Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Pertusis adalah penyakit saluran pernapasan yang sangat menular


disebabkan oleh bakteri gram (-) Bordetella pertusis. Pertusis atau batuk rejan
sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an dan hanya ditemukan pada manusia.
Manifestasi klinis dari penyakit ini adalah batuk yang sangat parah hingga dapat
menyebabkan kematian.

Di seluruh dunia insidensi pertusis banyak didapatkan pada bayi dan


anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa
masih mungkin terinfeksi oleh B. pertusis. Insidensi terutama didapatkan pada
bayi yang belum mendapatkan vaksinasi pertusis secarara lengkap.

Orang dengan pertusis biasanya menyebarkan penyakitnya dengan


batuk atau bersin, atau saat menghabiskan waktu cukup banyak dengan orang di
dekatnya. Banyak bayi yang tertular pertusis terinfeksi dari saudaranya yang lebih
tua, orang tua, atau perawatnya, di mana mereka sendiri tidak tahu kalau mereka
mengidap penyakit tersebut. Orang yang terinfeksi pertusis sangat menular sampai
kira-kira 2 minggu setelah batuk mulai. Antibiotik dapat memperpendek periode
seseorang untuk menularkan penyakitnya.

Pertusis pada anak biasanya diawali dengan stadium kataral (catarrhal)


berupa gejala ringan pada infeksi saluran pernapasan bagian atas, seperti flu pada
umumnya. Stadium paroksismal dengan batuk terus-menerus disertai inspirasi
panjang dan suara batuk yang khas (whoop), biasanya diikuti dengan muntah.
Gejala biasanya menetap selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan
(stadium konvalesens).

3
Pertusis pada anak yang lebih besar dan dewasa biasanya atipikal atau
tidak menunjukkan gejala spesifik dan tidak disertai dengan pernapasan
paroksismal.2 Remaja dan dewasa tidak berobat karena gejala pertusis yang tidak
khas, sedangkan mereka mempunyai potensi menularkan pada kelompok rentan.
Dengan demikian, remaja dan dewasa sering menjadi sumber penularan bagi
bayi.

Setelah fase inkubasi, yaitu sekitar 7-10 hari, pasien akan mengalami
peradangan pada hidung dan tenggorokan juga batuk. Bronkopneumonia yang
merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian, merupakan masalah
yang paling utama terkait dengan pertusis.

Pertusis masih menjadi kasus dari kematian bayi yang penting di


seluruh dunia dan terus berlanjut menjadi fokus dari kesehatan masyarakat bahkan
di negara dengan cakupan vaksinasi yang tinggi. Antibodi maternal nampaknya
tidak dapat melindungi neonatus dari pertusis yang parah, bahkan untuk individu
dengan imunitas dari vaksin.

Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemik karena


menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian
dari negara maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka
kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya
namun tidak signifikan. Tidak ada vaksin yang 100% efektif. Jika pertusis beredar
dalam suatu komunitas, ada kesempatan bagi seseorang yang telah lengkap
mendapatkan imunisasi untuk tertular penyakit ini. Apabila tertular penyakit ini
meskipun sudah medapat vaksin lengkap, dampaknya akan lebih ringan
dibandingkan dengan yang belum menerima vaksin.

World Health Organization (WHO) telah menetapkan program


pengembangan Expanded Program on Immunization (EPI) sebagai upaya global.

4
Imunisasi yang mengandung antigen pertusis hanya diberikan pada bayi berupa
vaksin DTP atau DTP/HB (difteria, tetanus, pertusis, dan hepatitis B). Vaksin ini
diberikan mulai usia dua bulan sebanyak tiga dosis dengan interval satu bulan.

Seiring dengan berjalannya waktu, ancaman terjadinya pertusis timbul


akibat menurunnya kekebalan setelah imunisasi. Observasi epidemiologi
menunjukkan bahwa proteksi yang ditimbulkan imunisasi hanya untuk waktu
yang terbatas dan menurun secara bertahap. Hanya 46% anak yang masih
protektif terhadap pertusis setelah tahun ketujuh. Pada penelitian lain hanya 76%
bayi masih protektif terhadap pertusis pada akhir tahun kedua setelah imunisasi
dasar. Literatur lain menyatakan bahwa kekebalan ratarata setelah imunisasi DTP
(whole cell) akan turun lebih dari 50% dalam 6–12 tahun.

