Anda di halaman 1dari 101

ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Cd, dan Pb

PADA AIR dan SEDIMEN di PERAIRAN PULAU


PANGGANG-PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

AHMAD MUHTADI RANGKUTI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Cd, dan Pb
PADA AIR dan SEDIMEN di PERAIRAN PULAU
PANGGANG-PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

Ahmad Muhtadi Rangkuti

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd, dan Pb Pada


Air dan Sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka
Kepulauan Seribu, Jakarta
Nama Mahasiswa : Ahmad Muhtadi Rangkuti
Nomor Pokok : C24104037
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan

Menyetujui:
I. Komisi Pembimbing
Ketua Anggota

Dr. Ir. Etty Riani H., M.S Dr.Ir. Hefni Effendi, M.Phil
131 619 682 131 841 731

Mengetahui
II. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya M. Sc


131 578 799

Tanggal Lulus : 31 Desember 2008


PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Cd, dan Pb PADA AIR


dan SEDIMEN di PERAIRAN PULAU PANGGANG-PRAMUKA
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Januari 2009

Ahmad Muhtadi Rangkuti


C24104037
Ahmad Muhtadi Rangkuti. C24104037. Analisis Kandungan Logam Berat Hg,
Cd, dan Pb Pada Air dan Sedimen di Perairan Pulau Panggang-Pramuka
Kepulauan Seribu, Jakarta (Dibimbing oleh Dr. Ir. Etty Riani H., MS, dan Dr. Ir.
Hefni Effendi M.Phil).

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi logam berat Hg, Cd,
dan Pb pada air dan sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka Kepulauan
Seribu, mengetahui apakah perairan Pulau Panggang-Pramuka sudah tercemar
ataupun tidak berdasarkan baku mutu yang dikeluarkan/ditetapkan oleh
pemerintah/lembaga yang berwenang, dan mengetahui hubungan kandungan
logam berat pada air dan sedimen. Penelitian dilakukan di perairan pulau
Panggang-Pramuka Kepulauan Seribu, Jakarta. Penelitian berlangsung mulai
April sampai Oktober 2008. Penentuan stasiun pengamatan pada lokasi penelitian
didasarkan pada kegiatan masyarakat di sekitar Pulau Pramuka sebagai pusat
Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, lokasi konservasi dan
juga sebagai lokasi usaha budidaya perikanan (budidaya ikan bandeng).
Penentuan konsentrasi logam berat dengan cara langsung untuk sampel air dan
cara kering (pengabuan) untuk sampel padatan/sedimen. Pengukuran logam berat
menggunakan AAS (atomic absorption spectrofotometry). Untuk mengetahui
keeratan hubungan logam berat antara di air dan sedimen dibuat analisis regresi
dan korelasi. Hasil analisa logam berat pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka
dibandingkan dengan Kriteria Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut Tahun 2004.
Hasil analisa logam berat dalam sedimen dibandingkan dengan baku mutu yang
dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997).
Kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar
antara 0,0011-0,0019 ppm dengan rata-rata 0,0015 ppm, sedangkan pada sedimen
berkisar antara 0,1957-1,8485 ppm dengan rata-rata 0,7817 ppm. Kadmium pada
air berkisar antara 0,0014-0,0040 ppm dengan rata-rata 0,0017 ppm, sedangkan
pada sedimen berkisar antara 0,1536-3,0244 ppm dengan rata-rata 0,6245 ppm.
Timbal pada air berkisar antara 0,0062-0,0074 ppm dengan rata-rata 0,0067 ppm,
sedangkan pada sedimen berkisar antara 0,4260-1,5770 ppm dengan rata-rata
0,7707 ppm.
Berdarakan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada air di perairan
Pulau Panggang-Pramuka telah tercemar oleh Merkuri dan kadmium. Pada
sedimen telah tercemar ringan oleh logam berat merkuri.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbilalamin, puji dan syukur hanyalah patut disanjungkan


kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini. Skripsi ini berjudul Analisis
Kandungan Logam Berat Pada Air dan Sedimen di perairan Pulau Panggang-
Pramuka Kepulauan Seribu, Jakarta.
Skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjanana Perikanan (SPi) di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada Skripsi ini
mencakup enam bagian utama ditambah satu bagian yaitu pendukung yaitu
lampiran. Ke enam bagian tersebut adalah bagian pendahuluan, tinjauan pustaka,
metode penelitian, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan saran, serta daftar
pustaka.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir.
Etty Riani H., MS dan Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil sebagai pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi kepada penulis
dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan pada
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan
bantuan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khusunya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Januari 2009

Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahi rabbilalamin, puji dan syukur hanyalah patut disanjungkan


kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih banyak dan penghargaan setingi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Etty Riani MS dan Dr. Ir. Hefni Effendi M.Phil sebagai pembimbing I
dan II, atas segala bimbingan, arahan, dan motivasinya.
2. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga sebagai penguji tamu, atas kritik dan saran serta
diskusi dari bapak.
3. Dr. Ir. Yunizar Ernawati MS sebagai penguji dari komsisi pendidikan MSP
atas kritik dan saran yang diberikan.
4. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik atas segala
motivasi dan saran yang diberikan.
5. Keluarga Rangkuti tercinta (Ayah, Umak, B’ Landong, B’ Muktar, B’ Arman,
Sanah, dan Syafii) atas segala dukungannya baik moril maupun materil yang
tidak ternilai harganya
6. Keluarga Pak Harsono (Bapak, Ibu dan Reza/kakak) atas segala bantuannya
dan, motivasinya
7. Harry Djouhari Sudrajat yang telah mengikutkan saya dalam penelitian di
Kepulauan Seribu serta Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan
Kelautan DKI Jakarta (Bu Helma, dkk segala atas bantuan analisisnya).
8. Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan/PROLING MSP (Bu
Ana, Aryo, Aay, Ami, Ichel, Wai, dan Widia,) untuk pinjaman alat dan
analisa contoh
9. Suku Dinas Perikanan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Ikatan Alumni MSP21,
POM IPB, Ikatan Alumni FPIK; Yayasan ORBIT, Yayasan Goodwill
International, rekan-rekan MSP’41, rekan-rekan Ikmamadina-Bogor, penghuni
Wisma Byru, IPB, khususnya MSP (dosen, staf, dan pegawai lainnya) yang
telah menerima dan mendidik serta membentuk kepribadian saya di kampus
tercinta ini serta seluruh pihak yang telah membantu saya baik secara langsung
maupun tidak langsung tanpa disebutkan satu persatu.
Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar dari)
Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan
Allah. Dan, Alllah mmpunyai karunia yang besar (QS. Ali Imran: 173-174).

Karya kecil ini kupersembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1
1.2 Perumusan masalah .................................................................................. 3
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 4
1.4 Manfaat .................................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Logam Berat ................................................................................................ 5
2.1.1 Pencemaran dan toksisitas logam berat ............................................. 6
2.1.2 Karakteristik logam berat
Merkuri (Hg) ..................................................................................... 7
Kadmium (Cd) ................................................................................... 11
Timbal (Pb) ......................................................................................... 13
2.1.3 Logam berat di air ............................................................................... 14
2.1.4 Logam berat di sedimen ..................................................................... 15
2.2 Parameter fisika dan kimia perairan ............................................................ 19
2.2.1 Suhu .................................................................................................... 19
2.2.2 Kekeruhan ...................................................................................... 20
2.2.3 Salinitas .......................................................................................... 21
2.2.4 Derajat keasaman (pH) ................................................................... 22
2.2.5 Oksigen terlarut (DO) ..................................................................... 23
2.2.6 Kesadahan ...................................................................................... 26
2.3 Keadaan umum lokasi penelitian ............................................................ 28
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan lokasi penelitian .................................................................... 30
3.2 Alat dan bahan ........................................................................................ 31
3.3 Metode pengambilan sampel .................................................................. 31
3.4 Prosedur kerja .......................................................................................... 33
3.4.1 Preparasi sampel ............................................................................. 33
3.4.2 Penentuan konsentrasi logam berat ................................................ 33
3.5 Analisis data ............................................................................................. 33
3.5.1 Koefesien korelasi (r) ...................................................................... 33
3.5.2 Analisa deskriptif ............................................................................ 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Parameter fisika dan kimia ....................................................................... 35
4.1.1 Suhu ................................................................................................ 35
4.1.2 Kekeruhan ....................................................................................... 36
4.1.3 Salinitas ........................................................................................... 37
4.1.4 Derajat keasaman (pH) .................................................................... 38
4.1.5 Oksigen terlarut (DO) ..................................................................... 40
4.1.6 Kesadahan ....................................................................................... 42
4.2 Logam berat di air .................................................................................... 43
4.2.1 Merkuri (Hg) ................................................................................... 43
4.2.2 Kadmium (Cd) ................................................................................ 46
4.2.3 Timbal (Pb) ..................................................................................... 48
4.3 Logam berat di sedimen ........................................................................... 52
4.3.1 Merkuri (Hg) ................................................................................... 52
4.3.2 Kadmium (Cd) ................................................................................ 54
4.3.3 Timbal (Pb) ..................................................................................... 56
4.4 Korelasi logam berat antara air dan sedimen ........................................... 59
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 61
5.2 Saran ......................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 62
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Standar baku mutu air laut untuk biota laut terhadap logam berat ....... 15
2. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen .......................................... 18
3. Baku mutu logam berat dalam sedimen ............................................... 18
4. Kelarutan O 2 dalam laut sebagai fungsi dari temperatur dan klorida ... 24
5. Kelarutan O 2 dalam laut sebagai fungsi dari temperatur dan salinitas
(dalam µmol/kg).................................................................................... 24
6. Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan.................................. 27
7. Stasiun pengambilan contoh pada perairan Pulau Panggang,
Pramuka, dan Karya .................................................................................... 30
8. Parameter, metoda atau alat yang digunakan untuk analisa kualitas air
perairan Pulau Panggang-Pramuka ...................................................... 32
9. Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut Tahun 2004
(Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2004) ......................................... 34
10. Baku mutu logam berat dalam sedimen menurut IADC/
CEDA (1997). ...................................................................................... 34
11. Kualitas air di perairan Pulau Panggang-Pramuka ................................ 42
12. Kandungan logam berat pada air di daerah Teluk Jakarta dan
sekitarnya .............................................................................................. 52
13. Kandungan logam berat dalam sedimen di daerah Teluk Jakarta
dan sekitarnya ....................................................................................... 58
14. Korelasi logam berat anatara air dan sedimen perairan Pulau
Panggang-Pramuka .............................................................................. 60
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian .......................................... 4
2. Hubungan antara pH, kadar Cl- dan pembentukan spesiasi Hg ......... 10
3. Distribusi vertikal O 2 terlarut (Chester, 1990 in Sanusi, 2006) .......... 25
4. Peta lokasi penelitian .......................................................................... 31
5. Kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka ..... 44
6. Rata-rata kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-
Pramuka .............................................................................................. 45
7. Kandungan kadmium pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka ... 47
8. Rata-rata kandungan kadmium pada air perairan Pulau Panggang-
Pramuka .............................................................................................. 48
9. Kandungan timbal pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka ........ 49
10. Rata-rata kandungan timbal pada air perairan Pulau Panggang-
Pramuka .............................................................................................. 50
11. Kandungan merkuri pada sedimen perairan Pulau Panggang-
Pramuka .............................................................................................. 53
12. Rata-rata kandungan merkuri pada sedimen perairan Pulau
Panggang-Pramuka ............................................................................ 54
13. Kandungan kadmium pada sedimen perairan Pulau Panggang-
Pramuka .............................................................................................. 55
14. Rata-rata kandungan kadmium pada sedimen perairan Pulau
Panggang-Pramuka ............................................................................ 56
15. Kandungan timbal pada sedimen perairan Pulau Panggang-
Pramuka .............................................................................................. 57
16. Rata-rata kandungan timbal pada sedimen perairan Pulau
Panggang-Pramuka ............................................................................ 57
17. Prinsip kerja spektrofotometrik .......................................................... 76
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Data logam berat pada air ................................................................ 66
2. Data logam berat pada sedimen ....................................................... 70
3. Grafik korelasi logam berat antara air dan sedimen ........................ 72
4. Pengukuran kandungan logam berat ................................................ 76
5. Baku mutu air laut (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
untuk biota laut Nomor: 51 Tahun 2004) ........................................ 78
6. Foto dokumentasi ............................................................................ 80
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Indonesia memiliki wilayah perairan yang lebih luas dibanding
daratannya, diperkirakan dua per tiga wilayah Indonesia adalah perairan laut yang
terdiri dari perairan pesisir (continental shelf), teluk, selat, dan laut lepas.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau sekitar 17.508 pulau,
akan tetapi hanya ada beberapa pulau besar yakni Jawa, Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi, Papua dan Flores, sedangkan sisanya merupakan pulau-pulau kecil yang
memiliki sifat dan ciri tersendiri. Pulau-pulau kecil ini, secara individu ataupun
gugusan memiliki potensi ekologi dan ekonomi yang belum dimanfaatkan secara
optimal. Mengingat keberadaan dan potensinya, pemerintah Indonesia akhir-akhir
ini menggiatkan pembangunan ekonomi di pulau-pulau kecil. Salah satu pulau
kecil yang banyak mendapat perhatian pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta akhir-akhir ini adalah gugusan Kepulauan Seribu.
Kepulauan Seribu berdasarkan Undang-undang nomor 34 tahun 1999,
ditetapkan sebagai salah satu kabupaten administrasi setingkat dengan wilayah
tingkat II di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu terdiri dari 110 pulau dan diantaranya 11 pulau yang
berpenghuni. Kepulauan Seribu terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Kecamatan
Kepulauan Seribu Selatan dan Kepulauan Seribu Utara dengan jumlah penduduk
19.593 jiwa. Salah satu pulau yang ada di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara
adalah Pulau Dua Barat yang berjarak 70 mil dari Jakarta dan Pulau Untung Jawa
paling selatan dengan jarak 37 mil dari Jakarta.
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di lepas pantai utara
Jakarta dengan 13 sungai yang bermuara ke dalamnya, yakni 3 sungai besar
(Sungai Bekasi, Sungai Ciliwung, dan Sungai Citarum) dan 10 sungai kecil
(Sungai Kamal, Sungai Cengkareng Drain, Sungai Angke, Sungai Karang, Sungai
Ancol, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai Blencong, Sungai Grogol dan
Sungai Pesanggrahan). Sangat disayangkan ke-13 sungai yang bermuara ke Teluk
Jakarta tersebut membawa air yang tercemar, terlihat dari warnanya yang hitam
pekat dan bau yang sangat menyengat.
Adanya limbah dari kegiatan manusia akan mencemari perairan, baik limbah
organik maupun anorganik. Pencemaran air oleh komponen anorganik,
diantaranya adalah berbagai macam pencemaran logam berat yang berbahaya
bagi sistem perairan, termasuk biota-biota yang terdapat di dalamnya. Beberapa
logam berat banyak digunakan dalam berbagai keperluan, secara rutin diproduksi
pada kegiatan industri. Penggunaan logam-logam berat tersebut secara langsung
maupun tidak langsung atau sengaja maupun tidak sengaja telah mencemari
lingkungan. Sebenarnya secara alamiah logam berat sudah terdapat di alam yang
bersumber dari pelapukan secara kimiawi bebatuan, debu yang mengandung
logam dari aktivitas gunung berapi, erosi dan pelapukan tebing dan tanah serta
aerosol dan partikulat dari permukaan lautan (Connell dan Miller, 1995).
Menurut Connell dan Miller (1995), logam merupakan konduktor listrik
yang baik, memiliki konduktivitas panas, mudah ditempa serta memiliki
keelektropositipan yang tinggi. Logam bereaksi sebagai penerima dan pemberi
pasangan elektron untuk membentuk berbagai gugus kimia seperti pasangan ion,
kompleks logam, senyawa koordinasi atau suatu kompleks donor-akseptor.
Logam merupakan kelompok toksikan yang unik. Logam ditemukan dan menetap
di alam, tetapi bentuk dan struktur kimianya berubah akibat pengaruh fisika-
kimia, biologis dan aktivitas manusia (Lu, 2006). Logam bermanfaat bagi
manusia karena penggunaannya untuk bidang industri, pertanian atau kedokteran.
Di lain pihak, logam berbahaya bagi manusia dan lingkungan bila terdapat dalam
makanan, air atau udara.
Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap
kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan
manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat yang sulit didegradasi,
sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya
secara alami sulit dihilangkan, dapat terakumulasi dalam organisme laut termasuk
kerang, ikan dan sedimen, memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota
laut serta memiliki nilai faktor konsentrasi (concentration factor atau enrichment
factor) yang besar dalam tubuh biota laut. Logam berat yang masuk ke perairan
pada kadar di luar batas yang diperkenankan akan mencemari perairan laut.
Logam berat, selain mencemari perairan juga akan mengendap pada sedimen yang
memilki waktu tinggal (residence time) sampai ribuan tahun. Logam berat juga
akan terkosentrasi dalam tubuh makhluk hidup melalui proses bioakumulasi
(Darmono, 2001). Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh organisme melalui
tiga cara, yaitu melalui rantai makanan, insang dan difusi melalui permukaan kulit
(Mendelli, 1976 in Hutagalung, 1984). Pencemaran logam berat akan
menimbulkan pengaruh negatif terhadap lingkungan perairan, termasuk organisme
yang terdapat di dalamnya.
Logam berat yang terdapat pada bahan makanan, berbahaya bagi kesehatan.
Logam berat yang sering ditemukan pada bahan makanan dari laut umumnya
berasal dari perairan. Informasi pencemaran logam berat di Teluk Jakarta
sebenarnya sudah banyak diteliti, namun penelitian tersebut masih terbatas di
lokasi yang berdekatan dengan pantai utara Jakarta, sedangkan penelitian
pencemaran logam berat di perairan Kepulauan Seribu masih jarang diteliti.
Adapun jenis-jenis logam berat yang mencemari perairan tersebut diantaranya
adalah merkuri (Hg), kadmium (Cd), dan timbal (Pb). Kajian ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai pertimbangan untuk pengelolaan perairan Kepulauan Seribu,
khususnya perairan Pulau Panggang-Pramuka di masa yang akan datang, terkait
dengan kandungan logam berat di perairan tersebut.

1.2 Perumusan masalah


Pembuangan limbah yang mengandung logam berat akan menimbulkan
dampak pencemaran bagi ekosistem perairan. Pencemaran ini akan menimbulkan
penurunan kualitas perairan. Pada dasarnya suatu ekosistem memiliki kemampuan
pulih diri (self purification) terhadap adanya masukan bahan pencemar ke
perairan. Namun jika pembuangan limbah terus menerus tanpa adanya pengolahan
terlebih dahulu dapat menyebabkan peningkatan bahan pencemar di perairan dan
akan terakumulasi pada sedimen. Kejadian ini jika dibiarkan begitu saja akan
menimbulkan perubahan ekosistem perairan bahkan biota-biota tertentu yang
tidak dapat mentolerir pencemaran tersebut dapat terancam keberadaannya. Untuk
lebih jelasnya kerangka pendekatan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.
Aktivitas manusia Alamiah

Logam berat

Kualitas perairan Pencemaran Biota perairan

Ekosistem perairan

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian

1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui konsentrasi logam berat Hg, Cd, dan Pb di perairan Pulau
Panggang-Pramuka Kepulauan Seribu;
2. Mengetahui konsentrasi logam berat Hg, Cd, dan Pb pada sedimen;
3. Mengetahui apakah perairan Pulau Panggang-Pramuka sudah tercemar
ataupun tidak berdasarkan baku mutu yang dikeluarkan/ditetapkan oleh
pemerintah/lembaga yang berwenang;
4. Mengetahui hubungan kandungan logam berat di air dan sedimen.

1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi
mengenai logam berat di perairan Pulau Panggang-Pramuka dan bagaimana
hubungannya dengan pencemaran logam berat pada perairan. Hasil penelitian ini
juga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan pengelolaan
perairan Kepulauan Seribu, khususnya perairan Pulau Panggang-Pramuka, baik
untuk kegiatan budidaya (marine culture) maupun kegiatan penangkapan, dalam
rangka mewujudkan sumberdaya perikanan bebas logam berat.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Logam berat


Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari
5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4
sampai 7. Menurut Vries et al (2002), logam berat termasuk ke dalam logam
transisi dan umumnya bersifat trace element. Afinitas yang tinggi terhadap unsur
S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga
enzim bersangkutan menjadi tak aktif (Baird, 1995). Gugus karboksilat (-COOH)
dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan
tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transformasi
melalui dinding sel. Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya
racun logam berat terhadap hewan air pada LC-50 selama 48 jam, akibat pengaruh
sinergik antar logam, efek sub letal, bioakumulasi dan bahayanya terhadap orang
yang mengkonsumsi ikan maka dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai
berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), emas (Ag), Nikel (Ni), timah hitam (Pb),
arsen (Ar), selenium (Sn), seng (Zn) (Darmono, 1995).
Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok,
yaitu bersifat toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik
tinggi terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang
terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas
unsur Mn dan Fe. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara
langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung
terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat
(Moore dan Ramamoorthy, 1984) yaitu :
1) Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan
perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan);
2) Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan;
3) Memiliki EC 10 dan LC 50 - 96 jam yang rendah;
4) Memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut;
5) Memiliki nilai faktor konsentrasi (concentration factor atau enrichment
factor) yang besar dalam tubuh biota laut. Faktor konsentrasi atau disebut
pula koefisien bioakumulasi adalah rasio antara kadar polutan dalam tubuh
biota akuatik dan kadar polutan yang bersangkutan dalam kolom air.
Kandungan kelompok anorganik logam di perairan alami sangat rendah
(trace element). Kelompok logam berat yang termasuk bersifat esensial adalah Cr,
Ni, Cu, Zn dan yang bersifat non esensial adalah As, Cd, Pb, Hg. Elemen yang
bersifat esensial dibutuhkan dalam proses kehidupan biota akuatik. Kelompok
elemen esensial maupun non esensial dapat bersifat toksik atau racun bagi
kehidupan biota akuatik, terutama apabila terjadi peningkatan kadarnya dalam
perairan (Sanusi, 2006).

