Rancangan Kurikulum
performinng
arts
RE/DIS PLATFORM
forum
2018-2019
1
Jalan Buana Sari VII, No. 4, Kujangsari, Bandung Kidul, Bandung.
Website: bandungperformingartsforum.wordpress.com
E-mail: bandungperformingartsforum@gmail.com
+6287822207537
Bandung Perfoming Arts Forum (b.p.a.f) dibentuk pada tahun 2016 dengan harapan
bisa menjadi katalis untuk menumbuhkan gagasan dan praktik seni pertunjukan
alternatif, meretas kebekuan teritorial internal-eksternal seni pertunjukan melalui moda
pertukaran lintas disiplin, kontekstualisasi sejarah, dan produksi pengetahuan.
Berdasar pada refleksi di atas, setelah dua tahun berujicoba dan bekerja melalui format-
format kerja dan isu, pada dua tahun kedepan ini b.p.a.f mencoba menginisiasi sebuah
platfform tahunan untuk melakukan eksperimentasi perluasan praktik di luar habitat
dan format sanggar dan ide yang terpusat. Proses proyek ini mengambil inspirasi dari
organisme bersel satu, yang ditujukan untuk para seniman seni pertunjukan yang
tertarik dengan metode kerja kolaboratif dan pemikiran dramaturgis sebagai alat dan
proses yang dapat mendorong kualitas penciptaan baik secara individu maupun
kolaboratif.
RE / DIS PLATFORM
re / dis platform ini dibuat dan diagendakan dengan sadar bukan/tidak sebagai ‘sekoci
penyelamat’ terhadap kelindan masalah dalam kenyataan - juga pada bagaimana ‘yang
bermasalah’ tersebut diolah sedemikian rupa - sehingga memiliki argumentasi
performatif-nya, kebenaran estetis pada dirinya (juga) – di luar percakapannya dengan
‘sang masalah’. Sebab apa yang bisa membedakan intensi atas masalah pada karya
berita jurnalistik dengan karya seni – adalah ‘metafor’ dan ‘pesona’. Kami meminjam
definisi ‘metafor’ dari Paul Ricoeur sebagai ‘redescription of reality’, sedangkan
‘pesona’ diulas oleh Katya Mandoki sebagai ‘daya pikat yang menyangatkan kejadian’.
Memperbaharui dan memutuskan mata rantai kegunaan seni bagi kenyataan, bukan
berarti mengacuhkan referensi objektifnya – namun bagaimana realitas ditemukan
ulang - dibahasakan kembali, secara unik, politis juga transformatif – melalui
kompleksitas puitika penciptaan. Inilah agenda dari jaringan kerja/metode seni – yang
digagas dalam ‘RE/DIS’, memutus tali kekang objektivitas, dan
memperbaharui/memaknai ulang kenyataan/konflik.
LOKASI ISU
STUDI EMIK
KAMPUNG
KOTA
RE/DIS
PROSES KOLABORASI & FINAL PROJECT:
PLATFORM:
PRODUKSI PERTUNJUKAN
US/NOT-US
LAB: close lab & open lab
Pada tahun ini, B.P.A.F ( Bandung Performing Art Forum) melalui RE/DIS Platform yang
kami harapkan bisa membuat kerja lebih terjaga dan lebih tajam, akan melanjutkan
kembali rajutan kerja tentang hubungan tegangan seni pertunjukan dan kota yang
menaunginya, baik sebagai warga-seni dan warga-kota, membaca ‘gap’, menciptakan
jaringan ingatan – dan mengisi kekosongan hubungan antara keduanya.
Berikut ini adalah proyek-proyek b.p.a.f, Pertama, cut off: to see, to see your self, to be
seen (2016) adalah proyek teater yang berdasar dari bagaimana seniman membaca
tubuh sendiri sebagai bagian sejarah ‘pribumi’ (inlander) dari serangakain fase
kolonialisasi. Kedua, di luar dari yang di luar (2016) adalah teater dokumenter yang
dikerjakan dalam usaha membaca kualitas ruang hidup orang lain di (geografi) kota lain
melalui orang lain (migran) yang tinggal di kota barunya. Ketiga, malam minggu metal
(2017) adalah proyek pertunjukan yang dikerjakan dalam dramaturgi kolaborasi, yang
melibatkan aktor, koreografer, penari, komponis, dan band metal dalam membaca
kualitas hidup dari kota yang ditinggali (Bandung) dari sudut pandang komunitas metal.
