Anda di halaman 1dari 71

9

BAB II

KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritis

1. Keseimbangan

a) Definisi Keseimbangan

Keseimbangan adalah hasil dari interaksi antara motorik,

sensorik, dan proses kognitif. Banyak kegiatan rutinitas yang

memerlukan keseimbangan, misalnya keseimbangan berdiri, berjalan,

meraih sesuatu, atau berpakaian yang memerlukan kesadaran kognitif.

Keseimbangan merupakan kemampuan untuk menyeimbangkan massa

tubuh yang relatif terhadap base of support (BOS) yang memungkinkan

kita untuk melakukan tindakan sehari-hari secara efektif dan efisien.

Hal ini memungkinkan kita menjadi stabil dan aktif dalam kaitannya

dengan gravisati dan BOS. Keseimbangan adalah gerakan serta

prasyarat untuk gerakan (Carr and Shepherd, 2003).

Keseimbangan adalah sebuah sensorimotor yang holistik dan

interaksi perseptual antara lingkungan dan kita, dan membutuhkan

aktivitas neuromuskuler yang bertingkat dan terkoordinasi dari seluruh

tubuh pada saat yang sama (Gjelsvik, 2008). Banyak dari tindakan ini

melibatkan anggota gerak bagian bawah yang mendukung dan

menggerakkan massa tubuh (body mass) melalui kaki pada saat berdiri

atau duduk, atau saat meraih dan tugas yang manipulatif, menaikkan

dan menurunkan massa tubuh untuk berdiri. Kadang-kadang kita hanya

berdiri saja. Namun, bahkan tindakan sederhana seperti bernapas dan


10

memutar kepala ditandai dengan osilasi di center of gravity (COG)

yang dilawan oleh aktivitas otot dan gerakan nyaris kecil tidak

terdeteksi, biasanya di pergelangan kaki (ankle) dan core stability.

Persyaratan utama untuk keseimbangan yang baik adalah rasa akurat

yang seimbang, kemampuan otot, terutama pada tungkai bawah, untuk

menghasilkan kekuatan dengan cepat dan pada waktu yang tepat, dan

otot-otot yang extensible, yaitu tidak kaku atau pendek. Sistem yang

terlibat perlu menjadi adaptif, karena kontrol keseimbangan

memerlukan kemampuan untuk beradaptasi terhadap gerakan dengan

perubahan yang terjadi baik secara internal maupun eksternal di

lingkungan kita. Penyesuaian yang kita buat untuk menjaga

keseimbangan tetap fleksibel dan bervariasi (Carr dan Shepherd, 2003).

b) Biomekanik Keseimbangan

Menurut Woollacott dan Shumway-Cook (2007) tekanan yang

mengganggu keseimbangan berasal dari efek gravitasi (gaya gravitasi)

dan dari interaksi antara segmen yang dihasilkan seperti saat kita

bergerak (reaktif, tekanan interaktif). Oleh karena itu, gaya gravitasi

dan percepatan harus dikontrol untuk dapat mempertahankan postur dan

equilibrium. Deskripsi singkat dari temuan utama dari investigasi pada

keseimbangan dalam berdiri. Dalam sikap tenang, gerakan kecil pada

massa tubuh dapat terjadi, membuat apa yang disebut ayunan postural

(postural sway). Tingkat dan arah ayunan diukur pada permukaan

tumpuan dengan menghitung pergerakan tekanan di bawah kaki, yang

menunjukkan pusat tekanan (centre of pressure (COP)). Jumlah ayunan


11

tubuh (body sway) dalam sikap yang tenang dipengaruhi oleh faktor-

faktor seperti posisi kaki dan lebar dari base of support (Woollacott dan

Shumway-Cook, 2007).

Dalam posisi tenang ayunan tubuh seperti pendulum terbalik

mengenai sendi pergelangan kaki (ankle). Tujuan adalah untuk menjaga

keseimbangan center of mass (COM) pada tubuh aman dalam BOS.

Untuk mencapai tujuan ini, ankle strategi digunakan di mana otot-otot

ankle (yaitu, ankle plantar flexors/dorsi flexors, invertors/evertors)

secara otomatis dan selektif diaktifkan untuk melawan ayunan tubuh

dalam arah yang berbeda. Otot-otot lain yang sifatnya tonik aktif

selama posisi tenang untuk mempertahankan postur tegak adalah otot

gluteus medius dan tensor fasciae latae, iliopsoas untuk mencegah

hiperekstensi dari hip, dan thoracic paraspinals (dengan beberapa

aktivasi abdominal intermiten). Kesejajaran tubuh (body alignment)

memberikan kontribusi untuk stabilitas dalam sikap yang tenang.

Berdiri dengan tubuh dalam kesejajaran tubuh yang optimal

memungkinkan tubuh untuk menjaga keseimbangan dengan sedikit

jumlah energi yang dikeluarkan oleh otot (Cisner dan Colby, 2007).
12

Gambar 2.1 Model pendulum terbalik menunjukkan variabel center of


mass (COM), center of pressure (COP), body weight (mg), dan height,h
dari COM, dimana ukuran langsung dari muscle stiffness dapat
diperkirakan.
Sumber : http://jn.physiology.org/content/85/6/2630.short
Tanggal diakses : 14 Mei 2014 jam 18.30

c) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan

Keseimbangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, dibawah ini

adalah faktor yang mempengaruhi keseimbangan pada tubuh manusia

yaitu:

(1) Center of mass


COM adalah titik yang sesuai dengan pusat dari total massa

tubuh dan adalah titik di mana tubuh berada dalam keseimbangan

yang sempurna. Hal ini ditentukan dengan mencari rata-rata dari

berat/beban dari COM pada setiap segmen tubuh (Kisner dan Colby,

2002).

(2) Center of Gravity (COG)


13

Center of gravity merupakan titik gravitasi yang terdapat

pada semua benda baik benda hidup maupun mati, titik pusat

gravitasi terdapat pada titik tengah benda tersebut, fungsi dari

Center of gravity adalah untuk mendistribusikan massa benda secara

merata, pada manusia beban tubuh selalu ditopang oleh titik ini,

maka tubuh dalam keadaan seimbang. Tetapi jika terjadi perubahan

postur tubuh maka titik pusat gravitasi pun berubah, maka akan

menyebabkan gangguan keseimbangan (Unstable). Titik pusat

gravitasi selalu berpindah secara otomatis sesuai dengan arah atau

perubahan berat, jika center of gravity terletak di dalam dan tepat

ditengah maka tubuh akan seimbang, jika berada diluar tubuh maka

akan terjadi keadaan unstable. Pada manusia pusat gravitasi saat

berdiri tegak terdapat pada 1 inchi di depan vertebrae sacrum 2

(Kisner dan Colby, 2002).

Gambar 2.2 centre of gravity


Sumber : http://www.answers.com/topic/center-of-gravity
Tanggal diakses : 14 Mei 2014 jam 18.30

(3) Base of support


BOS didefinisikan sebagai perimeter bidang kontak antara

tubuh dan permukaan tumpuan (support surface); penempatan kaki

akan mempengaruhi BOS dan perubahan postural stability

seseorang. Sebuah posisi berdiri yang lebar, seperti terlihat


14

kebanyakan pada orang tua untuk meningkatkan stabilitas,

sedangkan BOS yang sempit, seperti sikap tandem berdiri atau

berjalan, mengurangi BOS. Selama seseorang mempertahankan

COG dalam batasan dari BOS, disebut sebagai stability limits, dan

dia tidak jatuh (Kisner dan Colby, 2002).

Gambar 2.3 contoh gambar BOS. a. BOS saat berdiri satu kaki, b.
BOS saat berdiri dua kaki, c. BOS berdiri dengan tongkat.
Sumber : http://www.humankinetics.com/excerpts/excerpts/five-
factors-determine-stability-and-mobility
Tanggal diakses : 14 Mei 2014 jam 18.30

(4) Stability limit


Stability limit adalah batasan area dimana tubuh bisa

mempertahankan posisi tanpa merubah base of support. Batas

tersebut selalu berubah tergantung pada tugas, biomekanik individu,

dan aspek lingkungan (Kisner dan Colby, 2002).

Gambar 2.4 Batasan dari stability limits saat berdiri, berjalan, dan
duduk.
Sumber : Therapeutic exercise foundations and techniques fifth
edition, hal. 252
(5) Line of Gravity (LOG)

Garis gravitasi (Line of Gravity) adalah garis imajiner yang

berada vertikal melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas tubuh


15

ditentukan oleh hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi

dengan base of support.

Gambar 2.5 normal postural aligment bidang sagital, di optimal


aligment, LoG melewati struktur anatomi yang teridentifikasi
Sumber : Improving functional outcomes in physical
rehabilitation, hal. 154

(6) Ground reaction force (GRF)


Merupakan gaya reaksi yang diberikan secara khusus oleh tanah

saat terjadi interaksi tubuh dengan tanah karena adanya pengaruh

gravitasi. Pada saat berdiri terjadi reaksi dari bidang tumpu yang

sama besarnya dan berlawanan dengan arah kekuatan tekanan

tubuh pada permukaan melalui kaki.


16

Gambar 2.6 Ground Reaction Force


Sumber :
http://walkwellstaywell.wordpress.com/2011/12/20/suspicious-
slippers/
Tanggal diakses : 14 Mei 2014 jam 18.30

d) Kontrol Keseimbangan
Keseimbangan adalah tugas kontrol motorik yang kompleks yang

melibatkan deteksi dan integrasi informasi sensorik untuk menilai posisi

dan gerakan tubuh dalam ruang dan eksekusi terhadap respon

muskuloskeletal yang tepat untuk mengontrol posisi tubuh dalam

konteks lingkungan dan tugas. Dengan demikian, kontrol keseimbangan

memerlukan interaksi sistem saraf dan muskuloskeletal dan efek

kontekstual (Gambar 2.7) (Kisner dan Colby, 2002).

Gambar 2.7 Interaksi muskuloskeletal dan sistem saraf dan efek


kontekstual untuk kontrol keseimbangan.
Sumber : Therapeutic exercise foundations and techniques fifth edition,
hal. 252
17

(1) Sistem saraf menyediakan (a) pemrosesan sensori untuk persepsi

dari orientasi tubuh di tempat yang disediakan terutama oleh visual,

vestibular, dan sistem somatosensori; (b) integrasi sensorimotor

penting untuk menghubungkan sensasi ke respon motorik dan untuk

adaptif dan antisipatif (anticipatory) (yaitu, pusat terprogram

penyesuaian postural yang didahului dengan gerakan volunter)

aspek dari kontrol postural; dan (c) strategi motorik untuk

perencanaan, pemrograman, dan melaksanakan respon

keseimbangan (Kisner dan Colby, 2002).


(2) Kontribusi muskuloskeletal meliputi keselarasan postural,

fleksibilitas muskuloskeletal seperti joint range of motion (ROM),

joint integrity, muscle performance (yaitu, muscle strength, power,

and endurance), dan sensasi (sentuhan, tekanan, getaran,

proprioception, dan kinesthesia) (Kisner dan Colby, 2002).


(3) Efek kontekstual yang berinteraksi dengan kedua sistem pada

lingkungan apakah itu secara tertutup (diprediksi tanpa gangguan)

atau terbuka (tak terduga dan dengan gangguan), permukaan

dukungan (yaitu, keras dibandingkan licin, stabil dibandingkan

tidak stabil, jenis sepatu), jumlah pencahayaan, efek gravitasi dan

gaya inersia (inertial forces) pada tubuh, dan karakteristik tugas

(yaitu, mempelajari dengan baik dibandingkan yang baru, diprediksi

dibandingkan terduga, tunggal dibandingkan beberapa tugas)

(Kisner dan Colby, 2002).

