Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan individu yang unik dan bukan miniatur orang dewasa. Individu
yang mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan menuju proses
kematangan (Supartini, 2004). Dimana anak mulai berkembang dan memiliki
kesadaran pada dirinya sebagai pria atau wanita, anak dapat mengatur diri dalam
buang air, mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya atau mencelakakan
dirinya (Yusuf, 2009). Oleh karena itu anak-anak perlu mendapatkan perhatian
dan pantauan dalam setiap pertumbuhan dan perkembangannya.

Anak yang sehat lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain aktif dan
memperoleh lebih banyak kepuasan daripada anak yang kesehatannya terganggu.
Pada keadaan ini kecemasan anak meningkat, bukan hanya karena
ketidaknyamanan yang dirasakan akibat sakit yang dialaminya tetapi juga karena
kenyataan bahwa banyak orangtua yang beranggapan bahwa sakit berarti
beristirahat di tempat tidur tanpa melakukan apa-apa. Hal ini diasumsikan anak
sebagai larangan untuk bermain (Suparto, 2003).

Pertambahan usia pada anak prasekolah akan merubah pengertian terhadap


lingkungan. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh akan di catat di alam bawah
sadar dan jika anak bahagia maka kebahagian akan membantu menciptakan
kepribadian yang terintegrasi dengan baik. Selama perjalanan pertumbuhan dan
perkembangannya normal, anak belajar menunda atau melunakan kehendak dan
kesukaanya agar anak dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat yang
bertanggungjawab (Simanjuntak, 2005).

Sakit dan dirawat dirumah sakit merupakan pengalaman yang tidak


menyenangkan bagi anak. Selama masa perawatan ini anak mengalami masa sulit
karena tidak dapat melakukan kebiasaan bermain bersama teman-temannya.
Kecemasan anak meningkat karena anak berada di lingkungan yang baru,
dikelilingi oleh orang-orang asing yang tidak dikenalnya dan peralatan yang
menakutkan (Gunawan, 2003).

Anak prasekolah akan bereaksi terhadap tindakan penusukan bahkan mungkin


bereaksi untuk menarik diri terhadap jarum karena menimbulkan rasa nyeri yang
menyebabkan takut terhadap tindakan penusukan. Karakteristik anak usia
prasekolah dalam berespon terhadap nyeri diantaranya dengan menangis keras
atau berteriak, mengungkapkan secara verbal,memukul tangan atau kaki,
mendorong hal yang menyebabkan nyeri, kurang kooperatif, membutuhkan
restrain, meminta untuk mengakhiri tindakan yang menyebabkan nyeri, menempel
atau berpegangan pada orangtua, perawat atau yang lain, membutuhkan dukungan
emosi seperti pelukan, melemah dan antisipasi terhadap nyeri aktual
(Hockenberry & Wilson, 2007).

Dampak hospitalisasi bagi anak secara umum adalah adanya disfungsi persepsi
dan konsep diri yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Permasalahan yang
sering ditemui pada fase hospitalisasi anak prasekoah yaitu rasa takut, kecemasan,
tidak berdaya dan gangguan citra diri. Hal ini berkaitan dengan umur anak,
semakin muda umur anak semakin sukar baginya menyesuaikan diri dengan
pengalaman dirawat di rumah sakit (Gunawan, 2003).

Kecemasan yang dialami anak prasekolah dalam masa hospitalisasi menjadi suatu
masalah yang sangat penting, sehingga harus segera diatasi karena akan
memberikan dampak pada terganggunya proses tumbuh kembang. Kecemasan
juga mampu menguras seluruh pikiran dan tenaga, yang seharusnya bisa
digunakan untuk proses penyembuhan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah
anak menadi susah makan, tidak tenang, takut, gelisah, serta berontak saat akan
dilakukan tindakan keperawatan sehingga proses pemberian terapi dan proses
penyembuhan menjadi terganggu.

Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang
dialami anak lebih ringan dari dewasa (Hadinegoro, 2011). Pada bayi dan anak
umur < 5 tahun biasanya penyakit berlangsung ringan dengan demam ringan, lesu,
sehingga diagnosis sulit ditetapkan (Widagdo, 2012:220).

Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang
diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri salmonella typhi sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus
dan peyer’s patch (Soedarmo, et al., 2015).

Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah. Demam tifoid mulai dikenali sebagai penyakit menular
yang disebabkan oleh bacillus (salmonella) pada tahun 1880 di Amerika serikat
(filio, et al., 2013).

Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama pada negara berkembang dengan
sanitasi yang buruk. Delapan puluh persen kasus tifoid di dunia berasal dari
Banglades, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan. Demam tifoid
menginfeksi setiap tahunnya 21.6 juta orang (3.6/1.000 populasi) dengan angka
kematian 200.000/tahun (Date, et al., 2014; Widodo, 2015; Ochiai, et al., 2008).

Di Indonesia insidensi kasus demam typhoid masih termasuk tinggi di Asia, yakni
81 kasus per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi tifoid banyak ditemukan pada
kelompok usia Sekolah (5 – 14 tahun) yaitu 1.9% dan terendah pada bayi (0.8%).
Kelompok yang berisiko terkena demam typhoid adalah anak-anak yang berusia
dibawah usia 15 tahun (Ochiai, et al., 2008; Depkes RI, 2008).

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia dengan angka


kejadian yang masih tinggi serta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan sanitasi yang buruk. Demam tifoid
juga merupakan salah satu penyakit menular penyebab kematian di Indonesia (6%
dengan n = 1.080), khusus pada kelompok usia 5 – 14 tahun tifoid merupakan
13% penyebab kematian pada kelompok tersebut (Retnosari & Tumbelaka, 2000;
Depkes RI, 2008; Ahmad, et al., 2016).

Sehingga penulis tertarik untuk mengaplikasikan terapi bermain puzzle pada


pasien demam tifoid untuk meningkatkan tingkat kooperatif pada anak usia pra
sekolah.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Aplikasi Terapi Bermain Terapeutik Puzzle terhadap Perubahan


Tingkat Kecemasan Anak Usia Prasekolah 3-6 tahun dengan demam tifoid di
Ruang Samolo 3 Rumah Sakit Umum Daerah Cianjur?

C. Tujuan Khusus

1. Tujuan Umum

Untuk Mengetahui hasil Terapi Bermain Terapeutik Puzzle terhadap Perubahan


Tingkat Kecemasan Anak Usia 3-5 tahun di Ruang Samolo 3 Rumah Sakit Umum
Daerah Cianjur.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik responden

b. Mengetahui tingkat kecemasan pada anak yang menjalani hospitalisasi


sebelum bermain puzzle
c. Mengetahui tingkat kecemasan pada anak yang menjalani hospitalisasi
sesudah bermain puzzle

d. Mengetahui perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah bermain


puzzle

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Dapat dijadikan sebagai referensi pada mata kuliah Keperawatan Anak mengenai
penerapan terapi bermain terapeutik (puzzle) terhadap tingkat kecemasan anak
usia 3-5 tahun dengan demam tifoid di ruang samolo 3 RSUD CIANJUR.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perawat

Dapat memberikan wawasan tentang Asuhan Keperawatan dalam Mengurangi


Stres/kecemasan Akibat Hospitalisasi

b. Bagi Intansi Pendidikan

Penelitian ini dapat semakin meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan


memberikan terapi bermain terapeutik puzzle sehingga dapat menjadi salah satu
intervensi untuk mengurangi tingkat kecemasan anak dalam proses keperawatan
di Ruang Anak. Selain itu, penelitian ini dapat dilanjutkan dengan penelitian
lanjutan yang dapat berupa penelitian eksperimen dengan tingkat estimasi yang
lebih akurat, melibatkan kelompok kontrol, dan menggunakan jumlah sampel
yang lebih besar.

c. Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dibidang


keperawatan anak dalam meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat dan
kemajuan asuhan keperawatan anak.

d. Klien dan Keluarga


Memberikan pengetahuan dan keterampilan pada keluarga tentang perawatan
anak yang sedang menjalani hospitalisasi, sehingga dapat dilakukan secara
mandiri

Anda mungkin juga menyukai