Anda di halaman 1dari 28

WRAP UP SKENARIO 3

BLOK HEMATOLOGI

BERCAK BIRU PADA LUTUT

Kelompok : B-14

Ketua : Tamara Firdaus Anindhita (1102012292)

Sekretaris : Robiah Al Adawiyah (1102012256)

Anggota : Nur Adilah Yasmin (1102010202)

Nurul Hikmah (1102012207)

Ratnasari (1102012229)

Raysilva Chuneva Alros (1102012230)

Sulastri (1102010286)

William Sitner (1102012306)

Yunisa Trivarsari L.R.P (1102012314)

FAKULTAS KEDOKTERAN - UNIVERSITAS YARSI


2013-2014
Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 62 21 4244574 Fax 62 21 4244574
Skenario 1

BERCAK BIRU PADA LUTUT


Seorang ibu datang membawa bayi laki-laki berumur 7 bulan ke dokter puskesmas
dengan keluhan ditemukan bercak biru pada lutut. Keluhan ini muncul sejak bayinya mulai
belajar merangkak.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi tidak tampak sakit, konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik. Jantung, paru, dan abdomen tidak ada kelainan. Pada kedua lutut tampak
bercak kebiruan 4x5 cm.
Dokter menganjurkan beberapa pemeriksaan laboratorium, hasilnya sebagai berikut:

Pemeriksaan Kadar Nilai Normal

Hemoglobin (Hb) 11 g/dL 10,5 – 13,5 g/dL

Hematokrit (Ht) 39% 34 – 40 %

Leukosit 9.500/µl 6.000 – 17.000/µl

Trombosit 350.000/µl 250.000 – 450.000/µl

Masa perdarahan (BT) cara duke 2’ 1 – 3’

Masa protrombin (PT) 11,5 ” 11 – 14 “

Masa tromboplastin parsial 76 ” 27 – 37 “


teraktivasi (APTT)

Masa trombin (TT) 13 “ 12 – 15 “

1
KATA SULIT

1. APTT (Activated Partial Thromboplastin Time)


2. PT (Prothrombin Time)
3. TT (Thrombin Time)
4. BT (Bleeding Time)

Jawaban
1. APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) adalah salah satu pemeriksaan
hemostasis yang ditujukan untuk mengevaluasi jalur intrinsik dan jalur bersama pada
sistem koagulasi. Sehingga apabila terjadi defisiensi atau kelainan pada jalur intrinsik
dan jalur bersama akan diketahui oleh pemeriksaan APTT.
2. PT (Prothrombin Time) dilakukan untuk memeriksa jalur ekstrinsik dan jalur bersama
pada sistem koagulasi. PT biasanya dilakukan untuk memantau penggunaan
antikoagulan oral yang dilaporkan dalam bentuk INR (International Normalized
Ratio).
𝑃𝑇 𝑃𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛
Caranya: 𝐼𝑁𝑅 = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑃𝑇
3. TT (Thrombin Time) adalah salah satu pemeriksaan hemostasis yang ditujukan untuk
memeriksa jalur bersama, yaitu mengevaluasi fungsi perubahan fibrinogen menjadi
fibrin. TT untuk mengetahui penyakit hipofibrinogenemia, disfibrinogenemia,
inhibitor trombin (heparin).
4. BT (Bleeding Time) memeriksa hemostasis pada luka yang kecil dan dangkal dengan
menentukan kecepatan pembentukan sumbat trombosit sehingga mengetahui efisiensi
fase vascular dan trombosit pada hemostasis. Tes ini dapat juga mengevaluasi
kelainan bawaan trombosit seperti penyakt von Willebrand. Namun ternyata
pemeriksaan ini terbatas hanya untuk perdarahan kulit dan tidak berkorelasi pada
organ visceral, misalnya pada tindakan operatif. Karena itu, lebih sering digunakan
untuk skrining pasien dengan kelainan trombosit, misal gejala perdarahan mukokutan.
Terdapat dua teknik untuk melakukan pemeriksaan BT, yaitu:
Caranya yaitu:
a. Ivy
i. Kenakan manset tensimeter pada lengan atas kira-kira 5 cm di atas lipat siku
dan pompa sampai tekanan 40 mmHg. Selama percobaan berlangsung,
tekanan harus tetap setinggi itu.
ii. Bersihkan bagian voler lengan bawah dengan alkohol 70% dan biarkan kering
kembali.
iii. Tegangkanlah kulit lengan bawah kira-kira 3 jari di bawah lipat siku dan
tusukkan dengan blood lancet dengan kedalaman 2 mm.
iv. Jika terlihat darah mulai keluar, jalankan stopwatch.
v. Isaplah tetes darah yang keluar itu tiap 30 detik dengan memakai kertas
saring sampai perdarahan berhenti.
vi. Hitung waktu perdarahan.
b. Duke
i. Bersihkan anak daun telingan dengan alkohol 70% dan biarkan kering.
ii. Tusuklah pinggir anak daun telinga dengan blood lancet sedalam 3 mm.
iii. Teruskan percobaan seperti cara Ivy.