Bahkan jika semua elemen dari sistem saraf dan

muskuloskeletal berjalan dengan efektif, seseorang mungkin jatuh jika


18

efek kontekstual memaksa tuntutan kontrol keseimbangan untuk

menjadi begitu tinggi sehingga mekanisme internal seseorang akan

kewalahan (Kisner dan Colby, 2002).

e) Sensory Systems and Balance Control

Persepsi posisi tubuh dan gerakan dalam ruang membutuhkan

suatu kombinasi dari informasi dari reseptor perifer dalam beberapa

sistem sensorik termasuk visual, somatosensori (proprioceptive, joint,

and cutaneous receptors), dan sistem vestibular. Keseimbangan dicapai

dan dikelola oleh seperangkat kompleks sistem kontrol sensorimotor

yang mencakup input sensorik dari penglihatan (visual), proprioception

(sentuhan), dan sistem vestibular (gerak, equilibrium, orientasi spasial);

integrasi bahwa masukan dari sensorik dan motorik output ke mata dan

otot-otot tubuh. Cedera, penyakit, atau proses penuaan dapat

mempengaruhi satu atau lebih dari komponen ini

(http://vestibular.org/understanding-vestibular-disorder/human-balance-

system diakses 14/05/2014).

Gambar 2.8. Keseimbangan dicapai dan dikelola oleh seperangkat


kompleks sistem kontrol sensorimotor
19

Sumber : http://vestibular.org/understanding-vestibular-disorder/human-
balance-system
Tanggal diakses :diakses 14/05/2014

(1) Sistem Vestibular


Sistem vestibular sensitif terhadap dua jenis informasi: posisi

kepala dalam ruang dan perubahan mendadak dalam arah gerakan

kepala. Meskipun kita tidak menyadari sensasi vestibular, seperti

kita menyadari dari indera yang lain, input vestibular penting untuk

koordinasi banyak respon motorik, dan input ini membantu untuk

menstabilkan mata dan menjaga stabilitas postural selama berdiri

dan berjalan. Kelainan dalam sistem vestibular mengakibatkan

sensasi seperti pusing atau ketidakstabilan, yang tidak terjangkau

oleh kesadaran kita, serta masalah dengan fokus mata dan menjaga

keseimbangan. Seperti sistem sensorik lain, sistem vestibular dapat

dibagi menjadi dua bagian, perifer dan komponen utama (central

component). Komponen perifer terdiri dari reseptor sensorik dan

saraf kranial kedelapan, sedangkan bagian tengah terdiri dari empat

nukleus vestibular dan juga ascending dan descending tract

(Woollacott dan Shumway-Cook, 2007).


Sistem vestibular membawa informasi tentang posisi kita

dalam kaitannya dengan gravitasi dan perubahan pada posisi

tersebut. Sistem sensorik terletak di telinga bagian dalam dan terdiri

dari tiga kanalis semisirkularis dan organ sensorik lainnya dalam

tulang dan membran labirin. Ada ganglion perifer (spiral ganglion),

dan proses pusat sel-sel ini, CN VIII, masuk ke batang otak di sudut

pontine cerebellar, tepat di atas flocculus cerebellar. Informasi


20

vestibular dibawa ke empat inti vestibular, yang terletak di bagian

atas dari medulla dan pons yang lebih rendah: superior, lateral,

medial, dan inferior. Nukleus vestibular lateral yang menghantarkan

ke lateral vestibulo-spinal tract. Ini adalah jalur yang berfungsi

untuk mengatur perubahan otot-otot postural dalam kaitannya

dengan gravitasi. Serabut descending dari nukleus vestibular

medial, jika dianggap terpisah, bisa diberi nama medial vestibulo-

spinal traktus. Sistem ini terlibat dengan penyesuaian postural

(postural adjustments) terhadap perubahan posisi, menggunakan

otot-otot axial (Woollacott dan Shumway-Cook, 2007).

Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor

labyrinth, formasi (gabungan reticular), dan cerebelum. Hasil dari

nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula

spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot

proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-

otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga

membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan

mengontrol otot-otot postural (Woollacott dan Shumway-Cook,

2007).
21

Gambar 2.9 : Sistem vestibular. A, Membran labirin (otoliths dan


kanal semicircular) dan koneksi pusat dari sistem vestibular.
Menunjukkan tentang ascending vestibular input ke kompleks
oculomotor, yang penting untuk menstabilkan pandangan, dan
sistem vestibulospinal turun ke bawah, yang penting untuk postur
dan keseimbangan. B, kanalis semisirkularis yang berpasangan di
dalam tulang temporal dari tengkorak. Garis menunjukkan
orientasinya. AC = kanal anterior; PC = kanal posterior.
Sumber : Motor control third edition
(2) Sistem Visual
Sistem visual berfungsi sebagai kontrol motorik dalam

beberapa cara. Penglihatan (visual) memungkinkan kita untuk

mengidentifikasi benda-benda di dalam ruang dan untuk

mengetahui pergerakannya. Ketika penglihatan memainkan peran


22

ini, itu dianggap sebagai exteroceptive (exteroceptive sense). Tapi

penglihatan juga memberi kita informasi tentang keberadaan tubuh

kita dalam ruangan, tentang hubungan dari satu bagian tubuh

dengan bagian tubuh yang lainnya, dan tentang gerakan tubuh kita.

Ketika penglihatan memainkan peran ini, ini disebut sebagai

proprioception visual, yang berarti bahwa hal itu memberi kita

informasi tidak hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang tubuh

kita sendiri. Penglihatan memainkan peran kunci dalam

pengendalian postur, gerak, dan fungsi yang manipulatif (Kisner

dan Colby, 2002).

Dengan input visual, maka tubuh manusia dapat beradaptasi

terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan sehingga sistem

visual langsung memberikan informasi ke otak, kemudian otak

memerikan informasi agar sistem muskuloskeletal (otot & tulang)

dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan

tubuh (Woollacott dan Shumway-Cook, 2007).

(3) Sistem Somatosensori (Tactile & Proprioceptive)

Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi

dan gerakan bagian tubuh dan tubuh relatif terhadap satu sama lain

dan permukaan tumpuan. Informasi dari proprioceptors otot

termasuk muscle spindle dan golgi tendon organs (sensitif terhadap

panjang otot dan tension), reseptor sendi (sensitif terhadap joint

position, movement, dan stress), dan mechanoreceptors kulit

(sensitif terhadap getaran, sentuhan ringan, tekanan dalam,


23

peregangan kulit) adalah input dominan untuk menjaga

keseimbangan ketika permukaan tumpuan keras, datar, dan tetap.

Namun, ketika berdiri di atas permukaan yang bergerak (misalnya,

di atas kapal) atau pada permukaan yang tidak horisontal (misalnya,

pada lereng), input tentang posisi tubuh yang berkaitan dengan

permukaan yang tidak sesuai untuk menjaga keseimbangan; Oleh

karena itu, seseorang harus bergantung pada input sensorik lainnya

untuk dapat stabil dalam kondisi ini (Kisner dan Colby, 2002).

Informasi dari reseptor sendi tidak berkontribusi besar terhadap

kesadaran sendi tentang merasakan posisi. Ini telah menunjukkan

bahwa pembiusan lokal jaringan sendi dan penggantian sendi total

tidak mengganggu kesadaran posisi sendi. Muscle spindle receptors

tampaknya sebagian besar bertanggung jawab untuk memberikan

rasa posisi sendi, sedangkan peran utama reseptor sendi adalah

untuk membantu gamma motor system dalam mengatur tonus otot

dan kekakuan serta untuk memberikan penyesuaian postural

antisipatif dan untuk melawan gangguan postural tak terduga

(Kisner dan Colby, 2002).


24

Gambar 2.10 somatosensori korteks dan area asosiasi. A, Berlokasi di


lobus parietal, korteks somatosensori berisi tiga divisi utama: primer
(SI) dan sekunder (Sll) korteks somatosensori dan korteks parietal
posterior. B, homunculus Sensory menunjukkan proyeksi sensorik
somatik dari permukaan tubuh. (Diadaptasi dari Kandel E, Schwartz
JH, Jessell TM, eds Prinsip neuroscience 3rd ed New York:... Elsevier,
1991:368, 372.)
Sumber : Motor control third edition, hal. 60

f) Keseimbangan pada Pasien Stroke


Pada kondisi stroke pasien akan banyak mengalami gangguan pada

kemampuan fungsionalnya, hal ini disebabkan oleh adanya disabilitas

pada kapasitas fisiknya. Salah satu gangguan yang dapat terjadi pada

kondisi stroke adalah gangguan keseimbangan, baik itu keseimbangan

statis maupun keseimbangan dinamis, keseimbangan dalam posisi

duduk, berdiri maupun berjalan.


25

Gangguan keseimbangan dapat terjadi pada penderita stroke dan ini

dapat mengganggu proses pemulihan aktivitas fungsional

kesehariannya (Tyson, et al., 2006). Gangguan keseimbangan pada

pasien stroke berhubungan dengan adanya lesi di sistem saraf pusat

sebagai sentral prosesing maupun dari informasi yang disampaikan

oleh sistem visual, vestibular dan somatosensorik yang kurang

optimal. Gangguan keseimbangan ini bisa dikarenakan adanya

kelemahan ataupun kekakuan pada otot-otot postural maupun

ektremitasnya. Adanya kakakuan pada otot ektremitas juga akan

berpengaruh pada luas gerak sendi yang akan mempengaruhi

kemampuan dalam menjaga keseimbangannya. Menurunnya kekuatan

otot, range of motion, tonus otot yang tidak normal, koordinasi

motorik, gangguan pada sistem sensoris dan sistem integrasi

sensorisnya serta adanya gangguan propioseptik ikut berkontribusi

pada gangguan keseimbangan pasien stroke (Barros, 2008).


Gangguan keseimbangan dalam posisi berdiri pada pasien stroke erat

hubungannya dengan adanya kelemahan otot-otot posturalnya,

sehingga pasien tidak mampu mengontrol posturnya dalam posisi

tegak. Adanya kelemahan pada otot-otot tungkai bawah

mengakibatkan penurunan kemampuan tungkai dalam menyanggah,

menahan dan menyeimbangkan berat tubuhnya. Pasien mengalami

kesulitan dalam mengatur perpindahan berat badan pada sisi kanan

dan kiri tubuhnya. Adanya gangguan pada sensoris terutama pada

telapak kaki mengakibatkan pasien tidak dapat merasakan adanya

ground reaction force (GRF) sehingga pasien kesulitan dalam


26

menstabilkan sendi anklenya dan kesulitan dalam mengaktivasi otot-

otot tungkai bawah guna membentuk dan mempertahankan

keseimbangnnya (Sue, 2009). Keseimbangan menjadi salah satu hal

yang sangat penting untuk diberikan treatment dan dikembalikan

fungsinya pada pasien pasca stroke.

2. Stroke

a) Definisi Stroke

Stroke didefinisikan sebagai defisit (gangguan) fungsi sistem

saraf yang terjadi mendadak dan disebabkan oleh gangguan peredaran

darah otak. Stroke terjadi akibat gangguan pembuluh darah di otak.

Gangguan peredaran darah otak dapat berupa tersumbatnya pembuluh

darah otak atau pecahnya pembuluh darah di otak. Otak yang

seharusnya mendapat pasokan oksigen dan zat makanan menjadi

terganggu. Kekurangan pasokan oksigen ke otak akan memunculkan

kematian sel saraf (neuron). Gangguan fungsi otak ini akan

memunculkan gejala stroke (Pinzon dan Asanti, 2010). Menurut

Sofwan yang mengutip menurut WHO tahun 1988, stroke adalah tanda-

tanda klinis mengenai gangguan fungsi serebral secara fokal ataupun

global, yang berkembang dengan cepat, dengan gejala yang

berlangsung selama 24 jam ataupun lebih, atau mengarah ke kematian

tanpa penyebab yang kelihatan, selain tanda-tanda yang berkenaan

dengan aliran darah di otak (Sofwan, 2010).

b) Anatomi dan Fisiologi Otak


27

Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi

meskipun neuron-neuron di otak mati tidak mengalami regenerasi,

kemampuan adaptif atau plastisitas pada otak dalam situasi tertentu

bagian-bagian otak dapat mengambil alih fungsi dari bagian-bagian

yang rusak. Sehingga bagian-bagian otak sepertinya belajar

kemampuan baru. Ini merupakan mekanisme paling penting yang

berperan dalam pemulihan stroke (Feigin, 2006).

