Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Bibir sumbing (cleft lip) adalah kelainan berupa celah pada bibir atas yang
didapatkan sejak lahir. Celah dapat terjadi pada satu sisi (unilateral) atau pada
kedua sisi (bilateral). Kelainan ini terjadi karena tidak adanya fusi secara normal
dari bibir pada proses embrional yang dapat terjadi sebagian atau sempurna.1 ((CASE
REPORT anggriani)
Keadaan kelainan ini dapat meyebabkan berbagai bervariasi
problem yang berhubungan dengan rongga mulut, bicara, pendengaran dan
mungkin juga mempengaruhi jumlah, ukuran, bentuk dan posisi gigi sulung
maupun gigi tetap.(PUJIASTUTI)

Labioskizis, yang umum dikenal dalam masyarakat sebagai bibir


sumbing/celah bibir, dengan atau tanpa celah langit-langit/palatum (palatoskizis)
adalah malformasi wajah yang umum di masyarakat, terjadi hampir pada 1 dari
700 kelahiran di dunia. Pada populasi prenatal, banyak janin dengan
labiopalatoskizis dan palatoskizis memiliki kelainan kromosom atau kelainan lain
yang membuatnya tidak mampu bertahan hidup. Dengan demikian, insidens
labiopalatoskizis dan palatoskizis pada populasi prenatal lebih besar dibandingkan
dengan populasi postnatal.(KALBEMED

Di Indonesia, kelainan ini cukup sering dijumpai, walaupun tidak banyak


data yang mendukung. Jumlah penderita bibir sumbing dan celah palatum yang
tidak tertangani di Indonesia mencapai 5.000-6.000 kasus per tahun, diperkirakan
akan bertambah 6.000- 7.000 kasus per tahun. Namun karena berbagai kendala,
jumlah penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal, hanya sekitar 1.000-1.500
pasien per tahun yang mendapat kesempatan menjalani operasi. Beberapa
kendalanya adalah minimnya tenaga dokter, kurangnya informasi masyarakat
tentang pengobatannya, dan mahalnya biaya operasi. (KALBEMED
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. NL
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 1 tahun
Alamat : Jln. Mutiara Sakti
Agama : Hindu
Tanggal masuk RS : 21 Maret 2017
Tanggal Operasi : 22 Maret 2017

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Bibir sumbing
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk dengan keluhan bibir sumbing sisi kiri yang tersambung
ke langit-langit mulut sebelah kiri, yang dialami sejak lahir ± 1 tahun lalu.
Tidak ada gangguan makan, tidak ada gangguan minum, belum bisa bicara,
pertumbuhan gigi ada. Mual (-), muntah (-), keluar darah dari hidung,
mulut, dan telinga (-), pusing (-), sakit kepala (-), demam (-), BAK normal,
BAB normal. Riwayat lahir cukup bulan dengan sectio caessaria atas
indikasi ketuban pecah dini. Riwayat kehamilan ibu, tidak pernah sakit dan
tidak ada konsumsi obat.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak ada riwayat alergi obat, tidak ada riwayat alergi makanan,
riwayat operasi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama,
riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes mellitus (-).
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status General
Keadaan Umum : Baik
Gizi : Cukup
Berat Badan : 10 Kg
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4M6V5)

b. Tanda vital
TD :-
RR : 28x/menit
Nadi : 120x/menit
Suhu : 36,70C

c. Kepala-leher
Kepala
Bentuk : Normocephal, lesi (-)
Rambut : Warna hitam
Wajah : Simetris, paralisis fasial (-), deformitas (-), nasal dan bibir
tampak asimetris.
Kulit : Pucat (-), sianosis (-), massa (-), turgor <2 detik.

