Anda di halaman 1dari 4

Eksklusivitas Literasi, Memperpanjang

Nalar Intoleransi
Membaca Membuka Banyak Pintu Perspektif
Sekitar enam tahun yang lalu, saya datang di Solo. Untuk mengais sisa-sisa ilmu yang
berceceran. Karena pertama kali menjadi anak perantauan, membuat saya menjadi minder dan
takut dengan suasana yang baru.

Kekagetan mengenai hal baru menjadi-jadi tatkala disinggung mengenai keyakinan. Tatkala di
rumah, saya hanya mengenal agama Islam, tidak ada yang lain. Tidak ada golongan atau
organisasi tertentu.

Sewaktu merantau, meskipun hanya dua jam dari rumah, ada hal baru dalam keyakinanku.
Terutama saat beberapa teman bertanya, “Kamu NU, Muhammadiyah, Syah, NW atau apa?”

Kebingungan ini, hingga akhirnya mencari Islam secara kaffah itu seperti apa? Diskusi,
pengajian, dan segala jenis kajian tentang keagamaan aku datangi. Hingga akhirnya melabuh di
organisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).

Di HTI memberi pemahaman tentang Islam yang harus kembali kepada al-Quran dan Hadits.
Islam yang harus memiliki kedaulatan sendiri, yakni dibawa sistem syariat Islam di tanah
Indonesia.

Pelabuhan keyakinan ke organisasi HTI, juga dipengaruhi dari latar belakang pendidikan kun
sendiri; yakni ilmu pasti. Ilmu yang mengenal benar atau salah, tepat atau tidak, dan sebagainya.

Untuk memahami Islam secara kaffah, para murabbi selalu mendampingi, mengingatkan dan
memperhatikan keseharian, tidak hanya saya tetapi kepada setiap orang yang bergabung di HTI.
Rasa kekeluargaan yang dibangun sangatlah nyaman, seperti keluarga sendiri. Tatkala ada
kesulitan, antara anggota tidak segan-segan membantu.

Tidak hanya sebatas materi, kekeluargaan ini juga menjalar dalam belajar. Perhatian mereka juga
terletak buku, makalah dan bahan literasi apa yang dibaca. Mereka memberikan pemasukan
setiap buku dan memberi kekurangan mengenai setiap buku atau makalah yang disajikan sesuai
dengan pemahaman HTI.

Dalam berjalannya waktu, para anggota HTI selalu disuguhi dengan buku karya Taqiyuddin An
Nabhani. Ada sekitar 20 lebih; seperti Nizhamul Islam, Takatul Al Hizbiy, Mafahim Hizbut
Tahrir, Daulah Islamiyah dan masih banyak lainnya. Buku-buku ini bisa diakses secara bebas di
internet.

Dalam konsep belajar mengenai Islam, seperti halnya pondok pesantren, para ustadzah (karena
perempuan, maka saya hanya mengenal sistem pembelajaran di perempuan saja) membuat
jadwal tetap, bahkan bisa konsisten setiap waktu.
Bagi anggota tetap –yang tinggal di asrama, maka pagi dan malam hari diperuntukkan untuk
kegiatan belajar kitab ini. Tetapi bagi anggota yang tidak tetap, maka diadakan minimal
seminggu sekali.

Tidak hanya itu, untuk memudahkan anggota yang kesulitan mengakses dan memahami teks
dengan bahasa Arab, maka di sarankan untuk membaca buku-buku karya petinggi HTI. Bahan
bacaan ini buat back up dan memperbanyak tsaqofah seperti buku Reidiologi, Islam dari Akar
Sampai Daun, Runtuhnya Daulah Khilafah dan sebagainya.

Diskusi dan membaca buku yang dianjurkan HTI, pada titik loyalitas, diri ini selalu
mengabarkan tentang pentingnya khilafah di negeri ini. Tindak segan-segan, kami selalu
menghampiri mahasiswa yang kelihatan murung, menyendiri atau galau.

Setiap hari, membicarakan keburukan sistem negara ini, Pancasila yang sebagai berhala dan
sebagainya. Tidak hanya gagasan, materi pun kami berikan demi mendukung lahirnya negara
Islam di tanah Indonesia. Uang saku, bahkan rela dipangkas demi mendukung perjuangan HTI.

Loyalitas anggota HTI yang ada di Solo sangat ketara sewaktu longmarch dari Stadion Sriwedari
menuju Bundaran Gladag. Dalam kegiatan ini dihadiri oleh ratusan orang, yang sebagai anak
mudah berstatus mahasiswa. Dalam longmarch ini nampak jelas bagaimana HTI mengajarkan
untuk mendirikan negara berasas syariat Islam.

Bersinggungan dengan banyak orang dalam mengabarkan pentingnya khilafah, membuat diri
selalu mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab dari buku HTI semata.
Tidak jarang, pertanyaan tersebut hantarkan dalam diskusi internal HTI, itu pun tidak
mendapatkan kejelasan yang memuaskan.

Memahami tindakan HTI untuk menciptakan loyalitas dalam diri seseorang, dengan meminjam
pemikiran Bourdieu dengan melakukan pengamatan partisipatoris terkait habitus.

