Anda di halaman 1dari 24

80

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada penderita post stroke di Klinik Sasana Husada

Stroke Services.

2. Waktu Penelitian

Sesuai dengan kebutuhan dan kedalaman masalah yang diteliti, maka

ditetapkan akan dilakukan dari bulan September-November 2014.

B. Metode

Penelitian ini bersifat kuasi eksperimental dengan menggunakan

desain penelitian berupa pre test – post test control group design. Pada

penelitian ini sample penelitian berjumlah 12 orang yang terbagi dalam dua

kelompok. Kelompok pertama berjumlah 6 orang yang diberikan core stability

exercise. Untuk selanjutnya kelompok pertama ini disebut kelompok kontrol.

Sedangkan kelompok kedua juga berjumlah 6 orang yang diberikan

penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian core stabillity

exercise. Untuk selanjutnya kelompok ini disebut kelompok perlakuan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah penambahan

active stretching ankle exercise pada pemberian core stabillity exercise lebih

baik daripada pemberian core stability exercise dalam meningkatkan

keseimbangan berdiri pada pasien post stroke. Keseimbangan berdiri diukur

dengan menggunakan Functional Reach Test (FRT) yang di modifikasi untuk


81

pasien post stroke (Modified Functional Reach Test). Hasil dari pengukuran

keseimbangan berdiri tersebut kemudian akan dianalisa dan dibandingkan

antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah

diberikan intervensi.

1. Kelompok kontrol

Pada Kelompok kontrol ini sampel penelitian diberikan core

stability exercise. Sebelum perlakuan dilakukan pengukuran keseimbangan

berdiri dengan menggunakan modified functional reach test untuk

mengetahui keseimbangan berdiri dengan mengukur kemampuan dalam

meraih dari posisi berdiri tegak.

Setelah pengukuran selesai, dilanjutkan dengan pemberian core

stability exercise. Selanjutnya dilakukan evaluasi kembali setelah

menjalani perlakuan sebanyak 12 kali dengan melihat hasil keseimbangan

berdiri dengan mengukur kemampuan dalam meraih dari posisi berdiri

tegak dengan menggunakan modified functional reach test. Pengukuran ini

dilakukan dan dicatat hasilnya pada setiap perlakuan yang diberikan.

core stability
exercise

Penurunan Peningkatan
keseimbangan berdiri keseimbangan berdiri
sebelum intervensi setelah intervensi

Skema 3.1 : Model kelompok kontrol


82

2. Kelompok perlakuan

Pada kelompok perlakuan ini sampel penelitian diberikan

penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian core

stabillity exercise. Sebelum perlakuan dilakukan pengukuran

keseimbangan berdiri dengan menggunakan modified functional reach test

untuk mengetahui keseimbangan berdiri dengan mengukur kemampuan

dalam meraih dari posisi berdiri tegak.

Setelah pengukuran selesai dilanjutkan dengan pemberian

penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian core

stabillity exercise. Selanjutnya dilakukan evaluasi kembali setelah

menjalani perlakuan sebanyak 12 kali dengan melihat hasil keseimbangan

berdiri dengan mengukur kemampuan dalam meraih dari posisi berdiri

tegak dengan menggunakan modified functional reach test. Pengukuran ini

dilakukan dan dicatat hasilnya pada setiap perlakuan yang diberikan.

active stretching ankle


exercise dan core
stabillity exercise

Penurunan Peningkatan
keseimbangan berdiri keseimbangan berdiri
sebelum intervensi setelah intervensi

Skema 3.2 : Model kelompok perlakuan


83

C. Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel dilakukan dengan

teknik purposive sampling dengan tujuan dan harapan untuk mendapatkan

sampel yang benar-benar mewakili suatu populasi yang diambil sebagai

anggota sampel. Teknik ini juga dipilih berdasarkan pertimbangan untuk

mendapatkan gambaran hasil pengujian suatu perlakuan terapi, dalam

penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian core stabillity

exercise tidak lebih baik daripada pemberian core stabillity exercise dalam

meningkatkan keseimbangan berdiri pada pasien post stroke. Obyek

penelitian ini adalah semua pasien stroke pria dan wanita yang berusia antara

35-70 tahun yang berkunjung ke Klinik Sasana Husada Stroke Services. Pada

penelitian ini sample penelitian berjumlah 12 orang yang terbagi dalam dua

kelompok. Kelompok pertama berjumlah 6 orang yang diberikan core stability

exercise. Untuk selanjutnya kelompok pertama ini disebut kelompok kontrol.

