Anda di halaman 1dari 21

bandung

Rancangan Kurikulum
performinng
arts
RE/DIS PLATFORM
forum
2018-2019

1
Jalan Buana Sari VII, No. 4, Kujangsari, Bandung Kidul, Bandung.

Website: bandungperformingartsforum.wordpress.com
E-mail: bandungperformingartsforum@gmail.com
+6287822207537

No Rek: Bank BRI 0286-01-59294-50-9 a.n Rahmah Fitriani


https://bandungperformingartsforum.wordpress.com/2017/05/21/2016-di-luar-dari-yang-di-luar/
3
LATAR BELAKANG

Bandung Perfoming Arts Forum (b.p.a.f) dibentuk pada tahun 2016 dengan harapan
bisa menjadi katalis untuk menumbuhkan gagasan dan praktik seni pertunjukan
alternatif, meretas kebekuan teritorial internal-eksternal seni pertunjukan melalui moda
pertukaran lintas disiplin, kontekstualisasi sejarah, dan produksi pengetahuan.

Sepinya wacana kritis dan produksi pengetahuan di medan seni pertunjukan


kontemporer menghadirkan jarak antara praktik yang terus bergulir dengan konteks
kesejarahannya. Juga di Bandung, jarang sekali ada yang menawarkan bentuk-bentuk
inisiatif dan platform alternatif yang melontarkan gagasan kritis, yang secara kolektif
memetakan dan mengaitakan diri pada dinamika jaringan konteks seni pertunjukan
secara lebih luas, menyeberangi batas-batas teritori disiplin seni dan mencari
kemungkinan alternatif bagi perkembangan praktik dan gagasan seni pertunjukan.

Berdasar pada refleksi di atas, setelah dua tahun berujicoba dan bekerja melalui format-
format kerja dan isu, pada dua tahun kedepan ini b.p.a.f mencoba menginisiasi sebuah
platfform tahunan untuk melakukan eksperimentasi perluasan praktik di luar habitat
dan format sanggar dan ide yang terpusat. Proses proyek ini mengambil inspirasi dari
organisme bersel satu, yang ditujukan untuk para seniman seni pertunjukan yang
tertarik dengan metode kerja kolaboratif dan pemikiran dramaturgis sebagai alat dan
proses yang dapat mendorong kualitas penciptaan baik secara individu maupun
kolaboratif.
RE / DIS PLATFORM

Semenjak seniman berhadapan dengan konflik, dirinya telah terbelah di antara


berempati terhadap masalah dan bertarung dengan vokabulari seperangkat keahlian
serta luas pengalaman yang dimilikinya. Kami meyakini bahwa posisi seniman akan
selalu berada dalam situasi berproses di dalam tegangan – diantara ingin menggapai
dan melepaskan, mendekat dan menjauh, menetap dan meninggalkan, namun-pun
perhitungan penting seniman dalam medan kebudayaan bukanlah hanya atas konflik
keberpihakannya saja, tapi juga pada level ‘bagaimana’ dirinya mengolah kenyataan
tersebut menjadi seni.

re / dis platform ini dibuat dan diagendakan dengan sadar bukan/tidak sebagai ‘sekoci
penyelamat’ terhadap kelindan masalah dalam kenyataan - juga pada bagaimana ‘yang
bermasalah’ tersebut diolah sedemikian rupa - sehingga memiliki argumentasi
performatif-nya, kebenaran estetis pada dirinya (juga) – di luar percakapannya dengan
‘sang masalah’. Sebab apa yang bisa membedakan intensi atas masalah pada karya
berita jurnalistik dengan karya seni – adalah ‘metafor’ dan ‘pesona’. Kami meminjam
definisi ‘metafor’ dari Paul Ricoeur sebagai ‘redescription of reality’, sedangkan
‘pesona’ diulas oleh Katya Mandoki sebagai ‘daya pikat yang menyangatkan kejadian’.

Re-deskripsi yang berarti ‘memperbaharui penjelasan’ menekankan pada kata


‘kebaruan’ – jika ‘kenyataan yang terjelaskan’ diemban oleh produk-produk media
informasi – maka agensi seni ditujukan justru untuk memperbaharui masalah
(renewing), mengulang-ulang untuk mendapatkan fokus pembicaraan yang
mengendap/‘yang laten’ (reiterasi), bahkan hingga mengusulkan definisi baru pada
konflik (redefinition). Resiko yang harus dihadapi/diambilnya bukan lagi sebagai alat
informasi (disinformative) dan bukan sebagai fungsi-praktis (disfunction), sebab dirinya
‘bermain’/’play di kualitas tafsir/makna – dengan sejumlah pedekatan dramaturgi atau
kuratorial yang khusus – sehingga tak mungkin dirinya tidak menjadi elit/elitis.