Di mana struktur kognitif yang menghubungkan individu dengan aktivitas sosial tertentu dan
menjadikannya kebiasaan yang tidak perlu dipertanyakan. Yang dilakukan HTI, bagaimana
mendoktrin para anggotanya dengan “eksklusivitas literasi”.

Dengan doktrin-doktrin tersebut pada akhirnya membentuk kebiasaan yang dijalani terus-
menerus sehingga seolah-olah sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bagi mereka dan
merepresentasikan irama kolektif di mana setiap anggota masyarakat harus mematuhinya.

Dengan melakukan analisis mendalam tentang habitus dan modal simbolik yang ada dalam HTI,
sebenarnya kita akan melihat tentang kehadiran kekuasaan simbolik yang itu dibangun melalui
relasi-relasi sosiokultural keseharian, melalui diskusi dan bacaan yang itu-itu saja.

Kekuasaan simbolik dalam HTI di anggota secara berlangsung, maka para anggota yang terlibat
di dalamnya dan loyal, pada suatu saat mampu merubah dan memperbarui secara terus-menerus
apa yang dicita-citakan HTI dapat dijalankan.
HTI sebagai modal dominasi di sini tidak dimaksudkan sebagai bentuk introdusir kekuasaan
melalui kekerasan (coercive power), tetapi melalui “cara-cara sosiokultural.”

Dalam pandangan Boudieu ada dua model moda dominasi dalam mengambil kekuasaan secara
sosiokultural; basis alam sosial, dan basis formasi sosial. HTI menggunakan model alam sosial
di mana di dalamnya relasi dominasi diciptakan, tidak diciptakan, atau diciptakan kembali dalam
dan dengan interaksi antar-orang.

Dengan kekuatan modal ini, HTI dominasi yang kemudian berlangsung efektif terciptalah secara
aktif bukan oleh agen-agen tetapi dari mekanisme objektif yang berlangsung dalam relasi sosial.

Di sinilah letak dominasi HTI yang tidak hanya menggunakan kekuatan politik maupun ekonomi
tetapi bagaimana habitus-habitus dalam masyarakat dimanfaatkan untuk berlangsungnya
kekerasan simbolik tanpa disadari oleh anggota masyarakat lainnya.

Sangat ketara dalam habitus-habitus kekerasan simbolik yang ditebarkan HTI saat Pilkada DKI
2017. Namun saat ini suhu politiknya sudah sangat membara. Unsur SARA sangat terang-
terangan digunakan oleh banyak pihak yang tidak menginginkan Basuki Tjahaja Purnama atau
Ahok, terpilih kembali menjadi gubernur DKI untuk periode 2017 – 2022.

Statemen bahwa “haram hukumnya memilih pemimpin yang berasal dari agama lain”, menjadi
kalimat andalan bagi pihak-pihak tertentu yang ingin menjegal lawan politiknya yang kebetulan
tidak seagama.

Dapat dikatakan, kondisi-kondisi semacam ini yang bisa berujung pada konflik antaragama di
negeri ini, amat mengkhawatirkan, dan dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.

Di balik praktik-praktik itu bersembunyi kekuatan eksploitatif melalui relasi sosial yang seolah-
olah baik. Inilah yang kemudian oleh Bourdieu dipahami sebagai dominasi yang dipatuhi secara
sosial—atau dengan kata lain kekuasaan legitimate—melalui prinsip-prinsip aktif buruh, waktu,
perhatian, serta kecakapan dalam berbicara dan bertindak.

Memutus kekuasaan habitus-habitus kekerasan simbolik yang ditebarkan HTI, diperlukan


wawasan yang luas mengenai politik dan keislaman sendiri. Tidak ada masalah membaca dan
mempelajari karya Taqiyuddin An Nabhani, tetapi harus diimbangi dengan membaca buku-buku
yang lain.

Tindakan ini saya lakukan setelah merasa kejenuhan dan keraguan selama menjadi kader
HTI. Beberapa pertanyaan yang belum terpuaskan, maka dengan keluasan membaca buku yang
tidak terbatas akhirnya mendapatkan penjelasan yang lumayan memuaskan.

Sewaktu masih membaca buku tertentu, dalam memandang suatu permasalahan –terutama
kenegaraan, saya hanya menggunakan satu sudut pandang. Hingga pemikiran yang dari luar HTI,
adalah kesesatan. Pemikiran yang tidak layak untuk diikuti.
Cara berpikiran apa yang dilakukan HTI, maka akan memperburuk kenegaraan Indonesia. Sebab
hanya mementingkan satu golongan dan menampikkan golongan yang lain. Maka nalar
intoleransi yang ditebarkan harus cegah.

Memang buku yang secara langsung mematahkan pemahaman kewajiban mendirikan negara
Islam belum ditemukan, tetapi membaca secara luas tanpa batasan, akan memberikan ruang-
ruang diskusi. Terlebih membaca literatur-literatur mengenai sosial atau filsafat akan
menimbulkan daya kritis pada suatu persoalan.

Anda mungkin juga menyukai