2.1.1 Pencemaran dan toksisitas logam berat


Menurut Dahuri (2003), pencemaran laut didefinisikan sebagai dampak
negatif (pengaruh yang membahayakan) bagi kehidupan biota, sumberdaya,
kenyamanan ekosistem laut, baik disebabkan secara langsung maupun tidak
langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah ke dalam laut yang berasal
dari kegiatan manusia. GESAMP (Group of Expert on Scientific Aspect on Marine
Pollution), in Sanusi (2006) mendefenisikan pencemaran laut sebagai masuknya
zat-zat (substansi) atau energi ke dalam lingkungan laut dan estuari baik langsung
maupun tidak langsung akibat adanya kegiatan manusia yang menimbulkan
kerusakan pada lingkungan laut, kehidupan di laut, kesehatan manusia,
mengganggu aktivitas di laut (usaha penangkapan, budidaya, alur pelayaran) serta
secara visual mereduksi keindahan (estetika). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku
mutu dan/atau fungsinya.
Karakteristik fisik dan kimia yang dimiliki suatu jenis bahan pencemar
atau limbah menentukan sifat toksik dan persistensinya (mudah atau sulit terurai)
dalam perairan laut. Lingkungan atau ekosistem laut yang mengalami gangguan
kesetimbangan akibat polutan, dapat bersifat tetap (irreversible) atau sementara
(reversible) bergantung pada faktor-faktor berikut (Sanusi, 2006):
1) Kemantapan ekosistem (constancy); terkait dengan besar kecilnya
pengaruh perubahan;
2) Persistensi ekosistem (persistent); terkait dengan lamanya waktu untuk
kelangsungan proses-proses normal ekosistem;
3) Kelembaman ekosistem (inertia); terkait dengan kemampuan bertahan
terhadap gangguan eksternal;
4) Elastisitas ekosistem (elasticity); terkait dengan kekenyalan/kemampuan
ekosistem untuk kembali ke keadaan semula setelah mengalami gangguan;
5) Amplitudo ekosistem (amplitude); terkait dengan besarnya skala gangguan
dimana daya pulih (recovery) masih memungkinkan.
Semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap
organisme perairan pada batas dan kadar tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh jenis
logam, pengaruh interaksi antar logam dan jenis racun lainnya, spesies hewan,
daya permeabilitas organisme, dan mekanisme detoksikasi serta pengaruh
lingkungan seperti suhu, pH, dan oksigen (Bryan, 1984 in Darmono, 2001).
Hutagalung (1984) menyatakan selain suhu dan pH, salinitas dan kesadahan juga
mempengaruhi toksisitas logam berat. Penurunan pH dan salinitas perairan
menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Lain halnya dengan suhu,
toksisitas logam berat semakin tinggi dengan meningkatnya suhu. Kesadahan
yang tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam berat dalam
air dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa kompleks yang mengendap
dalam air. Logam berat yang terdapat di lingkungan perairan dapat diketahui
melalui media air, sedimen maupun organisme hidup.

2.1.2 Karakteristik logam berat


Merkuri (Hg)
Merkuri dalam bahasa latin dikenal dengan nama hydrargyrum, dalam
bahasa yunani di kenal hydragyros atau liquid silver yang berarti cairan berwarna
perak. Merkuri disingkat dengan Hg. Merkuri pada tabel periodik terdapat pada
golongan XII D, periode VI, memiliki nomor atom 80 dengan berat atom 200,59
g/mol (Cotton dan Wilkinson, 1989). Sifat-sifat merkuri, berdasarkan Darmono
(1995); Effendi (2003); Fardiaz (2005), adalah:
1) Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair pada suhu
kamar (25oC) dan memiliki titik beku yang paling rendah dibanding logam
lainnya, yaitu -39oC;
2) Memiliki kisaran suhu yang luas untuk kondisi merkuri dalam bentuk cair,
yaitu 396 oC;
3) Memiliki volatilitas yang tinggi dibanding logam lainnya;
4) Merupakan konduktor yang baik karena memiliki ketahanan listrik yang
rendah;
5) Mudah dicampur dengan logam lain menjadi logam campuran yang
disebut logam campuran (amalgam/alloy);
6) Merkuri dan komponen-komponennya bersifat toksik terhadap semua
makhluk hidup.
Berdasarkan Effendi (2003); Fardiaz (2005); Lu (2006); Sanusi (2006),
menyebutkan bahwa merkuri di alam terdapat dalam bentuk:
1) Merkuri anorganik, termasuk logam merkuri (Hg2+) dan garam-garamnya
seperti merkuri klorida (HgCl 2 ) dan merkuri oksida (HgO 2 );
2) Komponen merkuri organik atau organomerkuri, terdiri dari:
a) Aril merkuri, mengandung hidrokarbon aromatik seperti fenil
merkuri asetat
b) Alkil merkuri, mengandung hidrokarbon alifatik dan merupakan
merkuri yang paling beracun, misalnya metil merkuri dan etil
merkuri
c) Alkoksialkil merkuri (R-O-Hg).
Senyawa merkuri banyak dipakai dalam pembuatan amalgam, cat, baterai,
komponen listrik, ekstraksi emas dan perak, gigi palsu, senyawa anti karat (anti
fouling), serta fotografi dan elektronik. Pada industri kimia yang memproduksi
gas klorin dan asam klorida juga menggunakan merkuri. Penggunaan merkuri dan
komponen-komponennya juga sering dipakai sebagai pestisida (Baird, 1995;
Darmono, 1995; Effendi, 2003; Fardiaz, 2005). Logam merkuri sering dipakai
sebagai katalis dalam proses di industri-industri kimia, terutama pada industri
vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik. Pada alat-alat
pencatat suhu seperti termometer cairan yang dipakai pada umumnya adalah
logam merkuri karena bentuknya yang cair pada kisaran suhu yang luas, uniform,
pemuaian serta konduktivitasnya tinggi (Fardiaz, 2005).
Sumber alami merkuri adalah cinnabar (HgS), mineral sulfida, misalnya
sphalerite (ZnS), chalcopyrite (cuFeS) dan galena (PbS). Pelapukan bermacam-
macam batuan dan erosi tanah dapat melepas merkuri ke dalam perairan (Effendi,
2003). Penambangan, peleburan, pembakaran bahan bakar fosil, dan produksi
baja, semen dan fosfat juga merupakan sumber merkuri yang dapat menambah
keberadaannya di alam (Lu, 2006). Di perairan alami logam berat Hg terdapat
dalam bentuk Hg0, Hg+ dan Hg2+ yang ditentukan oleh kondisi reduksi atau
oksidasi. Perairan dimana terdapat oksigen terlarut cukup baik, maka Hg2+ terlarut
menjadi dominan. Dalam keadaan reduksi atau fakultatif akan terbentuk Hg0 dan
Hg+, dan apabila terdapat sulfit akan terbentuk senyawa HgS. Di perairan yang
tidak tercemar, kadar Hg2+ terlarut sekitar 0,02 – 0,1 mg/l (air tawar) dan < 0,01 –
0,03 mg/l (air laut) (Sanusi, 2006). Kadar merkuri yang diperbolehkan tidak lebih
dari 0,3 µg/liter (Moore, 1991 in Effendi, 2003).
Senyawa organik-Hg yang membentuk ikatan dengan ligan anorganik
(CH 3 -HgCl) memiliki sifat amphiphilic, yaitu larut dalam air (hydrophilic)
maupun dalam lipida (lipophilic) yang merupakan senyawa bersifat larut dalam
air dan tidak stabil. Sementara CH 3 -Hg+ dan (CH 3 ) 2 -Hg bersifat tidak larut dalam
air, persisten dan mudah menguap. Dari beberapa senyawa organik-Hg, yang
bersifat toksik adalah CH 3 -Hg+ yang terbentuk oleh proses metilasi dalam
perairan, seperti ditampilkan dalam reaksi (Baird, 1995):
HgS

Hg0 Hg2+ CH 3 -Hg+ (CH 3 ) 2 -Hg

C 2 H 5 Hg+
Spesiasi Hg dengan ligan anorganik selain HgS, terbentuk pula HgCl 2 dan
Hg(OH) 2 . Pembentukan spesiasi tersebut ditentukan oleh kondisi pH, oksigen
terlarut, kadar ligan dan kadar Hg itu sendiri. Sebagai contoh, perairan dengan pH
4,0 – 6,0 dan kadar Cl- <10-5 mole, Hg2+ terlarut akan mengalami hidrolisis
membentuk Hg(OH) 2 (predominance), sedangkan pada pH > 6,0, kompleks
Hg(OH) 2 baru terbentuk apabila kadar Cl- ~0,01 mole. Semakin tinggi kadar Cl-
dalam suatu perairan atau semakin tinggi salinitas maka Hg akan membentuk
HgCl 4 2+. Hubungan antara pH dan kadar Cl- dalam pembentukan spesies Hg
diperlihatkan pada Gambar 2.

0
HgCl4 2 -

2
pCl ~ log [Cl] mole

HgCl2
4

6
HgCl +
Hg(OH)2
8
Hg2 +

2 4 6 8 10 12 14
pH

Gambar 2. Hubungan antara pH, kadar Cl- dan pembentukan spesiasi Hg ( Moore
dan Ramamoorthy, 1984)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses atau produksi metilasi Hg


di perairan alami termasuk sedimen. Faktor tersebut antara lain adalah terdapatnya
bahan organik atau logam berat donor (grup alkyl) yang berfungsi sebagai ligan
organik, ukuran partikel sedimen, kadar, temperatur, kondisi reduksi-oksidasi
(Єh–pH) dan aktivitas metabolik bakteri atau jasad renik (Clostridium,
Methanobacter, Neurospora, Pseudomonas). Aktivitas metabolik jasad renik
tersebut ada yang melibatkan enzimatik (seperti: methionine synthetase, acetate
synthetase dan methane synthetase) dan tidak melibatkan enzimatik. Perairan
yang sudah tercemar oleh bahan organik dan Hg akan mempengaruhi kesuburan
dan jenjang trofik (trophic level) suatu perairan (Sanusi, 2006).
Di dalam sedimen laut, pembentukan kompleks organik-Hg diperkirakan
kurang dari 1% dari total Hg yang ada. Ukuran partikel dari sedimen, kandungan
bahan organik, pH adalah merupakan faktor yang mempengaruhi kapasitas
adsorpsi sedimen terhadap Hg2+, dan efektifitas adsorpsi sedimen hanya terjadi di
lapisan sedimen dengan ketebalan sekitar 1 mm. Permukaan partikel yang
halus/kecil akan memiliki luas permukaan yang besar sehingga mengakibatkan
semakin efektif proses adsorpsi logam berat oleh sedimen. Ukuran dari partikel
sedimen juga akan mempengaruhi tingkat kelarutan oksigen dalam sedimen (air
jebakan) (Sanusi, 2006).

Kadmium (Cd)
Kadmium memiliki nomor atom 49, dengan berat atom 112,41 g/mol,
memiliki titik didih dan titik leleh masing-masing 765 oC dan 320,9 oC. Kadmium
disingkat dengan Cd (Cadmium). Pada tabel periodik terdapat pada golongan
XIID, periode V (Cotton dan Wilkinson, 1989). Kadmium mempunyai sifat tahan
panas sehingga baik untuk campuran-campuran bahan-bahan keramik dan plastik,
kadmium juga sangat tahan terhadap korosi sehingga cocok untuk melapisi plat
besi dan baja (Darmono, 1995). Kadmium terdapat di alam terutama dalam bijih
timbal dan zinc. Kadmium juga digunakan sebagai pigmen pada keramik, pada
penyepuhan listrik, serta dalam pembuatan aloy dan baterai alkali (Baird, 1995;
Lu, 2006). Baird (1995) mengemukakan bahwa kadmium juga sering di pakai
sebagai elektroda pada beterai kalkulator yang dikenal sebagai nicad (nikel
cadmium). Sebagian besar makanan mengandung sejumlah kecil kadmium. Padi-
padian dan produk biji-bijian biasanya merupakan sumber utama kadmium.
Melalui asap rokok juga meyebabkan meningkatnya kadmium di lingkungan
(Baird, 1995; Lu, 2006). Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek
keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan
darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta
mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Effendi, 2003; Lu, 2006).
Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29 – 0,55 ppb dengan rata-
rata 0,42 ppb. Kadmium tergolong logam berat dan memiliki afinitas yang tinggi
terhadap grup sulfhidrid daripada enzim dan meningkat kelarutannya dalam
lemak. Perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis,
teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan
bahan organik. Kadmium pada perairan alami membentuk ikatan kompleks
dengan ligan baik organik maupun inorganik, yaitu: Cd2+, Cd(OH)+, CdCl+,
CdSO 4 , CdCO 3 dan Cd-organik. Ikatan kompleks tersebut memiliki tingkat
kelarutan yang berbeda: Cd2+ > CdSO 4 > CdCl+ > CdCO 3 > Cd(OH)+ (Sanusi,
2006).
Pada perairan alami dimana tersedia anion klorida, maka Cd2+ terlarut
akan membentuk ikatan kompleks CdCl+, CdCl 2 , CdCl 3 - dan CdCl 4 2-
terutama
pada suasana pH basa. Afinitas Cd terhadap anion klorida dibandingkan dengan
logam berat lainnya sesuai urutan adalah Hg > Cd > Pb > Zn, dimana Cd
menempati urutan kedua setelah Hg (Hahne dan Kroontje, 1973 in Moore dan
Ramamoorthy, 1984). Bahan organik terlarut dalam perairan (gugus asam amino,
sistein, polisakarida dan asam karbosiklik) memiliki kapasitas membentuk ikatan
kompleks dengan Cd dan logam berat lainnya. Demikian pula keberadaan asam
humus (humic substances) dalam perairan seperti asam fulvik, asam humik akan
membentuk ikatan kompleks (kelasi) dengan Cd. Pada umumnya stabilitas ikatan
kompleks logam berat-asam humus mengikuti deret Irving – Williams (Irving –
Williams Order) sebagai berikut:
Mg < Ca < Cd ~ Mn < Co < Zn ~ Ni < Cu < Hg
Di perairan tawar kemampuan pembentukan kompleks Cd oleh asam
humus sekitar 2,7% daripada total Cd terlarut, sementara di perairan estuari lebih
rendah dari 1% daripada total Cd terlarut. Jadi, selain ditentukan oleh kadar asam
humus dan Cd terlarut, parameter pH dan salinitas berperan dalam membentuk
ikatan kompleks logam berat-asam humus. Logam berat Cd terlarut dalam air
akan mengalami proses adsorpsi oleh partikel tersuspensi dan mengendap di
sedimen. Proses adsorpsi akan diikuti oleh proses desorpsi yang mengembalikan
Cd dalam bentuk terlarut dalam badan air (Sanusi, 2006). Kadmium dalam air laut
berbentuk senyawa klorida (CdCl 2 ), sedangkan pada perairan tawar kadmium
berbentuk karbonat (CdCO 3 ). Pada perairan payau kedua senyawa tersebut
berimbang (Darmono, 1995).
Timbal (Pb)
Timbal atau sering disebut juga timah hitam dalam bahasa latin dikenal
dengan nama plumbum, disingkat dengan Pb. Timbal pada tabel periodik terdapat
pada golongan XIV P, periode VI, memiliki nomor atom 82 dengan berat atom
207,20 g/mol (Cotton dan Wilkinson, 1989). Sifat-sifat timbal berdasarkan
Darmono (1995) dan Fardiaz (2005) antara lain:
1) Memiliki titik cair rendah;
2) Merupakan logam yang lunak sehingga mudah diubah menjadi berbagai
bentuk;
3) Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang
terbentuk mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni;
4) Memiliki densitas yang tinggi dibanding logam lain; kecuali emas dan
merkuri, yaitu 11,34 g/cm3;
5) Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai
pelindung jika kontak dengan udara lembab.
Penggunaan timah hitam terbesar adalah dalam produksi baterai, yang
memakai timbal metalik dan komponen-komponennya. Penggunaan lainnya
adalah untuk produk-produk logam seperti amunisi, pelapis kabel, pipa, solder,
bahan kimia dan pewarna (Fardiaz, 2005; Lu, 2006). Timah hitam pada perairan
ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal dalam air
cukup rendah sehingga kadarnya relatif sedikit. Bahan bakar yang mengandung
timbal (lead gasoline) memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal
di perairan. Kadar dan toksisitas timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan,
pH, alkalinitas, dan kadar oksigen (Effendi, 2003).
Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui
makanan dan minuman yang dikonsumsi serta melalui pernapasan dan penetrasi
pada kulit. Di dalam tubuh manusia, timbal dapat menghambat aktifitas enzim
yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit
anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya
nafsu makan, kejang, lesu dan lemah, muntah serta pusing-pusing. Timbal dapat
juga menyerang susunan saraf, saluran pencernaan serta depresi (Darmono, 1995).
Keberadaan ligan baik organik maupun anorganik dalam badan air akan
membentuk ikatan kompleks dengan Pb. Ligan anorganik fosfat (PO 4 3-) dan
sulfida (S2-), jika Pb akan membentuk senyawa Pb 3 (PO 4 ) 2 dan PbS yang bersifat
tidak larut. Di perairan dengan pH > 6,0 senyawa tersebut akan mengalami proses
hidrolisis membentuk Pb(OH)+ terlarut. Senyawa solid Pb(OH) 2 hanya terbentuk
pada pH ≥ 10,0. Ikatan kompleks yang bersifat stabil dengan ligan organik,
terutama terjadi terhadap ligan organik yang mengandung gugus S, N dan O.
Selain itu padatan tersuspensi dalam kolom air akan mengadsorpsi Pb terlarut
dalam air membentuk ikatan partikulat Pb. Dalam lingkungan air tawar atau
sungai, besarnya adsorpsi mencapai 15 – 83% dari total Pb terlarut (Wilson, 1976
in Moore dan Ramamoorthy, 1984).

