BAB 1. PENDAHULUAN
1.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi invaginasi menyebutkan insiden invaginasi adalah 1,5-4 kasus
per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan usia invaginasi paling banyak dialami oleh
anak usia kurang dari 1 tahun dengan puncak usia 4-8 bulan. Berdasarkan jenis
kelamin laki-laki lebih banyak mengalami invaginasi dengan rasio berbeda di
masing-masing wilayah dimana rasio laki-laki dan perempuan untuk wilayah Asia
adalah 9:1. Berdasarkan keterkaitan kejadian invaginasi dengan musim didapatkan
hasil penelitian yang bervariasi di masing-masing wilayah di dunia. Invaginasi
dilaporkan sebagai kejadian musiman dengan puncak pada musim semi, musim
panas, dan pertengahan musim dingin (Bines dkk, 2002).
2
2.1 DEFINISI
Invaginasi adalah suatu proses dimana segmen intestin masuk ke dalam
bagian lumen usus yang dapat menyebabkan obstruksi pada saluran cerna.
Invaginasi artinya prolapsus suatu bagian usus ke dalam lumen bagian yang tepat
berdekatan. Bagian usus yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang
menerima intususeptum dianamakan intususipiens. Oleh karena itu invaginasi
disebut juga intususepsi (Ignacio RC dkk, 2010).
Segmen usus dua belas jari atau duodenum dimulai dari pilorus sampai
jejenum. Duodenum adalah bagian dari usus halus yang paling pendek. Usus dua
belas jari merupakan organ retroperitoneal yang tidak terbungkus seluruhnya oleh
selaput peritoneum. Pada duodenum terdapat muara, yaitu yang berasal dari
pankreas dan kantung empedu. Duodenum dan jejenum dipisahkan oleh
ligamentum Treits, yaitu suatu fibromuskular pita otot polos yang berasal pada
cruz dekstra diagragma dekat hiatus esofagus dan berlokasi pada perbatasan
duodenum dan jejenum. Ligamen ini berfungsi sebagai ligamentum suspensorium
atau sebagai penggantung (Susan, 2011).
Jejenum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara duodenum dan
ileum. berada di regio midabdominalis sinistra. Jejenum dimulai dari pleksura
duodenojejunalis dan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium (Susan,
2011).
Ileum merupakan bagian terminal dari usus halus dan terletak setelah
duodenum dan ileum. Ileum terletak di regio midabdomialis sebelah kanan bawah.
Bagian ileum berakhir pada fleksura ileocecalis (Susan, 2011).
2. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon memiliki diameter 6,3 cm dan panjang sekitar 1,5
meter. Usus besar mengubungkan antara usus halus (ileum) dan anus sebagai
lubang terakhir pengeluaran tinja. Kolon terdiri dari caecum, appendix
vermiformis, kolon asenden, kolon tranversa, dan kolon desenden yang
melingkari usus halus, kolon sigmoid yang membelok ke arah medial dan ke arah
bawah rektum dan kanalis analis. Terdapat katup ileocecal dan appendix yang
melekat pada ujung caecum. Panjang caecum adalah dua sampai tiga inci pertama
dari kolon (Susan, 2011).
Kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri disebut
sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi
krista iliaca dan membentuk lengkungan seperti huruf S. Bagian utama intestinum
crassum yang terakir disebut sebagai rektum yang membentang dari colon
sigmoid hingga anus. Satu inci terakir disebut kanalis ani dan dilindungi oleh
4
muskulus spingter ani externus et internus. Panjang rectum dan kanalis ani adalah
sekitar 15 cm (Susan, 2011).
2.3 ETIOLOGI
Etiologi dari invaginasi terbagi menjadi 2 yaitu idiopatik dan kausal:
1. Idiopatik
Menurut kepustakaan 90-95% invaginasi pada anak dibawah umur satu
tahun tidak dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai
“infantile” idiophatic intusussusception. Kepustakaan lain menyebutkan di Asia,
etiologi idiopatik dari invaginasi berkisar antara 42-100% (Bines dkk, 2002).
Definisi istilah invaginasi “idiopatik” bervariasi di antara penelitian terkait
invaginasi. Sebagian besar menggunakan istilah idiopatik untuk menggambarkan
kasus dimana tidak ditemukan ada abnormalitas spesifik dari usus yang diketahui
dapat menyebabkan invaginasi seperti diverticulum meckel atau polip yang dapat
diidentifikasi saat pembedahan (Bines dkk, 2002).
Invaginasi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori
untuk menjelaskan kemungkinan etiologi invaginasi idiopatik adalah terjadi
karena Payer Patch yang membesar: hipotesis ini berasal dari 3 pengamatan: (1)
Penyakit ini sering didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas, (2) wilayah
ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah bening di
mesenteriun dan (3) pembesaran kelenjar getah bening sering dijumpai pada
pasien yang memerlukan operasi. Apakah payer patch yang membesar adalah
reaksi terhadap invaginasi atau sebagai penyebab invaginasi, masih tidak jelas
Blanco dkk, 2012).
