Anda di halaman 1dari 6

BAB 1 GAMBARAN UMUM

1.1 Pendahuluan

1.1.1 Sejarah Suku Bali

Suku bangsa Bali atau Bali Hindu mendiami Pulau Bali. Pulau yang terdiri dari dataran
rendah di sekeliling bagian pesisir dan daerah perbukitan serta pegunungan di bagian tengah.
Bagian pegunungan mereka sebut kaja dan bagian dataran rendah arah ke pantai mereka
sebut kelot.

Kondisi alam seperti itu disertai pula oleh sedikit perbedaan antara penduduk pegunungan
dengan dataran rendah. Dimana penduduk dataran tinggi jumlahnya lebih sedikit dan agak
terpengaruh oleh kebudayaan luar, disamping bahasanya yang memang sedikit berbeda
dengan bahasa orang Bali pada umumnya. Kelompok masyarakat di pegunungan ini lebih
suka disebut sebagai orang Aga atau Bali Aga.

Untuk membedakannya maka orang Bali yang lebih terpengaruh oleh agama Hindu kita sebut
saja orang Bali Hindu. Orang Bali Hindu tersebar hampir di seluruh daratan Bali. Bahasanya
sendiri terbagi ke dalam beberapa dialek, yaitu dialek buleleng, Karangasem, Klungkung,
Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan dan Jembrana. Bahasa Bali Hindu mengenal tiga
tingkatan pemakaian bahasa yaitu bahasa Alus, Lumrah (madia) dan bahasa Bali kasar,
berbeda dengan bahasa Bali Agha yang hampir tidak mengenal tingkatan seperti itu. Akan
tetapi sekarang bahasa bali alus digunakan secara resmi oleh hampir semua golongan dalam
pergaulan di daerah Bali sendiri. Bahasa Bali juga mengenal tulisan yang rupanya
pengembangan dari tulisan sansekerta. Tulisan Bali ini ditulis pada awalnya pada media daun
lontar atau bilah bambu.

1.1.2 Mata Pencarian Suku Bali


Kehidupan ekonomi suku bangsa Bali bertumpu kepada pertanian, terutama bertanam padi di
sawah irigasi yang sudah berkembang sejak dulu, lengkap dengan kelompok-kelompok
kesatuan petani di sawah irigasi yang disebut subak. Selain itu mata pencaharian pedesaan
lain juga berkembang dengan baik, seperti pemeliharaan ternak sapi, kerbau, ayam, itik, babi,
kambing, anjing, dan sebagainya. Ternak kerbau digunakan untuk menarik bajak di sawah.
Ternak ayam pada awalnya banyak ditujukan untuk kesenangan lelaki, yaitu untuk keperluan
permainan sabung ayam jantan menggunakan taji besi.

1.1.3 Kemasyarakatan Dan Kekeluargaan Dalam Suku Bali

Masyarakat Bali hidup dalam bentuk kesatuan hidup setempat yang disebut pawongan atau
desa yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu desa adat dan desa dinas. Yang pertama adalah
desa tradisional yang terbentuk berdasarkan ketentuan adat turun temurun yang terikat secara
religius ke dalam berbagai kegiatan upacara. Desa adat ini dipimpin oleh seorang kepala Adat
yang disebut kelian adat atau bandesa adat. Tokoh ini dipilih dari anggota kerapatan adat desa
yang disebut kerama desa untuk waktu yang tidak terbatas. Desa dinas adalah bentuk desa
yang terpengaruh oleh sistem administrasi nasional karena merupakan bagian dari sebuah
Kecamatan dan berurut ke atas ke Kabupaten dan Provinsi. Desa dinas dipimpin oleh seorang
Kepala Desa yang disebut perbekel atau bandesa.

Selain kedua jenis desa tersebut suku bangsa Bali mengenal pula kesatuan hidup setempat
yang religius sifatnya. Desa seperti ini disebut kahyangan tias, yaitu kesatuan dari tempat-
tempat ibadah desa seperti pura puseh, pura desa dan pura dalem. Rumah-rumah (uma) dalam
setiap desa didirikan menurut suatu ketentuan religi dimana ruangan-ruangan rumah dan
pekarangannya dibagi-bagi untuk kepentingan religi tertentu. Bagian rumah arah ke hulu
(kaja) disebut utama mandala, yaitu tempat persembahyangan keluarga. Dibagian ini terdapat
bangunan pemujaan kecil yang disebut sanggah atau pamerajaan. Bagian tengah lingkungan
rumah adalah tempat tinggal anggota keluarga. Bagian hilir disebut kawasan nistha mandala
yaitu tempat mendirikan kandang ternak dan pembuangan kotoran. Sebuah desa terbagi ke
dalam beberapa buah banjar, yaitu kesatuan hidup yang berorientasi kepada kegiatan sosial
ekonomi dan hubungannya dengan upacara adat dan religi. Setiap banjar terbagi lagi ke
dalam beberapa buah tempekan (kampung). Kemudian setiap tempekan terbagi pula ke dalam
beberapa buah pekurenan. Kalau Desa dipimpin oleh seorang perbekel maka banjar dipimpin
oleh seorang klian banjar. Tokoh ini dibantu pula oleh beberapa orang juru arah atau
kesinoman.