Sedangkan kelompok kedua juga berjumlah 6 orang yang diberikan

penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian core stabillity

exercise. Untuk selanjutnya kelompok ini disebut kelompok perlakuan.

Sampel adalah pasien yang mendaftarkan diri ke Klinik Sasana

Husada Stroke Services. Adapun kriteria sampel diambil berdasarkan hasil

pemeriksaaan berikut.
84

Tabel 3.1 Assessment Pasien Stroke


Jenis asessment Hasil assesment

11111 a. keluhan utama

b. keluhan penyerta

Anamnesa c. riwayat keluarga

d. riwayat perjalanan penyakit

e. status kesehatan umum

f. waktu kejadian stroke

g. kemampuan terakhir pasien

Pemeriksaan Vital sign (suhu, tekanan darah, denyut

umum jantung)

Pemeriksaan a. inspeksi

khusus b. fungsi gerak dasar aktif

c. pemeriksaan fisik

d. pemeriksaan neurologis dan

musculoskeletal

e. pemeriksaan fungsional

Selanjutnya dibuat kriteria-kriteria mengenai subyek penelitian disesuaikan

dengan kebutuhan peneliti, maka ditetapkan kriteria penerimaan dan kriteria

penolakan sebagai berikut:

1. Kriteria Penerimaan (Inclusive Criteria)

a) Pasien pria dan wanita

b) Usia antara 35-70 tahun

c) Terkena serangan stroke

d) Pasien bersedia bekerjasama dan mengikuti program penelitian

2. Kriteria Penolakan (Exclusive Criteria)


85

a) Pasien stroke dengan komplikasi (kontaktur,dll) dan adanya

gangguan kognitif, penglihatan dan pendengaran

b) Pasien dengan kondisi umum yang belum stabil, seperti tekanan

darah, HR, RR yang belum stabil

c) Pasien dengan penderita diabetes mellitus berat atau tidak terkontrol

d) Pasien mempunyai spastisitas dengan nilai modified ashworth scale ≥

4.

3. Kriteria Pengguguran (Aborted Criteria)

a) Sample tidak sampai menjalani perlakuan sebanyak 12 kali dan

datang tidak teratur akan digugurkan sebagai sampel penelitian,

karena penelitian ini bersifat pre test-post test dan tidak ada interval

di tengahnya.

b) Sample menyatakan mengundurkan diri terlibat dari penelitian ini.

c) Pasien meninggal dunia

D. Instrumen Penelitian

1. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a) Variabel dependent : gangguan keseimbangan berdiri pada

pasien post stroke


b) Variabel independent :
(1) Core stability exercise
(2) Active stretching ankle exercise

2. Definisi Konseptual

Keseimbangan adalah hasil dari interaksi antara motorik, sensorik,

dan proses kognitif. Banyak kegiatan rutinitas yang memerlukan


86

keseimbangan, misalnya keseimbangan berdiri, berjalan, meraih sesuatu,

atau berpakaian yang memerlukan kesadaran kognitif. Keseimbangan

merupakan kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh yang relatif

terhadap base of support yang memungkinkan kita untuk melakukan

tindakan sehari-hari secara efektif dan efisien. Hal ini memungkinkan kita

menjadi stabil dan aktif dalam kaitannya dengan gravisati dan base of

support. Keseimbangan adalah gerakan serta prasyarat untuk gerakan

(Carr and Shepherd, 2003). Keseimbangan adalah sebuah sensorimotor

yang holistik dan interaksi perseptual antara lingkungan dan kita, dan

membutuhkan aktivitas neuromuskuler yang bertingkat dan terkoordinasi

dari seluruh tubuh pada saat yang sama (Gjelsvik, 2008).