Mata
Eksoftalmus (-), palpebra edema (-), ptosis (-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bentuk isokor, bulat, refleks cahaya (+/+)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-)

Telinga
Bentuk dan ukuran normal, simetris kanan dan kiri
Hidung & sinus
Deviasi septum nasi (-), bentuk cuping hidung kiri dan kanan asimetris,
polip (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-), nyeri tekan pada sinus (-)

Mulut & faring


Bibir : asimetris, tampak celah pada bibir atas kiri sianosis (-),
pucat (-)
Gusi : gingivitis (-), berdarah (-)
Gigi : karies dentis (-), beberapa gigi belum tumbuh
Lidah : deviasi lidah (-), lidah kotor (-)
Tonsil : T1/T1 hiperemis (-)
Lai-lain : tampak celah pada palatum
Mallampathy : sulit dinilai

Leher
Inspeksi : jaringan parut (-), massa (-)
Palpasi : pembengkakan kelenjar limfe (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-), nyeri tekan (-)

d. Thorax
Inspeksi : Pergerakan thoraks simetris, sikatrik (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), VF kanan=kiri
Perkusi : Sonor (+/+) pada kedua lapang paru
Auskultasi : BP vasikuler (+/+), Rhonchi (-/-), Wheezing (-/-)
Bunyi jantung I/II murni reguler

e. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa tumor (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-)

f. Ekstremitas
Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)
Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Darah Rutin
WBC : 9,0 103/mm3 (5,0 – 15,0)
RBC : 3,31 106/mm3 (4,10 – 5,50)
HGB : 11,6 g/dl (12,0 – 14,0)
PLT : 339 103/mm3 (200 – 400)
HCT : 29,7% (36,0 – 44,0)
BT : 4’ (1 – 5 menit)
CT : 9’ (4 – 10 menit)
b. Fungsi hati
SGOT : 40,4 mg/dl (0 – 41,0)
SGPT : 12,8 mg/dl (0 – 37,0)
HbsAg : (-)

V. DIAGNOSIS
Cleft lip and palato unilateral complete sinistra

VI. KESIMPULAN KONSUL ANASTESI


- Status fisik ASA II
- Rencana anastesi general anastesi (GA)

VII. ANJURAN
- Puasakan 4 jam sebelum tindakan operasi
VIII. LAPORAN ANASTESI
1. Diagnosis Pra Bedah : Cleft lip and palato unilateral complete
sinistra
2. Diagnosis Pasca Bedah : Cleft lip and palato unilateral complete
sinistra
3. Penatalaksanaan Preoperasi : IVFD RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anastesi :
a. Jenis Pembedahan : Labioplasty
b. Dokter Bedah : dr. Muh Gazali, Sp.BM
c. Dokter Anastesi : dr. Faridnan, Sp.An
d. Jenis Anastesi : General anasthesia
e. Mulai Anastesi : 22 Maret 2017, pukul 11.20 WITA
f. Mulai Operasi : 22 Maret 2017, pukul 11.35 WITA
g. Premedikasi : Sulfat Atropin 0,0625 mg
h. Induksi : Sevoflurane 3vol% inhalasi
i. Relaksasi : Atracurium 1mg (tramus)
j. Maintanance : O2, Sevoflurane 3 vol %, dexamethasone
1,5 mg
k. Respirasi : Spontan Respirasi (terkontrol)
l. Posisi : Supine
m. Cairan Durante Operasi : RL 500 cc
n. Pemantauan HR : Terlampir
o. Selesai Operasi : 12.15 WITA

Tanggal 22 Maret 2017 pukul 10.50 WITA, An.NL 1 tahun tiba di ruang
operasi dengan terpasang infus RL. Pukul 11.10 pasien masuk ruang OK lalu
monitor dipasang, kemudian diberikan premedikasi dengan injeksi sulfat atropin
0,0625 mg. Pukul 11.20 dilakukan induksi dengan sevoflurane 3 vol% secara
inhalasi, segera kepala di ekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan
O2 4 lpm kurang lebih 5 menit. Pukul 11.25 diberikan muscle relaxan atracurium
1 mg (tramus).