Sistem garis keturunan dan hubungan kekerabatan orang Bali berpegang kepada prinsip
patrilinel (purusa) yang amat dipengaruhi oleh sistem keluarga luas patrilineal yang mereka
sebut dadia dan sistem pelapisan sosial yang disebut wangsa (kasta). Sehingga mereka terikat
ke dalam perkawinan yang bersifat endogami dadia dan atau endogami wangsa. Orang-orang
yang masih satu kelas (tunggal kawitan, tunggal dadia dan tunggal sanggah sama-sama tinggi
tingkatannya. Dalam perkawinan endogami klen dan kasta ini yang paling ideal adalah antara
pasangan dari anak dua orang laki-laki bersaudara. Masyarakat Bali Hindu memang terbagi
ke dalam pelapisan sosial yang dipengaruhi oleh sistem nilai yang tiga, yaitu utama, madia,
dan nista. Kasta utama atau tertinggi adalah golongan barahmana, kasta madia adalah
golongan ksatria dan kasta nista adalah golongan waisya. Selain itu masih ada golongan yang
dianggap paling rendah atau tidak berkasta yaitu golongan sudra, sering pula mereka sebut
jaba wangsa (tidak berkasta).

Dari kekuatan sosial kekerabatannya dapat pula dibedakan atas klen pande, pasek, bujangga
dan sebagainya. Kehidupan sosial budaya masyarakat Bali sehari-hari hampir semuanya
dipengaruhi oleh keyakinan mereka kepada agama Hindu Darma yang mereka anut sejak
beberapa abad yang lalu. Oleh karena itu studi tentang masyarakat dan kebudayaan Bali tidak
bisa dilepaskan dari pengaruh sistem religi Hindu. Agama Hindu Darma atau Hindu-Jawa
yang mereka anut mempercayai Tuhan Yang Maha Esa dalam konsep tri murti, yaitu Tuhan
yang mempunyai tiga wujud : Brahma (pencipta), Wisnu (pelindung), dan Siwa (pelebur
segala yang ada). Selain itu ada pula beberapa tokoh dewa yang lebih rendah. Semuanya
perlu dihormati dengan mengadakan upacara dan sesajian. Mereka juga menganggap pentinh
konsepsi tentang Roh Abadi yang disebut athman, adanya buah setiap perbuatan (karmapal),
kelahiran kembali sang jiwa (purnahawa) dan kebebasan jiwa dari kelahiran kembali
(moksa). Dalam menyelenggarakan pemakaman anggota keluarga orang Bali selalu
melaksanakan tiga tahapan upacara kematian. Pertama upacara pembakaran mayat (ngahen),
kedua upacara penyucian (nyekah) dan ketiga upacara ngelinggihang. Ajaran-ajaran di agama
Hindu darma ini termaktub dalam kitab suci yang disebut Weda.

1.2 Budaya Suku Bali


Jiwa kekaryaan masyarakat Bali berkembang dalam hampir segala bidang seperti
pengembangan karya arsitektur bangunan rumah, rumah ibadah, istana, perlengkapan desa
dan lain-lain. Mereka pandai sekali mengukir kayu, emas, tembaga, batu, dan sebagainya.
Kepandaian menenun dengan teknik dan motif sendiri juga tidak kalah pentingnya. Semua itu
berkaitan erat dengan pola dan sikap kehidupan sosial budaya orang Bali yang amat religius.
Lingkaran hidup individu, masyarakat dan pedesaan penuh dengan upacara-upacara lengkap
dengan berbagai sesajinya.

1.3 Tradisi Pernikahan

Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta,
semua tahapan pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria, karena masyarakat Bali
memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua
biaya yang dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki –
laki. hal ini berbeda dengan adat pernikahan jawa yang semua proses pernikahannya
dilakukan di rumah mempelai wanita. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke
rumahnya untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa
hari setelah upacara pernikahan.

1.3.1 Tahapan Pernikahan Adat Bali

 Upacara Ngekeb

Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja
menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha
Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka
diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang
terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan.
Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon
pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan
upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen.
Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar
dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan
dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan
ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin
wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani
kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.

 Mungkah Lawang ( Buka Pintu )

Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita
berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang
Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang
menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.

 Upacara Mesegehagung

Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari
tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai
ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju
kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan
kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka
untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan
biasanya berjumlah dua ratus kepeng

 Madengen–dengen

Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi
negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian

 Mewidhi Widana

Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana
yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan
penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang
telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu
tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh
seorang pemangku merajan.

 Mejauman Ngabe Tipat Bantal

Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang
telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke
rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan
untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita,
terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi
bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria
akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali
seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih
pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.

Anda mungkin juga menyukai