Stroke didefinisikan sebagai defisit (gangguan) fungsi sistem saraf

yang terjadi mendadak dan disebabkan oleh gangguan peredaran darah

otak. Stroke terjadi akibat gangguan pembuluh darah di otak. Gangguan

peredaran darah otak dapat berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau

pecahnya pembuluh darah di otak. Otak yang seharusnya mendapat

pasokan oksigen dan zat makanan menjadi terganggu. Kekurangan

pasokan oksigen ke otak akan memunculkan kematian sel saraf (neuron).

Gangguan fungsi otak ini akan memunculkan gejala stroke (Pinzon dan

Asanti, 2010). Menurut Sofwan yang mengutip menurut WHO tahun 1988,

stroke adalah tanda-tanda klinis mengenai gangguan fungsi serebral secara

fokal ataupun global, yang berkembang dengan cepat, dengan gejala yang

berlangsung selama 24 jam ataupun lebih, atau mengarah ke kematian


87

tanpa penyebab yang kelihatan, selain tanda-tanda yang berkenaan dengan

aliran darah di otak (Sofwan, 2010).

Menurut Irfan (2010) dalam buku fisioterapi bagi insan stroke yang

dimaksut core stability adalah kemampuan untuk mengontrol posisi dan

gerak dari thrunk sampai pelvic yang digunakan untuk melakukan gerakan

secara optimal dalam proses perpindahan, kontrol tekanan dan gerakan

saat aktivitas. Core stability merupakan salah satu faktor penting dalam

postural set. Dalam kenyataanya core stability menggambarkan

kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan posisi dan gerakan

sentral pada tubuh diantaranya: head and neck alignment, alignment of

vertebral column thorax dan pelvic stability/mobility, dan ankle and hip

strategies (Karren Saunders 2008). Core stability merupakan komponen

penting dalam memberikan kekuatan lokal dan keseimbangan untuk

memaksimalkan aktivitas secara efisien.

Sebuah program core stability akan meningkatkan postural control

secara dinamis, memastikan keseimbangan otot yang sesuai dan gerakan

sendi di sekitar lumbo-pelvic-hip complex, memungkinkan untuk

menghasilkan kekuatan fungsional yang dinamis, dan meningkatkan

efisiensi neuromuskuler di seluruh tubuh. Hal ini memungkinkan

percepatan yang optimal, perlambatan, dan stabilisasi dinamis dari semua

fungsi segmen yang saling berhubungan dari seluruh tubuh yang disebut

sebagai rantai kinetik selama gerakan fungsional. Hal ini juga memberikan

stabilitas proksimal untuk gerakan ekstremitas bawah yang efisien (Carr

dan Shepherd 2003).


88

Membicarakan masalah fleksibilitas selalu mengacu pada

kemampuan ruang gerak sendi atau persendian tubuh. Fleksibilitas dapat

dikembangkan melalui latihan-latihan peregangan otot serta harus dilatih

secara khusus, karena perbaikan pada komponen ini akan mendukung

terhadap fleksibilitas, serta dapat juga menghindari timbulnya cedera.

Pengertian active stretching dilakukan dengan menggunakan otot-otot kita

tanpa mendapat bantuan kekuatan eksternal. Peregangan aktif penting

karena akan membangun fleksibilitas otot secara aktif.

Proprioseptor adalah receptor yang mendeteksi perubahan di dalam

alat itu sendiri. Setiap perubahan dalam otot selalu dideteksi oleh

proprioceptors untuk diinformasikan ke susunan saraf pusat, dan dari

susunan saraf pusat dikeluarkan instruksi untuk menyesuaikan kondisi

otot. Dari kondisi ini timbul gerak tubuh baru untuk disesuaikan dengan

seluruh rangkaian gerak tubuh secara sistemik. Peran dari proprioceptors

adalah mengirimkan aliran informasi secara terus menerus (konstan)

kepada susunan saraf pusat. Respon dari susunan saraf pusat akan

mengadakan penyesuaian berdasarkan laporan tersebut tentang sudut

gerakan, arah gerakan, dan kecepatan perubahan gerakan tubuh.