2.1.3 Logam berat di air


Logam berat yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu
akan berubah fungsi menjadi sumber racun bagi bagi sistem kehidupan di
perairan. Walaupun daya racun yang ditimbulkan oleh satu logam berat terhadap
biota perairan tidak sama, namun kehancuran suatu kelompok dapat menjadikan
terputusnya satu rantai makanan. Pada tingkatan selanjutnya dapat
menghancurkan tatanan suatau ekosistem perairan (Palar, 1994). Secara alamiah,
unsur logam berat terdapat di seluruh alam, namun dalam kadar yang sangat
rendah (Hutagalung, 1984). Kadar logam meningkat bila limbah perkotaan,
pertambangan, pertanian, dan perindustrian yang banyak mengandung logam
berat masuk ke dalam perairan.
Konsentrasi bahan pencemar yang masuk ke perairan bisa mempengaruhi
kehidupan organisme di perairan. Sebagaimana diketahui unsur logam berat yang
masuk ke perairan berasal dari berbagai kegiatan industri selain bersumber dari
alam itu sendiri (alamiah). Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik di
sungai ataupun laut akan dipindahkan dari badan airnya melalui beberapa proses
yaitu : pengendapan, adsorbsi dan absorbsi oleh organisme perairan. Logam berat
mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar
perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen
lebih tinggi dibandingkan dalam air (Harahap, 1991). Berdasarkan peraturan
pemerintah kandungan logam berat yang boleh masuk ke perairan laut
mempunyai batasan tertentu. Baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan
KepMen LH No.51 Tahun 2004 dan baku mutu berdasarkan EPA (1987) in
Novotny dan Olem (1994) dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar baku mutu air laut untuk biota laut terhadap logam berat
Logam Simbol Standar Baku (ppm)
Kep Men LH 1 EPA 2
Merkuri Hg 0,0010 0,0021* 0.000025**
Kadmium Cd 0,0010 0,0430* 0,0093**
Timbal Pb 0,0080 0,1400* 0,0056**
Sumber : 1 KepMen LH No 51 Tahun 2004; 2 Environmental Protection Agency,
1987 in Novotny dan Olem, 1994 ( * akut; **kronis)

2.1.4 Logam berat di sedimen


Zat-zat yang masuk ke laut akan berakhir menjadi sedimen. Dalam
prosesnya semua zat yang ada terlibat proses biologi dan kimia yang terjadi
sepanjang kedalaman laut. Sebelum mencapai dasar laut dan menjadi sedimen, zat
tersebut melayang-layang di kolom perairan. Setelah mencapai dasar lautpun,
sedimen tidak diam tetapi sedimen akan terganggu ketika hewan laut-dalam
mencari makan. Sebagian sedimen mengalami erosi dan tersuspensi kembali oleh
arus bawah sebelum kemudian jatuh kembali dan tertimbun. Terjadi reaksi kimia
antara butir-butir mineral dan air laut sepanjang perjalanannya ke dasar laut dan
reaksi tetap berlangsung setelah penimbunan, yaitu ketika air laut terperangkap di
antara butiran mineral (Supangat dan Muawanah).
Sedimen yang penyebarannya mulai dari garis pantai sampai laut dalam
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sedimen laut dangkal (near shore sediment)
dan sedimen laut dalam (deep sea sediment) dengan karakteristik fisik, kimia dan
biologi yang berbeda. Sedimen yang penyebarannya sampai batas paparan benua
(continental shelf margin) dikelompokkan dalam sedimen laut dangkal. Dinamika
interaksi dengan lingkungan yang terjadi pada pembentukan sedimen laut dangkal
lebih dinamis dibandingkan dengan sedimen laut dalam. Sedimen laut dangkal
khususnya di perairan pesisir dan estuari diketahui merupakan ”storage system”
berbagai unsur dan senyawa kimia. Proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi di
kolom air akan mempengaruhi komposisi dan kualitas sedimen (Supangat dan
Muawanah; Sanusi, 2006).
Menurut Sanusi (2006) tekstur atau ukuran partikel sedimen terbentuk
terutama disebabkan oleh adanya kekuatan arus. Dengan kata lain, faktor arus
(hidrodinamika) merupakan energi sortasi sedimen. Perairan yang memiliki
kondisi arus yang dinamis (high energy environment – dynamic waters), memiliki
tekstur sedimen yang kasar (kerikil, pasir). Sementara perairan dimana kondisi
arusnya tenang atau tidak dinamis (low energy environment – sluggish waters)
memiliki tekstur sedimen yang lebih halus (lumpur, liat). Perairan yang sering
terjadi deposisi material tersuspensi (organik dan anorganik) umumnya memiliki
tekstur sedimen yang halus.
Ukuran partikel sedimen laut dangkal sangat beragam, mulai dari batuan
kerikil (> 1 mm), pasir (1/ 16 – 1 mm), lumpur (1/ 256 – 1/ 32 mm) dan lempung atau
liat (> 1/ 4069 – 1/ 640 mm). Sedimen non pelagik termasuk laut dangkal pada
umumnya terdiri atas campuran komponen lithogenous, hydrogenous dan
biogenous dan mengandung C-organik tinggi, terutama karena pengaruh interaksi
dengan daratan (Chester, 1990 in Sanusi, 2006). Sedimen lithogenous
mengandung mineral hasil pelapukan di darat, terbawa aliran sungai (fluvial
transport) dan angin (aeolian transport) masuk ke lingkungan laut. Sedimen
hydrogenous merupakan sedimen yang terbentuk karena adanya proses
pengendapan atau mineralisasi elemen-elemen kimia terlarut dalam laut.
Bongkahan atau nodul-nodul mangan (Mn) dan besi (Fe) yang terbentuk di dasar
laut adalah bentuk dari sedimen hydrogenous yang dihasilkan melalui reaksi
kimia dalam kolom air laut (Libes, 1992 in Sanusi, 2006).
- 2Fe2+ (aq) + 2O 2 + 2(OH)- → Fe 2 O 3 (s) + H 2 O
- 2Mn2+ (aq) + O 2 + 4(OH)- → 2MnO 2 (s) + 2H 2 O
Sedimen biogenous terdiri atas cangkang (shell) atau hancuran kulit
organisme laut (seperti: Globigerinids, Pteropods, Coccoliths, Diatoms,
Radiolarians) yang mengandung Ca, Mg (calcareous) dan Si (siliceous), selain
mineral celesite (SrSO 4) dan barite (BaSO 4 ). Komposisi kimia daripada cangkang
organisme laut adalah Ca2+, Mg2+, CO 3 2-, SO 4 2-, PO 4 3-, SiO 2 , Al 2 O 3 , Fe 2 O 3 , Sr2+,
Ba2+ dan materi organik (Sanusi, 2006).
Terbentuknya senyawa kimia dalam sedimen disebabkan oleh reaksi
oksidasi-reduksi yang akan mempengaruhi habitat serta kehidupan organisme
benthik. Selain oksidasi-reduksi, proses-proses fisik kimia lainnya yang terjadi
dalam sedimen, seperti: adsorpsi-desorpsi, solidifikasi-disolusi akan
mempengaruhi komposisi spesiasi kimia sedimen dan lapisan air di permukaan
sedimen (sediment-water interface) melalui interaksi air-sedimen (Bryan, 1976 in
Connell dan Miller 1995; Sanusi, 2006). Konsentrasi logam berat dalam
substrat/sedimen secara alami menggambarkan logam berat tertentu/deposit
mineral. Seringkali keberadaan logam berat dihubungkan dengan partikel
tersuspensi dan sedimen karena sedimen lebih stabil atau kurang mobile
dibandingkan dengan kolom air. Kandungan logam berat di sedimen tergantung
pada komposisi kimia dan mineral sedimen (Sanusi, 2006).
Sanusi (2006) mengemukakan bahwa sifat fisik kimia material padatan
tersuspensi yang memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat terlarut dalam
kolom air, maka deposisi padatan tersuspensi dalam suatu perairan akan
menyebabkan akumulasi logam berat tersebut selain material organik dalam
sedimen. Makin tinggi kandungan polutan organik dan anorganik dalam kolom
air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam sedimen. Oleh karena itu
kualitas fisik kimia sedimen suatu perairan dapat dijadikan indikator baik
buruknya kualitas suatu perairan. Dilihat dari aspek kimia, akumulasi bahan
organik dalam substrat halus akan menentukan status reduksi-oksidasi,
bergantung ketersediaan O 2 terlarut dalam air jebakan dan pH sedimen.
Pada kondisi oksigen rendah akan terjadi reduksi, sehingga senyawa kimia
yang dominan terbentuk adalah S2-, CH 4 , NH 3 , N 2 , Fe2+ dan Mn2+ yang bereaksi
membentuk endapan kompleks. Pada kondisi oksidasi, senyawa kimia yang
dominan terbentuk adalah SO 4 2-, CO 2 , CO 3 2-, NO 3 -, Fe3+ dan Mn4+ yang bereaksi
membentuk endapan kompleks, demikian pula dengan Ca2+ dan Mg2+. Ukuran
partikel dan air jebakan sedimen juga berperan terhadap perubahan pH. Perubahan
pH pada lapisan atas sedimen dikendalikan oleh sistem buffer (CO 2 system).
Sementara pada lapisan sedimen yang lebih dalam dikendalikan oleh
pembentukan S2- (Parsons dan Takahashi, 1977 in Sanusi, 2006).
Reseau National ’d Observation (RNO, 1981) in Razak (1986)
mengemukakan suatu kadar alamiah logam berat di perairan. Selain RNO, EPA
(1990) in Novotny dan Olem (1994) juga mengeluarkan kadar alamiah di
perairan. Kadar alamiah logam berat menurut RNO (1981) in Razak (1986) dan
EPA (1990) in Novotny dan Olem (1994) dapat dilihat pada Tabel 2. Baku mutu
logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan,
sehingga sebagai acuan dapat digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh
IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi
keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda, seperti dapat
Tabel 3.

Tabel 2. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen


Logam Simbol Kadar alamiah (ppm)
RNO1 EPA2
Merkuri Hg 0,002-0.35 0,2
Kadmium Cd 0,1-2 1
Timbal Pb 10-70 5
Sumber: 1 RNO, 1981 in Razak, 1986; 2 Environmental Protection Agency, 1990
in Novotny and Olem, 1994.

Tabel 3. Baku mutu logam berat dalam sedimen

Logam Level Level Level Level Level


Simbol target limit tes intervensi bahaya
berat

Merkuri Hg 0,3 0,5 1,6 10 15


Kadmium Cd 0,8 2 7,5 12 30
Timbal Pb 85 530 530 530 1000
Sumber: IADC/CEDA (1997)
Keterangan :
a. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang
lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu
berbahaya bagi lingkungan.
b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai
maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.
c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran
nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan.
d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada
kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai
tercemar sedang.
e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari
baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.

Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami


pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang
hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi
karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida (Hutagalung, 1984). Logam
berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di
dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam
sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991). Konsentrasi logam
berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi. Faktor-
faktor tersebut adalah :
1. Sumber dari mineral sedimen antara sumber alami atau hasil aktivitas
manusia.Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar
sedimen.
2. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar.
3. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan.

2.5 Parameter fisika dan kimia perairan


2.5.1 Suhu
Suhu di perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari
permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran serta
kedalaman badan air. Perubahan suhu air berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia,
dan biologi perairan (Effendi, 2003). Perubahan tersebut mempengaruhi aktivitas
mikrobial, solubilitas gas dan viskositas (LPM-ITB, 1994 in Kodoatie dan Sjarief,
2005). Effendi (2003) menambahkan bahwa peningkatan suhu akan meningkatkan
viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Menurut Ilahude (1999)
adanya arus dan upwelling dapat memperbesar amplitudo suhu tahunan perairan
laut. Amplitudo itu sendiri menunjukkan perbedaan suhu tahunan pada masing-
masing tempat.
Sebagian besar proses fisik, biologi dan karakter kimia pada air permukaan
dipengaruhi oleh temperatur. Peningkatan suhu berkorelasi positif dengan proses
kimia yang terjadi pada air. Peningkatan suhu juga dapat membahayakan biota air.
Peningkatan suhu menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, seperti gas
O 2 , CO 2 , N 2 dan CH 4 (Haslam, 1995 in Effendi, 2003).
Pengaruh suhu secara langsung menentukan kehadiran spesies akuatik,
mempengaruhi pemijahan, penetasan, aktivitas dan pertumbuhan organisme.
Sedangkan secara tidak langsung dapat menyebabkan perubahan kesetimbangan
kimia. Suhu sangat mempengaruhi kehidupan biota di dalam suatu perairan
(Odum, 1996). Pada keadaan suhu yang normal ini, difusi oksigen berjalan
dengan baik sehingga biota yang ada di dalam perairan tersebut dapat melakukan
respirasi, metabolisme, makan dan kegiatan fisiologis lainnya berjalan dengan
baik. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan
metabolisme dan respirasi organisme air serta peningkatan dekomposisi bahan
organik oleh mikroba, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen dalam air. Peningkatan suhu yang disertai peningkatan konsumsi
oksigen, menyebabkan keberadaan oksigen tidak mencukupi kebutuhan
organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi,
2003).
Mukhtasor (2007) mengungkapkan suhu merupakan salah satu parameter
untuk mempelajari transfortasi dan penyebaran polutan yang masuk ke lingkungan
laut. Sebagai contoh, suhu air di permukaan laut mempengaruhi sifat tumpahan
minyak dan juga pengendaliannya. Birowo dan Uktolseja (1976) in Mukhtasor
(2007), menyampaikan bahwa suhu yang rendah akan mengakibatkan viskositas
minyak naik, kecepatan penguapan fraksi ringan turun dan fraksi berat cendrung
membeku.

2.5.2 Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur), maupun bahan anorganik dan
organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Davis dan Cornwell,
1991 in Effendi, 2003).
Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi
nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Akan tetapi,
tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan.
Misalnya, air laut memiliki nilai padatan terlarut tinggi, tetapi tidak berarti
memiliki kekeruhan yang tinggi. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan
terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernapasan dan daya lihat organisme
akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air (Effendi, 2003).

2.5.3 Salinitas
Air laut merupakan larutan (solution) kompleks yang mengandung
berbagai senyawa atau elemen-elemen kimia baik organik maupun anorganik.
Kandungan elemen-elemen kimia terlarut dalam air laut dinyatakan sebagai
salinitas atau klorinitas (Riley dan Skirrow, 1975 in Sanusi, 2006). Berdasarkan
konsep dari Forch et al., (1902) in Sanusi (2006), salinitas adalah jumlah dalam
gram zat-zat terlarut dalam 1 kg air laut, dimana dianggap semua karbonat (CO 3 2-)
telah diubah menjadi oksida, bromida dan iodida diganti oleh klorida dan semua
bahan organik telah dioksidasi sempurna. Menurut konsep Knudsen (1902) in
Sanusi (2006), menyebutkan istilah lain yaitu klorinitas yang merupakan jumlah
anion klor dalam gram yang terdapat dalam 1 kg air laut, dimana dianggap semua
bromida dan iodida diganti oleh klorida.
Hubungan antara salinitas (S) dan klorinitas (Cl) secara empiris dinyatakan
dalam bentuk persamaan berikut:
S (psu) = 1,80655 x Cl (o/ oo ) + 0,030
Pada umumnya perairan laut lepas (off shore) memiliki salinitas sebesar 35 psu
(ppt); yang berarti bahwa dalam 1 kg air laut terdapat elemen-elemen kimia
terlarut (dissolved elements) seberat 35 gram. Dengan kata lain, komposisi air laut
tersebut terdiri atas 3,5% elemen-elemen kimia terlarut dan sebesar 96,5%
kandungan airnya (Sanusi, 2006).
Elemen-elemen kimia terlarut dalam air laut sebagian besar terdiri atas
elemen makro (~95%) dan hanya sebagian kecil yang merupakan elemen mikro
(~5%). Karena itu kandungan elemen makro (Na+, Mg2+, K+, Ca2+, Cl-, SO 4 2-)
sangat menentukan salinitas suatu perairan. Menurut prinsip Forchhammer (1865)
in Sanusi (2006), rasio (perbandingan) komposisi elemen makro terlarut dalam
laut adalah tetap. Berdasarkan pada prinsip tersebut, maka elemen makro terlarut
merupakan unsur kimia yang bersifat konservatif; dimana bila jenis elemen makro
tertentu diketahui kadarnya secara kuantitatif, maka berdasarkan pada rasio
tersebut, elemen makro lainnya dapat ditentukan kadarnya. Sebaran salinitas di air
laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah
hujan dan aliran sungai (Nontji, 2007). Nybakken (1992), mengemukakan bahwa
perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi
(hujan).

2.5.4 Derajat Keasaman (pH)


Effendi (2003); Sanusi (2006), menyebutkan pH adalah nilai yang
menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam air (dalam kadar molar) dan
dinyatakan sebagai:
pH = log [1/H+] atau
pH = - log [H+]
Menurut Alaerts and Santika (1984), pH menunjukkan kadar asam atau basa
dalam suatu larutan, melalui konsentrasi ion hidrogen H+. Nilai pH digunakan
untuk mengukur sifat asam dan basa suatu larutan (solution). Makin rendah pH
suatu larutan makin besar sifat asamnya, sebaliknya makin tinggi pH suatu larutan
makin besar sifat basanya. Larutan asam adalah dimana kadar ion H+ lebih besar
daripada kadar ion OH-, dan sebaliknya. Suatu zat dikatakan asam apabila zat
tersebut mengeluarkan (releasing) satu atau lebih proton, sementara dikatakan
basa apabila zat tersebut mengikat (combining) satu atau lebih proton. Sifat asam
atau basa suatu larutan ditunjukkan oleh nilai pH yang berkisar antara 0–14,
dimana pH=7 merupakan larutan netral. Meningkatnya kadar ion H+ dicirikan
oleh menurunnya nilai pH dan sebaliknya (Sanusi, 2006).
Derajat keasaman (pH) merupakan fungsi dari kandungan CO 2 yang
terlarut dalam air. Kadar CO 2 akan berkurang oleh kegiatan fotosintesis dan akan
bertambah karena respirasi. Derajat keasaman (pH) merupakan tingkat keasaman
dari suatu perairan. Nilai pH ideal untuk perairan adalah 6,5-8,5. Organisme
perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam bertoleransi pH perairan.
Kematian lebih sering diakibatkan karena pH yang rendah daripada pH yang
tinggi. Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi
banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion
dan kation, jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973). Derajat keasaman (pH)
juga berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia. Sebagian besar biota
akuatik sensitif terhadap perubahan pH serta menyukai pH berkisar 7-8,5. Nilai
pH sangat berpengaruh terhadap proses biokimia perairan, misalnya proses
nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003).
Air laut yang dalam keadaan seimbang dengan CO 2 atmosfer sedikit
bersifat basa dengan pH antara 8,1-8,3. pH bertambah melalui penyerapan CO 2
yang cepat dari air permukaan pada saat fotosintesis. Akan tetapi, biasanya tidak
sampai pH 8,4 kecuali dalam kolam pasut, lagoon dan estuari. Diketahui bahwa di
bawah zona fotik, CO 2 yang diserap dalam fotosintesis lebih sedikit daripada CO 2
dari respirasi. Bila CO 2 bertambah, pH akan turun menjadi 7,7 atau 7,8. pH
bahkan mencapai 7,5 atau kurang dalam air dengan salinitas rendah atau pada
kondisi anaerobik (anoxic) dan bakteri menggunakan pengurangan sulfat sebagai
sumber oksigen untuk penguraian bahan organik yang membebaskan H 2 S ke
dalam larutan. Kondisi anaerobik melibatkan pengurangan CO 2 dan menyebabkan
pembentukan hidrokarbon seperti metana, CH 4 . Pada kondisi tersebut, pH naik
hingga 12 (Supangat dan Muawanah).

2.5.5 Oksigen terlarut (DO)


Oksigen terlarut/DO merupakan jumlah gas oksigen yang ditemukan
terlarut di dalam air (mg/l). Jumlah oksigen yang terlarut ini tergantung pada
suhu, salinitas, tekanan atmosfer dan turbelensi air. Kadar oksigen terlarut dapat
berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman tergantung pada percampuran
(mixing), pergerakan (turbulensi) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan
limbah (effluent) yang masuk ke suatu perairan (Effendi, 2003).
Kelarutan O 2 dalam laut dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas atau kadar Cl-
seperti dikemukakan dalam Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Kelarutan O 2 dalam laut sebagai fungsi dari temperatur dan klorida
Temperatur Kadar Cl- (mg/l)
(oC) 0 5000 10000 15000 20000
Kelarutan O 2 (mg/l)
26 8,2 7,8 7,4 7,0 6,6
27 8,1 7,7 7,3 6,9 6,5
28 7,9 7,5 7,1 6,8 6,4
29 7,8 7,4 7,0 6,6 6,3
30 7,6 7,3 6,9 6,5 6,1
Sumber: APHA, AWWA, WPCF (1976) in Sanusi (2006)

Tabel 5. Kelarutan O 2 dalam laut sebagai fungsi dari temperatur dan salinitas
(dalam µmol/kg)
Temperatur Salinitas (psu)
(oC) 12 16 20 24 28 31 33 35
20 262,4 255,5 248,8 242,3 235,9 231,2 228,2 225,2
22 252,7 246,1 239,7 233,5 227,5 223,0 220,1 217,3
24 243,6 237,3 231,3 225,4 219,6 215,4 212,6 209,9
26 235,1 229,2 223,4 217,7 212,2 208,2 205,6 202,9
28 227,1 221,5 215,9 210,6 205,3 201,5 198,9 196,4
30 219,7 214,2 209,0 203,8 198,8 195,1 192,7 190,3
32 212,6 207,5 202,4 197,5 192,7 189,2 186,9 184,6
Sumber: Chester (1990) in Sanusi (2006)

Kadar gas oksigen (O 2 ) di udara adalah sekitar 20.964%, nomor dua


terbesar setelah N 2 (78.084%). Sebelum awal kehidupan di muka bumi dimulai,
gas O 2 dihasilkan melalui proses fotosintesis:
H 2 O (gas) + Ultra Violet H 2 (gas) + O 2 (gas)
Gas O 2 tergolong reaktif dan sangat dibutuhkan bagi kehidupan di muka bumi,
termasuk yang terlarut dalam laut.
Semakin tinggi temperatur dan salinitas perairan maka tingkat kelarutan
O 2 dalam air semakin rendah. Lapisan atas permukaan laut dalam keadaan
normal mengandung O 2 terlarut sebesar 4,5 – 9,0 mg/l. Untuk kehidupan biota
laut secara layak kelarutan O 2 harus lebih besar daripada 5,0 mg/l
(Kep.51/MENKLH/2004). Selain temperatur dan salilnitas, kelarutan O 2 juga
dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik. Semakin dalam laut maka kelarutan O 2
semakin kecil. Pada kedalaman laut 1.000 m (tekanan hidrostatik 100 atm), maka
tekanan parsial O 2 meningkat sebesar ± 13% dan kelarutannya menurun sebesar ±
0,1% (Klotz, 1963 in Riley dan Skirrow, 1975 in Sanusi, 2006). Beberapa faktor
yang mempengaruhi distribusi vertikal O 2 dalam laut adalah: temperatur, salinitas,
tekanan hidrostatik, fotosintesis dan respirasi, biodegradasi dan tranpor massa air
bawah laut (Gambar 3).
Kadar O2 terlarut

(a)

(b) 200 - 800 m


Kedalaman

(c)

Gambar 3. Distribusi vertikal O 2 terlarut (Chester, 1990 in Sanusi, 2006)

Keterangan:
a) Lapisan permukaan dimana kadar O 2 terlarut dipengaruhi oleh aktivitas
fotosintesis dan gerakan massa air permukaan;
b) Lapisan kedalaman 200 – 800 m dimana terjadi deplesi O 2 terlarut akibat adanya
proses demineralisasi bahan organik dan respirasi. Lapisan kedalaman tersebut
dikenal dengan lapisan OMZS (Oxygen Minima Zones). Jumlah atau banyaknya
O 2 terlarut yang digunakan untuk proses demineralisasi bahan organik dan
respirasi disebut dengan AOU (Apparent Oxygen Utilization). AOU merupakan
selisih antara NAEC (Normal Atmospheric Equilibrium Concentration) dengan
kadar O 2 insitu (Libes, 1992 in Sanusi, 2006)), atau:
AOU = NAEC – [O 2 ] insitu
Dimana NAEC adalah kadar O 2 terlarut dalam air pada keadaan terjadi
kesetimbangan dengan kadar O 2 di atmosfir. Nilai NAEC dipengaruhi oleh
temperatur air, salinitas dan tekanan parsial gas O 2 di udara;
c) Lapisan kedalaman > 800 m dimana terjadi peningkatan O 2 terlarut akibat adanya
tranpor massa air bawah laut dari daerah lintang tinggi yang kaya akan O 2 .
Diagram distribusi vertikal O 2 terlarut pada laut dalam dapat digunakan untuk
menentukan karakteristik sirkulasi massa air, sementara distribusi horizontal O 2
pada umumnya dipengaruhi oleh temperatur, salinitas, aktivitas fotosintesis dan
respirasi serta gerakan massa air permukaan.

Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi


kadar oksigen di perairan hingga mencapai nol (anaerob). Kebutuhan oksigen
sangat dipengaruhi oleh suhu dan bervariasi tiap jenis. Keberadaan limbah yang
masuk ke suatu perairan akan menurunkam kadar oksigen di perairan. Hal
tersebut terkait dengan pemanfaatan yang berlebih terhadap oksigen terutama
pada proses penguraian bahan organik oleh bakteri pengurai (Effendi, 2003).
Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologi bagi
manusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen dengan jumlah
cukup. Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, dan bervariasi antar-
organisme. Keberadaan logam berat yang berlebihan di perairan mempengaruhi
sistem respirasi organisme akuatik sehinga pada saat kadar oksigen terlarut rendah
dan terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik lebih
menderita (Tebbut, 1992 in Effendi, 2003).
Kondisi anoxic dapat terjadi pada air pantai tempat aktivitas manusia
menambah suplai nutrien dan bahan organik, sebagai contoh, tambak ikan dan
pabrik pulp, serta juga run-off pupuk dari tanah pertanian. Jika air anoxic, agen
pengoksida lain akan digunakan oleh bakteri untuk mengkonsumsi bahan organik.
Sulfat adalah unsur terlarut utama dalam air laut dan bila oksigen habis
digunakan, reaksi (dalam energi kimia) yang sering terjadi dalam penguraian
bahan organik adalah : CH 2 O + SO 4 2- <= > H 2 S + HCO3- (Supangat dan
Muawanah).

2.5.6 Kesadahan
Kesadahan adalah gambaran kation logam divalen (valensi dua).
Kesadahan perairan berasal dari kontak air dengan tanah dan bebatuan. Air hujan
sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk melarutkan ion-ion penyusun
kesadahan yang banyak terikat di dalam tanah dan batuan kapur, meskipun
memiliki kadar karbondioksida yang relatif tinggi. Larutnya ion-ion yang dapat
meningkatkan nilai kesadahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh aktivitas
bakteri di dalam tanah, yang banyak mengeluarkan karbondioksida (Effendi,
2003).
Perairan dengan nilai kesadahan tinggi pada umumnya merupakan
perairan yang berada di wilayah yang memiliki lapisan tanah pucuk tebal dan
bebatuan kapur. Kesadahan diklasifikasikan berdasarkan dua cara, yaitu
berdasarkan ion logam (metal) dan berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion
logam. Berdasarkan ion logam, kesadahan dibedakan menjadi kesadahan kalsium
dan kesadahan magnesium. Berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion
logam, kesadahan dibedakan menjadi kesadahan karbonat dan kesadahan non-
karbonat (Effendi, 2003). Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan dapat
dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan


Kesadahan (mg/liter CaCO 3 ) Klasifikasi Perairan
<50 lunak (soft)
50-100 menengah (moderately hard)
150-300 sadah (hard)
>300 sangat sadah (very hard)
Sumber: Peavy et al., 1985 in Effendi, 2003.

1. Kesadahan Kalsium dan Magnesium


Kesadahan kalsium dan magnesium diperlukan untuk menentukan jumlah
kapur dan soda abu yang dibutuhkan dalam proses pelunakan air. Pada penentuan
nilai kesadahan (baik kesadahan total, kesadahan kalsium, maupun kesadahan
kesadahan magnesium), keberadaan besi dan mangan dianggap sebagai
pengganggu karena dapat bereaksi dengan pereaksi yang digunakan.
2. Kesadahan Karbonat dan Non-karbonat
Kesadahan karbonat disebut juga kesadahan sementara. Pada kesadahan
karbonat, kalsium dan magnesium berasosiasi dengan CO 3 2- dan HCO 3 -..
Kesadahan karbonat sangat sensitif terhadap panas dan mengendap dengan mudah
pada suhu tinggi. Sedangkan kesadahan non-karbonat disebut kesadahan
permanen karena kalsium dan magnesium berikatan dengan sulfat dan klorida
tidak mengendap dan nilai kesadahan tidak berubah meskipun pada suhu yang
tinggi.
Nilai kesadahan air diperlukan dalam penilaian kelayakan perairan untuk
kepentingan domestik dan industri. Kadar maksimum kesadahan di perairan yaitu
500 mg/l CaCO 3 (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 in Effendi, 2003). Kesadahan
yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation
penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium) membentuk senyawa kompleks
dengan logam berat tersebut.

2.6 Keadaan umum lokasi penelitian


Perairan Pulau Panggang-Pramuka termasuk dalam Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu
merupakan gugusan pulau yang terletak di utara kota Jakarta dan tercatat sebagai
salah satu Kabupaten Administrasi di kawasan Provinsi DKI Jakarta. Wilayah
Kepulauan Seribu memiliki luas daratan sekitar 843,65 ha dan luas perairan
sekitar 7.000 km2. Dari 106 pulau yang ada di kepualauan Seribu, hanya ada 11
pulau yang berpenghuni, yaitu Pulau Untung Jawa, Pulau Pramuka, Pulau
Panggang, Pulau Lancang Besar, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, Pulau Payung,
Pulau Pari, Pulau Tidung Besar, Pulau Tidung Kecil, dan Pulau Sabira.
Adapun batas-batas wilayah Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Jawa/Selat Sunda.
Sebelah Timur : berbatasan dengan Laut Jawa
Sebelah selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cengkareng, Penjaringan,
Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing dan
Tangerang.
Sebelah barat : berbatasan dengan Laut Jawa/Selat Sunda.
Secara Administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu terbagi 2 kecamatan,

yaitu ;
1 Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan meliputi ; Kelurahan Pulau Untung
Jawa, Kelurahan Pulau Pari dan Kelurahan Pulau Tidung.
2 Kecamatan Kepulauan Seribu Utara meliputi ; Kelurahan Pulau Panggang,
Kelurahan Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Kelapa, dan Kelurahan Pulau
Harapan.
III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan lokasi penelitian


Kegiatan penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang, Pulau
Pramuka, dan Pulau Karya Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian berlangsung mulai April sampai
Oktober 2008.
Penentuan stasiun pengamatan pada lokasi penelitian didasarkan pada
kegiatan masyarakat di sekitar Pulau Pramuka sebagai pusat Pemerintahan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, lokasi konservasi dan juga sebagai
lokasi usaha budidaya perikanan (budidaya ikan bandeng). Lokasi pengambilan
sampel terdiri dari sepuluh stasiun pengamatan. Lokasi pengambilan contoh dapat
dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Stasiun pengambilan contoh pada perairan Pulau Panggang, Pramuka,


dan Karya
Stasiun Lokasi Lintang Selatan Bujur Timur
1 Pelabuhan/TPI Pulau Pramuka 05º44'592" 106º36'833"
2 Inlet Hatchery 05º44'297" 106º36'539"
3 Sekitar buangan mesin diesel 05º44'236" 106º36'559"
4 Pintu masuk utara 05º44'201" 106º36'568"
5 Sekitar jaring sebelah utara 05º44'185" 106º36'547"
6 Dalam jaring apung 05º44'217" 106º36'532"
7 Sekitar jaring apung sebelah barat 05º44'207" 106º36'513"
8 Outlet Hatchery 05º44'232" 106º36'599"
9 Sebelah timur Pulau Karya 05º44'185" 106º36'310"
10 Sebelah timur Pulau Panggang 05º44'1228" 106º36'297"

Untuk lebih jelasnya lokasi penelitian berikut stasiun pengamatannya


dapat dilihat pada Gambar 4.
9        Stasiun 

10 
  5 4
7
6  
3 8
2 1
BATAS LOKASI 
PENELITIAN 

Skala 1:5000

Gambar 4. Peta lokasi penelitian (Suku dinas perikanan dan kelautan Kepulauan
Seribu, Jakarta)

3.2 Alat dan bahan


Pada penelitian ini digunakan alat dan bahan untuk pengambilan air
contoh, pengukuran, penanganan, dan analisis sampel, serta alat dan bahan lain
yang menunjang selama penelitian. Alat yang digunakan terdiri dari Ekman Grab,
Vandorn water sample, botol contoh volume 1500 ml, dan 300 ml; pH meter merk
Hanna Instrument tipe pHel 1; GPS merk Garmin GPSmap 60CSx; turbidimeter
merk Hach tipe 2100P; refraktometer merek atago S/Mill.E; Coolbox; Oven; AAS
merek ZEE nit 700. Bahan yang digunakan terdiri dari pengawet sampel (H 2 SO 4 ,
HCL, HNO 3 , Na-EDTA), larutan pH 7, larutan standar logam (Hg, Cd, dan Pb)
larutan buffer (NH 4 Cl dan NH 4 OH), serta reagen untuk analisa oksigen terlarut.

3.3 Metode pengambilan sampel


Pengambilan sampel air laut dilakukan di sepuluh stasiun sebanyak 3 kali
yaitu bulan April, Juli, dan Oktober. Penetuan titik stasiun dilakukan dengan GPS.
Jumlah sampel air laut ± 500 ml dimasukkan ke dalam botol yang sudah
disterilkan dan ditambahkan dengan asam nitrat sebagai pengawet dan
dimasukkan ke dalam coolbox. Pengambilan contoh sedimen menggunakan
Eickman Grab, kemudian sedimen diambil bagian tengahnya atau pada bagian
yang tidak bersinggungan dengan dinding grab, kemudian sedimen diawetkan
dengan disimpan di cool box.
Pengukuran parameter fisik dan kimiawi dilakukan dengan dua cara, yakni
cara langsung dan analisa laboratorium. Pengamatan dan pengukuran langsung
di lapangan (insitu) dilakukan terhadap parameter suhu, salinitas, pH, DO. Analisa
kesadahan dan destruksi sedimen dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan
Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Analisa logam berat
dengan AAS dilakukan di Laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan
Hasil Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. Parameter fisik dan kimia,
alat dan metoda disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Parameter, metoda atau alat yang digunakan untuk analisa kualitas air
perairan Pulau Panggang-Pramuka
Parameter Satuan Metoda/Alat Pengkuran
Fisik
Suhu ºC Termometer Air Raksa In situ
Kekeruhan NTU Turbidity meter In situ
Kimia
Salinitas psu Refraktometer In situ
pH - pH meter In situ
DO mg/l DO meter/Titrasi winkler In situ
Kesadahan mg/l Ethylene-diamine acid dan Na- Laboratorium
EDTA
Logam Berat
Merkuri ppm AAS Laboratorium
Kadmium ppm AAS Laboratorium
Timbal ppm AAS Laboratorium
3.4 Prosedur kerja
3.4.1 Preparasi sampel
Proses destruksi, penyaringan dan pengukuran logam berat serta analisa
logam beram berat air dan sedimen dilakukan di Laboratorium Balai Pengujian
Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta.
Sementara itu preparasi sedimen dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan
Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

3.4.2 Penentuan konsentarasi logam berat


Penentuan konsentrasi logam berat dengan cara langsung untuk sampel air
dan cara kering (pengabuan) untuk sampel padatan/sedimen. Pengukuran logam
berat dengan menggunakan AAS (atomic absorption spectrofotometry);
selanjutnya dihitung dengan formula:

Logam Berat (ppm) =


[( Ac − Ab ) − a]x100
bxW ( gr ) x1000
Keterangan :
Ac : Absorban contoh
Ab : Absorban blanko
a : Intercept dari persamaan regresi standar
b : Slope dari persamaan regresi standar
W : Berat sampel (g)

3.5 Analisis data


3.5.1 Koefesien korelasi (r)
Untuk mengetahui keeratan hubungan logam berat antara di air dan
sedimen dibuat analisis regresi dan korelasi (Steel and Torie, 1989 in Mulyawan,
2005). Adapun Koefisien korelasi antara logam berat di air dan sedimen dapat
dihitung dengan formula:
Sxy
r=
(Sxy )2 (Sy )2
Keterangan :
r = koefisien rata-rata korelasi
Sxy = Sebaran nilai pengamatan x dan y
Sx² = Keragaman nilai x
Sy² = Keragaman nilai y
3.5.2 Analisa deskriptif
Hasil analisa logam berat pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka
untuk melihat tingkat pencemaran logam berat, Hg, Cd, dan Pb dibandingkan
dengan Kriteria Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut tahun 2004 pada Tabel 9.

Tabel 9. Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut Tahun 2004 (Menteri Negara
Lingkungan Hidup, 2004).
Logam Berat Satuan Baku Mutu
Merkuri (Hg) ppm 0,001
Kadmium (Cd) ppm 0,001
Timbal (Pb) ppm 0,008

Hasil analisa logam berat dalam sedimen dibandingkan dengan baku mutu yang
dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) pada Tabel 10.

Tabel 10. Baku mutu logam berat dalam sedimen menurut IADC/CEDA (1997)
Logam Level Level Level Level Level
Satuan target limit tes intervensi bahaya
berat

Merkuri ppm 0,3 0,5 1,6 10 15


Kadmium ppm 0,8 2 7,5 12 30
Timbal ppm 85 530 530 530 1000
Keterangan :
b. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang
lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu
berbahaya bagi lingkungan.
b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai
maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.
c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran
nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan.
d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada
kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai
tercemar sedang.
e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari
baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Parameter Fisika dan Kimia


4.1.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat penting bagi
kehidupan organisme atau biota perairan. Tiap organisme perairan mempunyai
batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu. Parameter suhu atau
temperatur, selain berpengaruh terhadap kehidupan organisme juga berpengaruh
terhadap parameter lainnya (fisika dan kimia). Hasil pengukuran suhu di perairan
Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 28-340C. Suhu yang tinggi terdapat pada
stasiun 3 yang merupakan daerah pembuangan langsung dari mesin diesel. Mesin
diesel membutuhkan air untuk mendinginkan mesinnya, air hasil pendinginan
inilah yang membuat perairan di stasiun 3 tergolong tinggi yakni lebih dari 310C.
Barus (2002) mengemukakan bahwa temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh
aktivitas manusia, seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik
(dalam hal ini mesin diesel). Pada daerah selain stasiun 3 kisaran suhunya
termasuk kisaran normal untuk perairan Indonesia yaitu 28-31 0C (Nontji, 2007).
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 suhu
di perairan Pulau Panggang-Pramuka masih dalam kisaran alami (28-31 0C),
terkecuali pada stasiun 3. Tingginya suhu perairan Pulau Panggang-Pramuka
berhubungan dengan letak geografisnya yang berada pada daerah khatulistiwa,
sehingga intensitas penyinaran matahari sangat tinggi. Tingginya intensitas
penyinaran matahari, menyebabkan tingkat penyerapan panas ke dalam perairan
menjadi lebih besar (Nontji, 2007).
Nybakken (1992) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor
yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran
organisme. Kaidah umum menyebutkan bahwa reaksi kimia dan biologi air
(proses fisiologis) akan meningkat 2 kali lipat pada setiap kenaikan temperatur 10
0
C. Selain itu, suhu juga berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi
organisme. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah
antara 20-30 0C (Effendi, 2003). Berdasarkan hal tersebut, maka suhu perairan di
lokasi penelitian sangat mendukung kehidupan organisme yang hidup di
dalamnya. Kenaikan suhu selain meningkatkan metabolisme juga dapat
meningkatkan toksisitas logam berat (Hutagalung, 1984).
Suhu juga mempengaruhi proses kelarutan logam-logam berat yang masuk
ke perairan. Semakin tinggi suatu suhu perairan kelarutan logam berat akan
semakin tinggi. Perairan Pulau Panggang-Pramuka dengan kisaran suhu yang
tinggi memungkinkan kelarutan logam berat menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Darmono (2001) yang menyatakan bahwa suhu yang tinggi dalam air
menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai
aerobik menjadi naik dan dapat menguapkan bahan kimia ke udara.

4.1.2 Kekeruhan
Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang
tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur), maupun bahan anorganik dan organik
yang berupa plankton dan mikroorganisme lain. Nilai kekeruhan berkorelasi
positif dengan nilai padatan tersuspensi. Nilai kekeruhan yang tinggi akan diikuti
dengan nilai padatan tersupensi yang semakin tinggi. Nilai kekeruhan yang
didapat pada penelitian di perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 0,93-
4,60 NTU. Nilai ini menunjukkan bahwa kekeruhan perairan Pulau Panggang-
Pramuka adalah rendah. Hal ini mengandung arti bahwa nilai padatan
tersuspensinya rendah. Nilai kekeruhan yang rendah ini mengindikasikan bahwa
daya tembus cahaya matahari ke perairan sangat tinggi, karena sedikitnya
zat/bahan yang menghalanginya. Hal ini juga akan berpengaruh pada fotosintesis
di perairan Pulau Panggang-Pramuka yang cukup tinggi, sehingga
produktivitasnya tinggi pula (Effendi, 2003). Nilai kekeruhan pada perairan ini
juga berada dibawah kisaran baku mutu dari Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 51 Tahun 2004 yaitu ≤5 NTU.
Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa nilai kekeruhan tertinggi terdapat
pada stasiun 10. Hal ini disebabkan posisi dari stasiun 10 yang dekat pada lintasan
jalur pelayaran antar pulau di Kepulauan Seribu. Kondisi ini menjadikan perairan
tersebut selalu terjadi pergolakan/pengadukan sehingga sedimen/substrat dari
dasar terangkat/teraduk. Demikian juga pada stasiun 1, posisinya berada pada
daerah pelabuhan/pendaratan ikan (TPI), sehingga terjadi pengadukan air yang
memungkinkan sedimen akan terangkat dari dasar akibat adanya pengadukan air
oleh pergerakan kapal. Pada stasiun 8 kekeruhannya tergolong tinggi dibanding
daerah lainnya karena stasiun ini terdapat pada outlet dari kegiatan tambak ikan
bandeng di dekat daerah perlindungan laut (DPL). Hal ini menjadikan air di
sekitarnya teraduk terus-menerus oleh adanya semacam arus dari outlet.
Sementara di daerah lain yang termasuk rendah karena daerahnya tenang,
kalaupun ada pergolakan air, itu terjadi secara alami. Sumawidjaja (1974)
menyebutkan bahwa perairan yang sering mengalami pergolakan air/turbelensi
akan memiliki kekeruhan yang tinggi dibanding daerah yang lebih tenang.