Memperbaharui dan memutuskan mata rantai kegunaan seni bagi kenyataan, bukan
berarti mengacuhkan referensi objektifnya – namun bagaimana realitas ditemukan
ulang - dibahasakan kembali, secara unik, politis juga transformatif – melalui
kompleksitas puitika penciptaan. Inilah agenda dari jaringan kerja/metode seni – yang
digagas dalam ‘RE/DIS’, memutus tali kekang objektivitas, dan
memperbaharui/memaknai ulang kenyataan/konflik.
LOKASI ISU

STUDI EMIK
KAMPUNG
KOTA

RE/DIS
PROSES KOLABORASI & FINAL PROJECT:
PLATFORM:
PRODUKSI PERTUNJUKAN
US/NOT-US
LAB: close lab & open lab

LOKAKARYA DAN DISKUSI


Skema proyek
- MATERIALITAS
- IMATERIALITAS

Pada tahun ini, B.P.A.F ( Bandung Performing Art Forum) melalui RE/DIS Platform yang
kami harapkan bisa membuat kerja lebih terjaga dan lebih tajam, akan melanjutkan
kembali rajutan kerja tentang hubungan tegangan seni pertunjukan dan kota yang
menaunginya, baik sebagai warga-seni dan warga-kota, membaca ‘gap’, menciptakan
jaringan ingatan – dan mengisi kekosongan hubungan antara keduanya.

Berikut ini adalah proyek-proyek b.p.a.f, Pertama, cut off: to see, to see your self, to be
seen (2016) adalah proyek teater yang berdasar dari bagaimana seniman membaca
tubuh sendiri sebagai bagian sejarah ‘pribumi’ (inlander) dari serangakain fase
kolonialisasi. Kedua, di luar dari yang di luar (2016) adalah teater dokumenter yang
dikerjakan dalam usaha membaca kualitas ruang hidup orang lain di (geografi) kota lain
melalui orang lain (migran) yang tinggal di kota barunya. Ketiga, malam minggu metal
(2017) adalah proyek pertunjukan yang dikerjakan dalam dramaturgi kolaborasi, yang
melibatkan aktor, koreografer, penari, komponis, dan band metal dalam membaca
kualitas hidup dari kota yang ditinggali (Bandung) dari sudut pandang komunitas metal.
Keempat, membeli ingatan (2017) adalah proyek teater berbasis penelitian atas arsip
teater modern dan avant garde Bandung (1997-2011). Proyek membeli ingatan
dikerjakan bersama aktor-aktor yang pernah terlibat di dalam pertunjukan yang diteliti
dan aktor-aktor muda yang sedang merumuskan praktik berkeseniannya saat ini.
Proyek ini dikerjakan untuk melacak dan merusmuskan dramaturgi resistensi dari teater
Bandung dalam medan simbolik kota saat ini yang lebih mengedepankan indeks
kebahagiaan warga dengan membangun infrastruktur yang sentralistik.

6
https://bandungperformingartsforum.wordpress.com/2017/08/18/ongoing-membeli-ingatan/

Proyek kali ini dikerjakan melalui studi atas fenomena ‘kediaman/tempat’, yang bisa
kita sebut rumah, dan sudut pandang yang kami tawarkan adalah – perspektif warga
‘Kampung-Kota’ atas Kota Bandung. Mengapa projek ini menjadi penting, beberapa
alasannya berada di antara tegangan politik spasial dan politik wacana “Indeks
Kebahagian” – mulai dari gagasan ‘mega-politanisme’ dari Asia Tenggara sendiri – yang
akan merestrukturisasi tapak fisik kota – menjadi situs industri masa depan, lalu
Indonesia, dan kota-kota besar di dalamnya (termasuk Kota Bandung).