Proprioceptors ini terletak pada otot, tendon, dan sambungan-sambungan

termasuk di sekitar jaringan pelindung seperti kapsul, ligamen, serta

selaput-selaput lain dan dalam labirin dari telinga dalam (Squire et al.,

2008).

Dari salah satu proprioceptors yang berperan terhadap daya regang

otot adalah muscle proprioceptors, yang terdiri dari muscle spindle dan
89

golgi tendon organs. Jadi setiap proses pergerakan tidak lepas dari peranan

muscle spindle dan golgi tendo organs.

Dalam hal ini refleks GTO merupakan pelindung untuk mencegah

terjadinya sobekan otot, namun dapat juga bekerja sama dengan muscle

spindle untuk mengontrol seluruh kontraksi otot dalam pergerakan tubuh.

Sedangkan peran golgi tendon organs dalam proses pergerakan atau

pengaturan motorik adalah mendeteksi ketegangan selama kontraksi otot

atau peregangan otot. Namun antara golgi tendon organs dengan muscle

spindle ada perbedaan fungsi. Muscle spindle berfungsi untuk mendeteksi

perubahan panjang serabut otot, sedangkan golgi tendon organs berfungsi

mendeteksi ketegangan otot.

Sinyal dari golgi tendon organs dihantarkan ke medula spinalis

untuk menyebabkan efek refleks pada otot yang bersangkutan. Efek

inhibisi dari golgi tendon organs menyebabkan rileksasi seluruh otot

secara tiba-tiba. Istilah lain untuk efek inhibisi adalah autogenic inhibition

atau juga inverse myotatic reflex. Efek inhibisi terjadi pada waktu

kontraksi atau regangan yang kuat pada suatu tendon. Keadaan ini

menyebabkan suatu refleks seketika yang menghambat kontraksi otot serta

tegangan dengan cepat berkurang. Pengurangan tegangan ini berfungsi

sebagai suatu mekanisme protektif untuk mencegah terjadinya robekan

pada otot atau lepasnya tendo dari perlekatannya ke tulang. Hal ini hanya

mungkin diciptakan oleh impul simpuls golgi tendon organs yang

berfungsi sebagai pencegah yang menolak pembangkitan impuls-impuls

dari muscle spindle (Squire et al., 2008).


90

Keseimbangan berdiri dapat diukur dengan menggunakan

functional reach test untuk mengetahui keseimbangan berdiri dengan

mengukur kemampuan dalam meraih dari posisi berdiri tegak.

3. Definisi Operasional

Latihan yang digunakan oleh peneliti dalam meningkatkan

keseimbangan berdiri pada pasien stroke yaitu core stability exercise

dibandingkan dengan penambahan active stretching ankle exercise pada

pemberian core stability exercise. Sedangkan untuk pengukuran

keseimbangan berdiri peneliti menggunakan modified functional reach test

untuk mengetahui keseimbangan berdiri dengan mengukur kemampuan

dalam meraih dari posisi berdiri tegak, adapun prosedur dari treatment

tersebut adalah sebagai berikut:

a) Core stability exercise

Menurut Irfan dalam buku fisioterapi bagi insan stroke (2010)

yang dimaksut core stability adalah kemampuan untuk mengontrol

posisi dan gerak dari thrunk sampai pelvic yang digunakan untuk

melakukan gerakan secara optimal dalam proses perpindahan, kontrol

tekanan dan gerakan saat aktivitas. Core stability merupakan salah satu

faktor penting dalam postural set. Dalam kenyataanya core stability

menggambarkan kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan

posisi dan gerakan sentral pada tubuh diantaranya: head and neck

alignment, alignment of vertebral column thorax dan pelvic

stability/mobility, dan ankle and hip strategies (Karren Saunders, 2008).


91

Core stability merupakan komponen penting dalam memberikan

kekuatan lokal dan keseimbangan untuk memaksimalkan aktivitas

secara efisien.

