Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum w.w
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang menciptakan manusia dan menambah ilmu
pengetahuan bagi mereka yang berusaha mendapatkannya. Salawat dan salam
senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, penghulu dan mahaguru bagi kita
semua. Alhamdulillah Panduan Pelayanan Pemberian Anti Retroviral Therapy (ART)
RSUD Prof DR MA Hanafiah SM Batusangkar telah kita miliki. Panduan ini
diharapkan menjadi acuan dalam peningkatan mutu pelayanan di lingkungan RSUD
Prof DR MA Hanafiah SM Batusangkar yang kita cintai ini.
Ucapan terimakasih kepada Tim HIV yang telah menyelesaikan Panduan Pelayanan
Pemberian Anti Retroviral Therapy (ART) di RSUD Prof DR MA Hanafiah SM
Batusangkar ini. Kami percaya bahwa tidak ada yang sempurna kecuali Allah SWT,
saran dan masukan dari kita sangat diharapkan untuk kesempurnaan panduan ini
untuk masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum w. w.

Batusangkar,
Direktur,

dr. AFRIZAL HASAN


NIP. 19760529 200604 1 008
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada beberapa tahun terakhir ini, penatalaksanaan klinis penyakit HIV di Negara maju
berubah secara drastis dengan tersedianya obat antiretroviral (ARV). ARV bekerja
langsung menghambat replikasi (penggandaan diri) HIV. Terapi antiretroviral (ART)
dengan mengkombinasi beberapa obat ARV bertujuan untuk mengurangi viral load
(jumlah virus dalam darah) agar menjadi sangat rendah atau di bawah tingkat yang
dapat terdeteksi untuk jangka waktu yang lama.

Saat ini ada tiga golongan ARV yang tersedia di Indonesia :


1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI): obat ini dikenal sebagai
analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi
DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan
ini termasuk zidovudine (ZDV atau AZT), lamivudine (3TC), didanosine (ddl),
zalcitabine (ddC), stavudine (d4T) dan abacavir (ABC).
2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI): obat ini berbeda
dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi
DNA. Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP), efavirenz (EFV),
dan delavirdine (DLV).
3. Protease Inhibitor (PI): obat ini bekerja menghambat enzim protease yang
memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat
dalam golongan ini termasuk indinavir (IDV), nelfinavir (NFV), saquinavir
(SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV), dan lopinavir/ritonavir (LPV/r).

Obat – obat tersebut tersedia dalam bentuk kapsul dan tablet . Hanya sebagian dari
obat di atas tersedia di Indonesia.
ARV dapat juga dipakai untuk mencegah infeksi HIV misalnya setelah tusukan jarum
suntik yang tercemar HIV pada petugas kesehatan atau kasus perkosaan oleh
tersangka yang di curigai terinfeksi HIV. Ini disebut profilaksis pasca pajanan (PEP =
post exposure prophylaxis). ARV juga dapat dipakai untuk mengurangi penularan HIV
dari ibu ke bayi. Penggunaan ARV dengan tujuan ini dibahas di bagian lain dalam buku
pedoman ini.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV
2. Memperbaiki mutu hidup
3. Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan
4. Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam waktu yang lama
BAB II
KONSEP ANTI RETROVIRAL THERAPY (ART)

ARV golongan NRTI dan NNRTI mempunyai cara kerja menghambat enzim
reverse transcriptase sehingga menghambat pembentukan RNA virus menjadi DNA
pada langkah ke 4 siklus hidup virus HIV. Sementara ARV yang termasuk golongan
Protease Inhibitor (PI) sesuai namanya PI memiliki cara kerja menghambat ensim
protease.
Ensim protease sendiri adalah ensim yang berfungsi sebagai “gunting kimiawi”
dalam pemotongan protein rantai panjang menjadi molekul protein yang lebih kecil pada
langkah ke 10 : yaitu langkah yang memungkinkan protein virus yang baru di bentuk dan
disusun. Gambar dalam keadaan sebenarnya yang dihasilkan dengan menggunakan
mikroskop-elektron yang menggambarkan langkah tonjolan dan langkah-langkah
selanjutnya tampak pada kulit muka buku ini.