2
SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Menjelaskan Hemostasis


1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hemostasis
1.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Hemostasis
1.3. Memahami dan Menjelaskan Gangguan Hemostasis
1.4. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Hemostasis

2. Memahami dan Menjelaskan Hemofilia


2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hemofilia
2.2. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Hemofilia
2.3. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Hemofilia
2.4. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Hemofilia
2.5. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Hemofilia
2.6. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Hemofilia
2.7. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Hemofilia
2.8. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding Hemofilia
2.9. Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan Hemofilia
2.10. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Hemofilia
2.11. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Hemofilia
2.12. Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Hemofilia

3
1. Memahami dan Menjelaskan Hemostasis
1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hemostasis

Hemostasis berasal dari kata haima (darah) dan stasis (berhenti), merupakan
proses yang amat kompleks, berlangsung terus menerus.
Hemostasis adalah suatu mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan dari
suatu pembuluh darah yang rusak, serta berfungsi untuk mencegah perdarahan spontan,
dan menjaga fluiditas darah atau kekentalan darah.

1.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Hemostasis

Reaksi dalam proses hemostasis dibagi menjadi


a. Primer
- Reaksi vaskular
Pembuluh darah mengalami vasokonstriksi atau spasme vaskular agar dapat
memperlambat darah mengalir melalui defek dan memperkecil kehilangan darah.
Permukaan endotel yang saling berhadapan saling menekan akibat spasme
vascular sehingga permukaan tersebut menjadi lekat satu sama lain dan semakin
menutup pembuluh darah yang rusak. Tindakan ini tidak cukup untuk mencegah
pengeluaran darah lebih lanjut, tapi dapat meminimalkan aliran darah yang
memalui pembuluh yang rusak sampai tindakan hemostasis lain benar-benar
menyumbat kebocoran. Endotelin agar vasokonstriksi
Selain itu, vaskular juga mensintesis beberapa substansi yang berperan dalam
proses hemostasis, yaitu:
1. Von willebrand faktor
Fungsinya yaitu mendorong perlekatan trombosit ke subendotel serta sebagai
molekul pembawa faktor VIII dan melindunginya dari perusakan prematur.
2. Tissue plasminogen activator
Berfungsi sebagai sistem fibrinolitik untuk menghentikan proses koagulasi.
3. Plasminogen activator inhibitor
Fungsinya sama dengan tissue plasminogen activator.
4. Prostacyclin (PGI2)
Fungsinya untuk mengaktifkan trombosit dengan mengeluarkan Ca2+ sehingga
terjadi adhesi dan agrgasi trombosit.
5. Trombomodulin
Fungsinya untuk mengaktifkan protein C yang dapat memperlambat kerja
faktor V dan VIII (untuk fibrinolitik).
6. Glicosaminoglican
Fungsinya untuk meningkatkan aktivitas antitrombin sehingga fungsi trombin
menurun (untuk fibrinolitik).
- Reaksi selular
Reaksi selular yang dimaksud adalah reaksi trombosit. Saat terjadi luka pada
permukaan pembuluh darah maka trombosit akan menempel pada pembuluh
darah yang luka tersebut. Ada 3 bentuk sumbatan trombosit:
1. Adhesi trombosit