Sebuah program core stability akan meningkatkan postural

control secara dinamis, memastikan keseimbangan otot yang sesuai dan

gerakan sendi di sekitar lumbo-pelvic-hip complex, memungkinkan

untuk menghasilkan kekuatan fungsional yang dinamis, dan

meningkatkan efisiensi neuromuskuler di seluruh tubuh. Hal ini

memungkinkan percepatan yang optimal, perlambatan, dan stabilisasi

dinamis dari semua fungsi segmen yang saling berhubungan dari

seluruh tubuh yang disebut sebagai rantai kinetik selama gerakan

fungsional. Hal ini juga memberikan stabilitas proksimal untuk gerakan

ekstremitas bawah yang efisien (Carr dan Shepherd, 2003).

(1) Core stability exercise posisi tidur terlentang

Adapun pelaksanaannya adalah posisi pasien tidur terlentang diatas

bed dengan tujuan latihan untuk meningkatkan tonus otot postural.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa untuk dapat melakukan pola

gerak normal, maka dibutuhkan stabilitas postur yang adekuat.

Latihan ini merupakan bagian dari key point pelvic control yang

akan meningkatkan mobilitas daerah lumbal dan pelvic. Yang perlu

diperhatikan adalah pada saat melakukan gerakan tersebut, telapak

kaki, tangan dan thorakal bagian atas sebagai Base of Support,

serta pada area knee, punggung atas dan kepala sebagai

stabilisator. Latihan Pola Gerak Latihan Pelvic dan Abdominal;


92

Letak Fasilitasi Gerak Pada Abdomen dan Pelvic (Gambar 3.1 ;

3.2)

(1) Posisi awal insan stroke tidur terlentang.

(2) Tekuk kedua lutut 90°.

(3) Kedua tangan berada di samping badan dengan posisi pronasi.

(4) Berikan instruksi untuk melakukaan secara aktif gerakan

foreward dan backward pada pelvic.

(5) Setiap gerakan dilakukan bersamaan dengan ekspirasi (dapat

dilakukan dengan meniup).

(6) Lakukan dengan 7 kali pengulangan (Irfan, 2010). Dan

dilakukan modifikasi latihan yaitu dilakukan penambahan set 3

kali, sesi istirahat setiap set 1 menit dan dilakukan terapi

selama 30 menit (Chung et al., 2013). Karena pada latihan

pasien stroke prinsip latihan harus diulang-ulang agar pasien

mengetahui arah gerakan yang dilakukan dan proses

relearning sehingga motor unit yang terekrut semakin banyak

sehingga memungkinkan untuk menghasilkan kekuatan

fungsional yang dinamis, dan meningkatkan efisiensi

neuromuskuler di seluruh tubuh. Karena core stability

merupakan pusat stabilisasi, strategi prekdiksi/awalan

(anticipatory mechanism), dan pre-programmed muscle

group/force.

Untuk latihan ini sangat dibutuhkan sehingga untuk

meningkatkan aktifasi otot maka hendaknya dilakukan perlahan.


93

Seringkah insan stroke mengalami kesulitan untuk melakukan

sendiri, untuk itu diperlukan fasilitasi yang tepat (Gambar. 3.1),

yaitu dengan memfasilitasi otot abdominal dan gluteal untuk

melakukan kontraksi secara sinergi (Irfan, 2010).

Gambar 3.1 pola gerak latihan pelvic dan abdominal


Sumber : Fisioterapi bagi insan stroke, hal. 166
Untuk dapat menghasilkan gerak foreward dan

backward pada pelvic, maka diperlukan fasilitasi dari

fisioterapis yaitu dengan menempatkan tangan pada abdominal

untuk memberikan stimulasi dan fasilitasi pada otot-otot

abdominalis. Hal ini dilakukan agar gerakan yang diharapkan

dapat dengan mudah dilakukan dan secara selektif otot yang

diaktifasi dapat berkontraksi tanpa adanya gerakan kompensasi.

Sementara tangan yang lain pada sisi lateral dan caudal pelvic

untuk mengarahkan pergerakan pelvic sebagaimana yang

diharapkan dengan fasilitasi pada otot giuteal. Dengan

foreward dan backward pelvic yang benar, maka akan

mengaktifasi otot-otot stabilitas postural yang utama.