Dasar-dasar yang perlu diperhatikan dalam keputusan untuk penggunaan ART :


1. HIV bereplikasi dengan cepat dan terus menerus sejak awal infeksi. Pada
seorang yang terinfeksi HIV, sedikitnya sepuluh milyar virus dibuat dan
dihancurkan setiap hari. Walaupun ada replikasi yang cepat, sebagian besar
pasien tetap sehat selama bertahun-tahun sekalipun tanpa terapi antiretroviral.
2. Replikasi HIV yang terus menerus mengakibatkan kerusakan pada system
kekebalan tubuh semakin berat dan menyebabkan kerentanan terhadap infeksi
oportunistik, kanker, penyakit syaraf, wasting (kehilangan berat badan tanpa
alasan jelas) dan berakhir dengan kematian.
3. Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV dan kecepatan penghancuran sel
CD4, sedangkan penurunan jumlah CD4 menunjukkan tingkat kerusakan pada
system kekebalan yang disebabkan oleh HIV.
4. Tinggi rendahnya viral load menunjukkan cepat lambatnya perjalanan penyakit
dan kematian. Pemeriksaan jumlah CD4 dan viral load secara berkala (jika dapat
dilakukan) dapat menentukan arah perkembangan penyakit pada pasien yang
terinfeksi HIV dan untuk mengetahui kapan sebaiknya memulai atau mengubah
regimen ART.
5. Penurunan system kekebalan di antara orang yang terinfeksi HIV dapat berbeda –
beda. Keputusan untuk memulai pengobatan dilakukan berdasarkan jumlah CD4
dan viral load (jika mungkin dilakukan) atau limfosit total serta gejala klinis.
6. Terapi kombinasi antiretroviral dapat menekan replikasi HIV sampai di bawah
tingkat yang dapat dideteksi oleh tes yang peka. Penekanan virus secara efektif
ini mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan menunda
perkembangan penyakit. Jadi penekanan virus secara maksimal menjadi tujuan
terapi.
7. Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus – menerus adalah
memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang
dipakai harus di mulai pada saat yang bersamaan dan tidak pernah dipakai
sebelumnya. Obat tersebut tidak boleh menimbulkan resisten silang (cross
resistant) dengan obat yang pernah dipakai.
8. ARV yang dipakai dalam terapi kombinasi harus berdasarkan jadwal dan dosis
yang dioptimalkan. Sampai saat ini pengetahuan tentang mekanisme kerja dan
jenis ARV masih terbatas dan dilaporkan adanya resistensi silang pada obat –
obat tertentu.
9. Wanita seharusnya menerima ART yang optimal tanpa memperhatikan status
kehamilannya.
10. Prinsip yang sama diberlakukan juga pada pemberian ART untuk anak maupun
orang dewasa yang terinfeksi HIV, walaupun pengobatan pada anak yang
terinfeksi HIV perlu mendapat pertimbangan khusus.
11. Orang dengan HIV, walaupun dengan viral load yang tidak terdeteksi, harus tetap
dianggap menular. Mereka harus diberi konseling agar menghindari hubungan
seks atau penggunaan narkotika suntik yang dapat menularkan HIV dan pathogen
menular lain.
12. ART harus dipakai terus – menerus dengan kepatuhan yang sangat tinggi,
walaupun sering dijumpai efek samping. Keterlibatan pasien dan pendampingnya
(keluarga, pasangan, teman) sangat penting dalam semua pertimbangan dan
keputusan untuk memulai ART. Hubungan baik antara pasien dan dokternya
sangat diperlukan.

Dampak ART
Penggunaan ART di Negara maju menyebabkan penurunan drastis morbiditas dan
mortalitas akibat AIDS serta menimbulkan pemulihan kembali system kekebalan tubuh.
Peningkatan jumlah CD4 rata – rata 100-200 pada tahun pertama. Pasien dengan kemajuan
seperti ini dapat menghentikan profilaksis primer atau sekunder untuk beberapa infeksi
oportunistik.
Catatan : bila ART dimulai pada waktu jumlah CD4 sangat rendah maka ada kemungkinan
gejala infeksi Oportunistik tertentu dapat muncul lagi pada saat system kekebalan tubuh
mulai pulih kembali dan melawan infeksi yang sudah ada. Hal ini disebut sebagai immune
reconstitution syndrome atau sindrom pemulihan kembali kekebalan.