Keempat, membeli ingatan (2017) adalah proyek teater berbasis penelitian atas arsip
teater modern dan avant garde Bandung (1997-2011). Proyek membeli ingatan
dikerjakan bersama aktor-aktor yang pernah terlibat di dalam pertunjukan yang diteliti
dan aktor-aktor muda yang sedang merumuskan praktik berkeseniannya saat ini.
Proyek ini dikerjakan untuk melacak dan merusmuskan dramaturgi resistensi dari teater
Bandung dalam medan simbolik kota saat ini yang lebih mengedepankan indeks
kebahagiaan warga dengan membangun infrastruktur yang sentralistik.
6
https://bandungperformingartsforum.wordpress.com/2017/08/18/ongoing-membeli-ingatan/
Proyek kali ini dikerjakan melalui studi atas fenomena ‘kediaman/tempat’, yang bisa
kita sebut rumah, dan sudut pandang yang kami tawarkan adalah – perspektif warga
‘Kampung-Kota’ atas Kota Bandung. Mengapa projek ini menjadi penting, beberapa
alasannya berada di antara tegangan politik spasial dan politik wacana “Indeks
Kebahagian” – mulai dari gagasan ‘mega-politanisme’ dari Asia Tenggara sendiri – yang
akan merestrukturisasi tapak fisik kota – menjadi situs industri masa depan, lalu
Indonesia, dan kota-kota besar di dalamnya (termasuk Kota Bandung).
Kota yang melulu dibicarakan lewat pembangunan arsitektur fisik – yang juga hanya
tersedia bagi segelintir elit, padahal kota bukan hanyalah tentang ‘bangunan’ namun
juga tentang ingatan – bukan hanya tentang monumen tetapi segala unsur manusia dan
ekosistem yang membentuknya. Henri Lefebvre – menegaskan – apabila politik
arsitektural ini hanya melibatkan sekelompok pemegang kontrol (pengusaha dan
pemerintah), maka yang terjadi pada akhirnya adalah dominasi spasial. Sebuah narasi
yang dipaksakan demi kenyamanan bersama yang homogen, monolitik, dan hanya
untuk segelintir. Kampung Kota dengan segala ‘keunikan’ yang ada padanya, menjadi
pertahanan kebudayaan terakhir bagi kota-kota besar untuk tetap memiliki identitas-
nya, agar kita tetap memiliki pengalaman keberhunian alih-alih hanya berpindah-
tempat, apa yang bisa membedakan Kota Bandung dengan kota Jakarta, Surabaya,
Singapura, Tokyo – jika semuanya bersepakat untuk membunuh sejarahnya.
Pusat proses dari projek ini sendiri berbagai lokasi pemukiman padat penduduk
‘Kampung-Kota’ yang masih ada/hidup, yang berada di tengah kota, yang saling terkait
dengan sungai Cikapundung, sebuah situs vital yang memberikan aliran air ke berbagai
wilayah di Kota bandung, termasuk Pulosari sendiri, selain Tamansari, Cihampelas dan
Cikapundung, Melalui empat wilayah tersebut, sungai akan diposisikan sebagai ruang
luar penelitian, dan lingkungan/rumah warga yang berada di sisi/sepanjang pinggir
sungai sebagai ruang dalam penelitian. Hubungan sungai dan rumah-rumah di
sekitarnya, jarang diulas sebagai wajah kebudayaan kota, padahal melalui sungai-lah
berbagai masalah krusial kota bermunculan, mulai dari penyakit, banjir hingga
kerusakan ekologi.