Kota yang melulu dibicarakan lewat pembangunan arsitektur fisik – yang juga hanya
tersedia bagi segelintir elit, padahal kota bukan hanyalah tentang ‘bangunan’ namun
juga tentang ingatan – bukan hanya tentang monumen tetapi segala unsur manusia dan
ekosistem yang membentuknya. Henri Lefebvre – menegaskan – apabila politik
arsitektural ini hanya melibatkan sekelompok pemegang kontrol (pengusaha dan
pemerintah), maka yang terjadi pada akhirnya adalah dominasi spasial. Sebuah narasi
yang dipaksakan demi kenyamanan bersama yang homogen, monolitik, dan hanya
untuk segelintir. Kampung Kota dengan segala ‘keunikan’ yang ada padanya, menjadi
pertahanan kebudayaan terakhir bagi kota-kota besar untuk tetap memiliki identitas-
nya, agar kita tetap memiliki pengalaman keberhunian alih-alih hanya berpindah-
tempat, apa yang bisa membedakan Kota Bandung dengan kota Jakarta, Surabaya,
Singapura, Tokyo – jika semuanya bersepakat untuk membunuh sejarahnya.

Jo Santoso, dalam esai ‘Memahami Transformasi Urban di Asia’ juga menekankan


tentang pentingnya eksistensi ‘kampung kota’ dalam restrukturisasi sosial. Kampung
kota selain sebagai tempat tinggal, merupakan tempat berkembangnya aktivitas
ekonomi. Aktivitas skala kecil dalam kampung kota selain merupakan tumpuan
kehidupan warganya, juga merupakan wadah adaptasi bagi para migran (dari desa).
Kampung kota merupakan tempat para migran ini belajar hidup bersama dan
berkolaborasi dengan latar belakang etnis, agama dan kultur yang berbeda. Proses ini
penting, mengingat di belahan kota lain tidak ada lagi interaksi sosial dan koeksistensi
antara warga kota. Maka menempatkan ‘Kampung-Kota’ – sebagai tindakan kajian atas
kota, adalah simulasi bersama – antara warga seni dan warga kota - dalam merawat
keberbedaan dan ingatan atas Kota.
Kampung Pulosari (Tamansari), Kota Bandung – (2017)

Pusat proses dari projek ini sendiri berbagai lokasi pemukiman padat penduduk
‘Kampung-Kota’ yang masih ada/hidup, yang berada di tengah kota, yang saling terkait
dengan sungai Cikapundung, sebuah situs vital yang memberikan aliran air ke berbagai
wilayah di Kota bandung, termasuk Pulosari sendiri, selain Tamansari, Cihampelas dan
Cikapundung, Melalui empat wilayah tersebut, sungai akan diposisikan sebagai ruang
luar penelitian, dan lingkungan/rumah warga yang berada di sisi/sepanjang pinggir
sungai sebagai ruang dalam penelitian. Hubungan sungai dan rumah-rumah di
sekitarnya, jarang diulas sebagai wajah kebudayaan kota, padahal melalui sungai-lah
berbagai masalah krusial kota bermunculan, mulai dari penyakit, banjir hingga
kerusakan ekologi.

Misal melalui masalah banjir saja, secara lugas kita dapat memetakannya melalui imbas
kesalahan tata letak pintu depan rumah terhadap posisi sungai, sebab pintu rumah yang
tidak berhadapan langsung pada muka sungai, akan mendorong orang-orang untuk
membuang sampah ke belakangnya, yang notabene-nya adalah sungai. Tatapan
kontestasi lainnya adalah rivalitas Dago Elos dengan pemerintah dan agen-agen
waralaba perhotelan, dan resistensi pendudukan pemukiman Kebon Jeruk, Bandung –
dengan agenda perubahan kota dan gencatan aparatus publik/negara, serta satu
wilayah yang sudah digusur, yaitu Kampung Kolase – sebagai hamparan ekskavasi –
tentang bagaimana kota mengubur masa lalu/sejarahnya sendiri.

https://bandungperformingartsforum.wordpress.com/2017/05/21/cut-off-to-see-to-see-your-self-to-be-seen/
TEMA PLATFORM: US/NOT-US:

Berawal dari sudut pandang dramaturgi sebagai kesadaran dalam proses kreatif
bersama, yaitu bagaimana kita bisa mendekati dramaturgi sebagai proses yang
bertindak sebagai katalisator untuk secara kolektif mendefinisikan kembali hubungan
kita dengan realitas dan memungkinkan kita untuk berspekulasi dan membayangkan
kemungkinan masa depan kita bersama. Platform ini juga memerlukan titik pijak
dramaturgi dan cor metode penciptaannya.