Keterbatasan ART
Walaupun ART sudah menjadi kunci dalam penatalaksanaan penyakit HIV, ada beberapa
keterbatasan :
1. ART tidak mampu memberantas virus. Terapi ini gagal mengendalikan viremia dalam
kurang – lebih sepertiga pasien pada uji klinis. Viremia cepat meningkat kembali
setelah berhenti terapi, atau menghentikan salah satu obat dalam kombinasi. Pasien
harus melanjutkan terapi seumur hidup agar memperoleh manfaatnya yang optimal.
2. Jenis HIV yang resisten sering muncul, terutama jika kepatuhan pasien pada terapi
tidak hampir sempurna (95% atau lebih). Kegagalan lebih mungkin terjadi pada
tahap penyakit yang sudah lanjut. Kepatuhan pada terapi jangka panjang adalah sulit
: semakin lama kepatuhan cenderung semakin menurun.
3. Penularan HIV melalui perilaku yang berisiko dapat terus terjadi, walaupun viral load
tidak terdeteksi. Jenis virus yang resisten terhadap semua obat dalam regimen ART
dapat ditularkan ke orang lain melalui perilaku berisiko.
4. Efek samping jangka pendek akibat ART sering terjadi, mulai dari yang ringan
termasuk anemia, neutropenia, mual, sakit kepala, sampai yang berat, misalnya
hepatitis akut, reaksi hipersensitif dan sindrom Stevens Johnson. Sedangkan efek
samping jangka menengah baru mulai diketahui, misalnya resistensi insulin, asidosis
laktat, hiperlipidemia dan perpindahan lemak dalam tubuh (lipodistrofi/lipoatrofi). Efek
samping jangka panjang belum diketahui. Selain efek samping dapat pula ditemukan
interaksi dengan obat yang dipakai untuk penyakit lain, misalnya TB.
5. Pada saat ini di Indonesia hanya ada sedikit pilihan untuk pasien yang gagal dengan
pengobatan regimen baku atau mengalami efek samping yang berat.

Manfaat dan keterbatasan ART


Manfaat ART Keterbatasan ART
Tidak menyembuhkan, obat harus diminum
seumur hidup. Efektif pada sebagian besar,
Morbiditas dan mortalitas menurun tetapi tidak semua pasien. Prognosis jangka
panjang belum diketahui
Dibutuhkan kepatuhan yang sangat tinggi
Penekanan virus terus menerus selama Pemantauan ketat dibutuhkan agar terapi
beberapa tahun dapat dicapai oleh cukup dapat dirubah jika resistensi berkembang
banyak pasien jenis virus yang resisten dapat ditularkan
melalui hubungan seks yang beresiko
Pasien yang menerima ART tetap produktif Efek samping beberapa regimen dapat
mengurangi mutu hidup
System kekebalan tubuh mulai pulih, dan ini
Infeksi oportunistik masih dapat terjadi,
mengurangi kebutuhan akan profilaksis
terutama jika terapi dimulai dengan jumlah
terhadap infeksi oportunistik
CD4 yang rendah

Penularan dari ibu ke bayi masih tetap dapat


Mengurangi penularan HIV dari ibu ke bayi
terjadi

Mengurangi biaya rawat inap dan Biaya terus menerus untuk obat dan
memelihara anak yatim piatu pemantauan terapi

Ketersediaan ART mendorong orang dengan Layanan bermutu dan terjangkau dibutuhkan
HIV untuk meminta tes HIV dan untuk meyakinkan konseling dan tindak
mengungkapkan status HIV nya secara lanjut medis .
sukarela .
BAB III
TATALAKSANA PEMBERIAN ANTI RETROVIRAL THERAPY (ART)

Ketersediaan dan Biaya ART di Indonesia


Saat ini (Agustus 2003) hanya sebagian kecil jenis ARV tersedia dengan harga yang relatif
terjangkau di Indonesia. Obat generik dengan harga yang lebih murah yang tersedia di
Indonesia seperti tampak dalam tabel berikut ini.