Misal melalui masalah banjir saja, secara lugas kita dapat memetakannya melalui imbas
kesalahan tata letak pintu depan rumah terhadap posisi sungai, sebab pintu rumah yang
tidak berhadapan langsung pada muka sungai, akan mendorong orang-orang untuk
membuang sampah ke belakangnya, yang notabene-nya adalah sungai. Tatapan
kontestasi lainnya adalah rivalitas Dago Elos dengan pemerintah dan agen-agen
waralaba perhotelan, dan resistensi pendudukan pemukiman Kebon Jeruk, Bandung –
dengan agenda perubahan kota dan gencatan aparatus publik/negara, serta satu
wilayah yang sudah digusur, yaitu Kampung Kolase – sebagai hamparan ekskavasi –
tentang bagaimana kota mengubur masa lalu/sejarahnya sendiri.
https://bandungperformingartsforum.wordpress.com/2017/05/21/cut-off-to-see-to-see-your-self-to-be-seen/
TEMA PLATFORM: US/NOT-US:
Berawal dari sudut pandang dramaturgi sebagai kesadaran dalam proses kreatif
bersama, yaitu bagaimana kita bisa mendekati dramaturgi sebagai proses yang
bertindak sebagai katalisator untuk secara kolektif mendefinisikan kembali hubungan
kita dengan realitas dan memungkinkan kita untuk berspekulasi dan membayangkan
kemungkinan masa depan kita bersama. Platform ini juga memerlukan titik pijak
dramaturgi dan cor metode penciptaannya.
Kami meminjam esai ‘Us/Not-Us’ dari Clifford Geertz sebagai tema sekaligus gagasan
bagi titip pijak sudut pandang dramaturgi kami. Geertz melakui esainya
mengungkapkan pengalaman penelitian Ruth Benedict yang coba memahami asal-
muasal permusuhan, balas dendam, dan kebencian antara Us / ‘yang kami’ dan Not Us /
‘yang bukan kami’ - selama berabad-abad – terutama sekali melalui risetnya dalam
komunitas kebudayaan kanibal. Bagi Benedict - manusia telah selama ribuan tahun
melakukan percobaan dalam memakan daging manusia ‘lain’ di luar dirinya (skala kecil)
dan di luar komuninya (skala besar), tidak lain untuk menumbuhkan rasa solidaritas di
dalam kelompok dan anti-pati terhadap alien/’si asing’/si objek makanan, sebab
memakan adalah cara yang tak tertandingi untuk memuaskan emosi kebencian yang
mendalam terhadap musuh.
Tatapan ‘yang kami’ dan ‘yang bukan kami’ – sebagai institusi kebudayaan – dalam
pandangannya Benedict tersebut - ingin kami bawa sebagai gagasan dramaturgi,
terutama untuk merangkum mengapa perlu ada yang digusur, perlu ada yang dibunuh,
perlu ada peperangan, perlu ada yang dihakimi, perlu ada pengadilan, perlu ada
pemusnahan. ‘Itu mereka’ dan ‘ini kami’, ‘serbu mereka’, ‘bantai mereka’, ‘ratakan
rumah mereka’, ‘cabut hidup mereka’ – sebab kami harus mengamankan teritori
ekonomi, ras, kapital kami – kata ‘kami’ sudah dan telah memisahkan secara politik,
yang di dalam dan yang di luar, yang berkuasa dan yang dikuasai, yang menggusur dan
yang digusur. Strange customs of a strange people, real or imagined, The Not-us (or Not-
U.S.) – diurai Benedict, sebab kita saling mengasingkan – sejak dalam kenyataan dan
imajinasi, sebab pagar telah ditanam turun temurun, dan kita mengunci pintu rumah –
membuat benteng ‘dendam’ pada setiap inchi skala perbedaan.
Collaboration as Dramaturgy Workshop, b.p.a.f di UNPAD Jatinangor
IMPLEMENTASI PROYEK
Platform ini akan dikerjakan dalam bentuk lokakarnya dan diskusi yang mengundang
siapapun yang ingin telibat dalam satu situasi close-lab yang dibagi di dalam dua watak
kelas: materialitas dan imaterialitas, yang berlintasan di antara ragam perspektif dan
disiplin (seni) selama 7 bulan . Disetiap akhir kelas praktik observasi dan presentasi
artistik’ dalam format open-lab untuk melihat alur pertumbuhan proyek.