94

a b

Gambar 3.2 Letak fasilitasi gerak pada abdomen dan pelvic a. posisi
awal, b. posisi akhir
Sumber : koleksi pribadi data peneliti

Fasilitasi dilakukan dengan posisi tangan fisioterapis

lumbrikal, agar stimulasi dan fasilitasi yang diberikan mudah untuk

dimengerti oleh insan stroke terutama mengenai arah dan otot yang

perlu diaktifkan (Irfan, 2010).

(2) Core stability exercise posisi duduk

Pada posisi duduk kedua tangan pasien ditaruh di atas meja dan

kedua kaki kontak/menempel dengan lantai. Terapis berada di

belakang pasien dengan letak fasilitasi kedua tangan terapis

memegang kedua pelvis dan mengarahkan gerakan ke arah

foreward dan backward pelvic yang benar, maka akan

mengaktifasi otot-otot stabilitas postural yang utama untuk

meningkatkan aktifasi otot maka hendaknya dilakukan secara

perlahan. Seringkah insan stroke mengalami kesulitan untuk

melakukan sendiri, hal ini dilakukan agar gerakan yang diharapkan


95

dapat dengan mudah dilakukan dan secara selektif otot yang

diaktifasi dapat berkontraksi tanpa adanya gerakan kompensasi

(Gambar 3.3).

a b
Gambar 3.3 Letak fasilitasi gerak pada core stability exercise
foreward dan backward pelvic a. posisi awal, b. posisi akhir
Sumber : koleksi pribadi data peneliti

b) Active stretcing ankle exercise

Membicarakan masalah fleksibilitas selalu mengacu pada

kemampuan ruang gerak sendi atau persendian tubuh. Fleksibilitas

dapat dikembangkan melalui latihan-latihan peregangan otot serta harus

dilatih secara khusus, karena perbaikan pada komponen ini akan

mendukung terhadap fleksibilitas, serta dapat juga menghindari

timbulnya cedera. Pengertian active stretching dilakukan dengan

menggunakan otot-otot kita tanpa mendapat bantuan kekuatan


96

eksternal. Peregangan aktif penting karena akan membangun

fleksibilitas otot secara aktif.

Penambahan active stretching ankle exercise diberikan pada

posisi duduk dan berdiri yaitu setelah pasien diberikan core stability

exercise dengan tujuan karena core stability merupakan salah satu

faktor penting dalam postural set. Dalam kenyataanya core stability

menggambarkan kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan

posisi dan gerakan sentral pada tubuh diantaranya: head and neck

alignment, alignment of vertebral column thorax dan pelvic

stability/mobility, dan ankle and hip strategies. Core stability

merupakan komponen penting dalam memberikan kekuatan lokal dan

keseimbangan untuk memaksimalkan aktivitas secara efisien. Adapun

pelaksanaannya active stretcing ankle exercise yaitu :

(1) Pasien posisi duduk

Pasien posisi duduk tegak di bed, kaki menapak di lantai

dan ke dua tangan ditaruh di lutut. Pada lutut yang sehat fleksi 90 0

sedangkan lutut yang satunya yang akan dilakukan active

stretching ankle exercise posisi lutut fleksi ±1100, kemudian pasien

di instruksikan untuk menggerakkan tumitnya untuk menyentuh

atau menempel di lantai. Jika pasien kesulitan melakukan gerakan

tersebut bisa dilakukan dengan tangan terapis berada di tungkai

bawah dan tangan satunya berada di dorsal telapak kaki dengan

tujuan mengarahkan gerakan supaya gerakan yang terjadi lebih

benar dan efisien. Karena pada pasien stroke active stretcing ankle
97

exercise tidak hanya dilakukan sekali dan harus dilakukasn berkali-

kali agar pasien merasakan dan mengetahui arah gerakan yang

dimaksut serta agar tercapai fleksibilitas jaringan, meskipun banyak

penelitian, ada berlanjut menjadi kurangnya kesepakatan tentang

"ideal" kombinasi dari durasi satu siklus dan jumlah pengulangan

dari peregangan yang harus diterapkan dalam program stretching

setiap hari untuk mencapai keuntungan stretch-induced terbesar

dan paling berkelanjutan dalam ROM (Kisner dan Colby, 2002).