Antiretroviral yang tersedia di Indonesia sesuai golongan


Nama Singkat
Golongan Produsen Asli Nama Dagang Sediaan
generik an
Kapsul/tablet 300 mg
Zidovudi AZT,ZD GlaxoSmithKline Retrovir,Zidovex*
Kapsul 100 mg
ne V Kimia Farma Reviral

Tablet 150 mg
Lamivudi GlaxoSmithKline Epivir,Lamivox* Larutan 10 mg/ml
3TC
NRTI ne Kimia Farma hiviral Tablet 150 mg

Stavudin Bristol Myers-


D4T Zerit,Stavex* Kapsul 30 mg, 40 mg
e Squibb
Didanosi Bristol Myers- Tablet kunyah : 100
ddI Videx
ne Squibb mg
Nevirapi Boehringer Viramune,
NNRTI NVP Tablet 200 mg
ne Ingelheim Nevirex*
Agouron
PI Nelfinafir NFV Viracept,Nelvex* Tablet 250 mg
Pharmaceutical
AZT 300 mg + 3TC
AZT + GlaxoSmithKline Combivir,Zidovex 150 mg
3TC Kimia Farma -L* Duviral AZT 300 mg + 3TC
150 mg
Koformula AZT 300 mg + 3TC
si 150 mg+NVP 200
Aurobindo Zidovex-LN*
AZT+3T mg
C+NVP AZT 300 mg + 3TC
Kimia Farma Triviral
150 mg + NVP 200
mg
Contoh penulisan resep Antiretroviral
*) Nevirex dosis 1 x 1 kapsul 14 hari pertama, dimaksudkan untuk memperkecil efek
samping hepatotoksik
Contoh Resep 1 Contoh Resep 2

Batusangkar , 11 Maret 2017 Padang, 11 Maret 2011

R/ Zidovex-L No. LX R/ Zidovex-L No. LX


S 2 dd 1 S 2 dd I
R/ Nevirex No. XLV
S I dd I kapsul untuk 14 hari,
Selanjutnya 2x1
S 2 dd I kapsul *)

Pro : Ny. EF Pro : Ny. EF


Umur : Dewasa Umur : Dewasa

Regimen ART yang diusulkan untuk Indonesia

Satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari Kolom B

Kolom A Kolom B

Nevirapine AZT + ddl


nelfinavir ddl + 3TC
d4T + ddl
AZT + 3TC
d4T + 3TC

Karena nelfinavir jauh lebih mahal daripada nevirapine maka nevirapine digunakan sebagai
pilihan pertama dan nelfinavir dicadangkan sebagai pilihan kedua apabila pilihan pertama
gagal atau pasien tidak tahan efek samping nevirapine.

Pasien dengan Haemoglobin rendah dari 5 tidak dianjurkan memakai kombinasi dengan
AZT karena salah satu efek samping AZT adalah anemia.
Efek samping ARV
Efek samping atau efek yang merugikan ARV merupakan hal yang harus diperhatikan
karena dapat mengganggu kepatuhan pengobatan. Beberapa efek samping mungkin
sedemikian berat sehingga membutuhkan penghentian obat.
Berikut ini adalah table yang menggambarkan efek samping ARV

Efek samping ARV

Nama generic Efek samping

Golongan NRTI: Anemia,neutropenia,intoleransi Gastro


Zidovudine (AZT,ZDV) Intestinal,sakit kepala,sulit tidur,miopati, asidosis
laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)

Lamivudine (3TC) Sedikit toksisitas, asisdosis laktat dengan


Steoatosis hepatitis (jarang)

Stavudine (d4T) Pancreatitis, Neuropati perifer, Asidosis Laktat


dengan steatosis hepatitis (jarang) Lipoatrofi

Didanosine (ddl) Pancreatitis, Neuropati perifer, lipoatrofi, Asidosis


laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)

Golongan NNRTI: Ruam kulit, sindrom Stevens Johnson, Peningkatan


Nevirapine (NVP) serum aminotransferase, hepatitis, keracunan hati
yang mengancam jiwa

Golongan PI: Diare, hiperglikemia, perpindahan lemak (lipodistrofi)