Kami meminjam esai ‘Us/Not-Us’ dari Clifford Geertz sebagai tema sekaligus gagasan
bagi titip pijak sudut pandang dramaturgi kami. Geertz melakui esainya
mengungkapkan pengalaman penelitian Ruth Benedict yang coba memahami asal-
muasal permusuhan, balas dendam, dan kebencian antara Us / ‘yang kami’ dan Not Us /
‘yang bukan kami’ - selama berabad-abad – terutama sekali melalui risetnya dalam
komunitas kebudayaan kanibal. Bagi Benedict - manusia telah selama ribuan tahun
melakukan percobaan dalam memakan daging manusia ‘lain’ di luar dirinya (skala kecil)
dan di luar komuninya (skala besar), tidak lain untuk menumbuhkan rasa solidaritas di
dalam kelompok dan anti-pati terhadap alien/’si asing’/si objek makanan, sebab
memakan adalah cara yang tak tertandingi untuk memuaskan emosi kebencian yang
mendalam terhadap musuh.

Tatapan ‘yang kami’ dan ‘yang bukan kami’ – sebagai institusi kebudayaan – dalam
pandangannya Benedict tersebut - ingin kami bawa sebagai gagasan dramaturgi,
terutama untuk merangkum mengapa perlu ada yang digusur, perlu ada yang dibunuh,
perlu ada peperangan, perlu ada yang dihakimi, perlu ada pengadilan, perlu ada
pemusnahan. ‘Itu mereka’ dan ‘ini kami’, ‘serbu mereka’, ‘bantai mereka’, ‘ratakan
rumah mereka’, ‘cabut hidup mereka’ – sebab kami harus mengamankan teritori
ekonomi, ras, kapital kami – kata ‘kami’ sudah dan telah memisahkan secara politik,
yang di dalam dan yang di luar, yang berkuasa dan yang dikuasai, yang menggusur dan
yang digusur. Strange customs of a strange people, real or imagined, The Not-us (or Not-
U.S.) – diurai Benedict, sebab kita saling mengasingkan – sejak dalam kenyataan dan
imajinasi, sebab pagar telah ditanam turun temurun, dan kita mengunci pintu rumah –
membuat benteng ‘dendam’ pada setiap inchi skala perbedaan.
Collaboration as Dramaturgy Workshop, b.p.a.f di UNPAD Jatinangor

IMPLEMENTASI PROYEK
Platform ini akan dikerjakan dalam bentuk lokakarnya dan diskusi yang mengundang
siapapun yang ingin telibat dalam satu situasi close-lab yang dibagi di dalam dua watak
kelas: materialitas dan imaterialitas, yang berlintasan di antara ragam perspektif dan
disiplin (seni) selama 7 bulan . Disetiap akhir kelas praktik observasi dan presentasi
artistik’ dalam format open-lab untuk melihat alur pertumbuhan proyek.

5 bulan kemudian kami mengajak setiap orang yang sudah terlibat untuk melakukan
kerja kolaborasi hingga mempresentasikannya di dalam final project.
Kelas Materialitas
Sebuah rancangan kurikulum, tentang bagaimana manusia dibentuk oleh ruangnya, dan
akhirnya bersiasat dengannya melalui produk-produk ‘tangible’/fungsional - yang akan
memaparkan kita dengan beberapa teori/sejarah arsitektur dan desain, praktik/praktisi
spasialitas. Sebab tiap teritori ada sejarah dan ekosistemnya tersendiri. Antara yang
berada di komplek dan yang di pinggiran rel kereta api, antara yang di apartemen dan
yang di pinggiran sungai, menciptakan habitat materialnya sendiri-sendiri.

1. Bulan ke 1 dan 2 : ‘Unit Kajian Tapak’

Unit Kajian Tapak berfokus pada kajian keruangan/spasialitas – atas kota, dan
bagaimana arsitektur melakukan operasi kekuasaannya melalui ruang. Telaah ini akan
berjejaring dengan fenomena kapitalisme-global yang terjadi di Asia Tenggara, efeknya
pada politik-tapak, khususnya di Indonesia, dan bagaimana bersiasat atasnya melalui
berbagai praktik intervensi seni dan arsitektur.