Otak yang merupakan organ yang paling aktif metabolisnya

meskipun beratnya hanya 2% dari berat badan, tetapi ia menerima 17%

curah jantung dan memakai 20% oksigen yang diperlukan oleh tubuh

manusia untuk metabolismenya. Otak mendapat darah arterial dan

sepasang sistem sirkulasi utama yang menyalurkan darah ke bagian otak

(Irfan, 2010). Darah dibawa ke otak oleh dua arteri berpasangan, arteri

karotis interna dan arteri vertebralis(Gambar 2.11).

Gambar 2.11 Arteri carotis


Sumber : https://www.mayfieldclinic.com/PDF/PE-AnatBrain.pdf
Tanggal diakses : 4 September 2014 jam 18.30
Arteri karotis interna yang memasok sebagian dari otak besar. Arteri

vertebralis memasok cerebellum, brainstem, dan bagian bawah

cerebrum. Setelah melewati tengkorak, arteri vertebralis kanan dan kiri


28

bergabung bersama untuk membentuk arteri basilar. arteri basilar dan

arteri karotis interna "berkomunikasi" satu sama lain di dasar otak yang

disebut Lingkaran Willis (Circle of Willis) (Gambar 2.12). Komunikasi

antara sistem arteri karotis internal dan vertebral basilar adalah fitur

keselamatan penting dari otak. Jika salah satu dari pembuluh darah

utama tersumbat, ada kemungkinan untuk aliran darah kolateral akan

menyilang pada Lingkaran Willis dan mencegah kerusakan otak.

Gambar 2.12 Circle of Willis


Sumber : https://www.mayfieldclinic.com/PDF/PE-AnatBrain.pdf
Tanggal diakses : 4 September 2014 jam 18.30

(1) Otak

Otak merupakan bagian depan dan paling utama dari

seluruh sistem saraf yang berperan penting dalam mengendalikan

berbagai ragam fungsi kehidupan. Otak terdiri dari 100-200 milyar

sel aktif yang saling terkoneksi. Bagian ini dilindungi oleh tiga

selaput pelindung (meningen) dan berada di dalam tulang

tengkorak. Permukaan otak berwarna abu-abu, karena terdiri dari


29

substansia grisea yang mengandung neuron-neuron. Di bawah

substansia grisea terdapat substansia alba yang terdiri dari serabut-

serabut saraf. Substansia grisea beserta substansia alba merupakan

bagian dari lapisan belahan otak kiri dan kanan yang disebut

hemisperium. Antar dua hemisperium ini dihubungkan oleh

jembatan yang disebut corpus callosum, yang berada di sebelah

dalam fissura longitudinalis cerebri (Irfan, 2010).

a b
Gambar 2.13 a.otak terdiri dari tiga bagian: brainstem, cerebellum,
dan cerebrum. b. limbic system
Sumber : https://www.mayfieldclinic.com/PDF/PE-AnatBrain.pdf
Tanggal diakses : 4 September 2014 jam 18.30

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat

bagian, yaitu: cerebrum (otak besar), cerebellum (otak kecil),

brainstem (batang otak), limbic system (sistem limbik).

(a) Cerebrum (Otak Besar)

Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia. Cerebrum

merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan


30

binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan

berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan,

memori dan kemampuan visual. Cerebrum secara terbagi

menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian lobus

yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang

menyerupai parit disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut

masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus

Occipital dan Lobus Temporal

(http://www.aktivasiotak.com/fungsi_otak.htm).

(i) Lobus Frontal

Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling

depan dari Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan

kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi,

perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian,

kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan

kemampuan bahasa secara umum.

(ii) Lobus Parietal

Lobus parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses

sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.

(iii) Lobus Temporal


31

Lobus temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan

kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa

dalam bentuk suara.

(iv)Lobus Occipital

Lobus occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan

dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia

mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang

ditangkap oleh retina mata.

Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi

menjadi beberapa area yang punya fungsi masing-masing, seperti

terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.14 diagram area fungsi dari cerebral cortex


Sumber : http://www.aktivasiotak.com/fungsi_otak.htm
Tanggal diakses : 4 September 2014 jam 18.30

(b) Cerebellum (Otak Kecil)


32

Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala,

dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol

banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau

posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan

gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan

serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan

mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan

mengunci pintu dan sebagainya.

Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan

gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan

menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak

mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak

mampu mengancingkan baju.

(b) Brainstem (Batang Otak)

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau

rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang

punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini

mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut

jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan

merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight

(lawan atau lari) saat datangnya bahaya. Batang Otak terdiri dari

tiga bagian, yaitu:

(i) Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain)


33

adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan

Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi dalam

hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata,

pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan

pendengaran.

(ii) Medulla oblongata

adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri

badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya.

Medulla mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak

jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.

(iii) Pons

merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke

pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang

menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.

(c) Limbic System (Sistem Limbik)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus

batang otak ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin

yang berarti kerah. Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh

hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia.

Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala,

hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi

menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara

homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa

senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.


34

Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang

salah satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang

perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak.

Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh

oleh indera. Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau

tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran.

c) Klasifikasi Stroke

Berdasarkan penyebabnya, stroke dibagi menjadi dua tipe, yaitu stroke

hemoragik (perdarahan) dan stroke non-hemoragik (iskemik).

(1) Stroke Haemoragik

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan karena adanya

pembuluh darah dalam otak yang pecah sehingga darah yang

keluar dari pembuluh darah tersebut dipaksa masuk ke dalam

jaringan otak, kemudian merusak sel-sel otak di daerah tertentu,

sehingga pada akhirnya bagian otak yang terkena tidak dapat

berfungsi dengan baik. Stroke hemoragik terbagi lagi menjadi dua

tipe: Perdarahan Subaraknoid (PSA) dan Perdarahan Intraserebral

(PIS) (Sofwan, 2010).

(a) Perdarahan Subaraknoid (PSA)

Stroke karena perdarahan subaraknoid terjadi pada sekitar 5%

dari seluruh serangan stroke. Perdarahan subaraknoid terjadi di

ruang subaraknoid, yaitu ruang sempit di antara otak dan lapisan

jaringan yang menutupi otak. Ini biasa terjadi karena adanya


35

ruptur atau robekan dari suatu aneurisma (arteri yang melebar)

(Sofwan, 2010).

Ketika terjadi ruptur/pecah, darah yang berasal dari aneurisma

tersebut akan masuk ke ruang subaraknoid, yang kemudian akan

mengiritasi duramater (selaput yang melapisi permukaan luar

otak) dan akhirnya menimbulkan nyeri kepala. Nyeri kepala

pada stroke karena perdarahan subaraknoid sangat khas yang

sering dikatakan oleh penderita sebagai "nyeri kepala yang

paling parah sepanjang hidup saya", karena nyeri kepala

tersebut sangat nyeri sekali, mendadak, parah, dan tanpa sebab

yang jelas. Sering disertai oleh muntah dan kaku leher. Karena

tekanan perfusi intraserebral yang menurun secara tiba-tiba,

hilangnya kesadaran mendadak (koma) sangat sering terjadi

(Sofwan, 2010).

(b) Perdarahan Intraserebral (PIS)

Perdarahan interaserebral atau perdarahan yang terjadi di dalam

otak terjadi pada sekitar 10% dari seluruh serangan stroke.

Stroke karena perdarahan intraserebral sebenarnya sama dengan

perdarahan subaraknoid, hanya letaknya yang berbeda.

Pembuluh darah arteri otak bagian dalam merupakan tempat

tersering dari perdarahan intraserebral. Pecahnya dinding

pembuluh darah arteri otak biasanya karena dinding arteri

tersebut rapuh dan menipis. Penyakit-penyakit yang

menyebabkan dinding tersebut menipis dan rapuh adalah:


36

hipertensi (peningkatan tekanan darah), angiopati amiloid

(pengendapan protein di dinding-dinding arteri tersebut),

aneurisma, tumor otak, maupun trauma pada otak. Ada beberapa

jenis perdarahan intraserebral yang tersering menurut letaknya,

yaitu: perdarahan thalamus, hematom subdural (biasanya karena

trauma), dan perdarahan intraventrikuler. Perdarahan tersebut

bisa sangat parah, ditandai dengan peningkatan tekanan

intrakranial, gangguan pada beberapa traktus saraf, kompresi

ventrikel, dan herniasi dari otak (Sofwan, 2010).

(2) Stoke Non Haemoragik (iskemik)

(a) Etiologi

Proporsi stroke sumbatan (infark) pada umumnya

mencapai 85% kasus, stroke perdarahan intraserebral 10%, dan

perdarahan subarachnoid 5%. (Pinzon dan Asanti, 2010). Stroke

iskemik adalah stroke yang disebabkan karena adanya hambatan

atau sumbatan pada pembuluh darah otak tertentu sehingga

daerah otak yang diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut

tidak mendapat pasokan energi dan oksigen, sehingga pada

akhirnya jaringan sel-sel otak di daerah tersebut mati dan tidak

berfungsi lagi (Sofwan, 2010).

Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke non haemoragik dibagi

menjadi 4, yaitu (1) TIA (transient ischemik attack) merupakan

serangan stroke sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam,

(2) RIND (reversible ischemic neurologic deficit) merupakan


37

gejala neurologis yang akan menghilang antara > 24 jam sampai

dengan 21 hari, (3) progressing stroke atau stroke in evolution

merupakan kelainan atau defisit neurologis yang berlangsung

secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi berat, dan (4)

complete stroke atau stroke komplit merupakan kelainan

neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi

(Harsono, 2005). Stroke iskemik ini dibagi menjadi beberapa

tipe menurut penyebabnya:

(i) Trombosis (terjadi di pembuluh darah yang besar)

Trombosis adalah bekuan darah. Stroke trombosis

adalah stroke yang terjadi karena adanya sumbatan di

pembuluh darah besar di otak oleh karena adanya

gumpalan/plak yang terbentuk akibat proses aterosklerotik

(pengerasan arteri). Stroke karena trombosis ini merupakan

stroke yang paling sering terjadi (hampir 40% dari seluruh

stroke). Plak aterosklerotik tersebut akan menyumbat suatu

pembuluh darah besar di sekitar leher ataupun di dasar otak

yang pada akhirnya daerah otak yang seharusnya mendapat

pasokan oksigen dan nutrisi tersebut menjadi kekurangan

nutrisi dan oksigen (disebut iskemia) dan akhirnya menjadi

daerah mati (infark) (Sofwan, 2010).

Proses aterosklerosis itu sendiri dipercepat oleh berbagai

faktor seperti hipertensi, diabetes, hiperkolesterol, dan faktor-

faktor lainnya. Bagaimana proses terjadinya aterosklerosis itu


38

sendiri masih belum jelas. Sering dikatakan bahwa

aterosklerosis terjadi oleh karena penimbunan lipid (lemak)

berikut kolesterol, yang diselipkan di bawah lapisan intima

dari pembuluh darah oleh arus darah. Proses ini dipercepat

oleh hiperkolesteremia dan beban terhadap dinding pembuluh

darah akibat hipertensi. Plak aterosklerotik sering dijumpai di

kelokan-kelokan atau percabangan arteri besar, seperti

misalnya arteri karotis leher. Setelah umur 50 tahun,

tampaknya ada kecenderungan bahwa arteri-arteri serebral

yang kecil juga terkena proses aterosklerosis. Penyempitan

yang disebabkan oleh plak/bekuan aterosklerotik itu bisa

mencapai 80-90% dari diameter pembuluh darah, tanpa

menimbulkan gangguan pada daerah yang diperdarahi arteri

yang bersangkutan. Namun, arteri-arteri yang sudah memunyai

plak aterosklerotik itu cenderung mendapat komplikasi, yang

berupa trombosis (Sofwan, 2010).