4
Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat pada permukaan endotel
pembuluh darah tetapi apabila lapisan dalam ini rusak akibat cedera pembuluh
darah, maka trombosit akan melekat ke kolagen yang terpajan, yaitu protein
fibrosa yang terdapat di jaringan ikat dibawahnya.
2. Agregasi trombosit
Setelah trombosit melekat pada pembuluh darah kemudian trombosit akan
melepaskan dense granul yang dimilikinya yaitu ADP, dense granul tersebut
menyebabkan permukaan trombosit dalam sirkulasi yang lewat menjadi
lengket dan melekat ke lapisan trombosit yang sudah mengalami adhesi.
Trombosit yang baru melekat ini mengeluarkan lebih banyak ADP, sehingga
lebih banyak lagi trombosit yang melekat, dan demikian seterusnya. Proses
penumpukan ini diperkuat oleh pembentukan suatu zat kima perantara,
tromboksan A2(TXA2), dari komponen membran plasma trombosit yang
berkontak dengan kolagen. TXA2 berkaitan erat dengan prostaglandin (PG),
sekelompok zat perantara kimiawi yang bekerja lokal yang ditemukan luas di
tubuh. Tromboksan A2 secara langsung mendorong agregasi trombosit dan
secara tidak langsung meningkatkan proses tersebut dengan mencetuskan
pengeluaran lebih banyak ADP dari granula trombosit. Tetapi trombosit tidak
akan menempel pada endotel yang tidak rusak, karena endotel normal
mengeluarkan prostasiklin dan nitrat oksida yang menghambat agregasi
trombosit.
3. Release reaction
Yaitu reaksi melepaskan granul untuk melangsungkan mekanisme hemostasis.
Trombosit mengandung 2 jenis granul: granul alpha dan dense granul. Granul
alpha mengandung protein hemostatik seperti fibrinogen, vWF, dan faktor
pertumbuhan. Dense granul mengandung faktor-faktor proaggregasi seperti
adenosin 5'-diphosphate (ADP), kalsium, dan 5-hidroksitriptamin (serotonin).

Tidak hanya menambal kerusakan pembuluh darah tetapi juga :


i. Complex aktin-miosin di dalam trombosit yang membentuk sumbat tersebut
berkontraksi untuk memadatkan dan memperkuat sumbat yang mula-mula
longgar
ii. Bahan-bahan kimia yang dikeluarkan mencakup beberapa vasokonstriktor
kuat (serotonin, epinefrin, tormboksan A2) yang memicu kontriksi kuat
pembuluh yang bersangkutan untuk memperkuat vaso-spasme awal
iii. Membebaskan bahan-bahan kimia lain yang meningkatkan koagulasi darah

5
Gambar 1. Pembentukan Sumbat Trombosit

b. Sekunder
- Koagulasi
Adalah perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Perubahan menjadi fibrin ini
dikatalis oleh enzim trombin di tempat pembuluh yang mengalami cedera.
Sistem koagulasi ini dilakukan oleh faktor-faktor koagulasi yang merupakan
protein plasma yang disintesis di hati. Dalam keadaan normal, protein-protein
plasma tersebut selalu terdapat di dalam plasma dalam bentuk inaktif, seperti
fibrinogen dan protrombin. Fibrinogen akan diubah menjadi serat-serat fibrin
yang tidak larut, tetapi protrombin dan prekursor lainnya akan diubah menjadi
bentuk aktif tetapi bekerja sebagai enzim proteolitik yang berfungsi untuk
mengaktifkan faktor spesifik lain dalam rangkaian sistem koagulasi. Setelah
faktor pertama dalam rangkaian tersebut diaktifkan, faktor tersebut kemudian
mengaktifkan faktor lain, demikian seterusnya, dalam serangkaian reaksi yang
dikenal sebagai ‘jenjang’ (cascade) sampai trombin mengkatalis perubahan akhir
fibrinogen menjadi fibrin. Molekul fibrin yang melekat ke permukaan pembuluh
yang rusak akan membentuk jala longgar yang menjerat trombosit namun dengan
cepat terbentuk ikatan kimia antara untai-untai fibrin yang berdekatan untuk
memperkuat dan menstabilkan jala bekuan. Proses pembentukan ikatan silang ini
dikatalisis oleh faktor pembekuan F XIII (fibrin-stabilizing factor).

6
Gambar 2. Peran trombin dalam hemostasis

Jalur koagulasi:

Gambar 3. Jalur Koagulasi

7
Faktor-faktor koagulasi terdiri dari:

Tabel 1. Faktor-faktor koagulasi

8
Jalur pembekuan darah atau koagulasi terjadi secara bersamaan dengan
proses agregasi trombosit di dalam tubuh, seperti:

Gambar 4. Agregasi trombosit dan pembentukan bekuan terjadi bersamaan

Tubuh juga memiliki suatu sistem antikoagulan alamiah untuk mencegah


penggumpalan darah dengan cara menghambat pembentukan trombin yang
diperlukan untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Antikoagulan ini berfungsi
untuk menjaga darah agar tetap dalam keadaan cair dan mencegah mekanisme
hemostasis yang melebihi kebutuhan.