Pertusis akhir-akhir ini dikenal sebagai salah satu penyakit yang


tergolong sebagai reemerging disease. Fenomena ini terjadi di negara maju seperti
Canada, Australia, dan Amerika Serikat.9–13 Beberapa negara berkembang
seperti Singapura, Slovenia, dan Cekoslowakia juga menemukan fenomena
serupa.14-17 Secara global diperkirakan sebanyak 17,6 juta kasus pertusis timbul
di dunia, 90% di antaranya terjadi di negara berkembang dan 279.000 pasien
meninggal pada tahun 2003.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pertusis (batuk rejan) yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk
yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau
orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Penyakit ini di tandai oleh
suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan paroksimal
disertai nada yang meninggi, karena penderita berupaya keras untuk menarik
nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas (whoop),
sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough.

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian


pada anak, terutama di negara berkembang. Lebih kurang 200-400 ribu
kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program
imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.

B. Epidemiologi

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang sangat menular, di


seluruh dunia ada 45 juta kasus pertusis setahun dengan kurang lebih 300.000
anak-anak meninggal tiap tahunnya. Namun, insidensi terjangkitnya pertusis
menurun drastis di negara berkembang dengan adanya program vaksinasi
sejak tahun 1940-1960an.

Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 2-5


tahun. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga

6
lainnya. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat
pada umur 1-5 tahun, perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki
menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun.

Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang


dari 10% kasus terjadi pada bayi usia <1 tahun. Setelah mulai dilakukan
imunisasi (tahun 1940), kejadian pertusis menurun drastis, dari 200.000
kasus/tahun menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976. Sejak itu, imunisasi
pertusis dianggap memiliki kemampuan perlindungan seumur hidup,
sehingga tidak perlu diproduksi vaksin pertusis untuk usia >7 tahun.

Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada


bayi, usia 11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin
yang luas. Centers of Disease Control and Prevention (CDC) (tahun 2004)
melaporkan 25.827 kasus pertusis di AS, suatu angka yang tinggi sejak tahun
1950-an dengan proporsi 35% kejadian pada usia 11-18 tahun (30 per
100.000). Angka yang jauh lebih tinggi diperlihatkan oleh sebuah penelitian
prospektif terhadap individu dengan gejala batuk paroksismal atau batuk yang
menetap >7 hari, ternyata didapatkan perkiraan insidens pertusis pada remaja
sekitar 997 per 100.000.

Remaja merupakan reservoir B. Pertusis dan menjadi sumber


penularan pertusis bagi bayi kecil, golongan risiko tinggi untuk mengalami
komplikasi pertusis, menjalani perawatan di Rumah Sakit, dan mengalami
kematian. Sebuah studi kasus-kontrol menunjukkan adanya faktor risiko
terjadinya pertusis pada bayi saat timbulnya kejadian luar biasa di Chicago.
Rasio odds sebesar 7,4 bila usia ibu 15-19 tahun dan 13,9 bila ibu batuk >7
hari. Hal yang menarik disimpulkan dari penelitian tersebut, bahwa usia ibu
yang lebih tua tidak dapat teridentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya
pertusis.

7
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertusis.
Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
pertusis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan
prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi
tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertusis menurun drastis setelah
vaksin pertusis mulai digunakan secara luas yang diinisiasi oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 1974.

Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup


untuk mencegah bayi baru lahir terhadap pertusis. Pertusis yang berat pada
neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian
sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn
dapat menurunkan tingkat penularan pertusis karena biakan nasofaring akan
negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertusis
atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih
rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.

Gambar 1. Peta persebaran pertusis pada tahun 2010

8
C. Etiologi

Genus Bordetela mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B.


parapertusis, B. bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah
Bordotella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang
disebabkan oleh Bordotella parapertusis dan adenovirus (tipe 1, 2, 3, dan 5).
Bordotella pertusis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid, ukuran
panjang 0,5 – 1 um, dan diameter 0,2 – 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora.
Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik
dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertusis, diperlukan suatu
media pembenihan yang disebut bordel gengou (potato-blood-glycerol agar)
yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan
organsme lain.

Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1).


Pasase dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen
(fase II, III atau IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan
menghasilkan vaksin yang efektif. B. pertusis dapat mati dengan pemanasan
pada suhu 50 C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0-
10C).

Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil


kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan
tidak bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring
penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou.
Bakteri akan melekat pada silia yang terdapat pada saluran napas bagian atas.
Bakteri kemudian mengeluarkan toksin yang merusak silia dan menyebabkan
gangguan pada jalan napas.

Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang


tinggi pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan
untuk menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella

9
Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama.
Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14
aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara
geografis dan sesuai waktu.

B.pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis,


banyak sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan
imunitas. Pasca penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa
aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria
69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel
epitel bersilia saluran pernapasan.

Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat


pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat
siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang
menghasilkan gejala pernafasan dan mempermudah penyerapan TP.

TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas


histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan
manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada
binatang percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi
darah. TP tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam
pathogenesis.

D. Patogenenis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara


pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan.
Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat
tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan
pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik .

10
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting
Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada
perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan,
Bordetella pertusis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh
permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada
pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis,
maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang
dikenal dengan whooping cough.

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan


karena pertusis toxin. Toksin pertusis berikatan dengan reseptor sel target
kemudian menghasilkan subunit pada daerah aktivasi enzim membrane sel.
Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.

Gambar 2. Bordetella pertusis


Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek
mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi
perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah
dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek
memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsentrasi gula darah.

11
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia
jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada
permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga
mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H.
influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan
menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran


oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat,
apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat
anoksia.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak


apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa
kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang
Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak
menghasilkan toksin pertusis.

E. Gejala Klinis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan


perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih.

Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri


menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak.

12
Gambar . Pertusis

Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan


lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3
tahapan:

1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
a. Bersin-bersin
b. Mata berair
c. Nafsu makan berkurang
d. Lesu
e. Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)

2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala
awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada
tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang
biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung
udara di hidungnya). Pada remaja dan dewasa, gejalanya lebih ringan.

13
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya
muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang
bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih
sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-


10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif
yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang
dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering
tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata
menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher
bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi).
Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada
saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas,
sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis
walaupun tidak disertai bunyi whoop.

3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih
baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi
saluran pernafasan. Stadium penyembuhan ditandai dengan
berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang
berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa
waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien
akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi
berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan
infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut:


72-100% batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah

14
abtuk, 30-65% mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau
fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari
Kanada menunjukkan manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan 47%
mengalami batuk >9 minggu. Di AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan
setelah munculnya gejala. Sehingga bukanlah hal yang jarang, bila petugas
kesehatan terlambat mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian
prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat akibat batuk
nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20% dengan
hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau
muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan
penting pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan
mengenali gejala pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka
penularan dan keterlambatan memberikan profilaksis.

F. Diagnosis

Penegakan diagnosis Pertusis dapat dilakukan berdasarkan :

1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala
klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit
dahulu, dan riwayat imunisasi.

2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa.

3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-
50,000 / UI dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak

15
menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain.

Isolasi B.pertusis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat


diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium
paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnya.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk


menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA
dapat dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA
PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer
baik disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan
tes yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak
tampak setelah pertusis.

Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan


kultur untuk mendeteksi B. pertusis, terutama setelah 3-4 minggu setelah
batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan
pilihan yang paling tepat karena nilai sensitivitas yang tinggi, namun
belum tersedia. Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan
untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara
ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum
terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan
respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG
toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.

4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis atau emfisema.

16
Gambar. Foto thorax pada Pertusis

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,


pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang
menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.

Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan


laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal,
tetapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan
pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertusis, B.
bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertusis,
dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab.

G. Diagnosis Banding

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,


pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang
menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
1. Bronkiolitis (RSV) pada bayi < 6 bulan
2. Asma

17
3. Obstruksi di trakea, benda asing, penekanan dari kelenjar lkimfe hilus
karena TBC atau tumor mediastinal
4. Pneumonia
5. Leukemia akut (Reaksi leukomoid), pada pertusis terjadi peningkatan
limfosit bukan limfoblas

Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan


laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi
biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan
radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertusis, B. bronkiseptika, dan
adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertusis, dapat dibedakan
dengan isolasi kuman penyebab.