Bagaiwana wacana dan perspektif kunci menjadi fokus titik awal:


• (Asia) Tenggara, Bandung dan Kampung Kota : mengundang Kolektif Agora
(komunitas literasi perkotaan) dan Frans Ari Prasetyo (peneliti kota ).
• Kepenontonan dan Kewargaan: mengundang Arham Rahman (Kurator Galero
Lorong) dan Yudi Tajudin (Sutradara Teater Garasi)
• Performing Architecture & Forensik Arsitektur , mengundang Aliansyah
Caniago (Bandung) dan mengudandang Dea Widyaevan, seniman berlatar
belakang pendidikan arsitektur yang berfokus pada topik seperti kota, ruang,
tubuh, dan ingatan, mengatasi batas disiplin ilmu tentang seni dari arsitektur dan
arsitektur dari seni. ‘
• (Seni) Arsitektur yang terlibat dan Anarchitecture. Membahas praktik Jun
Kitazawa (Jepang) yang berfokus hubungan seni dan Kehidupan sehari-hari,
Kenta Kishi (Jepang), yang sejak tahun 2010, melakukan sebuah proyek studi
urban di Surabaya sebagai API :Asian Public Intellectuals dan membandingkannya
dengan konsep arsitektur Watucitra, Romo Mangun Wijaya
https://universes.art/es/kenpoku-art/kenpoku-art-2016/mountain-area/jun-kitazawa-2/

11
http://sneakhype.com/architecture/2013/12/looking-windows-abandoned-buildings.html

2. Bulan ke-3 : ‘Museum Siasat Benda / Kebudayaan Visual Warga’

Alih-alih menjadikan museum sebagai tempat menyimpan dan mempresentasi benda


punah/silam – yang absen kepemilikan, ‘Museum Siasat Benda’ justru merawat kualitas-
kualitas ingatan/kenangan kebendaan setiap pengalaman warga, baik yang sudah
meninggal ataupun masih hidup. Benda lainnya yang ditelaah adalah artefak fungsional
- hasil dari daya siasat warga – untuk menyambung praktika hidup mereka, beresistensi
secara kreatif terhadap serbuan produk kapital.

• Unconditional Design, mengundang ArtLab Ruang Rupa dan membicarakan


salah satu platformnya yang mengumpulkan akal-akalan warga dalam kehidupan
sehari-hari.
• Arkeologi ingatan I , mengudang CHEN-PO-I (Taiwan) yang memiliki perhatian
pada aspek humaniora dan sosial Taiwan, menggunakan lensa untuk
menghubungkan dirinya dengan konteks masyarakat Taiwan yang lebih luas.
Dengan ini, foto-fotonya memiliki kekuatan untuk mengekspresikan kenangan
kolektif Taiwan.
• Arkeologi Ingatan II (Familiy Portrait Project, Vincent Rumah Loine), Aliansyah
Caniago dan Afrizal Malna

3. Bulan ke-4 : ‘Kamar Gelap Kenangan’

Fotografi dan video yang diproduksi secara organis oleh warga – baik pada pengalaman
analog dan digital, telah memproduksi jarak domestik dari ritme keseharian yang tidak
tersaturasi oleh warga. Memberikan kesempatan membaca bagi para warga atas
sebuah fenomena yang pernah mereka alami. Dalam bahasa Barthes – tengang
‘Punctum’ : mengevakuasi para warga dari keseharian, dan menempatkannya dalam
posisi yang berjarak. Semacam menciptakan kondisi intensional, dan kritis pada sejarah
diri sendiri. Seluruh rekam kenangan tersebut akan dikoleksi dan diberi narasi baru –
bersama partisipan projek dan warga, meruapkan sebuah tawaran sudut pandang
dramaturgi atas kota – melalui bingkai-bingkai fotografi dan layar-gambar bergerak.

• Kebudayaan gambar (bergerak) mengudang ST. Sunardi dan Berto Tukan


(Ruang Rupa)
Foto Cerita: mengundang Aum Dayu (Omnispace)
Kelas Imaterialitas
Dalam sebuah ruang hunian ‘kampung-kota’ – bertemulah manusia-manusia, berbeda
tanah kelahiran suku, ras, dan agama, dipersatukan dalam sebuah arena nasib, di
tengah mesin gilas bernama ‘kota’ – membawa tradsi dan istiadat dari daerahnya – lalu
mencipta tradisi baru bersama, berkontestasi dengan habitat perekonomian kota,
mengurai cerita, memberi gerak, dan mendengarkan berbagai suara. Kelas ini akan
menyerap segenap kualitas immaterial – yang tujuannya bukan hanya untuk ditonton –
namun untuk dialami/pengalaman. Segala kelindan kesehari-harian yang terpintal
menjadi kesuastraan keseharian, dan sejumlah organisme gerak dan suara. .