4.1.3 Salinitas
Salinitas adalah jumlah dalam gram zat-zat terlarut dalam 1 kg air laut,
dianggap semua karbonat (CO 3 2-) telah diubah menjadi oksida, bromida dan
iodida diganti oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi sempurna.
Menurut konsep Knudsen (1902) in Sanusi (2006), terdapat istilah lain yaitu
klorinitas yang merupakan jumlah anion klor dalam gram yang terdapat dalam 1
kg air laut, dianggap semua bromida dan iodida diganti oleh klorida.
Nilai salinitas yang diperoleh dari hasil penelitian di perairan Pulau
Panggang-Pramuka yaitu berkisar 23-31 psu. Salintas terendah terdapat pada
stasiun 10 dan merupakan nilai salinitas dengan kisaran yang paling luas. Kondisi
ini terjadi karena daerah stasiun 10 terletak dekat pantai Pulau Karya. Nilai
salinitas rendah pada saat surut karena pengaruh daratan cukup besar sehingga
salinitas menurun. Salinitasnya tinggi karena pada kondisi pasang sehingga
pengaruh dari laut yang tinggi dibanding dengan pengaruh dari daratan. Pariwono
et al., (1988) mengemukakan sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh pola
sirkulasi air, penguapan, curah hujan, aliran sungai, dan pengaruh pasang surut
yang menyebabkan adanya gerakan vertikal massa air. Pada stasiun 1, 2, dan 3
memiliki kisaran salinitas yang sempit. Stasiun 1 walaupun dekat dengan Pulau
Pramuka menunjukkan bahwa salinitas pada daerah TPI lebih dipengaruhi oleh
laut dibanding daratannya, yang berarti masukan air tawar ke lokasi ini sangat
rendah. Pada stasiun 2 dan 3 kisarannya sempit karena jauh dari daratan, sehingga
pengaruh dari masukan air tawar sangat rendah.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun
2004 suhu di perairan Pulau Panggang-Pramuka masih dalam kisaran alami
(daerah mangrove/pesisir). Secara umum nilai salinitas setiap tempat/stasiun
berbeda hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 2007). Nybakken (1992)
mengemukakan bahwa perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam
penguapan dan presipitasi (hujan) sehingga hal ini juga membuat nilai salinitas di
perairan Pulau Panggang-Pramuka tidak sama. Salinitas juga dapat mempengaruhi
keberadaan logam berat di perairan. Jika terjadi penurunan salinitas, maka akan
menyebabkan peningkatan daya toksik logam berat dan tingkat bioakumulasi
logam berat semakin besar (Hutagalung, 1984).

4.1.4 Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman (pH) berperan penting untuk mengontrol tipe dan laju
kecepatan reaksi beberapa bahan dalam perairan. Selain itu, ikan dan organisme
lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH,
kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang
kehidupan organisme perairan. Nilai pH suatu perairan memiliki ciri yang khusus,
adanya keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah
konsentrasi ion hidrogen. Dengan adanya asam-asam mineral bebas dan asam
karbonat menaikkan pH, sementara adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat
dapat menaikkan kebasaan air (Alaert dan Santika, 1984).
Nilai derajat keasaman (pH) perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar
antara 7,34-7,61. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Pulau Panggang-Pramuka
cenderung bersifat basa. Air laut yang dalam keadaan seimbang dengan CO 2
atmosfer sedikit bersifat basa dengan pH antara 8,1-8,3. Derajat keasaman
bertambah melalui penyerapan CO 2 yang cepat dari air permukaan pada saat
fotosintesis. Akan tetapi, biasanya tidak sampai pH 8,4 kecuali dalam kolam
pasut, lagoon, dan estuari. Diketahui bahwa di bawah zona fotik, CO 2 yang
diserap dalam fotosintesis lebih sedikit daripada CO 2 dari respirasi. Bila CO 2
bertambah, pH akan turun menjadi 7,7 atau 7,8. pH bahkan mencapai 7,5 atau
kurang (Supangat dan Muawanah). Hal ini yang membuat nilai pH sedikit lebih
rendah dibanding kondisi air laut normal/seimbang. Hal ini dapat disebabkan oleh
kandungan CO 2 cukup tinggi. Kandungan CO 2 yang tinggi dapat dilihat dengan
kandungan O 2 secara umum cukup rendah untuk kategori air laut (Tabel 11).
Kisaran pH terendah terdapat pada stasiun 1 dan 3. Nilai pH yang rendah
ini disebabkan oleh CO 2 yang semakin besar, pada stasiun 1 dan 3 kandungan O 2
paling rendah (Tabel 11). Stasiun 1 dan 3 merupakan lokasi yang paling rentan
terhadap polutan karena stasiun 1 yang terletak di daerah pendaratan ikan (TPI),
sedangkan stasiun 3 sebagai lokasi pembuangan air mesin diesel. Pada lokasi
tersebut (stasiun 3) dengan kondisi air yang hangat (suhu yang tinggi), kelarutan
menjadi oksigen rendah dan kelarutan CO 2 lebih tinggi walaupun ada penurunan
kelarutan gas dengan meningkatnya temperatur. Akan tetapi kelarutan gas CO 2 di
perairan lebih tinggi dibanding gas lainnya (Cole, 1988 in Effendi, 2003). Secara
umum daerah perairan Pulau Panggang-Pramuka tergolong pada kategori layak
bagi organisme perairan karena berada pada kisaran 7-8,5 (Effendi, 2003).
Berdasarkan baku mutu menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
51 Tahun 2004 nilai pH masih dalam kisaran yang ditetapkan (7-8,5). Derajat
keasaman (pH) >7, nilai ini menyatakan bahwa pH air lebih bersifat alkalis. pH
alkalis sangat mendukung terjadinya laju dekomposisi pada suatu perairan
(Effendi, 2003). Dengan adanya pH air yang bersifat alkalis akan terjadi
peningkatan laju dekomposisi maka akan berdampak dengan menurunnya nilai
oksigen terlarut (DO) suatu perairan (Kordi, 1996 in Rahman, 2006).
Organisme perairan mempunyai kemampuan toleransi yang berbeda
terhadap perubahan pH di perairan. Kematian lebih sering diakibatkan karena pH
yang rendah dibanding pH yang tinggi. Batas toleransi organisme perairan
terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen
terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme
(Pescod, 1973). Derajat keasaman (pH) juga berpengaruh terhadap toksisitas suatu
senyawa kimia. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH serta
menyukai pH berkisar 7-8,5. Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses
biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah
(Effendi, 2003). Penurunan pH dan salinitas perairan menyebabkan toksisitas
logam berat semakin besar (Hutagalung, 1984).
Derajat keasaman (pH) dapat mempengaruhi konsentrasi logam berat di
perairan, dalam hal ini kelarutan logam berat akan lebih tinggi pada pH rendah,
sehingga menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Kenaikan pH pada
badan perairan biasanya akan diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari
senyawa-senyawa logam tersebut. Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka
kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida-hidroksida ini
mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang
terdapat pada badan perairan. Lama-kelamaan persenyawaan yang terjadi antara
hidroksida dengan partikel-partikel yang ada di badan perairan akan mengendap
dan membentuk lumpur (Hutagalung, 1984).

4.1.5 Oksigen Terlarut (DO)


Gas O 2 tergolong reaktif dan sangat dibutuhkan bagi kehidupan di muka
bumi, termasuk yang terlarut dalam laut. Kelarutan O 2 dalam laut dipengaruhi
oleh temperatur dan salinitas atau kadar Cl-. Semakin tinggi temperatur dan
salinitas perairan, maka tingkat kelarutan O 2 dalam air semakin rendah. Lapisan
atas permukaan laut dalam keadaan normal mengandung O 2 terlarut sebesar 4,5 –
9,0 mg/l (Sanusi, 2006).
Berdasarkan pengamatan, di peroleh kandungan oksigen terlarut di
perairan Pulau Panggang-Pramuka antara 3,13 mg/l-7,28 mg/l (Tabel 11). Kisaran
oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 3 dan 6 yaitu antara 3,13-4,17 mg/l
(stasiun 1) dan 3,20-4,17 mg/l (stasiun 6). Kisaran oksigen terlarut yang rendah
ini disebabkan oleh kandungan suhu yang tinggi di stasiun 3 dan lokasi tambak
bandeng intensif di stasiun 6. Pada stasiun 3 temperatur tinggi, sehingga daya
larut oksigen menjadi rendah. Hal ini menyebabkan kandungan oksigennya pun
menjadi rendah (Effendi, 2003; Sanusi, 2006). Pada stasiun 6 (sekitar keramba
ikan bandeng), memiliki nilai oksigen terlarut yang rendah karena oksigen
dimanfaatkan oleh ikan bandeng dengan kondisi padat tebar (5.000 ekor/78,5 m2).
Selain itu pemberian pakan yang tinggi (sekitar 200-280 kg/hari), dengan kondisi
ini tidak semua pakan akan habis dimakan oleh ikan, sehingga akan terjadi
dekomposisi oleh mikroorganisme dari sisa pakan yang mengakibatkan oksigen
semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) yang
menyebutkan bahwa dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan organik dapat
mengurangi kadar oksigen di perairan hingga mencapai nol (anaerob). Kebutuhan
oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu dan bervariasi tiap jenis. Keberadaan
limbah yang masuk ke suatu perairan akan menurunkan kadar oksigen di perairan.
Hal tersebut terkait dengan pemanfaatan yang berlebih terhadap oksigen terutama
pada proses penguraian bahan organik oleh bakteri pengurai (Effendi, 2003).
Oksigen tertinggi pada stasiun 8, 9, dan 10 masing-masing sebesar 5,20-
6,40 mg/l, 5,21-5,26 mg/l, dan 5,20-7,00 mg/l. Kandungan O 2 yang cukup tinggi
karena daerah tersebut merupakan daerah yang paling sering terjadi pergolakan air
(turbulensi), stasiun 9 dan 10 merupakan dekat pantai Pulau Panggang dan karya
serta daerah dekat jalur transfortasi antar pulau. Adanya turbulensi akibat
pergerakan kapal memungkinkan terjadinya penyebaran oksigen di kolom
perairan. Gelombang dan ombak juga memungkinkan terjadinya kontak udara
antara permukaan air sehingga terjadi difusi yang menimbulkan O 2 semakin
tinggi. Pada stasiun 8 yang merupakan outlet terdapat arus yang cukup kencang
sehingga terjadi turbulensi yang mengakibatkan O 2 meningkat (semakin besar)
(Effendi, 2003). Kandungan oksigen terlarut di perairan Pulau Panggang-Pramuka
masih diatas baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah (Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004) yaitu >5 mg/l, kecuali stasiun 3.
Kadar O 2 di perairan Pulau Panggang-Pramuka antar stasiun terjadi
perbebedaan, tergantung pada lokasinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Effendi (2003), yang menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut dapat berfluktuasi
secara harian (diurnal) dan musiman tergantung pada percampuran (mixing),
pergerakan (turbulensi) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah
(effluent) yang masuk ke suatu perairan. Keberadaan O 2 dapat mempengaruhi
keberadaan dan toksisitas logam berat. Semakin rendah O 2, maka daya racun
logam berat umumnya semakin tinggi. Semua logam berat dapat menimbulkan
pengaruh yang negatif terhadap organisme perairan pada batas dan kadar tertentu.
Hal ini dipengaruhi oleh jenis logam, pengaruh interaksi antar logam dan jenis
racun lainnya, spesies hewan, daya permeabilitas organisme, dan mekanisme
detoksikasi serta pengaruh lingkungan seperti suhu, pH, dan oksigen (Bryan, 1984
in Darmono, 2001).
4.1.6 Kesadahan
Kesadahan adalah gambaran kation logam divalen (valensi dua).
Kesadahan perairan berasal dari kontak air dengan tanah dan bebatuan. Air hujan
sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk melarutkan ion-ion penyusun
kesadahan yang banyak terikat di dalam tanah dan batuan kapur, meskipun
memiliki kadar karbondioksida yang relatif tinggi. Nilai kesadahan di perairan P.
Panggang-Pramuka berkisar antara 66,06-74,07 mg/l CaCO 3 (Tabel 11).
Berdasarkan Peavy et al., (1985) in Effendi (2003) maka kesadahan di perairan
Pulau Panggang-Pramuka tergolong perairan yang memiliki kesadahan menengah
(50-100 mg/l CaCO 3 ).
Effendi (2003) mengemukakan bahwa perairan dengan nilai kesadahan
tinggi pada umumnya merupakan perairan yang berada di wilayah yang memiliki
lapisan tanah pucuk tebal dan bebatuan kapur. Kesadahan yang tinggi dapat
menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation penyusun
kesadahan (kalsium dan magnesium) membentuk senyawa kompleks dengan
logam berat tersebut.

Tabel 11. Kualitas air di perairan Pulau Panggang-Pramuka.


Parameter Satuan Stasiun Baku
1 2 3 5 6 7 8 9 10 Mutu1
Suhu ºC 29-30 28-31 32-34 29-31 28-30 29-30 28-30 29-30 28-29 alami
Kekeruhan NTU 4,10- 2,00- 1,84- 0,93- 1,70- 1,61- 1,45- 3,08- 2,85- <5
4,42 2,30 2,13 1,01 1,98 1,76 1,93 3,68 3,61
Salinitas psu 28-31 29-31 28-30 27-30 25-28 25-30 26-31 25-30 23-31 alami
pH - 7,39- 7,39- 7,34- 7,48- 7,50- 7,40- 7,44- 7,47- 7,44- 7-8,5
7,51 7,55 7,39 7,53 7,57 7,45 7,52 7,52 7,56
DO mg/l 4,69- 5,21- 3,13- 5,00- 4,00- 3,20- 4,17- 5,20- 5,20- >5
5,21 6,20 4,17 6,26 7,28 4,17 5,21 6,40 7,00
Kesadahan mg/l 72,07- 68,06- 74,07- 72,07- 70,07- 70,07- 70,07- 68,06- 70,07- -
74,07 70,07 76,07 74,07 72,07 72,07 72,07 70,07 72,07
Ket: Baku Mutu Air Laut (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Untuk
Biota Laut Nomor: 51 Tahun 2004)
4.2 Logam Berat di Air
4.2.1 Merkuri (Hg)
Pada dasarnya, merkuri/raksa (Hg) merupakan unsur logam yang sangat
penting dalam teknologi di abad modern saat ini. Bentuk fisik dan kimianya
sangat menguntungkan karena merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair
dalam temperatur kamar (25°C), titik bekunya paling rendah (-39°C), mempunyai
kecenderungan menguap lebih besar, mudah bercampur dengan logam-logam lain
menjadi logam campuran (amalgam/alloy), juga dapat mengalirkan arus listrik
sebagai konduktor baik pada tegangan arus listrik tinggi maupun tegangan arus
listrik rendah (Alfian, 2006).
Hasil analisa merkuri terhadap air di perairan Pulau Panggang-Pramuka
menunjukkan kandungan merkuri berfluktuasi (Gambar 5). Pada bulan April
kisaran merkuri pada perairan tersebut berkisar antara 0,0008-0,0014 ppm dengan
rata-rata 0,0011 ppm. Pada bulan Juli mengalami kenaikan dengan nilai kisaran
antara 0,0010-0,0024 ppm dengan rata-rata 0,0016 ppm. Pada bulan Oktober nilai
Hg berkisar 0,0011-0,0022 ppm dengan rata-rata 0,0016 ppm. Pada bulan April
kandungan Hg tertinggi pada stasiun 2 dan 10, sedangkan terendah pada stasiun 1.
Pada Juli merkuri tertinggi pada stasiun 6 dan terendah di stasiun 2. Pada bulan
Oktober nilai Hg tertinggi pada stasiun 6 sedangkan terendah terdapat pada
stasiun 1 dan 3. Secara umum kandungan Hg tertinggi terletak pada stasiun 6, 9,
dan 10.
Letak stasiun 6 berada di dalam keramba jaring apung ikan bandeng.
Tingginya Hg di sekitar keramba dapat diduga berasal dari bahan keramba yang
dipakai (ada campuran plastik) dan cat yang dipakai (jaring keramba dan drum).
Fardiaz (2005) menyebutkan logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam
proses di industri-industri kimia, terutama pada industri vinil khlorida yang
merupakan bahan dasar dari berbagai plastik. Senyawa merkuri juga banyak
dipakai dalam pembuatan amalgam, cat, baterai, komponen listrik, ekstraksi emas
dan perak, gigi palsu, senyawa anti karat (anti fouling), serta fotografi dan
elektronik. Pada industri kimia yang memproduksi gas klorin dan asam klorida
juga menggunakan merkuri. Penggunaan merkuri dan komponen-komponennya
juga sering dipakai sebagai pestisida (Baird, 1995; Darmono, 1995; Effendi, 2003;
Fardiaz, 2005). Pada stasiun 9 dan 10 yang merupakan daerah yang dekat dengan
jalur transportasi dan Pulau Panggang serta Pulau Karya, sumber merkuri dapat
berasal dari limpasan pulau (penduduk) maupun terbawa arus akibat adanya lalu-
lintas pelayaran di daerah tersebut.

0,0025
April
0,0020 Juli
Hg (ppm)

0,0015 Oktober

0,0010

0,0005

0,0000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 5. Kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka

Penelitian yang dilakukan oleh Puspaningsih (2006) di sekitar perairan


Kepulauan Seribu, yakni Pulau Rambut, Pulau Lancang, Pulau Bokor, dan Pulau
Pari menunjukkan bahwa kandungan merkuri pada sampel air laut di sekitar Pulau
Rambut (stasiun 1) berkisar antara 6,086-28,64 ppb, di sekitar Pulau Lancang
(stasiun 2) berkisar antara 0,0413-32,46 ppb, di sekitar Pulau Bokor (stasiun 3)
berkisar antara 0,2106-4,147 ppb, dan di sekitar Pulau Pari berkisar antara 0,5868-
21,06 ppb. Berdasarkan hal ini jelas terlihat bahwa merkuri di perairan Pulau
Panggang-Pramuka sebagai pusat administrasi Kepulauan Seribu lebih tinggi.
Walaupun waktu penelitian berselang 2 tahun daerah perairan Pulau Panggang-
Pramuka memiliki kandungan merkuri yang cukup tinggi dibanding penelitian
sebelumnya (sekitar perairan Pulau Rambut, Lancang, Bokor, dan Rambut).
Berdasarkan grafik rata-rata kandungan merkuri pada air perairan Pulau
Panggang-Pramuka (Gambar 6), dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan
oleh pemerintah RI (KepMen LH No. 51 tahun 2004 tentang kriteria baku mutu
air laut untuk biota laut) sudah melewati ambang batas yang telah ditetapkan yaitu
> 0,001 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum perairan ini jika ditinjau
dari pencemaran logam Hg sudah tergolong tercemar. Hal ini sangat
memungkinkan karena pemakaian Hg hampir di setiap sektor kehidupan (sebagai
bahan utama maupun campuran) baik bidang industri, pertanian maupun
kedokteran (Alfian, 2006). Berdasarkan baku mutu dari EPA (1987) untuk
kategori akut, hasil yang diperoleh secara umum masih di bawah standar (<0,0021
ppm). Untuk kategori kronis bulan Oktober sudah melewati baku mutu yang
ditetapkan (>0,000025 ppm). Penetapan baku mutu terhadap suatu bahan
pencemar tergantung kebijakan dari pemerintah setempat (pemerintah RI dan
EPA, USA).

0,0025

0,0020 Merkuri

Baku
Hg (ppm)

0,0015
Mutu RI
EPA
0,0010 (akut)
EPA
0,0005 (Kronis)

0,0000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 6. Rata-rata kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-


Pramuka

Dampak merkuri (Hg) terhadap tubuh dapat bersifat akut atau kronis. Hal
ini sangat bergantung pada kadar merkuri yang masuk. Masuknya merkuri ke
dalam tubuh pada dosis tertentu, dalam waktu cepat dapat menimbulkan dampak
yang bersifat akut seperti kerusakan paru-paru, mual, muntah, diare, peningkatan
tekanan darah, ruam pada kuku dan iritasi mata. Dampak yang bersifat kronik
terjadi karena merkuri terutama senyawa metil merkuri dapat mengalami
penumpukan (akumulasi) yang dapat mengganggu fungsi ginjal atau sering
disebut nefrotoksik. Selain itu merkuri dapat menyebabkan kerusakan permanen
pada otak, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan daya ingat,
kejang, dan tremor (gerakan tubuh yang tidak terkendali), hingga menyebabkan
kematian seperti yang dialami warga Minamata, Jepang (Athena et al., 2004).

4.2.2 Kadmium (Cd)


Berdasarkan hasil analisa kadmium dalam air di perairan Pulau Panggang-
Pramuka mengalami peningkatan tiap bulan. Peningkatan Cd dari mulai bulan
April-Juli tidak terlalu signifikan. Pada bulan Juli sampai Oktober terjadi
peningkatan Cd yang sangat signifikan di seluruh stasiun pengamatan (Gambar 6).
Pada bulan April Cd di perairan Pulau Panggang-Pamuka berkisar antara 0,0006-
0,0009 ppm (rata-rata; 0,00074 ppm). Kadmium tertinggi terdapat pada stasiun 2
dan 10, sedangkan terendah pada stasiun 1, 8, dan 9. Secara umum, perbedaan
nilai Cd antar stasiun pada bulan April di Perairan Pulau Panggang-Pramuka tidak
terlalu besar (relative kecil). Pada bulan Juli kandungan logam berat kadmium
berkisar antara 0,0005-0,0010 ppm (rata-rata; 0,00078 ppm). Kadmium tertinggi
pada stasiun 2 dan 10, sedangkan terendah pada stasiun 9. Pada bulan Juli
perbedaan antar stasiun lebih besar dibanding bulan April. Bulan Oktober yang
merupakan bulan peralihan kedua di Indonesia dengan kondisi perairan Laut Jawa
yang tidak stabil memperlihatkan nilai kadmium yang berbeda tiap stasiun dengan
perbedaan yang cukup tinggi. Kisaran logam kadmium pada bulan Oktober antara
0,0003-0,004 ppm (rata-rata; 0,0036 ppm), dengan kandungan tertinggi pada
stasiun 3, 4, 5, 6, 8, dan 10 sedangkan terendah pada stasiun 1, 2, 7, dan 9.
Berdasarkan hasil pengamatan (April-Oktober) menunjukkan bahwa
semakin lama kandungan kadmium meningkat seiring dengan bertambahnya
waktu. Daerah bagian timur pantai Pulau Karya (Stasiun 10) merupakan daerah
yang paling rentan terhadap pencemran logam berat. Peningkatan Cd yang tinggi
pada bulan Oktober diduga bahwa pada bulan ini terjadi dorongan akibat adanya
arus dari teluk Jakarta, sehingga polutan yang terdapat di Teluk Jakarta terbawa ke
perairan Pulau Panggang-Pramuka. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
sampah (terutama sampah plastik) yang terbawa ke daerah Kepulauan Seribu. Hal
tersebut menurut penuturan masyarakat sekitar terjadi tiap tahun pada saat musim
hujan (debit air sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta tinggi/naik).