2. Kausal
Pada penderita invaginasi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya
kelainan usus dapat menjadi penyebab invaginasi seperti : inverted Meckel’s
diverticulum, polip usus, leimioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep
nevi, lymphoma dan duplikasi usus. Divertikulum Meckel adalah penyebab paling
utama, diikuti dengan polip seperti peutz-jeghers syndrom, dan duplikasi usus.
Divertikulum Meckel adalah penyebab paling utama, diikuti dengan polip seperti
5
2.4 PATOFISIOLOGI
Invaginasi sekunder biasanya terjadi karena adanya lesi patologis atau
iritan pada dinding usus yang dapat menghambat gerakan peristaltik normal serta
menjadi lokus minoris untuk terjadinya invaginasi. Invaginasi dideskripsikan
sebagai prolaps internal usus proksimal dalam lekukan mesenterika dalam lumen
usus distal. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya invaginasi. Invaginasi
dideskripsikan sebagai prolaps internal usus proksimal dalam lekukan mesenterika
lumen usus distal. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi pada pasase
isi usus dan menurunkan aliran darah ke bagian usus yang mengalami invaginasi
tersebut. Akhirnya dapat mengakibatkan obstruksi dan peradangan mulai dari
penebalan dinding usus hingga iskemia dinding usus (Marinis, 2009).
Mesenterium usus proksimal tertarik ke dalam usus distal, terjepit, dan
menyebabkan obstruksi aliran vena dan edema dinding usus yang akan
menyebabkan keluarnya feses berwarna kemerahan akibat darah bercampur
mucus (red current stool). Jika reduksi invaginasi tidak dilakukan, terjadi
insufisiensi arteri yang akan menyebabkan iskemik dan nekrosis dinding usus
yang akan menyebabkan perdarahan, perforasi, dan peritonitis. Perjalanan
penyakit akan semakin memburuk hingga menyebabkan sepsis (Spalding dkk,
2004).
2.5 KLASIFIKASI
6
Lokasi pada saluran cerna yang sering terjadi invaginasi merupakan lokasi
segmen yang bebas bergerak dalam retroperitoneal atau segmen yang mengalami
adhesive. Invaginasi diklasifikasikan menjadi 4 kategori berdasarkan lokasi
terjadinya:
1. Entero-enterika: usus halus masuk ke dalam usus halus
2. Colo-kolika: kolon masuk ke dalam kolon
3. Ileo-colica: ileum terminal yang masuk ke dalam kolon asendens
4. Ileosekal: ileum terminal masuk ke dalam sekum di mana lokus
minorisnya adalah katup ileosekal ( Marinis dkk, 2009).
Invaginasi umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk naik ke
kolon asendens dan mungkin terus sampai keluar dari rektum (Sjamsulhidajat,
2007).
7
2.6 DIAGNOSIS
Anamnesis memberikan gambaran yang cukup mencurigakan bila bayi
yang sehat mendapat serangan nyeri perut. Anak tampak gelisah dan tidak dapat
ditenangkan sedangkan di antara serangan biasanya anak tidur tenang karena
sudah capai sekali. Serangan klasik terdiri atas nyeri perut, gelisah sewaktu
serangan kolik, biasanya keluar lendir campur darah (red current jelly stool) per
anal, yang berasal dari intususepsi yang tertekan, terbendung atau mungkin sudah
mengalami strangulasi. Anak biasanya muntah sewaktu serangan dan pada
pemeriksaan perut dapat diraba massa yang biasanya memanjang dengan batas
yang jelas seperti sosis. Massa teraba di kuadran kanan atas dengan tidak
ditemukannya sensasi kekosongan di kuadran kanan bawah karena masuknya
sekum pada kolon ascenden (dance’s sign) (Brunicardi dkk, 2007).
Bila invaginasi disebut strangulasi harus diingat kemungkinan terjadinya
peritonitis setelah perforasi. Invaginasi yang masuk jauh dapat ditemukan pada
pemeriksaan colok dubur. Ujung invaginatum teraba seperti portio uterus pada
pemeriksaan vagina sehingga disebut sebagai pseudoportio atau porsio semu
(Sjamsulhidajat, 2007).
Invaginatum yang keluar lewat rectum jarang ditemukan: keadaan
tersebut harus dibedakan dengan prolapsus mukosa rectum. Pada invaginasi
didapatkan invaginatum bebas dari dinding anus, sedangkan prolapsus
berhubungan secara sirkuler dengan dinding anus (Sjamsulhidajat, 2007).
Pada inspeksi sukar sekali membedakan prolapsus rectum dari invaginasi.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan jari sekitar penonjolan untuk
menentukan ada tidaknya celah terbuka. Diagnosis invaginasi dapat ditegakkan
atas pemeriksaan fisik, dan dapat dipastikan dengan pemeriksaan rontgen dengan
pemberian barium enema (Sjamsulhidajat, 2007).
Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpai tanda obstruksi dan massa di
kuadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi. USG
dapat membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target sign
8
pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada potongan
longitudinal invaginasi. Foto dengan pemberian barium enema dilakukan jika
pasien ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan sebagai diagnosis ataupun
terapeutik. Sumbatan oleh invaginatum biasanya tampak jelas pada foto
(Sjamsulhidajat, 2007).
Invaginasi pada orang muda atau orang deasa jarang sekali idiopatik.
Umumnya ujung invaginatum pada orang dewasa merupakan polip atau tumor
lain di usus halus. Invaginasi juga disebabkan oleh pencetus seperti divertikulum
Meckel yang terbalik masuk lumen usus, duplikasi usus, kelainan vaskuler, atau
limfoma. Gejalanya berupa gejala dan tanda obstruksi usus, tetapi tergantung dari
letak ujung invaginasi (Sjamsulhidajat, 2007).
Kriteria diagnosis invaginasi akut:
1. Invaginasi definitif (pasti invaginasi)
a. Kriteria bedah: ditemukannya invaginasi pada pembedahan
b. Kriteria radiologi: adanya baik gas maupun cairan kontras
pada enema pada usus halus yang berinvaginasi, adanya
massa intraabdominal yang dideteksi dengan USG
c. Kriteria Autopsi: ditemukan invaginasi pada otopsi
1) Mungkin Invaginasi (probable)
Memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor
2) Possible Invaginasi
Memenuhi paling sedikit 4 kriteria minor
Kriteria mayor pada invaginasi yakni:
1. Bukti adanya obstruksi saluran cerna
a. Riwayat muntah kehijauan
b. Distensi abdomen dan tidak adanya bising usus atau bising
usus abnormal
c. Foto polos abdomen menunjukkan adanya level cairan dan
dilatasi usus halus
2. Inspeksi
a. Massa di abdomen
9
b. Massa di rectal
c. Prolapsus intestinal
d. Foto polos abdomen, USG, cT menunjukkan invaginasis
atau massa dari jaringan lunak
3. Gangguan vaskuler intestinal dan kongesti vena
a. Keluarnya darah per rectal
b. Keluarnya feses yang berwarna red current jelly
c. Adanya darah ketika pemeriksaan rectum
Adapun kriteria minor untuk invaginasi adalah: usia <1 tahun, laki-laki,
nyeri perut, muntah letargi, hangat, syok hipovolemik, foto polos abdomen
menunjukkan pola gas usus yang abnormal (Bines dkk, 2004)
2.7 PENATALAKSANAAN
2.8 PROGNOSIS
Invaginasi pada bayi yang tidak ditangani akan selalu berakibat fatal.
Angka rekurensi pasca reduksi intususepsi dengan barium enema adalah sekitar
10% dan dengan reduksi bedah sekitar 2-5% tidak pernah terjadi setelah dilakukan
reseksi bedah. Mortalitas sangat rendah jika penanganan dilakukan dalam 24 jam
pertama dan meningkat dengan cepat setelah waktu tersebut, terutama setelah hari
kedua (Wyllie, 2000).
BAB 3. KESIMPULAN
Invaginasi ialah suatu keadaan dimana segmen proksimal dari usus masuk
ke dalam segmen usus berikutnya dengan membawa serta mesenterium yang
berhubungan. Invaginasi atau intususepsi merupakan salah satu penyebab
terbanyak obstruksi usus pada bayi dan anak kecil. Penyebab invaginasi sebagian
besar tidak diketahui.
Invaginasi paling sering mengenai daerah ileosekal dan jarang terjadi pada
orang dewasa dibandingkan anak-anak. Lokasi terjadinya invaginasi dapat pada
entero-enterika, kolo-kolika, ileokolika, ileosekal. Invaginasi dapat menyebabkan
obstruksi usus sehingga jika tidak ditangani dengan segera dan tepat akan
menimbulkan komplikasi lebih lanjut berupa perforasi sehingga terjadi peritonitis.
Penatalaksanaan dapat berupa perbaikan kondisi umum berupa resusitasi
cairan dan elektrolit, serta dekompresi, kemudian dilakukan reposisi. Reposisi
13
DAFTAR PUSTAKA
Bines JE, Ivanoff B, Justice F, Mulholland K. Clinical Case Definiton for the
Diagnosis of Acute Intusussusceptions Journal of Pediatric Gastroenterology
and Nutrition . 2004; 39-511-8.
Ilmu Bedah. Invaginasi. 2009 (diakses 26 Maret 2018). Diunduh dari:
http://www.bedahugm.net/bedah/bedah-anak/invaginasi.
Ignacio RC, Fallat ME. Intusussception. In: Holcomb GW, Murphy JP, editors.
Aschraft’s pediatric surgery. 5th ed. Philadephia: Saunders Elsevier; 2010.
Blanco FC. Pediatric Intusussusception. Medscape Reference [ serial on the
internet]. 2010. (Diakses 26 Maret 2018).
Irish MS. Pediatric Intusussusception surgery. Medscape Reference. [Online].
2011. Available: URL: http://emedicine.medscape.com/article/937730-
overview#showall.
14