H. Penatalaksanaan dan Prognosis

Jika pasien tidak segera mendapat pengobatan, maka penyakit ini


akan terus beratahan selama 3 minggu setelah munculnya gejala batuk yang
pertama. Eritromisin, macrolide merupakan penatalaksanaan yang diterima
oleh CDC. Selain itu dapat digunakan azhitromisin dan trimetrophim-
sulfamethoxazole. Jika antibiotik diberikan pada masa inkubasi, dapat
meningkatkan angka kesembuhan dan mencegah penyebaran penyakit yang
lebih luas. Pada tahap awal jika antibiotik diberikan pada tahap ini dapat
mencegah penyebaran penyakit ke orang lain. Penemuan gejala penyakit di
awal infeksi dapat memberikan prognosis yang lebih baik karena jika
antibiotik diberikan pada fase lanjutan, dapat memperpanjang gejala dan
dapat menyebabkan kematian, terutama pada bayi.

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk


mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan
memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan
rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan

18
kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit,
mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat
alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk
kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam
48-72 jam.

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi


dimonitor terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap
paroksismal disaksikan oleh personel perawat kesehatan. Rekaman batuk
yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat
memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak
membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45
detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi
oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau
kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan
sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons.

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan


faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan
nutrisi, oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan
penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres
pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan
pada pasien pertusis adalah sebagai berikut:

1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertusis dicurigai atau
diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran
infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi
empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan
baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat
dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang

19
diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan
dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat
diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis
menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin,
Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup
aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian
klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.
pertusis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang
terbukti.

Tabel 1. Terapi Farmakologi Pertusis

Medication Durasi Dosis Informasi terapi


Eritromisin 14 hari Bayi dan anak- Tidak
anak : 40-50 direkomendasikan
mg/kg/hari setiap 6 untuk bayi dibawah
jam maksimal 1 1 bulan
gram per hari

Azithromisin 5-7 hari Bayi dan anak- Dapat digunakan


anak: 10 untuk bayi <6 bulan
mg/kg/hari dan intoleransi
azithromisin
Hari 1 : 1 mg/kg
single dose
Hari 2-5 : 5 mg/kg
single dose
Maksimum dosis
250 mg/hari

Trimetoprim – 14 hari Bayi dan anak- Tidak


sulfametoxazol anak: trimetoprim, direkomendasikan

20
8 mg/kg/hari dan untuk bayi kurang
sulfamethoxazol, dari 2 bulan
40mg/kg/hari
terbagi dalam 2
dosis

Note: tatalaksana yang lain meliputi beta mimetics, steroid, obat pelega
tenggorokkan tidak terbukti bermanfaat. Pada pasien dengan kegagalan
fungsi paru, diperlukan penatalaksanaan yang radikal seperti
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).

2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup
pengurangan gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol
(albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh
manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan
dengan aerosol memicu paroksismal.

3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan
untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen
pertusis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat
pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi
pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.

Peneliti Inggris (1977-1979) melaporkan diantara 2.295 kasus


didapatkan penyulit 16,8% berat badan menurun, 9,8% bronkitis akut, 0,3%
atelektasis, 0,88% bronkopneumonia, 1,1% apnea, 0,6% kejang, dan 7,5%
otitis media. Pneumonia dapat disebabkan oleh B. pertusis, namun lebih sering
lagi disebabkan infeksi bakteri sekunder (H. influenzae, S. pneumoniae, S.
aureus, S. pyogenes). Tuberkulosis laten dapat juga menjadi aktif. Atelektasis
terjadi sekunder dari sumbatan mukus yang kental. Aspirasi mukus atau

21
muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas tinggi merupakan tanda infeksi
sekunder oleh bakteri. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur
alveoli, empisema interstisial/subkutan dan pneumotoraks, termasuk
perdarahan subkonjungtiva.

Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis,


hiponatremia sekunder terhadap SIADH (syndrome of inappropiate
diuretiuc hormon) juga dapat terjadi. Kejang tetanik mungkin dihubungkan
dengan alkalosis yang disebabkan muntah persisten.