(ii) Lakunar (terjadi di pembuluh darah yang kecil)

Stroke lakunar adalah stroke yang terjadi pada

pembuluh-pembuluh darah kecil yang ada di otak. Terjadi pada

sekitar 20% kasus dari seluruh stroke. Stroke lakunar ini

disebabkan oleh adanya sebuah lesi/luka yang kecil, berbatas

jelas berukuran kurang lebih 1,5 cm yang biasanya terletak di

daerah subkortikal, kapsula interna, batang otak, dan

serebelum (otak kecil). Stroke lakunar ini berkaitan kuat


39

dengan hipertensi dan juga dihubungkan dengan perubahan

mikrovaskular yang timbul karena hipertensi kronis dan

kencing manis (diabetes mellitus). Penyumbatan pada

pembuluh darah kecil ini biasanya tidak memberikan dampak

stroke yang parah (Sofwan, 2010).

(iii) Emboli Serebral

Stroke emboli adalah stroke yang terjadi oleh karena

adanya gumpalan darah/bekuan darah yang berasal dari

jantung, dan kemudian terbawa arus darah sampai ke otak,

kemudian menyumbat pembuluh darah di otak. Proporsinya

sekitar 20% dari seluruh kasus stroke. Bekuan darah dari

jantung ini biasanya terbentuk akibat beberapa hal, seperti

misalnya: denyut jantung yang tidak teratur (misalnya fibrilasi

atrium), kelainan katup jantung, infeksi di dalam jantung, dan

juga pembedahan/operasi jantung (Sofwan, 2010).

d) Faktor Resiko Stroke

Seseorang menderita stroke karena memiliki faktor risiko stroke.

Menurut Pinzon dan Asanti (2010) faktor risiko stroke dibagi menjadi

dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang

dapat diubah.

Tabel 2.1 Faktor Risiko Stroke


40

Faktor yang Tidak Dapat Diubah Faktor yang Dapat Diubah

Usia Hipertensi
Jenis kelamin Diabetes melitus
Ras Merokok
Riwayat keluarga Obesitas
Riwayat stroke sebelumnya Dislipidemia
Sumber: Stroke dan Rehabilitasi Pasca-Stroke (Sofwan, 2010)

(1) Faktor yang Tidak Dapat Diubah

Faktor risiko stroke yang tidak dapat diubah adalah usia, jenis

kelamin, ras, riwayat keluarga, dan riwayat stroke sebelumnya.

Semakin tua usia seseorang akan semakin mudah terkena stroke.

Stroke dapat terjadi pada semua usia, namun lebih dari 70% kasus

stroke terjadi pada usia di atas 65 tahun. Laki-laki lebih mudah

terkena stroke. Hal ini dikarenakan lebih tingginya angka kejadian

faktor risiko stroke (misalnya hipertensi) pada laki-laki. Risiko

stroke meningkat pada seseorang dengan riwayat keluarga stroke.

Hal ini mendukung hipotesis bahwa peningkatan kejadian stroke

pada keluarga penyandang stroke adalah akibat diturunkannya

faktor risiko stroke. Kejadian stroke pada ras kulit berwarna lebih

tinggi dari kaukasoid (Pinzon dan Asanti, 2010).

(2) Faktor Risiko yang Dapat Diubah

Faktor risiko stroke yang dapat diubah ini penting untuk

dikenali. Penanganan berbagai faktor risiko ini merupakan upaya

untuk mencegah stroke. Faktor risiko stroke yang utama adalah

hipertensi, diabetes, merokok, dan dislipidemia (Pinzon dan Asanti,

2010).
41

(a) Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu penyakit utama di

dunia, mengenai hampir 50 juta orang di Amerika Serikat dan

hampir I miliar orang di seluruh dunia. Prevalensi hipertensi

meningkat sesuai peningkatan usia.

Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah untuk orang dewasa >18 tahun
Klasifikasi Tekanan darah Tekanan darah
sistolik (mmHg) diastolik (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Pre-hipertensi 130-139 85-89
Hipertensi derajat I 140-159 90-99
Hipertensi derajat II 160-179 100-109
Hipertensi derajat III >180 >110
Hipertensi sistolik terisolasi >140 <90
Sumber : (menurut Sofwan yang dikutip dari sumber: "2003 European
Society of Hypertension-European Society of Cardiology guidelines for the
management of arterial hypertension")

Seseorang disebut mengalami hipertensi apabila tekanan

darahnya lebih dari 140/90 mmHg atau lebih dari 135/85

mmHg pada individu yang mengalami gagal jantung,

insufisiensi ginjal, atau diabetes melitus. Hipertensi merupakan

faktor risiko stroke dan penyakit jantung koroner yang paling

konsisten dan penting. Hipertensi meningkatkan risiko stroke

2-4 kali lipat tanpa tergantung pada faktor risiko

lainnya(Pinzon dan Asanti, 2010).

Hipertensi kronis dan tidak terkendali akan memacu

kekakuan dinding pembuluh darah kecil yang dikenal dengan

mikroangiopati. Hipertensi juga akan memacu munculnya

timbunan plak (plak atherosklerotik) pada pembuluh darah

besar. Timbunan plak akan menyempitkan lumen/diameter


42

pembuluh darah. Plak yang tidak stabil akan mudah

ruptur/pecah dan terlepas. Plak yang terlepas meningkatkan

risiko tersumbatnya pembuluh darah otak yang lebih kecil.

Bila ini terjadi, timbulnya gejala stroke (Pinzon dan Asanti,

2010).

(b) Diabetes

Diabetes melitus (DM) dijumpai pada 15-20% populasi

usia dewasa. Secara umum diabetes dibagi menjadi 2 jenis,

yaitu tipe I (tergantung insulin) dan tipe II (tidak tergantung

insulin). Tipe I menyerang usia muda, sedangkan tipe II

menyerang usia tua. Diabetes merupakan salah satu faktor

risiko stroke iskemik yang utama. Diabetes akan

meningkatkan risiko stroke dua kali lipat. Peningkatan kadar

gula darah berhubungan lurus dengan risiko stroke (semakin

tinggi kadar gula darah, semakin mudah terkena stroke).

Diabetes menyebabkan perubahan pada sistem pembuluh

darah, dan berperan dalam proses aterosklerosis yang pada

akhirnya akan menyebabkan stroke. Pada orang dengan

diabetes, darah menjadi lebih kental dan beban pada dinding

pembuluh darah menjadi lebih besar sehingga dikhawatirkan

lebih mudah tersumbat (terutama di pembuluh darah yang

kecil seperti di otak dan jantung) (Sofwan, 2010).

Tabel 2.3 Diagnosis DM pada Pemeriksaan Laboratorium


43

Normal Gangguan DM
toleransi glukosa

Gula darah puasa <110 110-125 >126


2 jam setelah beban glukosa <140 140-200 >200
Sumber: Stroke dan Rehabilitasi Pasca-Stroke (Sofwan, 2010)

(c) Merokok

Berbagai penelitian menghubungkan kebiasaan mero-

kok dengan peningkatan risiko penyakit pembuluh darah

(termasuk stroke). Merokok memacu peningkatan kekentalan

darah, pengerasan dinding pembuluh darah, dan penimbunan

plak di dinding pembuluh darah. Merokok meningkatkan

risiko stroke sampai dua kali lipat. Ada hubungan yang linier

antara jumlah batang rokok yang diisap per hari dengan

peningkatan risiko stroke. Menurut Pinzon dan Asanti yang

dikutip dari Olsen, 2003 risiko stroke akan bertambah 1,5 kali

setiap penambahan 10 batang rokok per hari (Pinzon dan

Asanti, 2010).

(d) Obesitas

Obesitas memicu terjadinya stroke karena berat badan

dan indeks massa tubuh berhubungan erat dengan tekanan

darah. Distribusi lemak pada tubuh juga merupakan faktor

penting dalam hubungannya dengan hipertensi. Hal inilah

yang memicu terjadinya hipertensi, yang pada akhirnya juga

bisa memicu stroke (Pinzon dan Asanti, 2010).

(e) Dislipidemia
44

Pengertian dislipidemia ialah suatu kelainan salah satu

atau keseluruhan metabolisme lipid yang dapat berupa

peningkatan ataupun penurunan profil lipid, meliputi

peningkatan kadar kolesterol total, peningkatan kadar

trigliserida, peningkatan kadar Low Density Lipoprotein

(LDL), dan penurunan kadar High Density Lipoprotein

(HDL). Dimana hasil pengukuran kadar kolesterol serum

memenuhi salah satu atau keseluruhan kriteria berikut: kadar

kolesterol total meningkat (> 200 mg/dl), kadar trigliserida

meningkat (> 150 mg/dl), kadar kolesterol LDL meningkat (>

130 mg/dl), kadar kolesterol HDL menurun (< 40 mg/dl)

(http://www.e-jurnal.com/2013/09/pengertian-

dislipidemia.html diakses tanggal 18/05/2014).

Kolesterol berlebih dalam darah, istilah kedokterannya

disebut hiperlipidemia, merupakan faktor risiko tidak

langsung dari stroke. Karena kolesteror yang berlebihan

dalam darah ini tidak langsung menyebabkan stroke, tetapi

lebih pada meningkatnya risiko pembentukan plak

arterosklerosis pada pembuluh darah. Seperti diketahui, plak

aterosklerosis ini bertanggung jawab pada proses terjadinya

stroke karena sumbatan (stroke iskemik) (Pinzon dan Asanti,

2010).

e) Gejala dan Tanda Stroke


45

Menurut Sofwan (2010), gejala dan tanda seseorang terkena

stroke sangat beragam dan berbeda-beda antara satu individu dengan

individu lainnya. Perbedaan ini dikarenakan otak manusia sangat

kompleks. Setiap daerah di otak memunyai fungsi berbeda-beda. Ada

yang mengatur gerakan, pancaindra, perasaan, kognitif, dan lain-lain.

Gejala dan tanda dari stroke tergantung pada daerah mana yang

mengalami kerusakan di otak, dan juga tergantung dari apakah itu

karena stroke perdarahan ataukah karena stroke iskemik. Namun secara

umum, tanda dan gejala stroke di antaranya:

(1) Munculnya kelemahan mendadak dari salah satu bagian tubuh

(wajah, lengan, tungkai), terutama di satu sisi badan.

(2) Muncul rasa baal (hilang sensasi) mendadak di satu sisi badan.

(3) Gangguan menelan (disfagia), contohnya: bila minum jadi

tersedak.

(4) Hilangnya penglihatan sebagian atau menyeluruh secara tiba-tiba.

(5) Tiba-tiba sulit berbicara atau menjadi tidak jelas berbicara atau

pelo, atau tidak memahami pembicaraan orang lain (afasia).

(6) Timbul nyeri kepala yang amat sangat, yang muncul secara

mendadak.

(7) Gangguan kesadaran, pingsan, koma, atau kejang.

(8) Hilang keseimbangan, terjatuh tiba-tiba, dan tidak mampu

mengatur gerakan tubuh.

(9) Muncul gangguan kognitif lain seperti tiba-tiba pikun, tidak dapat

berhitung, membaca, ataupun menulis secara tiba-tiba.


46

3. Core Stability Exercise

Menurut Irfan (2010) dalam buku fisioterapi bagi insan stroke yang

dimaksut core stability adalah kemampuan untuk mengontrol posisi dan

gerak dari thrunk sampai pelvic yang digunakan untuk melakukan gerakan

secara optimal dalam proses perpindahan, kontrol tekanan dan gerakan saat

aktivitas. Core stability merupakan salah satu faktor penting dalam postural

set. Dalam kenyataanya core stability menggambarkan kemampuan untuk

mengontrol atau mengendalikan posisi dan gerakan sentral pada tubuh

diantaranya: head and neck alignment, alignment of vertebral column

thorax dan pelvic stability/mobility, dan ankle and hip strategies. Core

stability merupakan komponen penting dalam memberikan kekuatan lokal

dan keseimbangan untuk memaksimalkan aktivitas secara efisien.