Gambar 5. Natural Anticoagulant

9
Antikoagulan alamiah yaitu:
a. Antitrombin III
Menetralisir serin protease (IIa, Xa, IXa, XIa, XIIa, Kalikrein) dan
menghambat aktivitas heparin.
b. Protein C
Disintesis di hati, bergantung pada vitamin K, diaktivasi oleh trombin dan
trombomodulin, menginaktivkan faktor Va dan VIIIa, meningkatkan aktivitas
fibrinolitik dengan mengikat PA.
c. Protein S
Disintesis di hati, bergantung pada vitamin K, sebagai koaktivator protein C.
d. Heparin co factor II
Menghambat trombin, mengaktifkan heparin.
e. Tissue factor pathway
Menginaktifkan faktor VIIa dan Xa.

Selain mekanisme pembentukan sumbatan agar darah tidak terus-menerus


mengalir keluar dan juga adanya sistem antikoagulan alamiah, tubuh juga
mempunyai suatu mekanisme lain yaitu untuk menghentikan proses pembentukan
koagulasi (fibrinolitik). Mekanisme ini dilakukan tubuh agar sumbatan yang
terbentuk tidak menutupi lumen vaskular dengan cara menghancurkan fibrin
melalui proses enzimatik.

Gambar 6. Sistem fibrinolitik (penghancuran fibrin secara enzimatis)

Sistem fibrinolitik terdiri dari:


a. Plasminogen
Plasminogen merupakan proenzim dari plasmin yang dapat ditemukan di
plasma dan cairan tubuh lainnya. Plasmin itu sendiri merupakan enzin
proteolitik yang mengandung substrat-substrat seperti fibrin, fibrinogen, V,
VIII, hormon, komplemen, yang berfungsi untuk menyingkirkan bekuan-
bekuan fibrin dengan mencerna fibrin menjadi potongan-potongan kecil atau
produk degradasinya (Fibrin Degradation Produk).
b. Plasminogen activator

10
Berfungsi untuk mengaktivasi plasmin dengan merubah plasminogen menjadi
plasmin. Aktivator-aktivator ini dirangsang oleh faktor Hageman (XIIa),
kallikrein, dan aktivator plasminogen lain yang dibebaskan oleh berbagai
jaringan (tissue Plasminogen Activator/t-PA) contohnya yaitu sel-sel
endotelial. Aktivator plasminogen yang lain yaitu urokinase dan streptokinase.
c. Inhibitor (antiplasmin)
Merupakan Plasminogen Activator Inhibitor (PAI) dan juga antiplasmin, yaitu
untuk menghambat plasmin menghancurkan bekuan-bekuan fibrin secara
berlebihan. Antiplasmin sintesis: transamin, transylol, amino caproic acid.

1.3. Memahami dan Menjelaskan Gangguan Hemostasis

a. Hemofilia
Hemofilia adalah suatu penyakit karena kegagalan pembentukan bekuan darah di
pembuluh darah yang cedera sehingga terjadi perdarahan yang mengancam nyawa
bahkan oleh trauma yang relatif ringan. Hemofilia disebabkan oleh salah satu faktor
dalam jalur pembekuan yang mengalami defisiensi, yaitu faktor VII atau IX.
b. Gangguan fungsi trombosit:
1. Purpura trombositopenik
Adalah suatu penyakit karena defisiensi trombosit. Defisiensi trombosit berbeda
dengan femofilia, defisiensi trombosit menyebabkan tubuh terus-menerus
mengalami ratusan perdarahan kecil diseluruh jaringan tubuh karena bocornya
darah melalui lubang-lubang kecil di pembuluh darah halus sebelum koagulasi
berlangsung. Di kulit pengidap defisiensi trombosit, perdarahan kapiler difus
tampak sebagai bercak-bercak keunguan kecil yang menyebabkan terjadinya
purpura trombositopenik (ungu pada defisiensi trombosit).
2. Sindrom Bernard-soulier.
Penyakit autosomal resesif yang ditandai dengan morfologi trombosit yang besar
dan aneh. Trombositopenia dan ganggguan adhesi trombosit sekunder akibat cacat
membrane intrinsik.
3. Trombastenia blanzmann
Penyakit autosomal resesif yang disertai dengan tidak adanya retraksi bekuan dan
agregasi normal trombosit.
4. Kelainan sekresi ADP
Gangguan agregasi sekunder akibat sekresi abnormal ADP.
c. Defisiensi vitamin K
Defisiensi vitamin K dapat menyebabkan gangguan pada hemostasis. Vitamin K
merupakan vitamin pembekuan darah, esensial untuk pembekuan bekuan normal.
Vitamin K berperan dalam hemostasis karena berikatan dengan oksigen yang
kemudian membebaskan energi untuk mengaktifkan proses-proses dalam proses
pembekuan.

