sakit. (Wilkinson, 2006)
2. Masa Balita (Toddler, 2-3 tahun)

Anak usia toddler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan

sumber stresnya. Sumber stress yang utama adalah cemas akibat

perpisahan. Respons perilaku anak sesuai dengan tahapannya, yaitu tahap

protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap protes, perilaku

yang ditunjukkan adalah menangis kuat,menjerit memanggil orang tua

atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa,

perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif,

kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih dan apatis.

Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara

samar memulai perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak

mulai terlihat menyukai lingkungannya. (Yupi Supartini, 2012). Oleh

karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan

kehilangan kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi

tegantung pada lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur

dengan kemampuan sebelumnya atau regresi. Teerhadap perlukaan yang

dialami atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan tindakan invasif,

seoerti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan meringis, menggigit

bibirnya dan memukul. Walaupun demikian, anak dapat menunjukkan

lokasi nyeri dan mengkomunikasikan rasa nyerinya. (Yupi Supartini,

2012). Fokus intervensi keperawatan adalah mempersiapkan psikologis

anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa

nyeri, melakukan permainan sebelum melakukan persiapan fisik anak,

menghadirkan orang tua bila memungkinkan, menunjukkan sikap empati,


menceritakan tindakan yang dilakukan melalui cerita, gambar, perlu

dilakukan pengkajian tentang kemampuan psikologis anak menerima

informasi ini dengan terbuka. (Wilkinson, 2006).

3. Masa Pra Sekolah (3-6 tahun)

Perawatan anak di rumash sakit memaksa anak untuk berpisah dari

lingkungannya yang dirasakan aman, penuh kasih sayang, dan

menyenagkan, yaitu lingkungan rumah, permainan dan teman

sepermainanya. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia

pra sekolah adalah dengan menolakmakan, sering bertanya, menangis

walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas

kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan

kontrol terhadap dirinya.Perawatan di rumah sakit mengharuskan adanya

pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan

diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak prasekolah

sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, atau takut.

Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap

tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya. Oleh karena

itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak,

ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja

sama dengan perawat, ketergantungan ada orang tua. (Yupi Supartini,

2012). Fokus intervensi keperawatan adalah melibatkan orang tua

berperan aktif dalam perawatan anak, memodifikasi ruang perawatan,

mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolahsurat menyurat,

bertemu teman sekolah, mencegah perasaan kehilangan control,

hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif, bila anak diisolasi

lakukan modifikasi lingkungan, buat jadwal untuk prosedur


terapi,latihan,bermain, memberi kesempatan anak mengambil keputusan

dan melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan, meminimalkan

rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri. (Wilkinson, 2006).

4. Masa Sekolah (6-12 tahun)

Perawatan anak dirumah sakit memaksa anak berpisah dengan

lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok

sosialnya dan menimbulkan kecemasan.Kehilangan kontol juga akiba

dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan

kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak

kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan

bermain atau pergaulan soaial,perasaan takut mati, dan adanya

kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan

ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun non verbal

karena anak sudah mampu mengkomunikasikannya. Anak usia sekolah

sudah mampu mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan

menggigit bibir atau menggigit dan memegang sesuatu dengan erat.

(Yupi Supartini, 2012). ). Fokus intervensi keperawatan adalah

menjauhkan benda-benda berbahaya, menunjukkan sikap kepedulian dan

perhatian terhadap klien, melakukan pendekatan pada klien dengan

berbicara dengan nada suara lembut, memberikan kesempatan pada klien

untuk mengekspresikan keprihatianan dan mengungkapkan isi hatinya.

(Wilkinson, 2006).

5. Masa Remaja (12-18 tahun)

Anak usia remaja mempersepsikan perawatan di rumah sakit

menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan

teman sebayanya. Telah diuraikan pada kegiatan belajar sebelumnya


bahwa anak remaja begitu percaya dan sering kali terpengaruh oleh

kelompok sebayanya. Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak akan

merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas akibat perpisahan tersebut.

Pembatsan aktivitas di rumah sakit membuat anak kehilangan kontrol

terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada keluarga atau petugas

kesehatan di rumah sakit.Reaksi yang sering muncul terhadap

pembatasan aktivitas ini adalah dengan menolak perawatan atau tindakan

yang dilakukan padanya atau anak tidak mau kooperatif dengan petugas

kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas

kesehatan (isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan atau pembedahan

menimbulkan respons anak bertanya-tanya, menarik diri dari lingkungan,

dan/ menolak kehadiran orang lain. (Yupi Supartini, 2012). Fokus

intervensi keperawatan adalah menyarankan klien mencatat situasi yang

menimbulkan kemarahan,membantu klien untuk mengatasi kemarahan

dengan merangsang bicara sendiri, mengajarkan teknik distraksi,

mengajarkan teknik relaksasi, megajarkan klien menghormati perasaan

orang lain dan hak-hak orang lain dan membantu klien mengidentifikasi

cara penanggulangan pada saat tegang. (Wilkinson, 2006).