Setelah pasien terinduksi dengan tanda refleks bulu mata menghilang


kemudian diberikan O2 4 lpm dengan menggunakan sungkup. Setelah itu
dilakukan pemasangan ETT (endotracheal tube) no. Dengan menggunakan
laringoskop blade no. . setelah intubasi dilakukan, ETT dikunci dan dihubungkan
dengan mesin anestesi untuk mengalirkan O2 sebesar 4 lpm. Setelah itu dilakukan
auskultasi paru kanan dan kiri untuk memastikan apakah ETT terpasang dengan
benar.

Selanjutnya dilakukan pemeriharaan anestesi dengan kombinasi inhalasi


O2 dan Sevoflurane 3 vol%. Pada pasien ini diberikan O2 4 lpm. Maintenance
sevoflurane dapat di atur baik diturunkan maupun dinaikkan sesuai kebutuhan
pasien. Ventilasi dilakukan dengan respirasi spontan hingga operasi selesai.
Selama maintenance diperhatikan monitor tanda-tanda vital, tanda vital di catat
setiap 5 menit. Operasi selesai pukul 12.15 seelah itu pasien diberikan
dexamethasone 1,5 mg.

Tabel tanda-tanda vital pasien

Frekuensi
Tekanan Saturasi
Jam denyut Terapi
darah oksigen
nadi
11.10 - 150 100
SA 0,0625 mg
11.15 - 150 100
Atracurium 1mg (tramus)
11.20 - 150 100 Sevoflurane 3 vol%
11.25 - 170 100
11.30 - 170 100
11.35 - 180 100
11.40 - 180 100
11.45 - 174 100
11.50 - 155 100
11.55 - 150 100
12.00 - 145 100
12.05 - 150 100
12.10 - 145 100
12.15 - 130 100 Dexamethasone 1,5 mg
BAB III
PEMBAHASAN

Celah bibir merupakan keadaan kongenital (kadang-kadang melibatkan


tulang rahang atas) berupa cacat pertumbuhan sepanjang garis fusi normal
jaringan bibir, mengakibatkan timbulnya celah atau fisur. Celah langit-langit
merupakan kurangnya fusi sepanjang garis perkembangan normal dari palatum.
Bisa terjadi secara unilateral atau bilateral,komplit atau inkomplit. (sri hartuti)
Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum adalah 1 dari 2.000
kelahiran di Amerika Serikat. Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah
palatum bervariasi berdasarkan etnis, dari 1.000 kelahiran didapatkan pada etnis
Indian 3,6, etnis Asia 2,1, etnis kulit putih 1,0, dan etnis kulit hitam 0,41.
Sebaliknya, insidens celah palatum konstan pada semua etnis, yaitu 0,5 dari 1.000
kelahiran.3 Insidens berdasarkan jenis kelamin pria dan wanita adalah 2:1 untuk
bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum dan 1:2 untuk celah palatum saja.
Secara keseluruhan, proporsi kelainan ini di Amerika Serikat: 45% celah lengkap
pada bibir, alveolus, dan palatum; 25% celah bibir, alveolus, atau keduanya; dan
30% celah palatum.3 Penelitian di Hawaii (1986-2003) membandingkan angka
kejadian bibir sumbing dan celah palatum dengan bibir sumbing saja yaitu sebesar
3,2% dan 1,0%.2,3 Insidens terbanyak pada orang Asia dan Amerika
dibandingkan orang kulit hitam. (kalbemed)
Proses terbentuknya kelainan ini sudah dimulai sejak minggu-minggu awal
kehamilan ibu. Saat usia kehamilan ibu mencapai 6 minggu, bibir atas dan langit-
langit rongga mulut bayi dalam kandungan akan mulai terbentuk dari jaringan
yang berada di kedua sisi dari lidah dan akan bersatu di tengah-tengah. Bila
jaringan ini gagal bersatu, maka akan terbentuk celah pada bibir atas atau langit-
langit rongga mulut. Kelainan ini terjadi pada periode organogenesis antara
minggu ke-4 sampai minggu ke-5 masa embrio. Perkembangan wajah pada fetus
berjalan cepatdan meluas selama triwulan pertama. Kejadian bibir sumbing
kemungkinan berhubungan dengan usia ibu saat melahirkan, dan perkawinan
antar penderita celah bibir sumbing. Diagnosa biasa dilakukan saat lahir.
Penanganan terbaik adalah operasi bibir sumbing, dengan kondisi anak saat
berusia 2,5 – 3 bulan. Tentunya dilihat pula persyaratan Triple Ten nya. Faktor
keturunan (genetik/herediter) merupakan dugaan kuat penyebab bibir sumbing,
ialah melalui gen resesif karena perkawinan. Selain itu dapat karena faktor
lingkungan seperti infeksi yang disebabkan virus rubella atau campak sewaktu ibu
hamil muda, zat kimia yang menyebabkan kelainan perkembangan embrio jika
diberikan selama kehamilan (hydantoin, trimethadione, valporate, dll). Defisiensi
nutrisi (kekurangan asam folat) juga diduga merupakan penyebabnya. Penyebab
multifaktor paling sering ialah kombinasi lingkungan (obat-obatan, penyakit,
konsumsi alkohol, merokok atau infeksi) dan genetik. Radiasi dari bahan
teratogenik berpotensi menjadi penyebab kelainan ini. Stress, anemia dan
malnutrisi serta faktor hormonal dapat menyebabkan pencetus kelainan ini.
Klasifikasi Veau memperkenalkan metode klasifikasi celah wajah menjadi
empat kategori yaitu:
1. Celah hanya pada jaringan palatum mole
2. Celah pada jaringan palatum mole dan palatum durum
3. Celah bibir dan palatum unilateral
4. Celah bibir palatum bilateral