0,004
April
0,003
Juli
Cd (ppm)

0,002 Oktober

0,001

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 7. Kandungan kadmium pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka

Tingginya nilai kadmium di perairan Pulau Panggang-Pramuka walaupun


sumber pencemaran berupa industri (point source) jauh di daerah Jakarta tidak
terlepas dari salah satu pemakaian kadmium sebagai pigmen pada keramik, pada
penyepuhan listrik, serta dalam pembuatan aloy dan baterai alkali (Baird, 1995;
Lu, 2006). Baird (1995) mengemukakan bahwa kadmium juga sering di pakai
sebagai elektroda pada beterai kalkulator yang dikenal sebagai nicad (nikel
cadmium). Sebagian besar makanan mengandung sejumlah kecil kadmium. Padi-
padian dan produk biji-bijian biasanya merupakan sumber utama Cd. Asap rokok
juga menyebabkan meningkatnya Cd di lingkungan. Kadmium terdapat juga di
alam terdapat dalam bijih timbal dan zink (Baird, 1995; Lu, 2006).
Berdasarkan grafik rata-rata kandungan kadmium pada air perairan Pulau
Panggang-Pramuka (Gambar 8), dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan
oleh pemerintah RI (KepMen LH No. 51 tahun 2004 tentang kriteria baku mutu
air laut untuk biota laut) sudah melewati ambang batas yang telah ditetapkan yaitu
> 0,001 ppm. Berdasarkan baku mutu dari EPA (1987), baik kronis maupun akut
masih jauh dibawah ambang batas yang ditetapakan (<0,0093 ppm dan <0,043
ppm).

0,010

0,008 Merkuri

EPA
Cd (ppm)

0,006 (Kronis)
Baku
0,004 Mutu RI

0,002

0,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 8. Rata-rata kandungan kadmium pada air perairan Pulau Panggang-


Pramuka

Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang
dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi,
gangguan pada sistem ginjal dan kelenjar pencernaan serta mengakibatkan
kerapuhan pada tulang (Effendi, 2003; Lu, 2006).

4.2.3 Timbal (Pb)


Berdasarkan hasil analisa air, kandungan timbal di perairan Pulau
Panggang-Pramuka mengalami fluktuasi. Perbedaan nilai Pb antara bulan April
dengan Juli tidak terlalu signifikan, sedangkan pada bulan Oktober terjadi
peningkatan yang drastis yaitu mencapai 10 kali lipat dari pengukuran bulan
sebelumnya (Gambar 9). Pada bulan April kandungan Pb di perairan Pulau
Panggang-Pamuka berkisar antara 0,0009-0,0022 ppm dengan rata-rata 0,0015
ppm). Pada bulan April timbal tertinggi terdapat di stasiun 9 dan 10, sedangkan
terendah di stasiun 1. Secara umum, perbedaan kandungan Pb antar stasiun pada
bulan April di perairan Pulau Panggang-Pramuka tidak terlalu besar (relative
kecil). Pada bulan Juli kandungan logam berat timbal berkisar antara 0,0004-
0,0021 ppm dengan rata-rata 0,00013 ppm. Pada bulan Juli timbal tertinggi pada
stasiun 8, sedangkan terendah pada stasiun 4. Pada bulan Juli dan April,
perbedaan Pb antar stasiun tidak terlalu tinggi dan cenderung turun walaupun
penurunannya sangat kecil. Pada bulan Oktober seperti yang terjadi pada logam
kadmium terjadi peningkatan yang sangat besar mencapai sepuluh kali lipat. Pada
bulan Oktober kandungan Pb berkisar antara 0,017-0,018 ppm, rata-rata 0,0172
ppm. Kandungan Pb pada bulan Oktober hampir sama di setiap stasiun yaitu
0,017 ppm, kecuali pada stasiun 3 dan 10.

0,020

April
0,015
Juli
Pb (ppm)

0,010 Oktober

0,005

0,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 9. Kandungan timbal pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka

Timah hitam pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan


tersuspensi. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif
sedikit. Banyaknya kapal di perairan Pulau Panggang-Pramuka bisa jadi pemicu
tingginya logam Pb akibat dari pemakaian bahan bakar yang mengandung timbal
(lead gasoline) yang memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal
di perairan (Effendi, 2003). Laws (1981) mengemukakan keberadaan Pb dalam air
laut permukaan banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia di sekitarnya. Selain
itu, Tunekyan (1971) in Bryan (1976) in Razak (1986) menjelaskan bahwa logam
berat di perairan dapat berasal dari aktivitas gunung berapi. Penggunaan timah
hitam terbesar adalah dalam produksi baterai, yang memakai timbal metalik dan
komponen-komponennya. Penggunaan lainnya adalah untuk produk-produk
logam seperti amunisi, pelapis kabel, pipa, solder, bahan kimia dan pewarna
(Fardiaz, 2005; Lu, 2006).
Berdasarkan grafik rata-rata kandungan timbal pada air perairan Pulau
Panggang-Pramuka (Gambar 10), dibandingkan dengan baku mutu yang
ditetapkan oleh pemerintah RI (KepMen LH No. 51 tahun 2004 tentang kriteria
baku mutu air laut untuk biota laut) belum melewati ambang batas yang telah
ditetapkan yaitu < 0,008 ppm. Berdasarkan baku mutu dari EPA (1987) untuk
kategori kronis, hasil yang diperoleh telah melewati baku mutu yang ditetapkan
yaitu >0,0056 ppm. Untuk kategori akut masih dibawah ambang batas yang
ditetapkan (<0,1400 pmm).

0,008
0,007
0,006
Merkuri
Pb (ppm)

0,005
0,004
Baku
0,003 Mutu RI
0,002 EPA
0,001 (Kronis)

0,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 10. Rata-rata kandungan timbal pada air perairan Pulau Panggang-
Pramuka
Timbal (Pb) merusak sistem saraf, hemetologik, heme-totoxik dan
mempengaruhi kerja ginjal. Timbal mempunyai dampak kesehatan yang luas dan
berbahaya, karena Pb mempengaruhi hampir semua organ tubuh, seperti ginjal
dan hati. Timbal juga mempengaruhi metabolisme sintesis darah merah, sehingga
dapat menyebabkan anemia (kurang darah). Timbal ditimbun dalam tulang. Pada
waktu orang mengalami stres, Pb diremobilisasi dari tulang dan masuk ke dalam
peredaran darah serta menimbulkan risiko terjadinya keracunan. Pada perempuan
yang mengandung, Pb yang tertimbun dalam tulang juga diremobilisasi dan
masuk ke dalam peredaran darah. Dari peredaran darah ibu Pb masuk ke dalam
janin dan menghambat perkem-bangan sistem syaraf, yang pada akhirya anak
menghadapi risiko penyakit nerotik, sukar belajar dan penurunan tingkat IQ,
kesehatan dan pertumbuhan bayi juga terganggu (Athena et al., 2004).
Secara umum kandungan logam berat (H, Cd, dan Pb) pada air di perairan
Pulau Panggang-Pramuka masih lebih rendah dibanding daerah Teluk Jakarta
(Muara Angke dan Kamal Muara), kecuali merkuri (Tabel 12). Hal ini dapat
diduga karena Teluk Jakarta yang merupakan muara dari 13 sungai di Jabotabek.
Ke 13 sungai tersebut membawa limbah yang berasal dari daratan baik limbah
yang langsung dibuang ke sungai maupun hasil limpasan pada saat musim hujan.
Limbah yang dibawa sedikit ataupun banyak mengandung logam berat. Apalagi
banyaknya industri di daerah Jabotabek maupun di daerah Jakarta Utara. Limbah
industri terutama industri di bidang kimia, elektronik yang banyak menggunakan
logam berat baik sebagai bahan utama maupun tambahan dan sebagai katalis.
Selain itu Dahuri (2003) mengungkapakan bahwa pencemaran di daerah pesisir
dan laut juga dapat terjadi akibat frekuensi lalu lintas transfortasi yang sangat
tinggi. Hal ini dapat terjadi karena daerah Teluk Jakarta merupakan salah satu
pelabuhan internasional. Lebih rendahnya logam berat di perairan Pulau
Panggang-Pramuka, yang merupakan pulau kecil yang terpisah dari pulau induk,
karena limbah yang masuk tidak sebanyak di Teluk Jakarta dan limbahnya sudah
terencerkan sebelum sampai ke Kepulauan Seribu.
Tabel 12. Kandungan logam berat pada air di daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya.
Panggang- Muara angke1 Kamal Baku
Logam berat Satuan
Pramuka 1980 1981 Muara2 Mutu3
Merkuri 0,0008- 0,00008-
ppm - - 0,001
(Hg) 0,0024 0,000133
Kadmium 0,0005- 0,093- 0,120-
ppm 0,006-0,046 0,001
(Cd) 0,004 0,196 0,140
0,0009- 0,120- 0,040-
Timbal (Pb) ppm 0,009-0,035 0,008
0,0180 0,330 0,330
Sumber : 1 Hutagalung and Razak, 1982; 2 Mulyawan, 2005; 3 KepMen LH No.
51 Tahun 2004.

4.3 Logam Berat di Sedimen


4.3.1 Merkuri (Hg)
Hasil analisa merkuri pada sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka
terjadi fluktuasi pada setiap pengamatan (Gambar 11). Pada bulan April
kandungan Hg di sedimen perairan Pulau Panggang-Pamuka berkisar antara
0,0434-1,3750 ppm dengan rata-rata 0,5313 ppm. Konsentrasi merkuri tertinggi
pada bulan April terdapat pada stasiun 4, sedangkan konsentrasi merkuri terendah
terdapat pada stasiun 8. Pada bulan Juli kandungan merkuri di sedimen perairan
Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 0,0634-1,0715 ppm dengan rata-rata
0,4284 ppm. Pada bulan Juli konsentrasi Hg tertinggi pada sedimen terdapat pada
stasiun 9, sedangkan terendah pada stasiun 8. Selang perbedaan nilai Hg antara
bulan April dengan Juli tidak terlalu besar, hanya terjadi perubahan nilai yang
tidak tetap antar stasiun. Pada bulan Oktober terjadi peningkatan merkuri di dalam
sedimen seperti halnya yang terjadi di air. Pada bulan Oktober kandungan merkuri
berkisar antara 0,3080-3,8119 ppm dengan rata-rata 1,3854 ppm. Konsentrasi Hg
tertinggi pada bulan Oktober terdapat pada stasiun 4, sedangkan terendah pada
stasiun 10.
Perbedaan merkuri tiap stasiun dan tiap waktu berbeda-beda tergantung
pada ukuran partikel sedimen, kandungan bahan organik, dan pH sedimen.
Permukaan partikel yang halus/kecil akan memiliki luas permukaan yang besar
sehingga mengakibatkan semakin efektif proses adsorpsi logam berat oleh
sedimen. Ukuran dari partikel sedimen juga akan mempengaruhi tingkat kelarutan
oksigen dalam sedimen (air jebakan). pH merupakan faktor yang mempengaruhi
kapasitas adsorpsi sedimen terhadap Hg2+ (Sanusi, 2006).

4,00
3,50
3,00 April
Hg (ppm)

2,50 Juli
2,00
Oktober
1,50
1,00
0,50
0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 11. Kandungan merkuri pada sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka

Hasil analisis merkuri terhadap sedimen di perairan Pulau Panggang-


Pramuka dibandingkan dengan kadar alamiah dari Reseau Nationanal ‘d
Observation (RNO, 1981), menunjukkan sedimen perairan Pulau Panggang-
Pramuka telah diluar kisaran normal (>0,0020 ppm). Begitu juga dengan kisaran
alamiah dari EPA (1990) hampir seluruhnya telah melewati batas yang ditetapkan
(>0,200 ppm), kecuali stasiun 8. Hasil pengukuran merkuri pada sedimen
dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997),
secara keseluruhan sudah melewati level limit dan level target, kecuali stasiun 6
dan 8. Level limit merupakan; jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen
memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun
ekosistem. Sedangkan level target merupakan; jika konsentrasi kontaminan yang
ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka
substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. Rata-
rata hasil pengukuran merkuri berdasarkan IADC/CEDA (1997) tergolong
tercemar ringan (kisaran nilai antara level limit dan level test adalah 0,5-2,0 ppm).

2,00
Merkuri
1,50
Level
limit
Hg (ppm)

1,00 Level
target
0,50

0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 12. Rata-rata kandungan merkuri pada sedimen perairan Pulau Panggang-
Pramuka

4.3.2 Kadmium (Cd)


Kandungan kadmium pada sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka
berdasarkan penelitian dari waktu ke waktu (April-Oktober) menunjukkan adanya
peningkatan (Gambar 13). Pada bulan April kandungan kadmium pada sedimen
perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 0,0301-0,3508 ppm denga rata-
rata 0,1646 ppm. Pada bulan April kadmium tertinggi terdapat pada stasiun 5,
sedangkan terendah terdapat pada stasiun 1. Pada bulan Juli mengalami
peningkatan hingga mencapai 3,9074 ppm, dengan rata-rata 0,5823 ppm. Pada
bulan Oktober terjadi peningkatan kadmium yang cukup signifikan pada hampir
seluruh stasiun kecuali stasiun 2, 7, dan 8. Peningkatan paling drastis terdapat
pada stasiun 4 dan 10. Kisaran kadmium pada sedimen di bulan Oktober adalah
antara 0,1810-5,0857 ppm, dengan rata-rata mencapai 1,1203 ppm. Pada bulan
Oktober konsentrasi Cd tertinggi pada stasiun 10, sedangkan terendah terdapat
pada stasiun 2. Peningkatan kadmium yang cukup tinggi pada bulan Oktober
mengikuti kondisi yang sama pada logam berat lainnya (merkuri).
Perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis,
teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan
bahan organik. Logam berat Cd terlarut dalam air akan mengalami proses adsorpsi
oleh partikel tersuspensi dan mengendap di sedimen. Proses adsorpsi akan diikuti
oleh proses desorpsi yang mengembalikan Cd dalam bentuk terlarut dalam badan
air (Sanusi, 2006). Kadmium dalam air laut berbentuk senyawa klorida (CdCl 2 ).
Kandungan logam berat di sedimen tergantung pada komposisi kimia dan mineral
sedimen (Sanusi, 2006).

5,00
4,50
4,00
3,50 April
3,00 Juli
Cd (ppm)

2,50
2,00 Oktober
1,50
1,00
0,50
0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 13. Kandungan kadmium di sedimen perairan Pulau Panggang-


Pramuka

Hasil analisis kadmium terhadap sedimen di perairan Pulau Panggang-


Pramuka dibandingkan dengan kadar alamiah dari Reseau National ‘d
Observation (RNO, 1981) dan EPA (1990), menunjukkan sedimen perairan Pulau
Panggang-Pramuka secara umum dalam kisaran normal masing-masing dibawah
<2,0000 ppm (RNO, 1981) dan <1,0000 ppm (EPA, 1990), kecuali stasiun 4 dan
stasiun 10. Hasil pengukuran merkuri pada sedimen dibandingkan dengan baku
mutu yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997), secara keseluruhan masih
dibawah level limit (kecuali stasiun 10) dan level target (kecuali stasiun 4 dan 10)
(Gambar 14).

3,50
3,00
2,50 Kadmium
Cd (ppm)

2,00
Level limit
1,50
Level
1,00 target
0,50
0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 14. Rata-rata kandungan kadmium pada sedimen perairan Pulau


Panggang-Pramuka

4.3.3 Timbal (Pb)


Hasil pengamatan logam berat timbal dalam sedimen perairan Pulau
Panggang-Pramuka pada bulan April berkisar antara 0,0065-1,3589 ppm dengan
rata-rata 0,7008 ppm. Kandungan timbal tertinggi pada bulan April terdapat pada
stasiun 1 dan 3, sedangkan terendah terdapat pada stasiun 7. Kandungan timbal
pada Juli dalam sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara
0,3481-1,6221 ppm dengan rata-rata 0,6172 ppm. Kandungan timbal tertinggi
pada bulan Juli terdapat pada stasiun 3, sedangkan terndah pada stasiun 10. Pada
bulan Oktober kandungan timbal dalam sedimen di perairan Pulau Panggang-
Pramuka berkisar antara 0,0916-1,5774 ppm, dengan rata-rata 0,5479 ppm.
Kandungan timbal tertinggi pada bulan Oktober terdapat pada stasiun 6,
sedangkan terendah terdapat pada stasiun 3. Secara umum berdasarkan rata-rata
keseluruhan stasiun timbal mengalami penurunan (Gambar 15) .
Hasil analisa logam berat timbal pada sedimen di perairan Pulau
Panggang-Pramuka dibanding hasil penelitian yang dilakukan Amin (2002) pada
sedimen di perairan Telaga Tujuh Karimun Kepulauan Riau menunjukkan nilai
yang lebih kecil di sedimen perairan Panggang-Pramuka. Berdasarkan
Korzeniewski & Neugabieuer (1991) in Amin (2002), mengemukakan bahwa tipe
sedimen dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam sedimen, dengan
kategori kandungan logam berat dalam lumpur > lumpur berpasir > berpasir.
Dalam hal ini jenis sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka adalah pasir
sedangkan sedimen di perairan Telaga Tujuh Karimun Kepulauan Riau adalah
lumpur.

2,00

1,50 April
Pb (ppm)

Juli
1,00
Oktober
0,50

0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 15. Kandungan timbal di sedimen perairan Pulau Panggang- Pramuka

1,20 550,00
1,00 450,00
0,80 350,00
Pb (ppm)

0,60 250,00
0,40 150,00
0,20 50,00
0,00 -50,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun
Timbal level limit Level target

Gambar 16. Rata-rata kandungan timbal pada sedimen perairan Pulau Panggang-
Pramuka
Hasil penelitian terhadap kandungan timbal pada sedimen dibandingkan
dengan kadar alamiah yang ada masih di bawah ambang batas bawah yang
ditetapkan yaitu dibawah 10,0000 ppm (RNO, 1981) dan dibawah 5,0000 ppm
EPA (1990). Hasil pengukuran timbal dibandingkan dengan baku mutu dari
IADC/CEDA (1997) masih jauh dibawah level limit (< 530,0000 ppm), bahkan
jauh dibawah level target yaitu < 85,0000 ppm.
Secara umum kandungan logam berat (H, Cd, dan Pb) pada sedimen di
perairan Pulau Panggang-Pramuka lebih tinggi dibanding daerah Teluk Jakarta
dan sekitarnya, kecuali timbal (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa logam
berat di perairan terutama sedimen, tidak saja tinggi/ada pada daerah dengan
sumber pencemar yang jelas (point source). Akan tetapi logam berat di
perairan/sedimen berasal dari sumber tertentu (non point source). Sumber non
point source dalam hal ini (kasus logam berat pada sedimen Pulau Panggang-
Pramuka) dapat berasal lalu lintas pelayaran dan dari rumah tangga (walaupun
sangat kecil). Bahkan Tunekyan (1971) in Bryan (1976) in Razak (1986)
menjelaskan bahwa logam berat di perairan dapat berasal dari aktivitas gunung
berapi (dalam hal ini dapat berasal dari aktivitas gunung Krakatau).

Tabel 13. Kandungan logam berat dalam sedimen di daerah Teluk Jakarta dan
sekitarnya.
Logam berat Panggang- Tanjung Tanjung Teluk Kamal Teluk Baku Mutu4
Priok1 Priok2
Pramuka Jakarta1 Muara3 Banten1

Merkuri (Hg) 0,0434- 0,087- 0,11 0,143- 0,043-0,099 0,056-0,028 0,5


1,702
3,8119 1,63
Kadmium (Cd) 0,0301- 0,72-2,75 0,7 1,41- 0,124-0,151 <0,53 2
5,0857 2,53
Timbal (Pb) 0,0062- 101,4- 29,50 89,5- 1,018-3,342 3,2-104 530
0,0074 177,5 176,5
Sumber: 1 Hutagalung,1994; 2 Fajri, 2001; 3 Mulyawan, 2005; 4KepMen LH No.
51 Tahun 2004
Tingginya logam berat pada sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka
juga dapat diduga akibat tingginya logam berat di sekitar Teluk Jakarta. Hal ini
terkait dengan adanya arus yang membawa pencemar/logam berat ke daerah Pulau
Panggang-Pramuka. Kasus ini dapat dilihat pada saat musim hujan, adanya
dorongan dari sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta sehingga sampah dan
bahan-bahan terlarut terdorong ke arah Pulau Seribu (Pulau Panggang-Pramuka).
Dahuri (2003) menyatakan bahwa pencemaran di daerah pesisir dan laut juga
dapat terjadi akibat frekuensi lalu lintas transfortasi yang sangat tinggi. Hal ini
dapat terjadi karena daerah Kepulauan Seribu adalah lalu lintas pelayaran nasional
dan tujuan wisata khusunya daerah Ibu Kota Jakarta.