Sebuah program pelatihan core stabilization dirancang untuk

membantu individu untuk memperoleh strength, neuromuscular control,

power, and muscle endurance dari otot-otot di lumbar spine, di abdomen,

dan di sekitar hips dan pelvis. Otot-otot ini secara kolektif disebut sebagai

core. Konsep pelatihan core stability penting. Sebuah kelemahan dari core

adalah masalah yang mendasar dari sebuah gerakan yang tidak efisien. Jika

otot-otot di ekstremitas kuat dan core lemah, gaya yang dibutuhkan untuk

gerakan yang efisien tidak bisa dihasilkan karena core lemah. Pelatihan core

stability harus menjadi komponen penting dari semua program penguatan

secara komprehensif (Carr dan Shepherd, 2003).

Core didefinisikan sebagai lumbo-pelvic-hip complex. Core adalah

dimana center of gravity berada dan dimana semua gerakan dimulai. Dua
47

puluh sembilan otot memiliki keterikatannya dengan lumbo-pelvic-hip

complex. Otot-otot utama yaitu lumbar spine adalah kelompok

transversospinalis, erector spinae, quadratus lumborum, dan latissimus

dorsi. Otot-otot abdominal utama adalah rectus abdominus, external oblique,

internal oblique, dan transverse abdominus. Otot-otot hip utama adalah

gluteus maximus, gluteus medius, dan psoas (Carr dan Shepherd, 2003).

Sebuah program core stability akan meningkatkan postural control

secara dinamis, memastikan keseimbangan otot yang sesuai dan gerakan

sendi di sekitar lumbo-pelvic-hip complex, sehingga memungkinkan untuk

menghasilkan kekuatan fungsional yang dinamis, dan meningkatkan

efisiensi neuromuskuler di seluruh tubuh. Hal ini memungkinkan percepatan

yang optimal, perlambatan, dan stabilisasi dinamis dari semua fungsi

segmen yang saling berhubungan dari seluruh tubuh yang disebut sebagai

rantai kinetik selama gerakan fungsional. Hal ini juga memberikan stabilitas

proksimal untuk gerakan ekstremitas bawah yang efisien (Carr dan

Shepherd, 2003).

a) Peran dari Aktivitas Global dan Core Muscle

Otot-otot leher dan trunk tidak hanya bertindak sebagai

penggerak utama atau sebagai antagonis terhadap gerakan yang

disebabkan oleh gravitasi selama melakukan aktivitas dinamis, mereka

adalah stabilisator yang penting dari spine. Tanpa menstabilkan

aktivitas dinamis dari otot-otot trunk, spine akan runtuh dalam posisi

tegak. Keduanya yaitu superficial (global) dan dalam (core) otot

berfungsi untuk mempertahankan postur tegak. Otot-otot global,


48

menjadi multisegmental, adalah otot yang besar yang merespon beban

eksternal yang dikenakan pada trunk yang menggeser center of mass

(Gambar 2.15A). Reaksinya adalah arah spesifik untuk mengontrol

orientasi spinal. Otot-otot global tidak bisa menstabilkan segmen spinal

secara individual kecuali melalui beban secara kompresi karena mereka

memiliki sedikit atau tidak ada keterikatan langsung ke vertebrae. Jika

segmen individu tidak stabil, beban kompresi dari otot global yang

dapat mengakibatkan atau mengabadikan situasi yang menyakitkan

seperti stres yang ditempatkan pada jaringan inert pada akhir rentang

segmen (Gambar 2.15B) (Kisner dan Colby, 2002).

Gambar 2.15 (A) fungsi otot global trunk yang memberikan stabilitas
keseluruhan terhadap gangguan. (B) Ketidakstabilan di tulang belakang
multi segmental tidak dapat dikontrol oleh otot global trunk. Beban
penekanan panjang pada otot global menyebabkan stres pada jaringan
inert pada rentang akhir segmen yang tidak stabil.
Sumber : Therapeutic exercise foundations and techniques fifth edition,
hal. 385

Semakin dalam, core muscles, yang memiliki keterikatan

segmental, merespon tanpa memperhatikan arah gerakan. Mereka

memberikan support secara dinamis untuk segmen individu dalam spine

dan membantu menjaga setiap segmen dalam posisi stabil sehingga


49

jaringan inert tidak stres pada batas gerak (Gambar 2.16). Kedua otot-

otot global dan core memainkan peran penting dalam memberikan

stabilitas pada tulang belakang multisegmental. Tabel 2.4 merangkum

karakteristik stabilisasi dari otot-otot global dan core.

Gambar 2.16 otot core yang letaknya mendalam melekat pada setiap
segmen tulang belakang memberikan stabilitas segmental.
Sumber : Therapeutic exercise foundations and techniques fifth edition,
hal. 387

Tabel 2.4 Otot stabilisator lumbal


Otot Stabilisator Lumbal
Global Muscles Core Muscles

• m. Rectus Abdominus • m. Transversus abdominis

• m.External and internal


• m. Multifidus
Obliques

• m. Quadratus lumborum • m. Quadratus lumborum


(lateral portion) (deep portion)

• Erector spine • Deep rotator

• m. Iliopsoas
Sumber : Carolyn Kisner & Lynn Allen Colby,2007 hal 387

b) Kontrol Otot di Lumbar Spine

Fokus penelitian baru-baru ini tentang fungsi transversus

abdominis (TRA) dan otot multifidus dan fungsinya sebagai stabilisator

inti (core stabilizers). Otot-otot yang mendalam memiliki keterikatan

segmental di tulang belakang lumbar dan karenanya mampu


50

memberikan kontrol dan kekakuan segmental. Penelitian telah

menunjukkan bahwa serabut yang mendalam dari multifidi dan TRA

adalah otot pertama yang menjadi aktif ketika ada gangguan postural

dari gerakan ekstremitas yang cepat. Otot yang mendalam lainnya yang

secara teoritis memainkan peran dalam stabilitas segmental tetapi untuk

saat ini (dalam waktu ini) menjadi sulit untuk menilai karena

kedalaman mereka termasuk otot intersegmental (rotator dan otot inter

transversarii) dan serabut yang mendalam dari lumborum quadratus

(Kisner dan Colby, 2002).

Abdominal muscles (gambar 2.17). rectus abdominis (RA),

external oblique (EO), dan internal oblique (IO) otot-otot besar, otot

global yang multi segmental penting untuk menstabilkan tulang

belakang terhadap gangguan postural. Transversus abdominis (TRA)

adalah otot yang terdalam dari otot-otot perut dan merespon secara unik

terhadap gangguan postural. TRA melekat pada posterior lumbar tulang

belakang melalui posterior dan lapisan tengah fasia torakolumbal

(Gambar 2.17 dan 2.18) dan berfungsi seperti korset dari support di

sekitar vertebra lumbar dan abdomen. Hanya otot TRA yang aktif pada

kedua gerakan isometrik trunk fleksi dan ekstensi, sedangkan otot perut

lainnya mengalami penurunan aktivitas dengan ekstensi menahan. Hal

ini disebabkan karena fungsi dari TRA sebagai stabilitas (Kisner dan

Colby, 2002).
51

Gambar 2.17 Abdominal muscles.


Sumber : Therapeutic exercise foundations and techniques fifth edition,
hal. 389

Gambar 2.18 bagian melintang di regio lumbar menunjukkan


hubungan dari tiga lapisan fasia torakolumbal ke otot-otot di daerah dan
hubungannya ke spine. ES, erector spinae; Mf, multifidus; TA,
transversus abdominis; IO, internal obliques; EO, external obliques;
LD, latissimus dorsi; PM, psoas major; QL, quadratus lumborum
muscles.
Sumber : Therapeutic exercise foundations and techniques fifth edition,
hal. 389

4. Active stretching ankle exercise

Membicarakan masalah fleksibilitas selalu mengacu pada

kemampuan ruang gerak sendi atau persendian tubuh. Fleksibilitas dapat

dikembangkan melalui latihan-latihan peregangan otot serta harus dilatih

secara khusus, karena perbaikan pada komponen ini akan mendukung

terhadap fleksibilitas, serta dapat juga menghindari timbulnya cedera.


52

Pengertian active stretching dilakukan dengan menggunakan otot-otot kita

tanpa mendapat bantuan kekuatan eksternal. Peregangan aktif penting

karena akan membangun fleksibilitas otot secara aktif (Prentice, 2011).

a) Sifat dari Jaringan Lunak dan Respon terhadap Imobilisasi dan Stretch

Kemampuan tubuh untuk bergerak bebas yaitu, tanpa

pembatasan dan dengan kontrol selama aktivitas fungsional, tergantung

pada mobilitas pasif pada jaringan lunak dan kontrol aktif dari

neuromuskular. Gerakan diperlukan untuk kesehatan pada jaringan

dalam tubuh. Jaringan lunak yang dapat menjadi terbatas dan merusak

mobilitas adalah otot yaitu pada element kontraktil dan noncontractile

dan berbagai jenis jaringan ikat (tendon, ligamen, kapsul sendi, fasia,

kulit) (Kisner dan Colby, 2002).

Ketika prosedur peregangan diterapkan pada jaringan lunak,

arah, kecepatan, intensitas (besarnya), durasi, dan frekuensi dari

kekuatan peregangan, serta suhu jaringan akan mempengaruhi respon

dari berbagai tipe jaringan lunak (Kisner dan Colby, 2002).

Ketika jaringan lunak diregangkan, elastis, viskoelastik, atau

perubahan yang mudah dipengaruhi (plastic) terjadi. Elastisitas adalah

kemampuan jaringan lunak untuk kembali ke panjang semula saat

prestretch yang secara langsung kembali setelah peregangan dengan

durasi pendek telah dihilangkan. Viscoelasticity adalah properti/sifat

yang tergantung pada waktu jaringan lunak yang awalnya menolak

perubahan bentuk (deformation), seperti perubahan panjang, pada

jaringan ketika kekuatan peregangan yang pertama kali diterapkan. Jika


53

kekuatan peregangan dipertahankan, viscoelasticity memungkinkan

perubahan dalam panjang jaringan dan kemudian memungkinkan

jaringan untuk kembali secara bertahap ke keadaan prestretch.

Plastisitas adalah kecenderungan jaringan lunak untuk mengasumsikan

panjang yang baru dan lebih besar setelah kekuatan peregangan telah

dihilangkan. Kedua jaringan kontraktil dan noncontractile memiliki

kualitas elastis dan plastic; Namun, hanya jaringan ikat, bukan elemen

kontraktil dari otot, memiliki properites viskoelastik (Kisner dan Colby,

2002).

b) Sifat Mekanis dari Kontraktil Tissue

Otot tersusun dari dua jaringan ikat contractile dan

noncontractile. Unsur-unsur kontraktil dari otot (Gambar 2.19)

memberikan karakteristik kontraktilitas dan mudah iritabilitas.

Gambar 2.19 Struktur otot rangka.