4. Bulan ke-5 : ‘Laboratorium Kisah dan Kebudayaan Lisan

Dikisahkan bahwa manusia ingin mencapai langit, dan dibangunlah menara Babel,
namun tuhan merusaknya dengan membedakan bahasa manusia, sehingga hancurlah
komunikasi di antar mereka, dan runtuhlah pembangunan menuju altar tuhan. Kisah
lama di kitab Taurat tersebut diapropriasi oleh Franz Kafka (Yahudi Jerman) dan
menjadikannya marka atas kebudayaan urban, dan bahaya-bahaya yang dideritanya.
Sesi ini ingin mengulas bagaimana kerja sastra berdasar pengalaman warga di
Kampung-Kota, bagaimana etnografi bekerja di dalamnya, dan
memetakan/mengarsipkan organisme kelisanan yang ada pada kesehari-harian warga,
tentu juga dengan legenda-legenda khas masyrakat kampung Kota, seperti misalnya :
hantu-hantu.

• Franz Kafka, Babel, dan Urbanisme: Membaca salah salatu karya Kafka oleh
Dewi Noviami.
• Sosio-Spasial Hantu mengundang Kaku Nagshima (Jepang ) yang membuat
pertunjukan dari riset atas kultur vampir atau zombie di Jepang, Abdullah
Harahap (Jakarta)
• Etnografi Sastra dan Dialek: Mengundang Teatre MUIBO (Jepang) yang
mempunyai basis pendekatan etnorafi kisah di dalam produksi teaternya.

https://www.facebook.com/TheatreMuibo/

13
https://www.facebook.com/geckoparade/
5. Bulan ke-6 : ‘Vernacular Laboratory’
Gagasan dari sesi ini – terutama sekali berdasar bagaimana koreografi bekerja berdasar
atas data/arsip gerak – yang ada di keseharian/sehari-hari – dari pengalaman hidup lokal
warga (vernacullus) . Prinsipnya bukanlah menstilasi, namun merekam dan
mengarsipkan – tubuh mengarsipkan tubuh, sebagaimana juga yang dikerjakan oleh
‘verbatim theatre’ – dan hubungan lebih luasnya pada habitus tubuh yang terbentuk
atas kota, dan beberapa bentuk intevensi performatif di ruang arsitektur/spesifik.

• City and Habit-Body dan Social Choreography: : mengudang Afrizal Malna dan
membaca perspektif Andrew Hewitt.
• Site-Specific Performance: Mengundang Leow Puay Tin (Malasyia) yang meriset
pertunjukan site-specifik di Jepang (fellowship Asia Center) dan kelompok Gecko
Parade (Jepang) yang mengkhususkan diri pada pertunjukan di lokasi non-gedung
teater, seperti rumah tangga biasa, bar, hotel, atau properti budaya tertentu.

6. Bulan ke-7 : Laboratorium Bunyi dan Suara


Bebunyian dan suara adalah museum waktu yang transien, dan padanya segala yang
fisik bertempat tinggal. Bila malam telah datang, terdengar adzan isya di mushalla,
berbarengan dengan lintang pukang suara kemacetan jalan. Berjejalan-lah percakapan
orang-orang di sisi-sisi trotoar, para pemuda berkumpul dan bermain kartu, anak kecil
bermain bola, berteriak hingga lelap menjelang – dan pagi nanti cicit burung memulai
lagi hari.

• City Soundscape : mengundang Jaelani (penliti dan penulis musik) Bandung dan
Robi Rusdiana (Ensamble Tikoro)
• Sound-Art mengundang Riar Rizaldi (Bandung)

14
WAKTU DAN TEMPAT

Close-lab dan Open Lab


Proyek ini dikerjakan diantara rentang waktu tahun 2018-2019.
dimulai pada bulan Mei 2018 – Desember2018 di beberapa
tempat alternatif di Bandung, seperti di Spasial, Studio Air,
Ruang Gerilya, Omnispace, Studio Mainteater dan lain-lain.