4.5 Korelasi logam berat antara air dan sedimen

Korelasi air dan sedimen merkuri (Hg) rata-rata 0,6131, dengan korelasi
tertinggi 0,9933 pada stasiun 10 dan terendah 0,1694 pada stasiun 1. Kadmium
memiliki korelasi rata-rata 0,8149, dengan korelasi tertinggi pada stasiun 4 yaitu
mencapai 1,000. Hal ini berarti memiliki hubungan yang sangat erat antara
kadmium di air dan sedimen (dengan koefisien determinasi mencapai rata-rata
72,41%). Korelasi terendah logam kadmium terdapat pada stasiun 2 yaitu 0,1797.
Korelasi timbal di air dan sedimen tertinggi pada stasiun 6 yaitu mencapai 0,9994,
sedangkan terendah pada stasiun 3 yaitu hanya 0,2681. Korelasi rata-rata timbal
mencapai 0,5655. Korelasi logam berat di air dan sedimen perairan Pulau
Panggang-Pramuka dapat dilihat pada Tabel 14.
Hubungan logam berat antara air dan sedimen di perairan Pulau Panggang-
Pramuka adalah berkorelasi positif. Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara
logam berat di air dan di sedimen. Hubungan tersebut tidak sama antar stasiun, hal
ini terkait dengan kondisi air dan substrat yang tidak sama tiap tempat/lokasi.
Hutagalung (1984) mengemukakan pengendapan logam berat di suatu perairan
terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Logam berat
mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar
perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen
lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991). Sanusi (2006)
mengemukakan bahwa sifat fisik kimia material padatan tersuspensi yang
memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat terlarut dalam kolom air, maka
deposisi padatan tersuspensi dalam suatu perairan akan menyebabkan akumulasi
logam berat tersebut selain material organik dalam sedimen. Makin tinggi
kandungan polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula
akumulasi polutan tersebut dalam sedimen.

Tabel 14. Korelasi logam berat di air dan sedimen perairan Pulau Panggang
Pramuka
Logam Berat
Stasiun Merkuri Kadmium Timbal
r R (%) r R (%) r R (%)
1 0,1694 2,8700 0,9369 87,7700 0,2848 8,1100
2 0,6875 47,2600 0,1797 3,2300 0,8202 67,2800
3 0,3780 14,2900 0,7196 51,7800 0,2681 7,1900
4 0,4107 16,8700 1,0000 100,0000 0,9808 96,1900
5 0,7178 51,5200 0,9889 97,8000 0,5661 32,0500
6 0,9068 82,2200 0,9862 97,2500 0,9994 99,8900
7 0,6576 43,2400 0,6869 47,1800 0,5946 35,3500
8 0,5347 28,5900 0,9538 90,9800 0,3852 14,8400
9 0,6755 45,6300 0,9941 98,8300 0,3422 11,7100
10 0,9933 98,6600 0,7026 49,3700 0,4135 17,1000
Rata-rata 0,6131 43,1150 0,8149 72,4190 0,5655 38,9710
Minimal 0,1694 2,8700 0,1797 3,2300 0,2681 7,1900
Maksimal 0,9933 98,6600 1,0000 100,0000 0,9994 99,8900

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari hubungan logam berat di air dan
sedimen (Tabel 14), kadmium memiliki korelasi yang paling kuat dibanding
merkuri dan timbal. Pada kadmium korelasi antara air dan sedimen sangat kuat
hingga mencapai 1 (rata-rata r mencapai 0,8149). Hal ini menandakan bahwa
kadmium di sedimen sangat dipengaruhi oleh keberadaan kadmium di air (dengan
koefisien determinsi mencapai 72,4190%). Korelasi air dan sedimen pada merkuri
dan timbal adalah masing-masing 0,6131 dan 0,5655. Hubungan antara
keberadaan merkuri dan timbal pada air dan sedimen cukup erat. Koefisien
determinasi merkuri dan timbal masing-masing 43,1150% dan 38,9710%.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar
antara 0,0011-0,0019 ppm dengan rata-rata 0,0015 ppm, sedangkan pada sedimen
berkisar antara 0,1957-1,8485 ppm dengan rata-rata 0,7817 ppm. Kadmium pada
air berkisar antara 0,0014-0,0040 ppm dengan rata-rata 0,0017 ppm, sedangkan
pada sedimen berkisar antara 0,1536-3,0244 ppm dengan rata-rata 0,6245 ppm.
Timbal pada air berkisar antara 0,0062-0,0074 ppm dengan rata-rata 0,0067 ppm,
sedangkan pada sedimen berkisar antara 0,4260-1,5770 ppm dengan rata-rata
0,7707 ppm.

Logam berat merkuri dan kadmium berdasarkan baku mutu KepMen LH


No 51. Tahun 2004 pada air telah tercemar, sedangkan logam berat timbal masih
dibawah baku yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada sedimen logam berat
merkuri berdasarkan IADC/CEDA (1997) telah tercemar ringan. Secara umum
logam berat kadmium, kecuali stasiun 10 belum tercemar. Logam berat timbal
pada sedimen belum tercemar.

Korelasi antara air dan sedimen memiliki korelasi yang positif. Korelasi
kadmium air dan sedimen rata-rata mencapai 0,7242. Korelasi merkuri antara air
dan sedimen rata-rata mencapai 0,4312. Korelasi timbal antara air dan sedimen
rata-rata mencapai 0,3897.

5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian terhadap arah pergerakan arus dari Teluk
Jakarta dan sekitarnya serta konsentrasi logam berat di perairan sepanjang Teluk
Jakarta menuju utara Kepulauan Seribu untuk mengetahui sejauh mana pengaruh
logam berat di Teluk Jakarta terhadap konsentrasi logam berat di Perairan Pulau
Panggang-Pramuka dan daerah lainnya di Kepulauan Seribu.
V. DAFTAR PUSTAKA

Alaerts dan S. S. Santika. 1984. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya

Alfian, Z. 2006. Merkuri: Antara Manfaat dan Efek Penggunaannya Bagi


Kesehatan Manusia dan Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kimia Analitik pada Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas SumateraUtara

Amin, B. 2002. Distribusi Logam Berat Pb, Cu dan Zn pada Sedimen di Perairan
Telaga Tujuh Karimun Kepulauan Riau. Natur Indonesia 5(1): 9-16. ISSN
1410-9379

Athena, D Anwar M. Hendro dan M. Muhasim. 2004. Kandungan Pb, Cd, Hg


dalam Air Minum dari Depot Air Minum Isi Ulang Jakarta, Tangerang,
dan Bekasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan.
Ekologi Kesehatan Vol3 No 3, Desember 2004: 148 - 152

Baird, C. 1995. Environmental Chemistry. W. H. Freeman and Company. New


York

Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan


Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Jakarta

Connell, D. W dan G. J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.


Penerjemah; Yanti Koestoer; pendamping, Sahati. UI-Press. Jakarta

Cotton, F. Alert dan G. Wilkinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Penerjemah


Sahati Suharto, Yarti A. Koestoer. UI Press. Jakarta

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut; Aset Pembangunan


Berkelanjutan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Darmono, 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Universitas


Indonesia Press. Jakarta

Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungan Dengan


Toksikologi Logam Berat. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Fajri, N.E. 2001. Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd, Pb dalam Air Laut,
Sedimen dan Tiram (Carassostrea cucullata) di Perairan Pesisir
Kecamatan Pedes, Kabupaten karawang, Jawa Barat. Tesis. Program Pasca
Sarjana IPB
Fardiaz, S. 2005. Polusi air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta

Harahap, S. 1991. Tingkat Pencemaran Air di Kali Cakung Ditinjau dari Sifat
Fisika Kimia Khususnya Logam Berat dan Keanekaragaman Jenis Hewan
Benthos. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Hutagalung, H. P. 1984. Logam Berat dalam Lingkungan Laut. Pewarta Oceana.


IX No. 1

Hutagalung, H.P. 1991. Pencemaran Laut Oleh Logam Berat. Dalam Status
Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. P30-LIPI.
Jakarta. Hal 45-59.

Hutagalung, H.P. 1994. Kandungan Logam Berat dalam Sedimen di Kolam


Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Makalah Penunjang Seminar
Pemantauan Pencemaran Laut. Pusat Penelitian dan pengembangan
Oseanologi , LIPI. Jakarta

Hutagalung, H.P dan H. Razak. 1982. Pengamatan Pendahuluan Kadar Pb dan


Cd dalam Air dan Biota Estuari Muara Angke. Lembaga Oseanologi
Nasional, LIPI. Jakarta. ISSN 0125-9830

IADC/CEDA. 1997. Convention, Codes, and Conditions: Marine Disposal.


Environmental Aspects of Dredging 2a. 71 hal.

Ilahude, A. G. 1999. Pengantar Ke Oseanologi Fisika. Pusat Penelitian dan


Pengembangan Oseanologi; Lembaga Ilmu Pngetahuan Indonesia. Jakarta

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang


Baku Mutu Air Laut

Kodoatie, R.J. dan R. Sjarief. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu.


Penerbit Andi. Yogyakarta

Lu, F. C. 2006. Toksikologi Dasar: asas, organ sasaran, dan penilaian resiko.
Penerjemah; Edi Nugroho; Pendamping Zunilda S. Bustami, Iwan
Darmansyah. UI-Press. Jakarta

Moore, J. W. dan S. Ramamoorthy. 1984. Heavy Metals in Neutral Water.


Springer Verlag. New York.

Mukhtasor, 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Pradnya Pramita. Jakarta

Mulyawan, I. 2005. Korelasi Kandungan Logam Berat Hg, Pb, Cd dan Cr pada
Air Laut, Sedimen dan Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Kamal
Muara, Teluk Jakarta. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut, suatu Pendekatan Ekologis (dari Marine
Biology: An Ecological Approach. Penerjemah E. H. Muhammad et a,.l
(edisi pertama). PT. Gramedia. Jakarta.

Nontji, A. 2007. Laut Nusantara (edisi revisi). Jembatan. Jakarta

Novotny, V. dan H. Olem. 1994. Water Quality; Prevention, Identification, and


Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand reinhold. New York.

Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Gajah Mada University Press:


Yogyakarta

Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka cipta. Jakarta.

Pariwono, J. I., M. Eidman, S. Raharjo, M. Purba, R. Widodo, U. Djuariah dan


J.H. Hutapea. 1988. Studi Upwelling di Perairan selatan Pulau Jawa.
Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran


Dan/Atau Perusakan Laut

Pescod, N. B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream for Tropical


Countries, Asian Institute of Technology. Bangkok. Sgh.

Puspaningsih, D. 2006. Analisa Kandungan Logam Berat Hg di Sekitar Perairan


Kepulauan Seribu. Seminar Nasional Tahunan III Hasil Penelitian
Perikanan dan Kelautan, 27 Juli 2006

Rahman, A. 2006. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd)
Pada Beberapa Jenis Krustasea di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten
Tanah Laut Kalimantan Selatan. Bioscientiae Volume 3, Nomor 2, Juli 2006,
http://www.unlam.ac.id/bioscientiae/

Razak, H. 1986. Kandungan Logam Berat di Perairan Ujung Watu dan Jepara.
Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi, LIPI. Jakarta. ISSN
0125-9830

Sanusi, H. S. 2006. Kimia Laut Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan
Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Sumawidjaja, K. 1974. Limnologi. Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi, Institut


Pertanian Bogor. Bogor
Supangat, A dan U. Muawanah. No Annual. Pengantar Kimia dan Sedimen Dasar
Laut. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non-Hayati, Badan
Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. ISBN
979 – 97572 – 5 – 8

Undang-undang Nomor 34 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah


Khusus Ibukota Negara RI Jakarta

Vries, W de, P. F A. M. Romkens, T. van Leeuwen, dan J. J. B. Bronswijk. 2002.


Agricultural, Hydrology and Water Quality. The Netherlands National
Institut of Public Health and Environment. Netherlands
Lampiran 1. Data logam berat pada air
1. Sampling I ( April 2008)
1.1 Merkuri (Hg)

konsentrasi Absorban
0 0,0011 A 0,0317
5 0,0885 B 0,0139
10 0,1686 r 0,9929
20 0,3301 Blanko 0,0085
40 0,6502 c Blanko -1,6596
80 1,1136

Stasiun Bobot abs C Kadar


1 1,0000 0,0425 0,7777 0,0008
2 1,0000 0,0511 1,3942 0,0014
3 1,0000 0,0456 0,9999 0,0010
4 1,0000 0,0488 1,2293 0,0012
5 1,0000 0,0461 1,0358 0,0010
6 1,0000 0,0458 1,0014 0,0010
7 1,0000 0,0491 1,2508 0,0013
8 1,0000 0,0466 1,0716 0,0011
9 1,0000 0,0471 1,1075 0,0011
10 1,0000 0,0471 1,1075 0,0011
1.2 Kadmium (Cd)

konsentrasi Absorban
0 0,0025 A 0,0058
1 0,1225 B 0,1181
2 0,2422 r 0,9996
4 0,4815 Blanko 0,0012
6 0,7255 c Blanko -0,0386
8 0,9411
Stasiun Bobot abs C Kadar
1 1,0000 0,0811 0,6276 0,0006
2 1,0000 0,1123 0,8917 0,0009
3 1,0000 0,0915 0,7156 0,0007
4 1,0000 0,1021 0,8054 0,0008
5 1,0000 0,1003 0,7901 0,0008
6 1,0000 0,1011 0,7969 0,0008
7 1,0000 0,0901 0,7038 0,0007
8 1,0000 0,0811 0,6276 0,0006
9 1,0000 0,0759 0,5836 0,0006
10 1,0000 0,1123 0,8917 0,0009
1.3 Timbal (Pb)

konsentrasi Absorban
0 0,0035 A 0,0148
5 0,1205 B 0,0199
10 0,2203 r 0,9995
20 0,4125 Blanko 0,0011
30 0,6112 c Blanko -0,6922
40 0,8054
Stasiun Bobot abs C Kadar
1 1,0000 0,0335 0,8850 0,0009
2 1,0000 0,0458 1,5041 0,0015
3 1,0000 0,0395 1,1868 0,0012
4 1,0000 0,0411 1,2674 0,0013
5 1,0000 0,0387 1,1465 0,0011
6 1,0000 0,0499 1,7107 0,0017
7 1,0000 0,0513 1,7812 0,0018
8 1,0000 0,0566 2,0482 0,0020
9 1,0000 0,0594 2,1892 0,0022
10 1,0000 0,0594 2,1892 0,0022
2. Sampling II ( Juli 2008)
2.1 Merkuri (Hg)

Konsentrasi Absorban
0 0,0002 A 0,0025
5 0,0620 B 0,0115
10 0,1320 r 0,9988
20 0,2308 Blanko 0,0084
40 0,4439 c Blanko 0,5139
80 0,9342

Stasiun Bobot abs1 abs2 C Kadar


1 1,0000 0,0255 0,0171 1,2679 0,0013
2 1,0000 0,0222 0,0138 0,9819 0,0010
3 1,0000 0,0261 0,0177 1,3199 0,0013
4 1,0000 0,0298 0,0214 1,6407 0,0016
5 1,0000 0,0295 0,0211 1,6146 0,0016
6 1,0000 0,0384 0,0300 2,3861 0,0024
7 1,0000 0,0247 0,0163 1,1986 0,0012
8 1,0000 0,0294 0,0210 1,6060 0,0016
9 1,0000 0,0361 0,0277 2,1867 0,0022
10 1,0000 0,0361 0,0277 2,1867 0,0022
2.2 Kadmium (Cd)

Konsentrasi Absorban
0 0,0011 A 0,0060
1 0,1239 B 0,1191
2 0,2515 r 0,9998
4 0,4811 Blanko 0,0001
6 0,7254 c Blanko -0,0495
8 0,9544

Stasiun Bobot abs C Kadar


1 1,0000 0,0915 0,7170 0,0007
2 1,0000 0,1225 0,9772 0,0010
3 1,0000 0,0815 0,6330 0,0006
4 1,0000 0,1133 0,9000 0,0009
5 1,0000 0,1021 0,8060 0,0008
6 1,0000 0,1112 0,8824 0,0009
7 1,0000 0,0913 0,7153 0,0007
8 1,0000 0,0855 0,6666 0,0007
9 1,0000 0,0712 0,5466 0,0005
10 1,0000 0,1225 0,9772 0,0010

2.3 Timbal

Konsentrasi Absorban
0 0,0011 A 0,0114
5 0,1159 B 0,0200
10 0,2115 r 0,9993
20 0,4215 Blanko 0,0005
30 0,6139 c Blanko -0,5448
40 0,8024
Stasiun Bobot abs C Kadar
1 1,0000 0,0411 1,4621 0,0015
2 1,0000 0,0351 1,1618 0,0012
3 1,0000 0,0411 1,4621 0,0015
4 1,0000 0,0199 0,4011 0,0004
5 1,0000 0,0422 1,5172 0,0015
6 1,0000 0,0301 0,9116 0,0009
7 1,0000 0,0399 1,4021 0,0014
8 1,0000 0,0544 2,1278 0,0021
9 1,0000 0,0351 1,1618 0,0012
10 1,0000 0,0544 2,1278 0,0021

3. Sampling III ( Oktober 2008)


3.1 Merkuri (Hg)
Konsentrasi Absorban
0 0,0002 A 0,0025
5 0,0620 B 0,0115
10 0,1320 r 0,9988
20 0,2308 Blanko 0,0084
40 0,4439 c Blanko 0,5139
80 0,9342
StaStasiun Bobot abs1 abs2 C Kadar
1 1,0000 0,0233 0,0149 1,0773 0,0011
2 1,0000 0,0251 0,0167 1,2333 0,0012
3 1,0000 0,0239 0,0155 1,1293 0,0011
4 1,0000 0,0302 0,0218 1,6753 0,0017
5 1,0000 0,0301 0,0217 1,6667 0,0017
6 1,0000 0,0367 0,0283 2,2387 0,0022
7 1,0000 0,0265 0,0181 1,3546 0,0014
8 1,0000 0,0291 0,0210 1,5800 0,0016
9 1,0000 0,0346 0,0262 2,0567 0,0021
10 1,0000 0,0346 0,0262 2,0567 0,0021

3.2 Kadmium (Cd)

Konsentrasi Absorban
0 0 A 0,0149
1 0,2007 B 0,1541
2 0,2874 r 0,9967
4 0,6474 Blanko 0,0001
6 0,9621 C Blanko -0,096
8 1,2271

Stasiun Bobot abs C Kadar


1 1,0000 0,5455 3,4434 0,0030
2 1,0000 0,4944 3,1117 0,0030
3 1,0000 0,5582 3,5259 0,0040
4 1,0000 0,6405 4,0600 0,0040
5 1,0000 0,6556 4,1581 0,0040
6 1,0000 0,6138 3,8867 0,0040
7 1,0000 0,5369 3,3876 0,0030
8 1,0000 0,5623 3,5525 0,0040
9 1,0000 0,5076 3,1974 0,0030
10 1,0000 0,5842 3,6946 0,0040
3.3 Timbal (Pb)

Konsentrasi Absorban
0 0,0024 A -0,0201
5 0,1143 B 0,0308
10 0,2382 r 0,9976
20 0,6478 Blanko 0,0021
40 1,2154 C Bla 0,7215
60 1,8155

Stasiun Bobot abs C Kadar


1 1,0000 0,5044 16,9766 0,0170
2 1,0000 0,4990 16,8011 0,0170
3 1,0000 0,5317 17,8637 0,0180
4 1,0000 0,5098 17,1520 0,0170
5 1,0000 0,5023 16,9083 0,0170
6 1,0000 0,4991 16,8043 0,0170
7 1,0000 0,5169 17,3828 0,0170
8 1,0000 0,5141 17,2918 0,0170
9 1,0000 0,5095 17,1423 0,0170
10 1,0000 0,5281 17,7467 0,0180
Lampiran 2. Data logam berat pada sedimen
1.4 Merkuri (Hg)

Konsentrasi Abs
0 0,0011 A 0,0044
2,5 0,0393 B 0,0147
5 0,0771 r 0,9996
10 0,1548 Abs Blanko 0,003
20 0,3057 C blanko -0,0975
40 0,5889

Sampling I (April 2008)

Stasiun Bobot abs1 abs2 C Kadar


1 1,0000 0,0894 0,0380 2,9904 0,2990
2 1,0000 0,3174 0,1864 8,4061 0,8406
3 1,0000 0,1192 0,0498 4,2198 0,4220
4 1,0000 0,4247 0,2158 13,7054 1,3705
5 1,0000 0,0856 0,0437 2,3490 0,2349
6 1,0000 0,0691 0,0305 2,1211 0,2121
7 1,0000 0,0746 0,0305 2,4959 0,2496
8 1,0000 0,1031 0,0894 0,4340 0,0434
9 1,0000 0,1794 0,0890 5,6476 0,5648
10 1,0000 0,3279 0,1627 10,7333 1,0733
Sampling II (Juli 2008)