Tabel 2. Komplikasi Pertusis (CDC), USA

Persentase Komplikasi

(tanpa penggolongan usia)

Pneumonia 12%

Kejang 2%

Ensefalopati 0,1%

Kematian 0,2%

Memerlukan rawat inap 41%

I. Pencegahan

1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertusis dalam 3 dosis yang

22
seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan
menyediakan toksoid pertusis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika
pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada
waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7
tahun tidak rutin diimunisasi.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama
adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan
sebagai sumber infeksi B. pertusis pada bayi-bayi non imun. Vaksin
pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi
diantara orang dewasa yang terpapar.

Efek samping sesudah imunisasi pertusis termasuk manifestasi


umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan
sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps,
hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya
kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg
BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72
jam.

Imunisasi pertama pertusis ditunda atau dihilangkan jika penyakit


panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis,
riwayat kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death
Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertusis bukanlah
kontra indikasi untuk imunisasi pertusis. Kontraindikasi untuk pemberian
vaksin pertusis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum
imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum
imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan
40.5oC dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.

Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama

23
adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan
sebagai sumber infeksi B. pertusis pada bayi-bayi non imun. Vaksin
pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi
diantara orang dewasa yang terpapar.

Efek samping sesudah imunisasi pertusis termasuk manifestasi


umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan
sering terjadi panas, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,
hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam
dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral)
pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.

Imunisasi pertama pertusis ditunda atau dihilangkan jika penyakit


panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis,
riwayat kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death
Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertusis bukanlah
kontra indikasi untuk imunisasi pertusis. Kontraindikasi untuk pemberian
vaksin pertusis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum
imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum
imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan
40.5oC dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.

Tabel 3. Vaksin Pertusis

Vaksin Usia Informasi Vaksin


DTaP Bayi dan anak-anak Reaksi lokal : nyeri,
kemerahan, bengkak

Reaksi sistemik sedang :


gelisah, demam

24
Reaksi sistemik: demam
tinggi >38, kejang demam,
hipotonik/hiperresponsif

Tdap Remaja dan dewasa: Reaksi lokal: nyeri,


kemerahan, bengkak pada
10-18 th lokasi penyuntikan
11-64 th Reaksi sistemik: demam
ringan, sakit kepala,
pingsan dan gejala-gejala
GIT

DTwP Bayi dan anak-anak Digunakan secara


internasional

Efek sampng lebih banyak


daripada DTaP

Tabel 3. Jadwal Imunisasi Pertusis

Vaksin Dosis Usia


DTaP 1 2 bulan

2 4 bulan

3 6 bulan

4 15-18 bulan

Diberikan sesegera mungkin seperti pada usia 12


bulan atau 6 bulan setelah dosis ketiga

4-6 tahun
5
Diberikan usia 4 tahun sebanyak 5 dosis sebelum
masuk sekolah

Tdap Booster 11- 18 tahun

Dewasa

Perempuan (setelah melahirkan)

25
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi-bayi baru
lahir dan ibu-ibu dengan pertusis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang
telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi
eliminasi B. pertusis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala
penyakit.

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertusis yang belum


mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari
sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan,
eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat
eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan eritromisin
diberikan pada waktu terjadi epidemik.

J. Komplikasi

1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.


2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada
anak-anak B. pertusis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder
(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang
kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan
menetap.

26
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,
perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia
inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia
serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang
dapat disebabkan oleh temperatur tinggi
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap
Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)

27
K. Prognosis
Angka kematian karena pertusis telah menurun menjadi 10/1000
kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % di USA.
Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat
berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah
tulang rusuk sampai 4 %. Kebanyakan kematian disebabkan oleh
ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.

28
BAB III

PENUTUP

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough adalah batuk yang

sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas

akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum

diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia

ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.

Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama

kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika

Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75

persen adalah anak kurang dari 5 tahun.

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus

pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus

respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis

ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak kecil yang

ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang, ”

batuk rejan”.

29
Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik minotil kecil

dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak

bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis

dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou. Bordetella pertusis

menghasilkan toksin pertusiss (TP). TP terbukti mempunyai banyak aktifitas

biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit),

beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit.

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis

infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,

perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan

akhirnya timbul penyakit sistemik.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka

fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder

(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus

aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan

obstruksi dan kolaps paru.

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan

penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam

30
waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,

trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.

Perkembangan penyakit melalui 3 tahapan yaitu kataral, paroksismal, dan

konvalesen. Pada tahap paroksismal mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah

timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam

dengan pada tinggi.

31

Anda mungkin juga menyukai