Kolaborasi dan Produksi


Januari-Maret 2019

Final Project
Maret 2019

PESERTA

b.p.a.f Members
2 dramaturg/sutradara, 6 Performer (3 aktor, 1 performance
artis & 2 penari/koreografer), 1 skenografer, 1 komponis musik.

Undangan
Maksimal 20 orang
THE PROJECT COMMITTEE

Program Director: Taufik Darwis


Finance: Rahmah Fitriani
Proram Manager Riyadhus Shalihin
Secretariat: Ganda Swarna, Jhon Heryanto
Public Relation: Anis Harliani
PENYELENGGARA:
TENTANG B.P.A.F

Lingkungan seni terus berubah, tapi justru karena berubah, manfaat dari partisipasi seni
pertunjukan menjadi penting dan peran sebuah forum sebagai katalis pemikiran dan
inisiator bagi terciptanya iklim seni pertunjukan yang dinamis juga menjadi penting.

Kami melihat suatu visi akan sebuah ekosistem seni pertujukan yang tumbuh dan
mempunyai nilai bagi individu dan publik. Bukan hanya karena ia menyampaikan
penekanan bahwa seni itu terhubung dengan aspek-aspek kehidupan lain, tapi karena
aspek yang mengelilingi seni pertunjukan adalah para kolaborator, sebuah sistem
jaringan dan interaktifitas. Sebab di dalam sebuah interaktifitaslah, seni pertunjukan
tidak bisa mandeg (fixed) atau macet, seni pertunjukan menjadi dinamis dan aktif, terus
bergerak di dalam lingkugan sosial, beserta banyak dimensinya.

Bandung Perfoming Arts Forum (b.p.a.f) dibentuk pada 4 Juni 2016 dengan harapan bisa
menjadi katalis untuk menumbuhkan gagasan dan praktik seni pertunjukan alternatif,
meretas kebekuan teritorial internal-eksternal seni pertunjukan melalui moda
pertukaran lintas disiplin, kontekstualisasi sejarah, dan produksi pengetahuan. Platform-
platform pertemuan dan pertukaran yang buat disusun berdasar pada refleksi seni
pertunjukan atas posisi dan perannya di dalam kompleksitas dunia sehari-hari dan
sejarah praktik seni pertunjukan Indonesia.

Tujuan

• Mengidentifikasi dan mengeksplorasi kecenderungan dan konsep dramaturgik yang


berbeda dan beragam di Indonesia.
• Memperluas gagasan tentang dramaturgi dari berbagai konteks dan praktik seni
pertunjukan di Asia.
• Memperluas dialog terus menerus antara wacana dan praktik dari imajinasi artistik
yang mengarah pada imajinasi sosial, bahwa seni pertunjukan melalui dramaturgi
menciptakan implikasi sosio-politik tertentu.
Seniman dan kolektif yang pernah berkolaborasi pada proyek b.p.a.f:
John Heryanto (aktor/performance artis), Romy J. Saputra (komponis), Puji Koswara
(penata artistik/cahaya), Lawe Samagaha (komponis), Riyadhus Salihin
(sutradara/performance artis), Ganda Swarna (aktor), Hilmi Zein (aktor), Tazkia Hariny
(penari), Anis Harliani (penari), Taufik Darwis (dramaturg), Imanuel Deporaz (film maker),
Ensamble Tikoro (Metal Choir), Wail Irsyad (aktor), Sugiyanti Ariani (Aktor), Metal Mix
Percussion (Band Metal), Annisa Laraswati (perancang kostum), Agung Eko Sutrisno
(performance artis), Hanny Bia Mexes (koreofrafer/penari), Popo Puji (Vokalis Death
Metal). Tony Broer (performer/sutradara), Suyadi (aktor), Kemal Ferdiansyah
(sutradara/aktor), Gaus Firdaus (aktor), Ad Akbar (aktor), Teater Ghanta (Jakarta).

Proyek lalu:

1. CUT-OFF ( to see, to see yourself, to be seen)


Hibah Inovatif Yayasan Kelola 2016. Tanggal 4-5 Juni 2016, Ampitheatre Selasar Sunaryo
Arts Space, Bandung.