Stasiun Bobot abs1 abs2 C Kadar


1 1,0000 0,1201 0,0585 3,6864 0,3686
2 1,0000 0,0811 0,0380 2,4313 0,2431
3 1,0000 0,0663 0,0350 1,6231 0,1623
4 1,0000 0,6486 0,5870 3,6850 0,3685
5 1,0000 0,1793 0,0849 5,9170 0,5917
6 1,0000 0,1138 0,0566 3,3844 0,3384
7 1,0000 0,6786 0,5610 7,4959 0,7496
8 1,0000 0,0469 0,0302 0,6340 0,0634
9 1,0000 0,4315 0,2666 10,7150 1,0715
10 1,0000 0,1195 0,0625 3,3728 0,3373

Sampling III (Oktober 2008)

Stasiun Bobot abs1 abs2 C Kadar


1 1,0000 0,4297 0,2128 14,2531 1,4253
2 1,0000 0,3324 0,1650 10,8850 1,0885
3 1,0000 0,3764 0,1624 14,0524 1,4052
4 1,0000 1,6245 1,0567 38,1190 3,8119
5 1,0000 0,7598 0,3796 25,3599 2,5360
6 1,0000 0,1278 0,0625 3,9401 0,3940
7 1,0000 0,5689 0,3020 17,6551 1,7655
8 1,0000 0,2908 0,2128 4,8034 0,4803
9 1,0000 0,1976 0,0963 6,3891 0,6389
10 1,0000 0,1088 0,0561 3,0796 0,3080

1.5 Kamium (Cd)

Kosentrasi Absorban
0 0,0036 A 0,0067
1,6 0,0248 B 0,0102
3,2 0,0427 r 0,9937
4,8 0,0567 Blanko 0,0051
6,4 0,0698 C Blanko -0,1577
8 0,0886
Sampling I (April 2008)

Stasiun Bobot abs C Kadar


1 1,0000 0,01494 0,30114 0,03011
2 1,0000 0,02486 1,26958 0,12696
3 1,0000 0,01539 0,34508 0,03451
4 1,0000 0,02544 1,32620 0,13262
5 1,0000 0,04779 3,50812 0,35081
6 1,0000 0,04668 3,39975 0,33998
7 1,0000 0,04668 3,39975 0,33998
8 1,0000 0,02523 1,30570 0,13057
9 1,0000 0,01902 0,69945 0,06995
10 1,0000 0,02005 0,80001 0,08000

Sampling II (Juli 2008)

Stasiun Bobot abs C Kadar


1 1,0000 0,0266 1,4346 0,143
2 1,0000 0,0431 3,0512 0,305
3 1,0000 0,0401 2,7574 0,276
4 1,0000 0,0342 2,1765 0,218
5 1,0000 0,0413 2,8736 0,287
6 1,0000 0,0336 2,1209 0,212
7 1,0000 0,0116 -0,0298 -0,003
8 1,0000 0,0206 0,8517 0,085
9 1,0000 0,0224 1,03333 0,103
10 1,0000 0,4121 39,0738 3,907
Sampling III (Oktober 2008)

Stasiun Bobot abs C Kadar


1 1,0000 0,0449 3,22793 0,323
2 1,0000 0,0304 1,81042 0,181
3 1,0000 0,0511 3,83126 0,383
4 1,0000 0,2501 23,2586 2,326
5 1,0000 0,0821 6,85274 0,685
6 1,0000 0,1281 11,3484 1,135
7 1,0000 0,0484 3,57157 0,357
8 1,0000 0,0370 2,44987 0,245
9 1,0000 0,0613 4,82508 0,483
10 1,0000 0,5328 50,8571 5,086
1.6 Timbal (Pb)

Konsentrasi Absorban
0 0,0164 A 0,0205
8 0,0561 B 0,0044
16 0,0927 r 0,9959
24 0,1298 Blanko 0,0053
32 0,1643 c Blanko -3,4652
40 0,1896

Sampling I (Juli 2008)


Stasiun Bobot Abs C Kadar
1 1,0000 0,0853 13,5892 1,3589
2 1,0000 0,0581 7,3859 0,7386
3 1,0000 0,0848 13,4752 1,3475
4 1,0000 0,0594 7,6824 0,7682
5 1,0000 0,0591 7,6049 0,7605
6 1,0000 0,0465 4,7313 0,4731
7 1,0000 0,0260 0,0652 0,0065
8 1,0000 0,0486 5,2193 0,5219
9 1,0000 0,0476 4,9913 0,4991
10 1,0000 0,0491 5,3334 0,5333
Sampling II
Stasiun Bobot Abs C Kadar
1 1,0000 0,0512 5,8046 0,5805
2 1,0000 0,0468 4,8180 0,4818
3 1,0000 0,0968 16,2210 1,6221
4 1,0000 0,0694 9,9630 0,9963
5 1,0000 0,0522 6,0447 0,6045
6 1,0000 0,0420 3,7084 0,3708
7 1,0000 0,0460 4,6264 0,4626
8 1,0000 0,0410 3,4968 0,3497
9 1,0000 0,0413 3,5556 0,3556
10 1,0000 0,0410 3,4813 0,3481
Sampling III (Oktober 2008)

Stasiun Bobot Abs C Kadar


1 1,0000 0,0605 7,9333 0,793
2 1,0000 0,0380 2,7973 0,280
3 1,0000 0,0379 2,7700 0,277
4 1,0000 0,0297 0,9158 0,092
5 1,0000 0,0518 5,9400 0,594
6 1,0000 0,0949 15,7740 1,577
7 1,0000 0,0494 5,4064 0,541
8 1,0000 0,0421 3,7454 0,375
9 1,0000 0,0421 3,7392 0,374
10 1,0000 0,0510 5,7669 0,577
Lampiran 3. Grafik korelasi logam berat antara air dan sedimen
1. Merkuri

Konsentrasi Hg (ppm) Konsentrasi Hg (ppm)


1,500 1,200
1,000 y = 1.493,7500x ‐ 1,0684

Sedimen
y = 424,6053x + 0,2447
Sedimen

1,000 2
0,800 2
R  = 0,4726
R  = 0,0287 0,600
0,500 0,400
0,200
0,000 0,000
0,000 0,001 0,001 0,002 0,000 0,001 0,001 0,002
Air Air

Konsentrasi Hg (ppm)
Konsentrasi Hg (ppm)
1,600
5,000
1,400
1,200 y = ‐1.623,5000x + 2,5024 Sedimen 4,000
2 y = 2.755,2143x ‐ 2,2844
1,000 R  = 0,1429 3,000
Sedimen

2
0,800 R  = 0,1687
2,000
0,600
1,000
0,400
0,200 0,000
0,000 0,000 0,001 0,001 0,002 0,002
0,000 0,001 0,001 0,002
Air Air

Konsentrasi Hg (ppm) Konsentrasi Hg (ppm)


0,500 3,000
2,500
0,400 y = 2.348,0000x ‐ 2,2446
sedimen
Sedimen

2,000 2
0,300 R  = 0,5152
1,500
0,200 1,000
y = 111,6221x + 0,1065
0,100 2 0,500
R  = 0,8222
0,000
0,000
0,000 0,001 0,001 0,002 0,002
0,000 0,001 0,002 0,003
Air Air

Konsentrasi Hg (ppm) Konsentrasi Hg (ppm)


2,000 0,600
0,500
Sedimen

1,500
Sedimen

0,400
y = 456,9000x ‐ 0,4592
1,000 0,300 2
R  = 0,2859
y = 5.079,5000x ‐ 5,6818 0,200
0,500 2
R  = 0,4324 0,100
0,000 0,000
0,0011 0,0012 0,0013 0,0014 0,0015 0,000 0,001 0,001 0,002 0,002
Air Air
Konsentrasi Hg (ppm) Konsentrasi Hg (ppm)
1,200
1,500 y = 303,9324x + 0,2113 1,000

S edim en
Sedim en
2 0,800
1,000 R  = 0,4563
0,600
0,500 0,400 y = ‐708,0946x + 1,8474
2
0,200 R  = 0,9866
0,000
0,000
0,000 0,001 0,001 0,002 0,002 0,003
0,000 0,001 0,001 0,002 0,002 0,003
Air Air

2. Kadmium

Konsentrasi Cd (ppm) Konsentrasi Cd (ppm)


0,400 0,350
0,300
0,300 Sedimen 0,250
Sedimen

0,200
0,200 0,150
y = 101,8299x + 0,0195
0,100 y = ‐13,8680x + 0,2270
0,100 2
R  = 0,8777 2
0,050 R  = 0,0323
0,000 0,000
0,000 0,001 0,002 0,003 0,004 0,000 0,001 0,002 0,003 0,004
Air Air

Konsentrasi Cd (ppm) Konsentrasi Cd (ppm)


0,500 2,500
Sedimen

2,000
Sedimen

0,400
0,300 1,500
y = 66,4040x + 0,1138
1,000 y = 682,8955x ‐ 0,4055
0,200 2
R  = 0,5178 2
0,100 0,500 R  = 1,0000
0,000 0,000
0,000 0,002 0,004 0,006 0,000 0,002 0,004 0,006

Air Air

Konsentrasi Cd (ppm)
Konsentrasi Cd (ppm)
0,800
1,200
1,000 0,600
Sedimen
Sedimen

0,800
0,400 y = 114,4345x + 0,2275
0,600 y = 269,7989x + 0,0530
2 2
0,400 R  = 0,9725 0,200 R  = 0,9780
0,200
0,000 0,000
0,000 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005
0,000 0,002 0,004 0,006
Air Air
Konsentrasi Cd (ppm) Konsentrasi Cd (ppm)
0,400
0,350 0,300
0,300 0,250

Sedimen
Sedimen
0,250 0,200
0,200 0,150
y = 19,1960x + 0,2996 y = 40,5990x + 0,0819
0,150 2 0,100
R  = 0,4718 2
0,100
0,050 R  = 0,9098
0,050
0,000
0,000
0,0000 0,0010 0,0020 0,0030 0,0040 0,000 0,002 0,004 0,006

Air Air

Konsentrasi Cd (ppm) Konsentrasi Cd (ppm)


0,600
6,000
0,500

Sedimen
Sedimen

0,400 4,000
0,300 y = 1.043,7932x + 0,9716
2
0,200 y = 160,9606x ‐ 0,0014 2,000 R  = 0,4937
2
0,100 R  = 0,9883
0,000
0,000 0,000 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005
0,000 0,001 0,002 0,003 0,004
Air Air

3. Timbal

Konsentrasi Pb (ppm) Konsentrasi Pb (ppm)


1,500 0,800
y = ‐20,8740x + 0,6371
0,600
Sedimen

Sedimen

2
1,000 R  = 0,6728
0,400
0,500 y = ‐12,5517x + 0,9921
2
R  = 0,0811 0,200
0,000 0,000
0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020
Air Air

Konsentrasi Pb (ppm)
Konsentrasi Pb (ppm)
1,200
1,500
y = ‐11,2213x + 0,9883 1,000
2 y = ‐49,4341x + 0,9268
R  = 0,0719
Sedimen

1,000 0,800 2
R  = 0,9619
Sedimen

0,600
0,500 0,400
0,200
0,000 0,000
0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020
Air Air
Konsentrasi Pb (ppm) Konsentrasi Pb (ppm)
2,000 0,800

1,500 0,600
Sedimen

sedimen
1,000 0,400
y = ‐5,8225x + 0,6910
y = 73,6988x + 0,3256 2
0,500 2 0,200 R  = 0,3205
R  = 0,9989
0,000 0,000
0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020
Air Air

Konsentrasi Pb (ppm) Konsentrasi Pb (ppm)


0,600 0,600
0,500 0,500

Sedim en
Sedimen

0,400 0,400
y = 19,2872x + 0,2067 0,300
0,300 2
R  = 0,3535 0,200 y = ‐4,1559x + 0,4446
0,200 2
0,100 R  = 0,1484
0,100
0,000 0,000
0,0000 0,0050 0,0100 0,0150 0,0200 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020
Air Air

Konsentrasi Pb (ppm) Konsentrasi Pb (ppm)


0,600 0,800
0,500 n
e 0,600
Sedimen

0,400
0,300
m
i 0,400
d y = ‐82,5366x + 0,6346
y = ‐3,0221x + 0,4301 eS 0,200
0,200 2 R² = 0,1710
0,100 R  = 0,1171
0,000
0,000
0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 0,000 0,002 0,004
Air Air
Lampiran 4. Pengukuran kandungan logam berat

1. Prinsip pengukuran
Analisa logam berat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometrik serapan
atom (AAS) yaitu dengan menggunakan prinsip berdasarkan Hukum Lambert-
Beert yaitu banyaknya sinar yang diserap berbanding lurus dengan kadar zat.
Persamaan garis antara konsentrasi logam berat dengan absorbansi adalah
persamaan linier dengan koefisien arah positif: Y = a + bX. Dengan memasukkan
nilai absorbansi larutan contoh ke persamaan garis larutan standar maka kadar
logam berat contoh dapat diketahui. Larutan contoh yang mengandung ion logam
dilewatkan melalui nyala udara-asetilen bersuhu 20000 C sehingga terjadi
penguapan dan sebagian tereduksi menjadi atom. Lampu katoda yang sangat kuat
mengeluarkan energi pada panjang gelombang tertentu dan akan diserap oleh
atom-atom logam berat yang sedang di analisis. Jumlah energi cahaya yang
diserap atom logam berat pada panjang gelombang tertentu ini sebanding dengan
jumlah zat yang diuapkan pada saat dilewatkan melalui nyala api udara-asetilen.
Setiap unsur logam berat membutuhkan lampu katoda yang berbeda. Keseluruhan
prosedur ini sangat sensitif dan selektif karena setiap unsur membutuhkan panjang
gelombang yang sangat pasti (Tinsley, 1979 in Darmono, 1995). Untuk lebih
jelasnya prinsip kerja spektrofemetrik dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Prinsip kerja spektrofotometrik

2. Pengukuran kandungan logam berat dalam air


1. Contoh air laut 500 ml disaring dengan kertas saring 0,45 m.
2. pH diatur kisarannya 3,5-4 dengan menambahkan dengan HNO3 pekat.
3. Ditambahkan 1 ml larutan HNO3 pekat.
4. Ditambahkan 5 ml campuran penahan buffer asetat.
5. Ditambahkan 5 ml amonium pirolidin ditiokarbonat (apdc), dikocok sekitar 5
menit.
6. Ditambahkan 10 ml pelarut organik metil iso butil keton (mibk), dikocok
sekitar 3 menit dan biarkan ke dua fasa terpisah.
7. Ditampung fasa airnya. Fasa air ini digunakan untuk pembuatan larutan blanko
laboratorium dan standar.
8. Ditambahkan 10 ml air suling ganda-bebas ion (dddw), dan dikocok sekitar 5
detik dan biarkan kedua fasa terpisah. Buang fasa airnya.
9. Ditambahkan 1 ml HNO3 pekat, dan dikocok sebentar dan dibiarkan sekitar 15
menit.
10. Ditambahkan 9 ml air suling ganda bebas ion dan dikocok sekitar 2 menit
serta ke dua fasa dibiarkan terpisah.
11. Ditampung fasa airnya dan siap diukur dengan AAS menggunakan nyala
udara-asetilen.
3.3.4.3. Pengukuran kandungan logam berat dalam sedimen
1. Dimasukkan masing-masing contoh sedimen ke dalam beaker Teflon secara
merata agar mengalami proses pengeringan sempurna.
2. Kemudian dikeringkan contoh sedimen dalam oven pada suhu 1050 C selama
24 jam.
3. Contoh sedimen yang telah kering kemudian ditumbuk sampai halus.
4. Setiap contoh sedimen ditimbang sebanyak kurang lebih 4 gram dengan alat
timbang digital.
5. Contoh sedimen yang telah ditimbang dimasukkan kedalam beaker Teflon yang
tertutup.
6. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan aqua regia dan dipanaskan pada suhu
1300 C.
7. Setelah semua sedimen larut, pemanasan diteruskan hingga larutan hampir
kering dan selanjutnya didinginkan pada suhu ruang dan dipindahkan ke
sentrifus polietilen.
8. Kedalamnya ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 30 ml dan
dibiarkan mengendap, kemudian tampung fasa airnya. Selanjutnya siap diukur
dengan AAS, menggunakan nyala udara-asetilen.
Lampiran 5. Baku mutu air laut (Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup untuk biota laut Nomor 51 Tahun 2004)

No Parameter Satuan Baku Mutu


Fisika
1 Kecerahana m coral: >5
mangrove: -
lamun: >3
2 Kebauan - alami3
3 Kekeruhana NTU <5
4 Padatan tersuspensi totalb mg/l coral: 20
mangrove: 80
lamun: 20
5 Sampah - nihil 1(4)
6 Suhuc o
C alami3( c)
coral: 28-30( c)
mangrove: 28-32 ( c)
lamun: 28-30( c)
7 Lapisan minyak 5 - nihil 1(5
Kimia
8 pHd - 7 - 8,5( d)
9 Salinitase psu alami3( e)
coral: 33-34( e)
mangrove: s/d 34 ( e)
lamun: 33-34( e)
Kimia
10 Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
11 BOD5 mg/l 20
12 Ammonia total (NH3-N) mg/l 0,3
13 Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015
14 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008
15 Sianida (CN-) mg/l 0,5
16 Sulfida (H2S) mg/l 0,01
17 PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003
18 Senyawa Fenol total mg/l 0.002
19 PCB total (poliklor bifenil) mg/l 0.01
20 Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1
21 Minyak & lemak mg/l 1
22 Pestisidaf mg/l 0,01
23 TBT (tributil tin)7 mg/l 0,01
Logam Berat
24 Raksa (Hg) mg/l 0,001
25 Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,05
26 Arsen (As) mg/l 0,012
27 Kadmium (Cd) mg/l 0,001
28 Tembaga (Cu) mg/l 0,008
29 Timbal (Pb) mg/l 0,008
30 Seng (Zn) mg/l 0,05
31 Nikel (Ni) mg/l 0,05
BIOLOGI
32 Coliform (total)g MPN/100 1000( g)
ml
33 Patogen sel/100 ml nihil1
34 Plankton sel/100 ml tidak bloom6
RADIO NUKLIDA
35 Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4
Catatan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan
metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik
internasional maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam
dan musim).
4. Pengamatan oleh manusia (visual ).
5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis
(thin layer ) dengan ketebalan 0,01mm
6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat
menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh
nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri.
7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor
g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
Lampiran 6. Foto dokumentasi

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6

Stasiun 7 Stasiun 8 Stasiun 9

Stasiun 10 Pengambilan Air Pengambilan Sedimen


Pengukuran Suhu dan pH Pengukuran Kekeruhan Penguran Oksigen

Pengukuran Salinitas Penentuan Titik dengan GPS Penandaan

Contoh untuk di analisa Larutan Standar AAS ZEE Nit 700


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mandailing pada tanggal 4 Juni


1985 dari pasangan Muhammad Yunus Rangkuti dan
Sarianun Pulungan (Almarhumah). Pada umur 4 tahun
Ibunda penulis meninggal dunia dan dua tahun kemudian
ayahanda menikah dengan Masdalima Pulungan. Penulis
merupakan putra ke-empat dari 6 bersaudara. Tahun 2004
penulis lulus dari SMU Negeri 1 Panyabungan dan pada
tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur Usulan Masuk IPB
(USMI). Penulis memilih Program Studi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif pada berbagai
organisasi kampus antara lain: DKM Al-Hurriyah (2004-2005), Forum Keluarga
Muslim Perikanan (2004-2006), Ikatan Mahasiswa Mandailing Natal-Bogor
(2005-2008) serta beberapa kepanitian diantaranya: bedah buku The real Truth,
masa perkenalan organisasi dan kampus, kepanitian pada filtrip mata kuliah:
Ekologi Perairan, Biologi laut, Ekologi Laut Tropis, Produktivitas Perairan,
Pengolahan air Limbah, dan Manajemen Sumberdaya Perikanan Laut. Penulis
juga pernah menjadi asisten luar biasa pada mata kuliah Ekologi Perairan tahun
ajaran 2006/2007, 2007/2008 (Koordinator asisten), dan 2008/2009, Asisten Mata
Kuliah Limnologi tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008, Asisten Sumberdaya
Perikanan tahun ajaran 2007/2008 (Koordinator asisten), serta mata kuliah
Ekologi Perairan tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008 pada program Diploma
IPB. Penulis juga pernah ikut serta dalam beberapa penelitian diantaranya:
Eksplorasi Flora dan Fauna di Telaga Warna kerja sama UKF dan PPLH IPB
tahun 2006, Survey Kajian Tangkap Per Satuan Upaya Kepulauan Seribu tahun
2007, Survey Kajian Mangrove di Pesisir Kabupaten Bangka Selatan tahun 2008,
dan Survey Konsepsi Rencana Pengembangan Kawasan Agro-Politan dan Mina
Politan Kabupaten Bangka Selatan tahun 2008.

Anda mungkin juga menyukai