Sumber : Therapeutic exercise foundations and techniques fifth edition,
hal. 70
54

Gambar 2.20 jaringan ikat otot. Penampang melintang dari jaringan ikat
dalam otot menunjukkan bagaimana perimysium kontinu dengan
lapisan luar epimysium. (Dari Levangie dan Norkin, 92 p. 93, dengan
izin.)
Sumber : Therapeutic exercise foundations and techniques fifth edition,
hal. 70

Jaringan ikat noncontractile dalam dan di sekitar otot (Gambar

2.20) memiliki sifat yang sama seperti semua jaringan ikat, termasuk

kemampuan untuk menahan kekuatan yang berdeformasi. Struktur

jaringan ikat, yang bertindak sebagai "harness" dari otot, adalah

endomysium, yang merupakan lapisan terdalam yang memisahkan

muscle fiber dan myofibrils; perimysium, yang membungkus burrelles

fiber; dan epimysium, yang merupakan selubung fasia yang

menyelubungi di sekitar seluruh otot. Ini adalah kerangka jaringan ikat

otot yang merupakan sumber utama dari resistensi otot untuk elongasi

secara pasif. Ketika kontraktur, perlengketan di dalam dan di antara

serabut kolagen akan tertahan dan membatasi gerakan (Kisner dan

Colby, 2002).
55

c) Elemen Kontraktil pada Otot

Otot terdiri dari banyak serabut otot yang terbentang secara

paralel dengan satu sama lain. Sebuah single muscle fiber terdiri dari

banyak miofibril. Setiap miofibril terdiri dari struktur yang lebih kecil

yang disebut sarkomer, yang terletak pada rangkaian dalam sebuah

miofibril. Sarkomer adalah unit kontraktil dari miofibril dan terdiri dari

overlapping myofilaments aktin dan myosin yang membentuk cross-

bridge. Sarkomer memberikan kemampuan otot untuk berkontraksi dan

berelaksasi. Ketika sebuah motor unit merangsang otot berkontraksi,

filamen aktin-myosin bergeser bersama-sama, dan otot secara aktif

memendek. Ketika otot rileks, cross-bridges terpisah sedikit bergeser,

dan otot tersebut kembali ke panjangnya semula (Gambar 2.21) (Kisner

dan Colby, 2002).

Gambar 2.21 Sebuah model dari myofilament sliding. Memanjang dan


memendeknya sarkomer, unit kontraktil pada otot.
Sumber : Therapeutic exercise foundations and techniques fifth edition,
hal. 71
56

d) Tinjauan secara Fisiologis mengenai Peregangan.

Proprioseptor adalah receptor yang mendeteksi perubahan di

dalam alat itu sendiri. Setiap perubahan dalam otot selalu dideteksi oleh

proprioceptors untuk diinformasikan ke susunan syaraf pusat, dan dari

susunan syaraf pusat dikeluarkan instruksi untuk menyesuaikan kondisi

otot. Dari kondisi ini timbul gerak tubuh baru untuk disesuaikan dengan

seluruh rangkaian gerak tubuh secara sistemik. Peran dari

proprioceptors adalah mengirimkan aliran informasi secara terus

menerus (konstan) kepada susunan syaraf pusat. Respon dari susunan

syaraf pusat akan mengadakan penyesuaian berdasarkan laporan

tersebut tentang sudut gerakan, arah gerakan, dan kecepatan perubahan

gerakan tubuh. Proprioceptors ini terletak pada otot, tendon, dan

sambungan-sambungan termasuk di sekitar jaringan pelindung seperti

kapsul, ligamen, serta selaput-selaput lain dan dalam labirin dari telinga

dalam (Squire et al., 2008). Proprioceptors dapat dikelompokkan

menjadi tiga bagian, yaitu :

(1) Muscle proprioceptors yang terdiri dari muscle spindle dan golgi

tendon organs,

(2) Joint and skin proprioceptors,

(3) Labyrinthine and neck proprioceptors.

Dari ketiga proprioceptors tersebut, maka yang berperan terhadap daya

regang otot adalah muscle proprioceptors, yang terdiri dari muscle

spindle dan golgi tendon organs. Jadi setiap proses pergerakan tidak

lepas dari peranan muscle spindle dan golgi tendo organs.


57

Gambar 2.22 Struktur dan innervasi muscle spindles dan Golgi tendon
organs
Sumber : Fundamental neuroscience third edition, hal. 685

(1) Muscle Spindle

Muscle spindle terletak di dalam otot. Tiap muscle spindle

terdiri dari 2 – 10 serabut otot yang terbungkus dalam kapsula

jaringan pengikat. Susunan serabut otot dinamakan serabut-serabut

kumparan (intrafusal). Serabut intrafusal tersusun sejajar dengan

serabut-serabut otot lainnya, sebab ujung-ujung kapsula muscle

spindle terikat pada urat di kedua ujung otot, atau pada sisi serabut

serabut ekstrafusal. Muscle spindle merupakan suatu receptor yang

menerima rangsang dari regangan otot. Regangan yang cepat akan

menghasilkan impuls yang kuat pada muscle spindle. Rangsangan

yang kuat akan menyebabkan refleks muscle spindle yaitu

mengirim impuls ke spinal cord menuju jaringan otot dengan cepat,

menyebabkan kontraksi otot yang cepat dan kuat. Muscle spindle


58

sangat berperan dalam proses pergerakan atau pengaturan motorik

(Squire et al., 2008). Peran muscle spindle dalam pengaturan

motorik adalah :

(a) Mendeteksi perubahan panjang serabut otot.

(b) Mendeteksi kecepatan perubahan panjang otot.

Bagian reseptor muscle spindle dipersarafi oleh dua jenis saraf

sensoris, yaitu :

(a) Ujung saraf primer (anulospinal ending) adalah ujung dari

serabut aferen jenis Ia.

(b) Ujung saraf sekunder (flower spray atau ujung myotube) adalah

ujung serabut serabut sensorik jenis II.

Kedua saraf ini akan terangsang apabila muscle spindle

diregangkan, akan tetapi pola jawabannya berbeda. Saraf sensorik

primer akan meletup amat cepat apabila otot diregangkan dan

kurang cepat sewaktu regangan bertahan. Sedangkan saraf dari

ujung sekunder meletup dengan kecepatan yang meningkat

sepanjang waktu otot diregangkan. Jadi, ujung primer menjawab

terhadap perubahan panjang dan perubahan kecepatan peregangan,

sedangkan ujung sekunder menjawab terhadap panjangnya saja

(Squire et al., 2008). Berikut ini akan dijelaskan secara singkat

mengenai serabut jenis Ia, dan serabut jenis II.

(a) Serabut jenis Ia

Serabut jenis Ia, yang fungsinya menghantarkan sinyal

sensoris dari muscle spindle ke medula spinalis, dan berasal dari


59

bagian sentral reseptor spindle. Ujung serabut ini berpilin di

sekitar serabut intrafusal, dan membentuk apa yang disebut

ujung saraf primer (anulospinal). Jadi di bagian paling tengah

daerah receptor terdapat serat sensorik besar yang melingkari

bagian tengah setiap serat intrafusal, membentuk yang disebut

ujung primer. Serabut saraf ini menjalarkan sinyal sensorik

dengan kecepatan antara 70 sampai 120 m/det ke medula

spinalis, sesuai dengan kecepatan setiap macam serabut saraf

sensorik di seluruh tubuh (Squire et al., 2008).

(b) Serabut jenis II

Serabut jenis II, yang fungsinya menghantarkan sinyal-

sinyal ke sistem saraf pusat, dan serabut jenis II mempersarafi

daerah receptor serabut intrafusal pada salah satu sisi ujung

primer. Bila bagian sentral serabut tersebut diregangkan, maka

serabut saraf ini terangsang. Serabut jenis II, sama seperti

serabut Ia yang juga berpilin di sekitar serabut intrafusal, dan

bila bagian sentral serabut intrafusal tersebut diregangkan maka

serabut saraf ini akan terangsang. Ujung sensoris ini disebut

ujung sekunder (flower spray atau ujung myotube) (Squire et al.,

2008).

Sebetulnya muscle spindle bekerja sebagai suatu

pembanding dari panjang kedua jenis serabut otot intrafusal dan

ekstrafusal. Bila panjang serabut ekstrafusal jauh lebih besar

daripada panjang serabut intrafusal, maka spindle menjadi


60

terangsang untuk berkontraksi. Sebaliknya, bila panjang serabut

ekstrafusal lebih pendek daripada serabut intrafusal, maka spindle

menjadi terinhibisi (keadaan yang menyebabkan refleks seketika

untuk menghambat terjadinya kontraksi otot). Biasanya bila ada

sejumlah kecil eksitasi eferen gamma, muscle spindle

memancarkan impuls saraf sensoris secara terus-menerus.

Peregangan muscle spindle meningkatkan frekuensi impuls

tersebut, sedangkan pemendekan spindle menurunkan frekuensi

impuls ini. Jadi spindle tersebut dapat dirangsang atau dihambat

(Squire et al., 2008). Ada dua cara untuk merangsang muscle

spindle yaitu :

(a) Dengan cara seluruh otot diregangkan. Hal ini dapat

memperpanjang serabut ekstrafusal dan juga dapat

meregangkan spindle.

(b) Dengan cara memperpendek serabut otot intrafusal, sementara

panjang serabut ekstrafusal tetap normal. Hal ini akan

meregangkan bagian receptor sentral serabut intrafusal dan juga

dapat meregangkan spindle (Squire et al., 2008).

Meregangkan suatu kelompok otot hendaknya jangan

dilakukan secara tiba tiba. Sebab apabila peregangan otot dilakukan

secara tiba-tiba akan merangsang muscle spindle dan ini

menyebabkan refleks regang. Refleks muscle spindle sering disebut

refleks regang atau refleks myotatik. Hal ini disebabkan karena

peregangan otot tersebut merangsang muscle spindle sehingga


61

menyebabkan kontraksi otot yang bersangkutan. Ada dua macam

refleks regang yaitu : (a) refleks regang dinamik, dan (b) refleks

regang statis.

(a) Refleks regang dinamik.

Refleks regang dinamik terjadi karena adanya sinyal

dinamik kuat yang berasal dari receptor nuclear bag yang

dihantarkan melalui ujung primer muscle spindle. Bila serabut

otot tiba-tiba diregangkan, suatu sinyal kuat dikirim ke medula

spinalis melalui ujung primer, tetapi sinyal itu hanya kuat pada

waktu tingkat peregangan sedang meningkat. Pada waktu

memasuki medula spinalis, kebanyakan sinyal tersebut

langsung ke motoneuron anterior tanpa melalui interneuron.

Hal inilah yang menyebabkan kontraksi refleks otot yang sama

dari mana sinyal muscle spindle itu berasal. Jadi peregangan

otot yang dilakukan secara tiba-tiba dari suatu kelompok otot

akan menyebabkan kontraksi refleks dari otot yang sama, dan

ini akan menyebabkan otot yang diregangkan tersebut akan

kembali ke panjangnya semula (Squire et al., 2008).

(b) Refleks regang statis.

Meskipun refleks regang dinamis berakhir dalam

sepersekian detik setelah otot tersebut diregangkan ke

panjangnya yang baru, suatu refleks regang statis yang jauh

lebih lemah terus berlangsung untuk waktu lama sesudah itu.

Refleks regang statis dibangkitkan oleh sinyal kontinyu


62

receptor statis yang dihantarkan melalui ujung primer dan

sekunder muscle spindle dan mungkin berasal dari serabut

intrafusal nuclear chain. Refleks regang statis berlangsung

lebih lama daripada refleks regang dinamik (Squire et al.,

2008).

(2) Golgi Tendon Organs (GTO)

GTO adalah stretch receptor yang terletak di dalam tendon

otot tepat di luar perlekatannya pada serabut otot tersebut. GTO ini

terdiri dari ujung-ujung saraf berbutir yang merupakan jaringan jala

sel, tersisip di antara serabut-serabut urat. Serabut-serabut dari

GTO terdiri dari serabut-serabut saraf sensorik yang termasuk

golongan Ib. Refleks GTO bisa terjadi akibat tegangan otot yang

berlebihan. Sinyal-sinyal dari GTO merambat ke medula spinalis

yang menyebabkan terjadinya hambatan respon (negative feed-

back) terhadap kontraksi otot yang terjadi. Hal ini untuk mencegah

terjadinya sobekan otot sebagai akibat tegangan yang berlebihan.

Dalam hal ini refleks GTO merupakan pelindung untuk mencegah

terjadinya sobekan otot, namun dapat juga bekerja sama dengan

muscle spindle untuk mengontrol seluruh kontraksi otot dalam

pergerakan tubuh. Sedangkan peran golgi tendon organs dalam

proses pergerakan atau pengaturan motorik adalah mendeteksi

ketegangan selama kontraksi otot atau peregangan otot. Namun

antara golgi tendon organs dengan muscle spindle ada perbedaan

fungsi. Muscle spindle berfungsi untuk mendeteksi perubahan


63

panjang serabut otot, sedangkan golgi tendon organs berfungsi

mendeteksi ketegangan otot (Squire et al., 2008).