Gambar 1. Klasifikasi Venau

Klasifikasi kedua merupakan klasifikasi yang lebih detail namun masih


berdasar pada perkembangan embriologi. Celah bibir/bibir sumbing
diklasifikasikan menjadi unilateral dan bilateral, dan lebih lanjut sebagai lengkap
atau tidak lengkap. Bibir sumbing lengkap merupakan celah yang mencapai
seluruh ketebalan vertikal dari bibir atas dan terkadang berkaitan dengan celah
alveolar. Bibir sumbing tidak lengkap terdiri dari hanya sebagian saja ketebalan
vertikal dari bibir, dengan bermacam-macam jenis ketebalan jaringan yang masih
tersisa, dapat berupa peregangan otot sederhana dengan bagian kulit yang
meliputinya atau sebagai pita tipis kulit yang menyeberangi bagian celah tersebut.
Simonart’s Band merupakan istilah untuk menyebut suatu jaringan dari bibir
dalam berbagai ukuran yang menghubungkan celah tersebut. Walaupun
Simonart’s Band biasanya hanya terdiri dari kulit, gambaran histologis
menunjukkan terkadang juga terdiri dari serat-serat otot. Celah palatum
diklasifikasikan sebagai unilateral atau bilateral, dan perluasannya lebih lanjut
sebagai lengkap atau tidak lengkap.
Tidak terdapat sistem terminologi dan klasifikasi yang secara universal
dapat diterima bersama, tetapi ada skema klasifikasi yang diterapkan oleh
departemen bedah otolaringologi-kepala dan leher Universitas Iowa (Gambar 2).
Bibir sumbing dibagi menjadi unilateral kiri atau kanan, atau bilateral (kelompok
I), dapat juga lengkap (dengan ekstensi mencapai dasar hidung) atau tidak
lengkap. Bibir sumbing saja dapat terjadi, namun celah yang terjadi pada daerah
alveolus selalu dikaitkan dengan bibir sumbing. Celah pada palatum dapat dibagi
menjadi primer (terlibatnya anterior foramen insisivum, kelompok IV) atau
sekunder (terlibatnya posterior dari foramen insisivum, kelompok II), dan
kelompok III yaitu pasien dengan bibir sumbing dan celah palatum.
Gambar 2. Klasifikasi Unversitas Lowa