Maka dilakukan modifikasi active stretcing ankle exercise dengan

active stretching ankle exercise intensitas rendah, durasi 10 detik,

istirahat 30 detik, pengulangan latihan 7 kali, 3 kali set latihan dan

dilakukan setiap kali terapi serta dilakukan terapi selama 30 menit

(Kim et al., 2013).

a b c
Gambar 3.4 Letak fasilitasi gerak pada active stretching ankle exercise a. posisi
awal, b. terapis memberikan arahan gerak, c. posisi akhir
Sumber : koleksi pribadi data peneliti
98

(2) Pasien posisi berdiri

Pasien posisi berdiri tegak dengan kedua tangan diletakkan

diatas bed atau overbed table, posisi hip ekstensi 300. Kemudian

instruksikan pasien untuk menggerakkan tumitnya untuk

menyentuh atau menempel di lantai. Jika pasien kesulitan

melakukan gerakan tersebut bisa dilakukan dengan memberikan

stabilitasi di pelviknya dengan tujuan agar tidak ikut bergerak ke

belakang dan bisa juga tangan terapis berada di tungkai bawah dan

tangan satunya berada di dorsal telapak kaki dengan tujuan

mengarahkan gerakan supaya gerakan yang terjadi lebih benar dan

efisien. Maka dilakukan modifikasi active stretcing ankle exercise

dengan active stretching ankle exercise intensitas rendah, durasi 10

detik, istirahat 30 detik, pengulangan latihan 7 kali, 3 kali set

latihan dan dilakukan setiap kali terapi serta dilakukan terapi

selama 30 menit (Kim et al., 2013).


99

a b c

a b c
Gambar 3.5 Letak fasilitasi gerak pada active stretching ankle exercise a. posisi
awal, b. terapis memberikan arahan gerak, c. posisi akhir
Sumber : koleksi pribadi data peneliti

c) Modified Functional Reach Test

(1) Tipe pengukuran:

Functional Reach Test (FRT) adalah ukuran keseimbangan yang

mewakili jarak maksimum yang bisa dicapai maju melampaui

panjang lengan, tetap menjaga base of support saat berdiri. Pasien

berdiri dengan lengan yang dominan ekstensi dan tangan posisi

netral di tepi penggaris ditempelkan ke dinding pada tingkat

akromion. Terapis menginstruksikan pasien untuk "menjangkau

jauh ke depan yang Anda bisa tanpa mengambil langkah. Jarak dari

0 hingga 1 inchi menunjukkan pasien 28 kali lebih mungkin untuk

jatuh. Jarak dari 1 sampai 6 inchi menunjukkan pasien 4 kali lebih

mungkin untuk jatuh. Jarak dari 6 sampai 10 inchi menunjukkan

pasien 2 kali lebih mungkin untuk jatuh. Jarak yang lebih besar dari

10 inci menunjukkan pasien tidak ada kemungkinan jatuh.


100

Tabel 3.2 Resiko Terjatuh pada Functional Reach Test


Jarak yang dicapai (inchi)

Score (cek salah satu) Resiko untuk terjatuh


>10 inches Tidak ada kemungkinan jatuh
6-10 inches 2 kali lebih mungkin untuk jatuh
1-6 inches 4 kali lebih mungkin untuk jatuh
Tidak bisa menjangkau 28 kali lebih mungkin untuk jatuh

Sumber : Home Rehabilitation Guide to Clinical Practice, hal 316

(2) Prosedur tes:

Posisi subjek berdiri tegak rileks dengan sisi yang sehat dekat

dengan dinding; kedua kaki renggang (10 cm), subjek mengangkat

lengan sisi yang sehat (fleksi 90°). Fisioterapis menandai pada

dinding sejajar ujung jari tangan subjek. Subjek diberikan instruksi

untuk meraih sejauh jauhnya (dengan membungkukkan badan) dan

ditandai lagi pada dinding sejajar dimana ujung jari pasien mampu

meraih. Kemudian diukur jarak dari penandaan pertama ke

penandaan yang ke dua.