Sinyal dari golgi tendon organs dihantarkan ke medula

spinalis untuk menyebabkan efek refleks pada otot yang

bersangkutan. Efek inhibisi dari golgi tendon organs menyebabkan

rileksasi seluruh otot secara tiba-tiba. Istilah lain untuk efek inhibisi

adalah autogenic inhibition atau juga inverse myotatic reflex. Efek

inhibisi terjadi pada waktu kontraksi atau regangan yang kuat pada

suatu tendon. Keadaan ini menyebabkan suatu refleks seketika

yang menghambat kontraksi otot serta tegangan dengan cepat

berkurang. Pengurangan tegangan ini berfungsi sebagai suatu

mekanisme protektif untuk mencegah terjadinya robek pada otot

atau lepasnya tendo dari perlekatannya ke tulang. Hal ini hanya

mungkin diciptakan oleh impuls-impuls golgi tendon organs yang

berfungsi sebagai pencegah yang menolak pembangkitan impuls-

impuls dari muscle spindle (Squire et al., 2008).

e)Intensitas dari Stretch

Intensitas (besarnya) dari kekuatan peregangan ditentukan oleh

beban yang ditempatkan pada jaringan lunak untuk memanjang

(elongate). Ada kesepakatan umum di antara dokter dan peneliti bahwa

stretching harus diterapkan pada intensitas rendah dengan

menggunakan beban rendah. Stretching intensitas rendah dibandingkan

dengan stretching intensitas tinggi membuat manuver stretching lebih

nyaman bagi pasien dan meminimalkan otot volunter atau involunter


64

menjaga agar pasien dapat tetap santai atau membantu dengan manuver

stretching (Kisner dan Colby, 2002).

Stretching intensitas rendah (ditambah dengan durasi yang

panjang saat peregangan) menghasilkan tingkat optimal dari

peningkatan ROM, yang mungkin karena melemah oleh imobilisasi,

beban yang berlebihan dan cedera potensial. Stretching intensitas

rendah juga telah terbukti untuk memanjangkan jaringan ikat yang

padat, komponen penting dari kontraktur yang kronis, lebih efektif dan

dengan kerusakan less soft tissue dan nyeri postexercise daripada

peregangan dengan intensitas tinggi (Kisner dan Colby, 2002).

f) Durasi dari Stretch

Durasi peregangan mengacu pada periode waktu kekuatan

peregangan yang diterapkan dan pemendekan jaringan yang akan

dilakukan selama posisi pemanjangan otot. Durasi paling sering

mengacu pada berapa lama satu siklus peregangan diterapkan. Jika

lebih dari satu pengulangan peregangan (stretch cycle) yang dilakukan

selama sesi terapi (yang paling sering terjadi), waktu kumulatif dari

semua siklus peregangan juga dianggap sebagai aspek durasi. Secara

umum, semakin pendek durasi dari satu siklus peregangan, maka

semakin besar jumlah pengulangan yang diterapkan selama sesi

stretching. Setiap jumlah kombinasi telah dipelajari. Sebagai contoh,

dalam sebuah studi oleh Cipriani et al., Dua pengulangan dari 30 detik

peregangan hamstring yang ditemukan sama efektif dibandingkan

dengan enam pengulangan dari 10 detik peregangan. Namun, Roberts


65

dan Wilson menemukan bahwa selama jangka waktu 5 minggu tiga kali

15 detik peregangan hamstring menghasilkan secara signifikan lebih

besar keuntungan stretch-induced dalam ROM dari pada sembilan

harian peregangan 5 detik. Meskipun banyak penelitian, ada berlanjut

menjadi kurangnya kesepakatan tentang "ideal" kombinasi dari durasi

satu siklus dan jumlah pengulangan dari peregangan yang harus

diterapkan dalam program stretching setiap hari untuk mencapai

keuntungan stretch-induced terbesar dan paling berkelanjutan dalam

ROM (Kisner dan Colby, 2002).

5. Functional Reach Test

Functional reach adalah ukuran dinamik dari stabilitas selama gerakan

yang diprakarsai sendiri (self-initiated). Functional reach test dirancang

sebagai ukuran klinis dari keseimbangan.

a) Scoring

Functional reach adalah perbedaan dalam inci antara panjang lengan

seseorang dan maksimal mencapai ke depan dengan bahu fleksi

sampai 90 derajat sambil mempertahankan base of support dalam

berdiri. Dengan kata lain, itu adalah jarak maksimum yang dapat

dicapai ke depan melampaui jarak satu lengan. Jarak diukur dengan

ukuran yang dipasang di dinding, sejajar dengan lantai, pada tingkat

yang sejajar dengan bahu seseorang.

Subjek diminta untuk berdiri dengan kaki pada jarak yang nyaman,

untuk membuat tangan dan jari-jari lurus dan kearah kedepan dengan

lengan dominan sekitar 90 derajat. Mereka kemudian diminta untuk


66

mencapai maju sejauh mungkin tanpa mengambil langkah atau

menyentuh dinding. Jarak antara awal dan akhir diukur dengan

menggunakan kepala metakarpal jari ketiga sebagai titik acuan. Dua

uji coba praktek dan tiga uji tes yang dilakukan, dengan rata-rata dari

tiga uji coba tes didokumentasikan dalam inci atau centimeter.

Seorang dokter yang terlatih dengan hati-hati harus mampu membaca

pengukuran pada tolok ukur yang terdekat 0,5 inci.

Tabel 2.5 Functional reach Norms


Age (years) Men (inches) Women (inches)

20-40 16.7±1.9 14.6±2.2


41-69 14.9±2.2 13.8±2.2
70-87 13.2±1.6 10.5±3.5
Sumber : Direproduksi dengan izin dari Gerontological Society of America dari
Duncan PW, Weiner DK, Chandler J et al. Functional reach: a new clinical measure
of balance. J Gerontol. 1990; 45: M195.

b) Waktu pelaksanaan

Dibutuhkan 1-2 menit untuk melaksanakan tes.

c) Alat

Sebuah tolok ukur, Velcro dan level yang diperlukan.

d) Reliabilitas

Tes ini memiliki reliabilitas antar penilai baik (ICC = 0,98) dan

reliabilitas test-retest (r = 0,89).

e) Validitas concurrent

Hal ini telah ditentukan dengan walking speed (r = 0.71), tandem walk

(r = 0.71) dan mobility skills (r = 0,65).


67

f) Aplikasi klinis

Skor <6 ditunjukkan untuk menjadi prediksi terjatuh pada orang tua

(validitas prediktif). Functional reach test mengukur kontrol postural

dinamis. Ini adalah sebuah sistem pengukuran kontinyu yang

memungkinkan sensitivitas lebih besar dari langkah-langkah kategoris

atau ordinal. Keuntungan dari functional reach adalah bahwa itu cara

yang cepat, tes tepat dan portabel, membutuhkan peralatan minimum,

adalah tugas tunggal dan sensitif terhadap perubahan yang mengikuti

pelatihan keseimbangan.

g) Keterbatasan

Tes ini mengukur stabilitas dinamis hanya dalam satu arah dan dengan

tidak ada perubahan pada base of support. Banyak kegiatan yang sulit

untuk orang tua, seperti gaya berjalan, melibatkan kontrol gerakan

pada centre of mass lateral serta dalam arah anterior dan di luar batas

stabilitas (stability limits). Tinggi badan, usia dan jenis kelamin dapat

mempengaruhi hasil sampai batas tertentu. Sulit untuk melakukan

functional reach test pada pasien dengan demensia atau kelainan

bentuk tulang belakang, dan pada individu yang lemah yang tidak

mampu berdiri tanpa support. Juga hanya dapat digunakan untuk

menguji individu yang memiliki ROM bahu yang memadai untuk

melakukan tes dan mampu mempertahankan posisi berdiri selama

beberapa menit tanpa alat bantu.

Meskipun keterbatasannya, tes ini adalah alat yang berguna untuk

skrining, menilai, pemantauan dari waktu ke waktu dan bahkan


68

memprediksi status fungsional pada orang tua. Hal ini sesuai dalam

berbagai pengaturan, termasuk perawatan akut, rawat inap dan

rehabilitasi rawat jalan, kesehatan rumah dan skrining masyarakat

(Gupta, 2008).

Karena pada pasien stroke salah satu sisi mengalami kelemahan, maka

dilakukan modified functional reach test seperti prosedur dan

prasyarat seperti di bawah ini.

h) Prosedur dan prasyarat modified functional reach test

(1) bahu pada 90° dari fleksi sejajar kanan dan kiri (simetris) serta

tegak lurus, siku sepenuhnya ekstensi dan pada sisi yang lemah

tangan dimasukkan ke saku atau di posisikan di belakang

punggung (posisi borgol) dengan tujuan untuk menghindari rotasi

atau kompensasi dari trunk.

(2) Instruksikan klien untuk mencapai sejauh mungkin ke depan dan

jangan sampai klien melakukan gerakan rotasi dan kompensasi

dari trunk saat meraih ke depan.

(3) Gunakan tolok ukur yang dipasang di dinding pada level

akromion untuk mengukur jarak jangkauan.

(4) Ukur jarak jangkauan sebagai perpindahan dari jari antara posisi

awal dan posisi akhir.

i) Analisis dan interpretasi data

Tes ini dinilai oleh jarak yang tercapai.

j) Statistik

Johnsson dan rekannya (2002) melaporkan bahwa korelasi antara nilai


69

tes jangkauan fungsional pada orang tua dan perpindahan center of

pressure rendah, menunjukkan bahwa tes ini mungkin tidak

mencerminkan stability limit. Hanya 15% (r2 = 0,15) dari variasi

perpindahan center of pressure dapat dijelaskan oleh seberapa jauh

subjek bisa mencapai, meninggalkan 85% dari variasi faktor-faktor

lain. Ini berarti bahwa tugas meraih mungkin dipengaruhi oleh faktor-
a b
faktor lain seperti gerakan pada trunk (Reiman dan Manske, 2009).

Gambar 2.23 Functional reach test a. posisi awal, b. posisi akhir saat
meraih ke depan
Sumber : Functional Testing in Human Performance,hal : 110

B. Kerangka Berfikir

Keseimbangan adalah sebuah sensorimotor yang holistik dan

interaksi perseptual antara lingkungan dan kita, dan membutuhkan

aktivitas neuromuskuler yang bertingkat dan terkoordinasi dari seluruh

tubuh pada saat yang sama (Gjelsvik, 2008). Banyak dari tindakan ini

melibatkan anggota gerak bagian bawah yang mendukung dan

menggerakkan massa tubuh (body mass) melalui kaki pada saat berdiri
70

atau duduk, atau saat meraih dan tugas yang manipulatif, menaikkan dan

menurunkan massa tubuh untuk berdiri. Kadang-kadang kita hanya berdiri

saja. Namun, bahkan tindakan sederhana seperti bernapas dan memutar

kepala ditandai dengan osilasi di center of gravity yang dilawan oleh

aktivitas otot dan gerakan nyaris kecil tidak terdeteksi, biasanya di

pergelangan kaki (ankle) dan core stability.

Dalam posisi tenang ayunan tubuh seperti pendulum terbalik

mengenai sendi pergelangan kaki (ankle). Tujuan adalah untuk menjaga

keseimbangan COM pada tubuh aman dalam BOS. Untuk mencapai tujuan

ini, ankle strategi digunakan di mana otot-otot ankle (yaitu, ankle plantar

flexors/dorsiflexors, invertors/evertors) secara otomatis dan selektif

diaktifkan untuk melawan ayunan tubuh dalam arah yang berbeda. Otot-

otot lain yang sifatnya tonik aktif selama posisi tenang untuk

mempertahankan postur tegak adalah otot gluteus medius dan tensor

fasciae latae, iliopsoas untuk mencegah hiperekstensi dari hip, dan

thoracic paraspinals (dengan beberapa aktivasi abdominal intermiten).