C. Faktor-Faktor Yang Dapat Menyebabkan Stress Akibat Hospitalisasi

Pada Anak

1. Perkembangan Usia

Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat

perkembangan anak. Pada anak usia sekolah reaksi perpisahan adalah

kecemasan karena berpisah dengan orang tua dan kelompok sosialnya.

Pasien anak usia sekolah umumnya takut pada dokter dan suster.

(Nursalam. 2008.)
2. Pola Asuh Keluarga

Pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan selalu memanjakan

anaknya juga dapat mempengaruhi reaksi takut dan cemas anak dirawat

di rumah sakit. Berbeda dengan keluarga yang suka memandirikan anak

untuk aktivitas sehari-hari anak akan lebih kooperatif bila di rumah sakit.

(Nursalam. 2008.)

3. Keluarga

Keluarga yang terlalu khawatir atau stress anaknya dirawat di

rumah sakit akan menyebabkan anak menjadi semakin stress dan takut.

(Nursalam. 2008.)

4. Pengalaman dirawat di Rumah Sakit Sebelumnya

Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan

dirawat di rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut dan

trauma. Sebaliknya apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan

perawatan yang baik dan menyenagkan maka anak akan lebih kooperatif

pada perawat dan dokter. (Nursalam. 2008.)

5. Support Sistem yang Tersedia

Anak mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk

melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya

akan minta dukungan kepada orang terdekat dengannya misalnya orang

tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan permintaan

anak untuk ditunggu selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat

dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat merasa takut dan cemas

bahkan saat merasa ketakutan. (Nursalam. 2008.)

D. Metode Pendekatan Hospitalisasi Pada Anak


Pendekatan keperawatan adalah suatu usaha yang dilakukan perawat

untuk dapat membantu mengatasi masalah klien. Khususnya membantu

menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kecemasan dan ketakutan

pada anak akibat hospitalisasi.Dimana perawat membutuhkan suatu

pemahaman untuk dapat melakukan pendekatan yang sesuai engan kebutuhan

klien khususnya saat perawat berada di rumah sakit. Dalam melakukan

pendekatan peran perawat sangat penting dalam proses meminimalkan

hospitalisasi dan dampak. Adapun cara pendekatan yang dapat dilakukan

perawat meliputi :

1. Komunikasi terapiutik pada anak dan memberi informasi yang baik

pada anak.

Dalam melakukan komunikasi terapiutik dengan anak usia sekolah,

perawat harus tetap memperhatikan tingkat kemampuan bahasa anak

yang berupa menggunakan kata sederhana yang lebih spesifik, jelaskan

sesuatu yang membuat ketidakjelasan pada anak atau sesuatu yang

diketahui. Dalam melakukan pendekatan pada anak dapat berupa

memberi informasi yang baik pada anak. Informasi yang baik tersebut

dengan cara menjelaskan prosedur atau tindakan yang akan diberikan

pada anak usia sekolah dan fungsi alat yang digunakan serta efek yang

terjadi saat dilakukan tindakan medis karena pada usia sekolah

keingintahuan pada aspek fungsional dan prosedural dari objek tertentu

sangat tinggi. (Asmadi, 2008).

2. Hubungan yang terapiutik

Perawat dalam melakukan pendekatan pada anak harus menjalin

hubungan yang terapiutik, karena anak bukan miniatur orang

dewasa.Anak mempunyai dunia sendiri.Sudah bisa berfikir sehingga


perawat harus dapat menjalin rasa saling percaya dalam merawat anak

yang sedang sakit. Apabila terjadi hubungan yang terapiutik antara

perawat dan anak akan memudahkan perawat dalam mendekati anak

yang sakit. (Asmadi, 2008).

3. Melibatkan orang tua anak

Orang tua merupakan orang yang dekat dengan anak sehingga

perawat dalam merawat anak harus dekat engan orang tua anak.Perawat

harus dapat berkomunikasi pada orang tua anak dilibatkan juga dalam

tindakan keperawatan maupun orang tua suruh menemani anak di rumah

sakit dan apabila orang tua mau pergi atau bekerja seharusnya ada

anggota keluarga yang menemani anak. (Yupi Supartini, 2012).