Celah bibir dapat dikoreksi dengan tindakan labioplasti ialah tindakan


pembedahan untuk menutup celah pada bibir. Tujuan tindakan ialah
menghilangkan asimetri dan mengembalikan bentuk bibir yang tidak sempurna
sehingga befungsi optimal dan tidak berbekas. Ada beberapa teknik pembedahan
labioplasti, salah satunya adalah metode Millard, kelebihan utama metode ini
adalah penempatan parut yang tinggi di bawah dasar hidung dan sepanjang garis
filtrum sehingga meminimalisir bekas jahitan yang biasa disebut jaringan parut.

Persiapan Anestesi dan Premedikasi


Pada umumnya persiapan anestesi diawali dengan persiapan
psikologis/mental bagi pasien yang akan di operasi. Serta pemberian obat-obat
yang dipilih untuk tujuan tertentu sebelum induksi dimulai, hal ini lah yang di
sebut premedikasi. Dengan premedikasi diharapkan bahwa pasien memasuki
ruangan prabedah dengan bebas dari rasa cemas, cukup mengalami sedasi tetapi
mudah dibagunkan.
Oleh karena itu untuk dapat mengetahui dan menilai semua yang tersebut di
atas, maka hanya mungkin apabila dilakukan dengan mengunjungi pasien.
Kunjungan pra bedah dan melakukan dialog dengan pasien, tidak dapat di ganti
dengan cara lain.
Pelaksanaan operasi bibir sumbing diawali dengan pemeriksaan awal berupa
Triple Ten, ialah anak harus memenuhi umur lebih dari 10 minggu, berat badan
minimal 10 pound (5 kg), Hb lebih besar dari 10 mg%. Biasanya diawali dengan
pemeriksaan oleh Dokter Spesialis Anak, yang akan mengecek darah lengkap,
urine, foto thorax, serta kondisi umum anak. Setelah memenuhi persyaratan antara
lain anak harus sehat, tidak menderita penyakit atau kelainan sistemik. Maka
dilakukan persiapan pembedahan meliputi puasa sebelum pembedahan,
premedikasi sebelum operasi dan penyediaan darah sesuai golongan pasien.
Selanjutnya anak disiapkan menunggu di ruang tunggu pasien rawat inap, anak
diajak bermain dan bersenang-senang, hatinya dibuat riang sehingga tenang ketika
dimasukkan ruang operasi. Sebaiknya disediakan mainan yang cukup untuk hal
ini. Demikian juga orang tua pasien, dibuat tenang, secara metode hipnosis, jika
orang tua gelisah, biasanya anak akan merasa gelisah juga.
Setelah penilaian prabedah selesai dengan menghasilkan antara lain
penentuan status fisik pasien, langkah berikutnya ialah menentukan macam
premedikasi yang akan digunakan. Tujuan utama dari pemberian obat premedikasi
adalah :
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anestesia
3. Mengurangi sekresi kelenjaar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anastetik
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan
Obat-obat yang digunakan sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti
di bawah ini:
Golongan Obat Contoh
Antihistamin Promethazine
Antikolinergik Atropin
Antasida Gelusil
Barbiturat Luminal
Benzodiazepin Diazepam, midazolam
Butyrophenon Droperidol
Narkotik Morfin, Petidin
H2 reseptor antagonis Citemidin