Nelfinavir (NFV) kelainan lipid
Indikasi Anti Retroviral Therapi
ART diindikasikan untuk mereka yang memenuhi kriteria sbb :
1. Infeksi HIV telah dikonfirmasikan dengan tes antibodi.
2. Keputusan untuk mulai menggunakan ART diambil setelah pasien dan keluarga /
pendamping mendapat informasi yang lengkap tentang dana yang dibutuhkan,
jaminan kepatuhan berobat yang tinggi, efek samping yang mungkin terjadi .
3. Indikasi laboratorium atau klinis sbb:
a. Penyakit HIV stadium IV WHO tanpa memperhatikan jumlah CD4, atau
b. Jika tes CD4 dapat dilakuka, ART sebaiknya dimulai sebelum jumlah CD4
turun di bawah 200, atau
c. Jika tes CD4 tidak dapat dilakukan, ART sebaiknya dimulai jika infeksi HIV
memenuhi klasifikasi klinis stadium II atau III WHO, dengan limfosit total di
bawah 1200.

Pengalaman pemberian ART di Negara berkembang menunjukkan bahwa sebagian besar


pasien memulai setelah jumlah CD4 di bawah 200. Di Indonesia, upaya sebaiknya di
arahkan pada diagnosis HIV secara dini dan pemantauan jumlah CD4 atau limfosit total
serta gejala klinis untuk menentukan bahwa ART ditawarkan kepada pasien pada waktu
yang tepat.

Pemantauan pengobatan ARV


Pemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat:
1. Kepatuhan minum obat .
2. Gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan penyakit
itu sendiri.
Pemantauan sebaiknya dilakukan satu bulan sesuadah pengobatan dimulai dan selanjutnya
setiap tiga bulan sekali.

Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ART:


1. Secara klinis :
a. Berat badan meningkat
b. Tidak terkena infeksi opportunistic, atau kalaupun terkena, infeksi tidak berat
c. Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari dua
minggu, panas, diare, dll. Disertai pemeriksaan fisik.
2. Pemeriksaan laboratorium
Tes darah rutin termasuk darah lengkap, SGPT/SGOT, kreatinin, gula darah, kolesterol
dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping obat dan perjalanan penyakit.
Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada regimen obat yang digunakan. Tes jumlah
CD4 setiap enam bulan sekali diperluka untuk menentukan kapan profilaksis dapat
dihentikan. Bila tes ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai hitung limfosit total.

Indikasi untuk mengganti regimen atau berhenti ART


Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan dengan mengganti satu atau lebih
obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas.
Mengganti terapi akibat kegagalan untuk hal ini sebaiknya ada kriteria khusus untuk
penggantian terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing – masing obat
dalam kombinasi diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian atau
penghentian dilakukan apabila :
1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya
monoterapi atau terapi dengan dua nukleosida (NRTI)
2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi
terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi
3. Jumlah CD4 terus – menerus menurun setelah dites dua kali dengan interval beberapa
minggu
4. Infeksi oportunistik atau berat badan mulai menurun secara drastic. Hal ini harus
dibedakan dengan immune reconstitution syndrome / sindrom pemulihan kembali
kekebalan

Anti Retroviral Therapy dan kehamilan


Biasanya, ibu hamil disarankan untuk tidak memakai obat pada triwulan pertama kehamilan.
Namun tidak ada bukti bahwa obat ARV yang di pakai di Indonesia dapat menyebabkan
masalah pada ibu atau janin, sehingga apabila sudah ada indikasi untuk ART, maka
sebaiknya diberikan. Data menunjukkan bahwa ART akan menurunkan resiko penularan
HIV dari ibu ke anak. Walaupun demikian beberapa dokter tidak menyarankan ibu hamil
memulai ART pada triwulan pertama karena mual atau muntah yang sering terjadi pada
awal kehamilan dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan.