Kesejajaran tubuh (body alignment) memberikan kontribusi untuk

stabilitas dalam sikap yang tenang. Berdiri dengan tubuh dalam

kesejajaran tubuh yang optimal memungkinkan tubuh untuk menjaga

keseimbangan dengan sedikit jumlah energi yang dikeluarkan oleh otot.

Postural kontrol adalah kemampuan mengontrol posisi tubuh dalam

ruangan untuk tujuan stabilisasi dan orientasi. Orientasi postural adalah

kemampuan untuk mempertahankan hubungan antar segmen tubuh, tubuh

dan lingkungan dalam suatu tugas tertentu. Salah satu komponen yang
71

mempengaruhi postural kontrol adalah musculosceletal component yaitu

adanya kerja yang optimal dari sistem muskuloskeletal juga sangat

berpengaruh terhadap postural kontrol. Respon dari sistem

muskuloskeletal sangat penting dalam mengontrol gerakan dan posture

tubuh. Aktivitas otot dan sendi sangat penting dalam menjaga postur tubuh

dan menghasilkan keseimbangan.

Gambar 2.24 Sistem postural kontrol


Sumber : Shumway-cook & Wollacoat, 2007 hal : 160

1. Core stability exercise

Menurut Irfan dalam buku fisioterapi bagi insan stroke (2010)

yang dimaksut core stability adalah kemampuan untuk mengontrol

posisi dan gerak dari thrunk sampai pelvic yang digunakan untuk

melakukan gerakan secara optimal dalam proses perpindahan, kontrol

tekanan dan gerakan saat aktivitas. Core stability merupakan salah satu

faktor penting dalam postural set. Dalam kenyataanya core stability

menggambarkan kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan


72

posisi dan gerakan sentral pada tubuh diantaranya: head and neck

alignment, alignment of vertebral column thorax dan pelvic

stability/mobility, dan ankle and hip strategies. Core stability

merupakan komponen penting dalam memberikan kekuatan lokal dan

keseimbangan untuk memaksimalkan aktivitas secara efisien.

Core didefinisikan sebagai lumbo-pelvic-hip complex. Core

adalah dimana center of gravity berada dan dimana semua gerakan

dimulai. Dua puluh sembilan otot memiliki keterikatannya dengan

lumbo-pelvic-hip complex. Otot-otot utama yaitu lumbar spine adalah

kelompok transversospinalis, erector spinae, quadratus lumborum, dan

latissimus dorsi. Otot-otot abdominal utama adalah rectus abdominus,

external oblique, internal oblique, dan transverse abdominus. Otot-otot

hip utama adalah gluteus maximus, gluteus medius, dan psoas. Tanpa

menstabilkan aktivitas dinamis dari otot-otot trunk, spine akan runtuh

dalam posisi tegak. Keduanya yaitu otot superficial (global) dan dalam

(core) otot berfungsi untuk mempertahankan postur tegak.

Sebuah program core stability exercise akan meningkatkan

postural control secara dinamis, memastikan keseimbangan otot yang

sesuai dan gerakan sendi di sekitar lumbo-pelvic-hip complex, sehingga

memungkinkan untuk menghasilkan kekuatan fungsional yang dinamis,

dan meningkatkan efisiensi neuromuskuler di seluruh tubuh. Hal ini

memungkinkan percepatan yang optimal, perlambatan, dan stabilisasi

dinamis dari semua fungsi segmen yang saling berhubungan dari

seluruh tubuh yang disebut sebagai rantai kinetik selama gerakan


73

fungsional. Hal ini juga memberikan stabilitas proksimal untuk gerakan

ekstremitas bawah yang efisien.

2. Active stretching ankle exercise

Membicarakan masalah fleksibilitas selalu mengacu pada kemampuan

ruang gerak sendi atau persendian tubuh. Fleksibilitas dapat

dikembangkan melalui latihan-latihan peregangan otot serta harus

dilatih secara khusus, karena perbaikan pada komponen ini akan

mendukung terhadap fleksibilitas, serta dapat juga menghindari

timbulnya cedera. Pengertian active stretching dilakukan dengan

menggunakan otot-otot kita tanpa mendapat bantuan kekuatan

eksternal. Peregangan aktif penting karena akan membangun

fleksibilitas otot secara aktif. Kemampuan tubuh untuk bergerak bebas,

yaitu, tanpa pembatasan dan dengan kontrol selama aktivitas

fungsional, tergantung pada mobilitas pasif pada jaringan lunak dan

kontrol aktif dari neuromuskular. Otot tersusun dari dua jaringan ikat

contractile dan noncontractile.

Salah satu proprioceptors yang berperan terhadap daya regang

otot adalah muscle proprioceptors, yang terdiri dari muscle spindle dan

golgi tendon organs. Jadi setiap proses pergerakan tidak lepas dari

peranan muscle spindle dan golgi tendo organs. Muscle spindle

merupakan suatu receptor yang menerima rangsang dari regangan otot.

Regangan yang cepat akan menghasilkan impuls yang kuat pada muscle

spindle. Rangsangan yang kuat akan menyebabkan refleks muscle

spindle yaitu mengirim impuls ke spinal cord menuju jaringan otot


74

dengan cepat, menyebabkan kontraksi otot yang cepat dan kuat. Muscle

spindle sangat berperan dalam proses pergerakan atau pengaturan

motorik. Salah satu cara untuk merangsang muscle spindle yaitu dengan

cara seluruh otot diregangkan. Hal ini dapat memperpanjang serabut

ekstrafusal dan juga dapat meregangkan spindle.

Meregangkan suatu kelompok otot hendaknya jangan dilakukan

secara tiba tiba. Sebab apabila peregangan otot dilakukan secara tiba-

tiba akan merangsang muscle spindle dan ini menyebabkan refleks

regang. Refleks muscle spindle sering disebut refleks regang atau

refleks myotatik. Hal ini disebabkan karena peregangan otot tersebut

merangsang muscle spindle sehingga menyebabkan kontraksi otot yang

bersangkutan.

Sedangkan peran golgi tendon organs dalam proses pergerakan

atau pengaturan motorik adalah mendeteksi ketegangan selama

kontraksi otot atau peregangan otot. Namun antara golgi tendon organs

dengan muscle spindle ada perbedaan fungsi. Muscle spindle berfungsi

untuk mendeteksi perubahan panjang serabut otot, sedangkan golgi

tendon organs berfungsi mendeteksi ketegangan otot. Efek inhibisi dari

golgi tendon organs menyebabkan rileksasi seluruh otot secara tiba-

tiba. Istilah lain untuk efek inhibisi adalah autogenic inhibition atau

juga inverse myotatic reflex. Efek inhibisi terjadi pada waktu kontraksi

atau regangan yang kuat pada suatu tendon. Keadaan ini menyebabkan

suatu refleks seketika yang menghambat kontraksi otot serta tegangan

dengan cepat berkurang.


75

Stretching intensitas rendah (ditambah dengan durasi yang

panjang saat peregangan) menghasilkan tingkat optimal dari

peningkatan ROM. Stretching intensitas rendah juga telah terbukti

untuk memanjangkan jaringan ikat yang padat, komponen penting dari

kontraktur yang kronis, lebih efektif dan dengan kerusakan less soft

tissue dan nyeri postexercise daripada peregangan dengan intensitas

tinggi.

Salah satu strategi kontrol postural agar keseimbangan kita tetap

terjaga, yaitu : Ankle strategy, strategi ini digunakan untuk mengontrol

keseimbangan saat goyangan ketika kita berdiri tidak terlalu besar.

Strategi ini hanya melibatkan otot-otot disekitar sendi pergelangan kaki

tanpa melakukan langkah. Strategi ini akan efektif bila : lingkup gerak

sendi dan kekuatan otot pada sendi ankle optimal, permukaan tumpuan

yang cukup keras, dan sensasi yang baik pada kaki dan ankle.

Sehingga peregangan aktif penting karena akan membangun

fleksibilitas otot secara aktif dan salah satu strategi kontrol postural agar

keseimbangan kita tetap terjaga yaitu peran dari ankle strategy. Dengan

demikian diharapkan ketika fleksibilitas ankle baik akan berpengaruh

kearah postural kontrol dan akan mempengaruhi keseimbangan dalam

berdiri

Pada penelitian ini peneliti melakukan perlakuan sebanyak 12

kali terapi dengan alasan karena pada kasus stroke yang mengalami

masalah pada gangguan keseimbangan berdiri untuk tindakan terapinya

tidak cukup satu kali saja, namun membutuhkan tindakan terapi yang
76

berkelanjutan. Dengan menjalani perlakuan sebanyak 12 kali, maka

peneliti ingin membandingkan antara pemberian core stability exercise

saja dan penambahan active stretching ankle exercise dan core stability

exercise terhadap peningkatan keseimbangan berdiri pada pasien stroke

non haemoragik.
77

Skema 2.1 Kerangka Berfikir

Faktor resiko stroke


Faktor yang Tidak Dapat DiubahFaktor yang Dapat DiubahUsia
tuaHipertensiJenis kelamin laki-lakiDiabetes
melitusRasMerokokRiwayat keluargaObesitasRiwayat stroke
sebelumnyaDislipidemia

Perdarahan Penyumbatan
Stroke

Gg. Neuromuskular Gg. muskuloskeletal


Gg. Kontrol motorik Kontraktur Kelemahan Fleksibilitas
Gg. Input sensori otot jarinan lunak
menururn
Gg. Somato Gg. visual Gg. Gg. Tonus Spastik Mobilitas
sensoris vestibular postural Kontraksi sendi
koordinasi
menurunn otot menurun
menurun
Gg. Kemampuan selective
Gg. Gg. Jarak Gg. Linear Gg.
Gerak movement menurun
Informasi objek movement voluntair stabilisasi
posisi sendi

Gg. Keseimbangan
berdiri
Active stretching ankle Core stability exercise
exercise
Peningkatan keseimbangan Meningkatkan aktivasi otot
Menstimulasi GTO dan postural
secondary nerve ending berdiri
Meningkatkan kontrol gerak
di muscle spindle
C. Kerangka Konsep Meningkatkan postural kontrol
Fleksibilitas ankle bertambah secara dinamis
strategi kontrol postural agar menghasilkan kekuatan
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
keseimbangan kita tetap fungsional yang dinamis
terjaga yaitu peran dari
ankle strategy 1. Variabel Dependent : gangguan keseimbangan berdiri pada pasien post

stroke.
2. Variabel Independent :
a) Core stability exercise
b) Penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian core

stability exercise
78

3. Konsep penelitian :

K
01 02

Ass
P S PS
Skema 2.2 kerangka 03
konsep 04

Keterangan: P

P : Populasi

Ass : Assesment

S : Sampel

PS : Purposive Sampling

O1: Nilai keseimbangan berdiri sebelum intervensi kelompok

perlakuan1

O2: Nilai keseimbangan berdiri sesudah intervensi kelompok

perlakuan 1

O3: Nilai keseimbangan berdiri sebelum intervensi kelompok

perlakuan 2

O4: Nilai keseimbangan berdiri sesudah intervensi kelompok

perlakuan 2

K : Intervensi kelompok kontrol (core stability exercise)

P : Intervensi kelompok perlakuan (penambahan active stretching

ankle exercise pada pemberian core stability exercise)

D. Hipotesis
79

Penelitian ini menguji beberapa hipotesa yang disusun berdasarkan

tinjauan teori yang telah dikupas sebelumnya. Hipotesa tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Pemberian core stability exercise dapat meningkatkan keseimbangan

berdiri pada pasien post stroke.


2. Penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian core

stability exercise dapat meningkatkan keseimbangan berdiri pada

pasien post stroke.


3. Penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian core

stability exercise tidak lebih baik daripada pemberian core stability

exercise dalam meningkatkan keseimbangan berdiri pada pasien post

stroke.

Anda mungkin juga menyukai