4. Memodifikasi ruangan anak di rumah sakit dan ruang bermain

Perawat harus dapat memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada

di rumah sakit untuk mengatasi anak yang cemas dan takut. Berbagai

upaya bisa dilakukan untuk mengurangi stress akibat hospitalisasi pada

anak, dan agar anak dapat beradaptasi dengan stressor yang dialaminya

diantaranya perawat melakukan pendekatan yang terapeutik berdasarkan

pada usia anak, penggunaan pakaian seragam yang berwarna-warni dari

perawat yang bertugas diruangan tersebut, dan memodifikasi ruangan

perawatan melalui penggunaan cat dinding yang berwarna-warni, dan

pemasangan gambar-gambar yang menarik bagi anak diruangan tersebut.

Ruang anak juga harus memenuhi kriteria seperti nyaman, bebas

bergerak untuk anak, memberikan suasana seperti di lingkungan rumah

dan menciptakan lingkungan yang berpendidikan. (Iyam Mariam, 2016).

5. Terapi Bermain
Meskipun demikian dirawat dirumah sakit tetap merupakan

masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas, bagi

anak.Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya perubahan psikis yang

dapat menjadi sebab anak dirawat dirumah sakit menurut (Priyoto, 2014).

Bermain adalah penting untuk kesehatan mental, emosional, dan

sosial.Oleh karena itu, sangat penting adanya ruang bermain khusus bagi

anak untuk memberi rasa aman dan menyenangkan. Dalam pelaksanaan

aktivitas bermain dirumah sakit, perlu diperhatikan prinsip-prinsip

bermain dan permainan yang sesuai dengan usia atau tingkat

pertumbuhan serta perkembangan anak sehingga tujuan bermain yaitu

untuk mempertahankan proses tumbuh kembang dapat dicapai secara

optimal. Di samping itu, keterlibatan orang tua dalam aktivitas bermain

sangat penting karena anak akan merasa aman sehingga dia mampu

mengekspresikan perasaannya secara bebas dan terbuka menurut

(Nursalam, 2008).

Terapi bermain merupakan terapi yang diberikan kepada anak yang

mengalami stres, ketakutan, sehingga anak dapat mengenal lingkungan,

belajar mengenai perawatan dan prosedur yang dilakukan serta staf

rumah sakit yang ada dalam (Wong, 2009).Bermain merupakan suatu

aktivitas di mana anak dapat melakukan atau mempraktikkan

keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif,

mempersiapkan diri untuk berperan danberperilaku dewasa (Hidayat,

2008).

Bermain merupakan bentuk infatil dari kemampuan orang dewasa

untuk menghadapi dari berbagai macam pengalaman dengan cara


menciptakan model situasi tertentu dan berusaha untuk menguasainya

melalui eksperimen dan perencanaan (Ambarwati, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian ini ada pengaruh terapi bermain