ART dan Tuberkulosis


Karena prevalensi tuberculosis pada ODHA di Indonesia adalah tinggi maka banyak
pasien calon ART menderita pula TB aktif. Lagi pula pasien yang sudah menerima ART
tetap dapat terkena TB aktif. Pengobatan dan penanggulangan TB secara efektif adalah
prioritas utama untuk pasien yang terinfeksi HIV bersama dengan TB. Penatalaksanaan HIV
dan TB secara bersamaan menjadi lebih sulit karena beberapa obat antiretroviral
berinteraksi dengan obat anti-TB dan/atau dapat meningkatkan teksisitas pengobatan TB.
Pengobatan TB dengan strategis DOTS harus segera dimulai pada orang yang didiagnosis
TB aktif.
Masalah utama dalam penatalaksanaan pasien dengan HIV dan TB adalah kapan memulai
ART. Penuntun untuk itu dapat dilihat pada Tabel berikut ini:

ART untuk orang yang terinfeksi HIV dengan TB


Keadaan Usulan
Mulai OAT selama 2 minggu . Mulai ART
TB paru dengan jumlah CD4 dibawah 50 atau
dengan AZT+3TC+NVP segera setelah
TB di luar paru
tidak ada keluhan dengan OAT
Mulai OAT. Mulai ART dengan
TB paru dengan jumlah CD4 50-200 atau AZT+3TC+NVP dua bulan setelah terapi
limfosit total di bawah 1200 dimulai, jika CD4 masih dibawah 200 atau
limfosit total masih dibawah 1200
TB paru dan jumlah CD4 di atas 200 atau Mulai OAT. Mulai ART sesuai dengan
kadar limfosit total di atas 1200 indikasi

Pasien yang sudah memakai ART dan terkena TB aktif harus menyesuaikan regimen ART
agar cocok dengan pengobatan TB. Setelah terapi TB selesai, regimen ART dapat
diteruskan seperti semula atau diubah tergantung pada status klinis dan imunologis pasien.

Persyaratan untuk pemberian ART


Persyaratan berikut penting untuk pemberian ART secara baik :
1. Tes HIV secara sukarela disertai konseling (VCT) yang mudah dijangkau untuk
mendiagnosis HIV secara dini
2. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART,
pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll
3. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan
serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART
4. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati,dll
5. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik
akibat HIV
6. Tersedianya obat yang mutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi
oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV
7. Tersedianya tim kesehatan terpadu termasuk dokter, perawat, konselor, pekerjaan
sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok
dukungan ODHA dan pendampingnya
8. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang
penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk system untuk menyebarluaskan
informasi dan pedoman baru
9. Obat ARV diresepkan / digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku

ANTI RETROVIRAL THERAPY PADA ANAK


Walaupun perjalanan penyakit infeksi HIV dengan penggunaan ART pada anak adalah
serupa dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan
untuk bayi, balita dan anak yang terinfeksi HIV
System kekebalan bayi mulai dibentuk dan berkembang selama beberapa tahun pertama.
Bila bayi tertular HIV dalam masa kehamilan dan persalinan maka gejala klinis, jumlah CD4
dan viral load berbeda dengan orang dewasa.
Efek obat juga berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan
perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada
anak menjadi tantangan tersendiri.
Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang
menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi
manfaat serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa.

Resistensi terhadap obat ARV


HIV dapat mengalami mutasi gen atau mengubah struktur kimia serta struktur
genetiknya sehingga resisten atau tidak lagi mempan oleh obat ARV.
Secara umum resistensi obat ARV meningkatkan apabila ARV diberikan sebagai obat
tunggal. Namun meskipun timbul resistensi, tidak selalu berarti ODHA tidak dapat minum
obat ARV itu lagi. Resistensi akan timbul lebih lambat apabila viral load rendah dan CD4
masih tinggi. Sebaliknya HIV akan lebih cepat resisten apabila viral load tinggi.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Pelaksanaan ART secara efektif adalah rumit dan jika tidak dilaksanakan dengan
baik, dapat berdampak buruk pada penanggulangan HIV / AIDS yaitu memicu timbulnya
resistensi obat. Untuk menjamin bahwa semua unsur ART ditangani secara baik, protokol
khusus akan dibuat untuk menuntun dokter dan tenaga kesehatan lain.
Beberapa aspek ART berubah secara cepat, misalnya penemuan obat baru,
perubahan regimen, penurunan harga obat, munculnya resistensi obat, dll. Karena itu,
dokter yang meresepkan ART harus selalu mengikuti perkembangan ilmiah terbaru. Protokol
untuk ART harus sering diperbarui.
Pelaksanaan ART secara efektif membutuhkan tingkat komitmen yang tinggi dari petugas
kesehatan, pasien dan pendampingnya.

Anda mungkin juga menyukai