5 bulan kemudian kami mengajak setiap orang yang sudah terlibat untuk melakukan
kerja kolaborasi hingga mempresentasikannya di dalam final project.
Kelas Materialitas
Sebuah rancangan kurikulum, tentang bagaimana manusia dibentuk oleh ruangnya, dan
akhirnya bersiasat dengannya melalui produk-produk ‘tangible’/fungsional - yang akan
memaparkan kita dengan beberapa teori/sejarah arsitektur dan desain, praktik/praktisi
spasialitas. Sebab tiap teritori ada sejarah dan ekosistemnya tersendiri. Antara yang
berada di komplek dan yang di pinggiran rel kereta api, antara yang di apartemen dan
yang di pinggiran sungai, menciptakan habitat materialnya sendiri-sendiri.
Unit Kajian Tapak berfokus pada kajian keruangan/spasialitas – atas kota, dan
bagaimana arsitektur melakukan operasi kekuasaannya melalui ruang. Telaah ini akan
berjejaring dengan fenomena kapitalisme-global yang terjadi di Asia Tenggara, efeknya
pada politik-tapak, khususnya di Indonesia, dan bagaimana bersiasat atasnya melalui
berbagai praktik intervensi seni dan arsitektur.
11
http://sneakhype.com/architecture/2013/12/looking-windows-abandoned-buildings.html
Fotografi dan video yang diproduksi secara organis oleh warga – baik pada pengalaman
analog dan digital, telah memproduksi jarak domestik dari ritme keseharian yang tidak
tersaturasi oleh warga. Memberikan kesempatan membaca bagi para warga atas
sebuah fenomena yang pernah mereka alami. Dalam bahasa Barthes – tengang
‘Punctum’ : mengevakuasi para warga dari keseharian, dan menempatkannya dalam
posisi yang berjarak. Semacam menciptakan kondisi intensional, dan kritis pada sejarah
diri sendiri. Seluruh rekam kenangan tersebut akan dikoleksi dan diberi narasi baru –
bersama partisipan projek dan warga, meruapkan sebuah tawaran sudut pandang
dramaturgi atas kota – melalui bingkai-bingkai fotografi dan layar-gambar bergerak.
Dikisahkan bahwa manusia ingin mencapai langit, dan dibangunlah menara Babel,
namun tuhan merusaknya dengan membedakan bahasa manusia, sehingga hancurlah
komunikasi di antar mereka, dan runtuhlah pembangunan menuju altar tuhan. Kisah
lama di kitab Taurat tersebut diapropriasi oleh Franz Kafka (Yahudi Jerman) dan
menjadikannya marka atas kebudayaan urban, dan bahaya-bahaya yang dideritanya.
Sesi ini ingin mengulas bagaimana kerja sastra berdasar pengalaman warga di
Kampung-Kota, bagaimana etnografi bekerja di dalamnya, dan
memetakan/mengarsipkan organisme kelisanan yang ada pada kesehari-harian warga,
tentu juga dengan legenda-legenda khas masyrakat kampung Kota, seperti misalnya :
hantu-hantu.
• Franz Kafka, Babel, dan Urbanisme: Membaca salah salatu karya Kafka oleh
Dewi Noviami.
• Sosio-Spasial Hantu mengundang Kaku Nagshima (Jepang ) yang membuat
pertunjukan dari riset atas kultur vampir atau zombie di Jepang, Abdullah
Harahap (Jakarta)
• Etnografi Sastra dan Dialek: Mengundang Teatre MUIBO (Jepang) yang
mempunyai basis pendekatan etnorafi kisah di dalam produksi teaternya.
https://www.facebook.com/TheatreMuibo/
13
https://www.facebook.com/geckoparade/
5. Bulan ke-6 : ‘Vernacular Laboratory’
Gagasan dari sesi ini – terutama sekali berdasar bagaimana koreografi bekerja berdasar
atas data/arsip gerak – yang ada di keseharian/sehari-hari – dari pengalaman hidup lokal
warga (vernacullus) . Prinsipnya bukanlah menstilasi, namun merekam dan
mengarsipkan – tubuh mengarsipkan tubuh, sebagaimana juga yang dikerjakan oleh
‘verbatim theatre’ – dan hubungan lebih luasnya pada habitus tubuh yang terbentuk
atas kota, dan beberapa bentuk intevensi performatif di ruang arsitektur/spesifik.