2. DI LUAR DARI YANG DI LUAR


Festival Teater Jogjakarta VIII
24 september 2016
Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta ( TBY)

3. MALAM MINGGU METAL


Proyek Kolaborasi
20 Mei 2017
Spasial, Bandung

4, Collaboration as Dramaturgy Workshop


5-10 Mei 2018
Fakultas Ilmu Budaya UNPAD dan Spasial

5. MEMBELI INGATAN
Teater Arsip
22-23 September 2017 Gedung Indonesia Menggugat, Bandung dan
27-28 September 2017 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta
CO-DRAMATURG PROJECT

Taufik Darwis is a dramaturg and researcher based in Bandung, the capital city
of West Java province, Indonesia. He is co-founder of the Bandung Performing
Arts Forum. Since March 2016, he has been a co-curator of the Indonesian
Dance Festival. In 2018, Taufik has been invited as a guest curator at the Teater
Garasi / Garasi Performance Institute.

In 2016, Taufik attended the Art Summit Indonesia Dramaturgy And New
Dramaturgy Workshops by Ugoran Prasad and Peter Eckersall. He was also
involved in a dramaturgy forum organised by Teater Grasi in Yogyakarta, which
runs presently under the name Dramaturgy Assembly.

In 2018, Taufik attended The Curators Academy Theatre Works Singapore;


TPAM, Performing Arts Meeting in Yoohama, and Symposium Asian Dramaturg’s
Network.

With the Bandung Performing Arts Forum, Taufik worked as a


dramaturg/director in the following productions: Cut Off: to See, See Oneself, to
be Seen (2016), which reads the indigenous body as an artefact of
colonialisation; di luar dari yang di luar (2016), a theatre project which reads
the quality of living spaces of others in other cities through the perspective of
migrants living in their new city; Malam Minggu Metal (2017), a collaborative
performing arts project involving actors, choreographers, dancers, composers,
and metal bands in reading the quality of life in Bandung from the standpoint of
the metal community; and Membeli Ingatan (2017), a performance archive
project based on dramaturgy resistance research on theatre in Bandung from
1997 to 2011. Taufik has also worked on Ari-Ari (2013), Maem Mendut (2014), To
The Tit (2016), and Manusia Hotel No.00 (2017).
Riyadhus Shalihin, Lahir di Bandung, 1989. Lulusan Fakultas Seni Pertunjukan,
program penyutradaraan – ISBI Bandung, Melanjutkan studi magister kuratorial
seni (art curatorship) pada FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) ITB, Bandung.
Extension Course Filsafat di Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung. Memiliki minat
kajian/kekaryaan pada bidang seni rupa, seni pertunjukan, sinema. Bergiat
sebagai dramaturg di B.P.A.F (Bandung Performing Arts Forum) dan kurator di
KURR CLUB (Visual & Performance Art).

Terpilih mengikuti ‘Curators Academy’ di TheatreWorks dan Goethe Institute


Singapore (2017), Residensi dramaturgi di Asean Design Theatre, Central
Cultural Phillipine, Quezon City, Manila, (2012). Terpilih sebagai 1st Place pada
Bazaar Art Video Competition, di Ritz Carlton Jakarta dengan karya:
‘Unidentified Origin Of The Lightless’, Peserta Lokakarya Penulisan dan
Kuratorial Seni Rupa di Dewan Kesenian Jakarta Ruang Rupa 2016, Peserta
Lokakarya Kurator ‘Moving Image’ di Jatiwangi Art Factory, 2017. Asisten
Kurator pameran LINTAS MEDIA : ‘BODY-OUT’ – di Galeri Cipta III, TIM (Taman
Ismail Marzuki), Jakarta. Asisten Kurator Pameran ‘Derau Jawa’ Hanafi, 2016.
Menyutradarai Hibah Seni yayasan kelola ; ‘CUT-OFF, to see, to see yourself, to
be seen’ di Ampitheatre, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, dan pertunjukan
‘Di Luar Dari Yang Di Luar’ Taman Budaya Yogyakarta. Performance art ‘Musim
Hujan Di Bandung/Rain Season In Bandung’, Undisclosed Territory 10, Studio
Plesungan, Surakarta, ‘Surplus Exposure’ pada HAPPENING-NOW, oleh 69
Performance Club, di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, ‘Chvimera – After Boris
Nieslony, After Jason Lim’, pada pameran SUPER-NATURAL di Gajah Gallery,
Yogyakarta, mengikuti pameran GETOK TULAR 2#, di Omni Space – Bandung.
Programmer Pameran performatif, Kraftwerk, Mediative Portraiture, Ali Robin
Studio, Bandung. Menulis esai dan kritik seni rupa di Majalah Sarasvati.
21

Anda mungkin juga menyukai