PENDAHULUAN
3
Pertusis pada anak yang lebih besar dan dewasa biasanya atipikal atau
tidak menunjukkan gejala spesifik dan tidak disertai dengan pernapasan
paroksismal.2 Remaja dan dewasa tidak berobat karena gejala pertusis yang tidak
khas, sedangkan mereka mempunyai potensi menularkan pada kelompok rentan.
Dengan demikian, remaja dan dewasa sering menjadi sumber penularan bagi
bayi.
Setelah fase inkubasi, yaitu sekitar 7-10 hari, pasien akan mengalami
peradangan pada hidung dan tenggorokan juga batuk. Bronkopneumonia yang
merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian, merupakan masalah
yang paling utama terkait dengan pertusis.
4
Imunisasi yang mengandung antigen pertusis hanya diberikan pada bayi berupa
vaksin DTP atau DTP/HB (difteria, tetanus, pertusis, dan hepatitis B). Vaksin ini
diberikan mulai usia dua bulan sebanyak tiga dosis dengan interval satu bulan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pertusis (batuk rejan) yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk
yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau
orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Penyakit ini di tandai oleh
suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan paroksimal
disertai nada yang meninggi, karena penderita berupaya keras untuk menarik
nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas (whoop),
sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough.
B. Epidemiologi
6
lainnya. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat
pada umur 1-5 tahun, perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki
menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun.
7
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertusis.
Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
pertusis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan
prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi
tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertusis menurun drastis setelah
vaksin pertusis mulai digunakan secara luas yang diinisiasi oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 1974.
8
C. Etiologi
9
Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama.
Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14
aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara
geografis dan sesuai waktu.
D. Patogenenis
10
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting
Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada
perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan,
Bordetella pertusis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh
permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada
pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis,
maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang
dikenal dengan whooping cough.
11
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia
jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada
permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga
mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H.
influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan
menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.
E. Gejala Klinis
12
Gambar . Pertusis
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
a. Bersin-bersin
b. Mata berair
c. Nafsu makan berkurang
d. Lesu
e. Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala
awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada
tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang
biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung
udara di hidungnya). Pada remaja dan dewasa, gejalanya lebih ringan.
13
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya
muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang
bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih
sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih
baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi
saluran pernafasan. Stadium penyembuhan ditandai dengan
berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang
berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa
waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien
akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi
berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan
infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.
14
abtuk, 30-65% mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau
fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari
Kanada menunjukkan manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan 47%
mengalami batuk >9 minggu. Di AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan
setelah munculnya gejala. Sehingga bukanlah hal yang jarang, bila petugas
kesehatan terlambat mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian
prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat akibat batuk
nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20% dengan
hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau
muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan
penting pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan
mengenali gejala pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka
penularan dan keterlambatan memberikan profilaksis.
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala
klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit
dahulu, dan riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-
50,000 / UI dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak
15
menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain.
4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis atau emfisema.
16
Gambar. Foto thorax pada Pertusis
G. Diagnosis Banding
17
3. Obstruksi di trakea, benda asing, penekanan dari kelenjar lkimfe hilus
karena TBC atau tumor mediastinal
4. Pneumonia
5. Leukemia akut (Reaksi leukomoid), pada pertusis terjadi peningkatan
limfosit bukan limfoblas
18
kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit,
mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat
alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk
kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam
48-72 jam.
1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertusis dicurigai atau
diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran
infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi
empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan
baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat
dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang
19
diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan
dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat
diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis
menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin,
Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup
aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian
klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.
pertusis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang
terbukti.
20
8 mg/kg/hari dan untuk bayi kurang
sulfamethoxazol, dari 2 bulan
40mg/kg/hari
terbagi dalam 2
dosis
Note: tatalaksana yang lain meliputi beta mimetics, steroid, obat pelega
tenggorokkan tidak terbukti bermanfaat. Pada pasien dengan kegagalan
fungsi paru, diperlukan penatalaksanaan yang radikal seperti
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup
pengurangan gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol
(albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh
manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan
dengan aerosol memicu paroksismal.
3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan
untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen
pertusis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat
pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi
pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.
21
muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas tinggi merupakan tanda infeksi
sekunder oleh bakteri. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur
alveoli, empisema interstisial/subkutan dan pneumotoraks, termasuk
perdarahan subkonjungtiva.
Persentase Komplikasi
Pneumonia 12%
Kejang 2%
Ensefalopati 0,1%
Kematian 0,2%
I. Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertusis dalam 3 dosis yang
22
seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan
menyediakan toksoid pertusis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika
pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada
waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7
tahun tidak rutin diimunisasi.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama
adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan
sebagai sumber infeksi B. pertusis pada bayi-bayi non imun. Vaksin
pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi
diantara orang dewasa yang terpapar.
23
adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan
sebagai sumber infeksi B. pertusis pada bayi-bayi non imun. Vaksin
pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi
diantara orang dewasa yang terpapar.
24
Reaksi sistemik: demam
tinggi >38, kejang demam,
hipotonik/hiperresponsif
2 4 bulan
3 6 bulan
4 15-18 bulan
4-6 tahun
5
Diberikan usia 4 tahun sebanyak 5 dosis sebelum
masuk sekolah
Dewasa
25
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi-bayi baru
lahir dan ibu-ibu dengan pertusis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang
telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi
eliminasi B. pertusis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala
penyakit.
J. Komplikasi
26
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,
perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia
inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia
serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang
dapat disebabkan oleh temperatur tinggi
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap
Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)
27
K. Prognosis
Angka kematian karena pertusis telah menurun menjadi 10/1000
kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % di USA.
Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat
berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah
tulang rusuk sampai 4 %. Kebanyakan kematian disebabkan oleh
ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.
28
BAB III
PENUTUP
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough adalah batuk yang
sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas
akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia
ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.
kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika
Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75
ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak kecil yang
batuk rejan”.
29
Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik minotil kecil
dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak
bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis
dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou. Bordetella pertusis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka
fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam
30
waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,
konvalesen. Pada tahap paroksismal mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah
timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam
31