(3) Skor normal

(a) Umur 20-24; laki-laki 42 cm dan wanita 37 cm

(b) Umur 41-69; laki-laki 38 cm dan wanita 35 cm

(c) Umur 70-87; laki-laki 33 cm dan wanita 27 cm

Reliabilitas interrater 0.98 (bagus) pada orang normal (Duncan P',

1990)

Reliabilitas retes 0.92 pd orang normal dan penderita Parkinson

(Schenkmen, 1997).

Validitas: Signifikan untuk menilai perkembangan pasien

stroke (Hill K, 1997).


101

E. Teknik Analisis Data

Data yang didapat dari hasil pemeriksaan assessment fisioterapi pada

pasien post stroke akan terlihat perubahan hasil evaluasi sebelum dan sesudah

perlakuan. Data tersebut selanjutnya akan diolah manual dengan bantuan

software SPSS 19.

Dalam mengalisa data yang telah diperoleh dalam penelitian,

penelitian mengunakan uji beda untuk mengetahui peningkatan keseimbangan

berdiri pada pasien post stroke pada kelompok perlakuan I dan kelompok

perlakuan II dengan menggunakan uji statistic, antara lain:

1. Untuk mengetahui apakah sampel

terdistribusi normal atau tidak maka digunakan uji Normalitas dengan

menggunakan Shapiro Wilk Test karena sampelnya kecil kurang dari 30.

Uji Normalitas juga digunakan untuk menentukan Uji Hipotesis dan untuk

mencari nilai p atau probabilistic (p-value).

2. Untuk menguji homogenitas sampel yang

digunakan Lavene’s Test dari data sebelum intervensi pada kelompok

perlakuan I dan kelompok perlakuan II. Uji homogenitas dikatakan normal

jika nilai p > α (0,05) sedangkan bila nilai p < α (0,05) berarti data sampel

tidak normal.
3. Uji Hipotesis
Uji hipotesis tergantung dari uji normalitas. uji hipotesis I dan II jika uji

normalitas normal maka menggunakan uji parametric (paired sample test),

namun jika hasilnya tidak normal maka menggunakan uji non parametric

(wilcoxon test). uji hipotesis III, jika uji normalis hasilnya normal maka
102

menggunakan independent samples test, tetapi jika hasilnya tidak normal

maka menggunakan mann whitney test.

a. Hipotesa I untuk menguji signifikan dua sampel yang saling

berpasangan pada kelompok perlakuan I digunakan Uji paired

samples t-test. Dengan pengujian hipotesa Ho diterima bila p > α

(0,05), sedangkan Ho ditolak bila nilai p < α (0,05).

Ho : Pemberian core stability exercise tidak dapat meningkatkan

keseimbangan berdiri pada pasien post stroke

Ha : Pemberian core stability exercise dapat meningkatkan

keseimbangan berdiri pada pasien post stroke

b. Hipotesa II untuk menguji signifikan dua sampel yang saling

berpasangan pada kelompok perlakuan II digunakan Uji paired

samples t-test. Dengan pengujian hipotesa Ho diterima bila nilai p > α

(0,05), sedangkan Ho ditolak bila nilai p < α (0,05).

Ho :Penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian

core stability exercise tidak dapat meningkatkan keseimbangan

berdiri pada pasien post stroke

Ha : Penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian

core stability exercise dapat meningkatkan keseimbangan berdiri

pada pasien post stroke

c. Hipotesa III untuk menguji signifikan hipotesa koperatif dua sampel

independent, atau mencari beda pengaruh diantara dua kelompok

perlakuan I dan II digunakan uji independent samples t-test. Dengan


103

pengujian hipotesa Ho diterima bila p > α (0,05), sedangkan Ho

ditolak bila nilai p < α (0,05).

Ho : Penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian

core stability exercise tidak lebih baik daripada core stability

execise untuk keseimbangan berdiri pada pasien post stroke

Ha : Penambahan active stretching ankle exercise pada pemberian

core stability exercise lebih baik daripada core stability execise

untuk keseimbangan berdiri pada pasien post stroke

Anda mungkin juga menyukai