Obat premedikasi yang digunakan pada pasien ini adalah sulfat atropin
0,0625 mg. Atropin mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek
muskarinik dari asetilkolin. Atropin ini dapat menembus barier lemak misalnya
Blood-Brain Barrier, Placenta Barrier dan Traktus gastrointestinal.
Reaksi tersering pemakaian obat ini ialah:
a. Menghasilkan efek antisialagog
b. Mengurangi sekresi ion H asam lambung
c. Menghambat refleks brakardia
d. Efek sedativ dan amnestik (terutama scopolamin)
Efek yang kurang menyenangkan dari golongan obat ini ialah:
a. CMS toxicity (gelisah agitasi)
b. Naiknya nadi
c. Midriasis dan cycloplegia
d. Kenaikan suhu tubuh
e. Mengeringkan sekret jalan napas
Setelah pasien mendapat premedikasi sesuai dengan yang direncanakan
pasien akan menjalani periode anestesi agar operasi dapat dilakukan sesuai
rencana. Untuk dapat memilih obat anestesi yang sesuai perlu dipahami tentang
dasar-dasar anestesi umum. Anastesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar
reversibel karena obat-obat anestesi yang disertai dengan hilangnya rasa nyeri
diseluruh tubuh.
Tahapan anestesi umum:
1. Induksi : mulai masuknya obat anestesi sampai hilangnya
kesadaran, dapat diberikan secara parenteral maupun inhalasi.
2. Maintenance : tahapan anestesi dimana pembedahan dapat
berlangsung dengan baik (untuk para ahli bedah)
3. Pengakhiran anestesi : diusakan penderita sadar bila pembedahan selesai
Anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah general anestesi dengan
mempertimbangkan lokasi operasi dan umur pasien dimana pemilihan anestesi
general lebih menguntungkan pada kasus ini, serta hal ini dilakukan agar mudah
dalam pelaksanaannya karena pasien anak cenderung kurang kooperatif untuk
operasi bibir sumbing ini. Sedangkan tekniknya dengan menggunakan intubasi
endotrakeal, karena dengan ini saturasi oksigen bisa di tingkatkan, jalan napas
terjaga bebas, dan dosis obat anestesi dapat di kontrol dengan mudah. Pasien tidak
memerlukan relaksasi sempurna, sehingga tetap bernapas spontan.
Obat induksi yang diberikan pada pasien ini yaitu sevofluran 3 vol% secara
inhalasi. Sevofluran merupakan halogenasi eter. Induksi menggunakan
sevoflurane lebih cepat dibandingkan dengan isoflurane. Baunya tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isoflurane dan
belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.
Selain itu pasien juga diberikan obat pelumpuh otot yaitu atracurium 1 mg.
Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinonin yang berasal dari tanaman Leotica
Leotopeltalum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat
terdahulu antara lain:
a. Metabolisme terjadi di dalam plasma darah (plasma) terutama melalui suatu
reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hoffman. Reaksi tidak bergantung
pada fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna
Dosis intubasi : 0,5-0,6 mg/kgBB/IV
Dosis relaksasi otot : 0,5-0,6 mg/kgBB/IV
Dosis pemeliharaan : 0,1-0,2 mg/kgBB/IV
Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada
umumnya mula kerja atrakurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedangkan
lama kerja atrakurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi saraf
otot dapat terjadi secara spontan sesudah lama kerja berakhir atau dibantu dengan
pemberian antikolinesterase. Atrakurium dapat menjadi obat pelumpuh otot non-
depolarisasi terpilih untuk pasien geriatrik atau dengan kelainan jantung, hati dan
ginjal yang berat.
Pemeliharaan/maintanance adalah tahapan dimana pembedahan dapat
berlangsung dengan baik (untuk para ahli bedah). Yang digunakan adalah anestesi
inhalasi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya
gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut, obat-obat yang
bisa dipakai antara lain isoflouran, halotan, desfluran, dan sevofluran. Pada pasien
ini digunakan pemeliharaan dengan sevofluran 3 vol% dan oksigen 4 lpm.
Sevoflurane merupakan cairan volatile yang mengganggu aktivitas kanal ion
neuron terutama reseptor neurotransmitter sinaptik termasuk nikotinic
acetylcholine, GABA, dan reseptor glutamat. Sevofluran lebih banyak digunakan
karena efek recovery lebih cepat. Selain itu, efek samping berupa mual dan
muntah juga lebih kecil risikonya dibandingkan obat inhalasi lainnya seperti
halothan, dll. Sevofluran juga tidak menimbulkan aritmia jantung. Dosis yang
digunakan untuk pemeliharaan anestesi: 0,5-3% dengan atau tanpa N2O. Setelah
operasi selesai pasien diberikan dexamethasone 1,5 mg.
Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap
(suction), dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi,
dipasang pharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup.
Ekstubasi dapat dilakukan bila pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah
terjaga bebas (intact protective airway reflexes). Ekstubasi juga dapat dilakukan
saat pasien masih dalam anestesi dalam.
Operasi ini menggunakan metode Millard. Hal ini tepat untuk kasus celah
bibir yang lebar dan bibir tebal dengan batas mucocutaneus junction yang jelas.
Teknisnya, setelah titik-titik acuan (titik tengah dari cupid’s bow dan titik puncak
cupid’s bow sisi intak). Incisi dilakukan untuk memisahkan tiga lapisan mukosa
bibir, otot bibir dan kulit terluar. Hecting (penjahitan) dilakukan untuk
penggabungan titik-titik acuan, dilakukan pada masing-masing lapisan. Hecting
mukosa dan otot dilakukan dengan vicryl resorbable 4,0, sedangkan lapisan kulit
dilakukan hecting dengan proline 5,0. Hecting dilakukan dengan teknik interupted
dan dengan simpul surgeon knot. Jahitan luka tidak boleh terlalu kuat untuk
menghindarkan jaringan parut yang tampak pasca operasi. Setelahnya, luka pada
bibir ditutup dengan kasa. Tangan pasien anak diusahakan tidak menyentuh luka
bekas operasi agar penyembuhan menjadi sempurna. Jahitan dibuka seminggu
kemudian pada saat kontrol. Kriteria baik adalah terjadi penyatuan yang sempurna
dari kulit, otot dan selaput mukosa, dasar lubang hidung yang simetris, batas
vermillion simetris, bibir sedikit menonjol, jaringan parut minimalis. Pasien ini
dinyatakan baik pada saat kontrol.
BAB IV
PENUTUP