• City and Habit-Body dan Social Choreography: : mengudang Afrizal Malna dan
membaca perspektif Andrew Hewitt.
• Site-Specific Performance: Mengundang Leow Puay Tin (Malasyia) yang meriset
pertunjukan site-specifik di Jepang (fellowship Asia Center) dan kelompok Gecko
Parade (Jepang) yang mengkhususkan diri pada pertunjukan di lokasi non-gedung
teater, seperti rumah tangga biasa, bar, hotel, atau properti budaya tertentu.
• City Soundscape : mengundang Jaelani (penliti dan penulis musik) Bandung dan
Robi Rusdiana (Ensamble Tikoro)
• Sound-Art mengundang Riar Rizaldi (Bandung)
14
WAKTU DAN TEMPAT
Final Project
Maret 2019
PESERTA
b.p.a.f Members
2 dramaturg/sutradara, 6 Performer (3 aktor, 1 performance
artis & 2 penari/koreografer), 1 skenografer, 1 komponis musik.
Undangan
Maksimal 20 orang
THE PROJECT COMMITTEE
Lingkungan seni terus berubah, tapi justru karena berubah, manfaat dari partisipasi seni
pertunjukan menjadi penting dan peran sebuah forum sebagai katalis pemikiran dan
inisiator bagi terciptanya iklim seni pertunjukan yang dinamis juga menjadi penting.
Kami melihat suatu visi akan sebuah ekosistem seni pertujukan yang tumbuh dan
mempunyai nilai bagi individu dan publik. Bukan hanya karena ia menyampaikan
penekanan bahwa seni itu terhubung dengan aspek-aspek kehidupan lain, tapi karena
aspek yang mengelilingi seni pertunjukan adalah para kolaborator, sebuah sistem
jaringan dan interaktifitas. Sebab di dalam sebuah interaktifitaslah, seni pertunjukan
tidak bisa mandeg (fixed) atau macet, seni pertunjukan menjadi dinamis dan aktif, terus
bergerak di dalam lingkugan sosial, beserta banyak dimensinya.
Bandung Perfoming Arts Forum (b.p.a.f) dibentuk pada 4 Juni 2016 dengan harapan bisa
menjadi katalis untuk menumbuhkan gagasan dan praktik seni pertunjukan alternatif,
meretas kebekuan teritorial internal-eksternal seni pertunjukan melalui moda
pertukaran lintas disiplin, kontekstualisasi sejarah, dan produksi pengetahuan. Platform-
platform pertemuan dan pertukaran yang buat disusun berdasar pada refleksi seni
pertunjukan atas posisi dan perannya di dalam kompleksitas dunia sehari-hari dan
sejarah praktik seni pertunjukan Indonesia.
Tujuan
Proyek lalu:
5. MEMBELI INGATAN
Teater Arsip
22-23 September 2017 Gedung Indonesia Menggugat, Bandung dan
27-28 September 2017 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta
CO-DRAMATURG PROJECT
Taufik Darwis is a dramaturg and researcher based in Bandung, the capital city
of West Java province, Indonesia. He is co-founder of the Bandung Performing
Arts Forum. Since March 2016, he has been a co-curator of the Indonesian
Dance Festival. In 2018, Taufik has been invited as a guest curator at the Teater
Garasi / Garasi Performance Institute.
In 2016, Taufik attended the Art Summit Indonesia Dramaturgy And New
Dramaturgy Workshops by Ugoran Prasad and Peter Eckersall. He was also
involved in a dramaturgy forum organised by Teater Grasi in Yogyakarta, which
runs presently under the name Dramaturgy Assembly.