dengan penurunan stres hospitalisasi anak prasekolah hal ini dibuktikan

dengan pemberian terapi bermain yang telah dilakukan oleh peneliti

kepada anak prasekolah yang mengalami stres hospitalisasi yang

diberikan selama 30 menit setelah anak dirawat di rumah sakit selama 1

hari mampu mengalihkan perhatian anak dari hal-hal yang membuat anak

takut yang terjadi selama perawatan di rumah sakit. Pemberian terapi

bermain pada 12 anak yang berumur 5 tahun sebanyak 11 anak

mengalami stres sedang dan 1 anak mengalami stres berat hal itu

dikarenakan anak yang berumur 5 tahun lebih mudah beradaptasi dengan

lingkungan sekitar hal ini ditunjukkan dengan anak mulai mengenal

lingkungan sekitar, sudah tidak menangis ketika perawat datang, dan mau

jika dibujuk untuk makan. Riwayat pernah menjalani rawat inap di rumah

sakit sebelumnya ikut berpengaruh dari 27 anak yang pernah di rawat di

rumah sakit sebelumnya didapatkan hasil 1 anak mengalami stres berat

dan 26 anak mengalami stres sedang, hal ini terjadi karena anak sudah

pernah mengalami perawatan yang sama di masa lalu sehingga anak

lebih mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar hal ini

ditunjukkan dengan anak tidak takut atau menangis bila dilakukan

pemeriksaan oleh dokter atau perawat, anak mau minum obat, anak tidak

terlihat memeluk orang tua, anak lebih terlihat aktif dan mau bermain

serta anak sudah tidak menolak makan ini menunjukkan anak sudah

mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Bermain adalah

kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Pada usia prasekolah anak


sering menghabiskan waktunya untuk bermain. Terapi bermain disini

meliputi terapi bermain aktif dengan menggunakan permainan seperti

menyusun balok menjadi rumah-rumahan atau kereta, bermain

mencocokkan bentuk, mewarnai gambar, bermain bolabola kecil,

bermain mengamati bentuk dan terapi bermain pasif dengan

mendengarkan cerita. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di

Rumah Sakit Baptis Kediri, anak cenderung tertarik dengan permainan

menyusun balok, karena anak dapat mengekspresikan keinginannya

dengan menyusun balok sesuai keinginan anak seperti menyusun

berbentuk kereta, menyusun berbentuk tembok tinggi dan menara atau

piala. Anak yang ketika dirawat dirumah sakit diberikan terapi bermain

akan dapat menemukan mekanisme koping baru dalam menghadapi

masalah yang terjadi di rumah sakit. Mekanisme koping di sini adalah

anak akan menemukan cara dalam menghadapi stres yang dialaminya,

misalnya anak akan lebih mampu menghadapi masalah yang dihadapi

selama perawatan di rumah sakit, anak mampu beradaptasi dengan

lingkungan yang baru dan asing, sehingga akan terjadi perubahan

perilaku pada anak. Anak akan lebih sering merengek karena perlukaan

pada tubuh, dan juga anak akan meminta untuk ditemani orang tuanya

secara terus-menerus. Anak yang dirawat dirumah sakit cenderung

menjadi lebih pendiam karena anak merasa asing dengan lingkungan

yang baru ditempatinya sehingga itu berpengaruh dengan nafsu makan

anak yang berkurang, anak sering menolak makan ketika dirumah sakit

dan porsi makan anak selalu tidak habis.Perubahan perilaku diatas anak

dapat disebut sedang mengalami stres hospitalisasi.Stres hospitalisasi

dapat mempengaruhi perilaku anak ketika di rawat di rumah sakit, untuk


mengurangi dampak dari stres hospitalisasi tersebut bisa digunakan terapi

bermain.Terapi bermain dapat menurunkan stres hospitalisasi pada anak

karena anak yang dirawat dirumah sakit dapat mengeluarkan rasa

takutnya dan mengalihkan perhatiannya dengan bermain.Bermain adalah

terapi yang cocok diberikan kepada anak prasekolah yang dapat memberi

rasa aman dan menyenangkan bagi anak. Ketika anak mulai nyaman dan

bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar maka anak dapat

mempertahankan proses tumbuh kembang secara optimal. Hal ini sejalan

dengan teori Wong tahun 2009 yang menyatakan bermain dirumah sakit

dapat memberikan pengalihan atau distraksi dan menyebabkan relaksasi,

membantu anak lebih merasa aman di lingkungan yang asing, membantu

mengurangi stres akibat perpisahan dan sebagai alat untuk melepaskan

ketegangan dan ungkapan perasaan. ( Dewi Ika Sari Hari Poernomo,

2017).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hospitalisasi adalah masuknya individu ke rumah sakit sebagai pasien

dengan berbagai alasan seperti pemeriksaan diagnostik, prosedur operasi,

perawatan medis, pemberian obat dan menstabilkan atau pemantauan kondisi

tubuh. (Heri Saputro, 2017).

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang

berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di umah sakit,

menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.

Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai

kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman

yang sangat traumatik dan penuh dengan stress. (Yupi Supartini, 2012).

Pendekatan keperawatan adalah suatu usaha yang dilakukan perawat

untuk dapat membantu mengatasi masalah klien. Khususnya membantu

menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kecemasan dan ketakutan

pada anak akibat hospitalisasi.( Asmadi, 2008).

B. Saran

Kami berharap dengan adanya makalah ini, perawat maupun tenaga

kesehatan lainnya untuk bisa lebih memahami tentang ciri ataupun kebiasaan

anak saat berada di Rumah Sakit dan lebih memahami lagi mengenai

keperawatan pada anak.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Alimul Aziz. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta:

Salemba Medika.

Ambarwati, Fitri Respati. 2012. Buku Pintar Asuhan Keperawatan Bayi dan

Balita. Yogyakarta: CakrawalaIlmu.

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: BukuKedokteran EGC.

Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk perawat dan bidan).

Jakarta: Salemba Medika.

Priyoto. 2014. Konsep Manajemen Stress. Yogyakarta: Nuha Medika.

Saputro, Heri, dkk. 2017. Anak Sakit Wajib Bermain di Rumah Sakit. Jakarta :

Forum Ilmiah Kesehatan (FORIKES).

Sari Hari Poernomo, Dewi Ika,dkk. 2017.Penurunan Stres Hospitalisasi pada

Anak Prasekolah dengan Terapi Bermain diRS. Baptis Kediri. Diakses tanggal 4

April 2018. 19.22

Iyam Mariam. 2016. Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Reaksi Hospitalisasi

Pada Anak Usia Toddler Yang Mengalami Hospitalisasi Di Ruang Tanjung Rsud

R.Syamsudin, Sh. Kota Sukabumi. Diakses tanggal 4 April 2018. 23.12

Anda mungkin juga menyukai