Celah bibir merupakan keadaan kongenital (kadang-kadang melibatkan


tulang rahang atas) berupa cacat pertumbuhan sepanjang garis fusi normal
jaringan bibir, mengakibatkan timbulnya celah atau fisur. Celah langit-langit
merupakan kurangnya fusi sepanjang garis perkembangan normal dari palatum.
Bisa terjadi secara unilateral atau bilateral,komplit atau inkomplit.
Celah bibir dapat dikoreksi dengan tindakan labioplasti ialah tindakan
pembedahan untuk menutup celah pada bibir. Tujuan tindakan ialah
menghilangkan asimetri dan mengembalikan bentuk bibir yang tidak sempurna
sehingga befungsi optimal dan tidak berbekas.
Pada umumnya persiapan anestesi diawali dengan persiapan
psikologis/mental bagi pasien yang akan di operasi. Serta pemberian obat-obat
yang dipilih untuk tujuan tertentu sebelum induksi dimulai, hal ini lah yang di
sebut premedikasi. Dengan premedikasi diharapkan bahwa pasien memasuki
ruangan prabedah dengan bebas dari rasa cemas, cukup mengalami sedasi tetapi
mudah dibagunkan.
Oleh karena itu untuk dapat mengetahui dan menilai semua yang tersebut di
atas, maka hanya mungkin apabila dilakukan dengan mengunjungi pasien.
Kunjungan pra bedah dan melakukan dialog dengan pasien, tidak dapat di ganti
dengan cara lain

Anda mungkin juga menyukai