11
1.4. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Hemostasis

Pemeriksaan hemostasis dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai


berikut:
a. Antikoagulan
Natrium sitrat 0,109 M dengan perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian Natrium
sitrat. Untuk hitung trombosit antikoagulan yang dipakai adalah Na2EDTA.
b. Penampung
Bahan plastik atau gelas yang dilapisi silikon, untuk mencegah terjadinya aktivasi
faktor pembekuan.
c. Semprit dan jarum
Ukuran yang digunakan ukuran besar, paling kecil nomor 20.
d. Cara pengambilan darah
Hindari masuknya tromboplastin jaringan, sebaiknya digunakan 2 semprit dimana
darah pada semprit pertama dibuang karena dikhawatirkan tercemar tromboplastin
jaringan.
e. Kontrol
Diperiksa 1 kontrol normal (tersedia secara komersial) dan 1 kontrol abnormal.
f. Penyimpanan dan pengiriman bahan
Sampel darah segera dikerjakan, harus selesai dalam 3 jam setelah pengambilan
darah. Bila harus ditunda, plasma sitrat disimpan dalam tempat plastik tertutup dalam
keadaan beku.

Pemeriksaan hemostasis:
a. Hitung trombosit
Dapat dilakukan oleh alat atau dilakukan secara manual dengan menggunakan kamar
hitung.

Gambar 7. Kamar Hitung untuk Menghitung Trombosit

b. Test Rumple Leede


Test yang menggunakan sphygmomanometer untuk melihat adanya petechiae
(kekuatan pembuluh darah tidak kuat). Dikatakan positif apabila petechiae lebih dari
10.

12
Gambar 8. Petechiae

c. Bleeding Time (BT)


Memeriksa hemostasis pada luka yang kecil dan dangkal dengan menentukan
kecepatan pembentukan sumbat trombosit sehingga mengetahui efisiensi fase
vascular dan trombosit pada hemostasis. Tes ini dapat juga mengevaluasi kelainan
bawaan trombosit seperti penyakit von Willebrand. Namun ternyata pemeriksaan ini
terbatas hanya untuk perdarahan kulit dan tidak berkorelasi pada organ visceral,
misalnya pada tindakan operatif. Karena itu, lebih sering digunakan untuk skrining
pasien dengan kelainan trombosit, misal gejala perdarahan mukokutan.
Terdapat dua teknik untuk melakukan pemeriksaan BT, yaitu:
Caranya yaitu:
1. Ivy
a. Kenakan manset tensimeter pada lengan atas kira-kira 5 cm di atas lipat siku
dan pompa sampai tekanan 40 mmHg. Selama percobaan berlangsung,
tekanan harus tetap setinggi itu.
b. Bersihkan bagian voler lengan bawah dengan alkohol 70% dan biarkan kering
kembali.
c. Tegangkanlah kulit lengan bawah kira-kira 3 jari di bawah lipat siku dan
tusukkan dengan blood lancet dengan kedalaman 2 mm.
d. Jika terlihat darah mulai keluar, jalankan stopwatch.
e. Isaplah tetes darah yang keluar itu tiap 30 detik dengan memakai kertas saring
sampai perdarahan berhenti.
f. Hitung waktu perdarahan.
2. Duke
a. Bersihkan anak daun telingan dengan alkohol 70% dan biarkan kering.
b. Tusuklah pinggir anak daun telinga dengan blood lancet sedalam 3 mm.
c. Teruskan percobaan seperti cara Ivy.

13
Gambar 9. Bleeding Time Cara Ivy

d. Prothrombin Time (PT)


PT dilakukan untuk memeriksa jalur ekstrinsik dan jalur bersama pada sistem
koagulasi. PT biasanya dilakukan untuk memantau penggunaan antikoagulan oral
yang dilaporkan dalam bentuk INR (International Normalized Ratio).
𝑃𝑇 𝑃𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛
Caranya: 𝐼𝑁𝑅 = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑃𝑇

Gambar 10. Alat menghitung Protombin Time

e. Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)


APTT adalah salah satu pemeriksaan hemostasis yang ditujukan untuk mengevaluasi
jalur intrinsik dan jalur bersama pada sistem koagulasi. Sehingga apabila terjadi

14
defisiensi atau kelainan pada jalur intrinsik dan jalur bersama akan diketahui oleh
pemeriksaan APTT.
APTT memanjang dijumpai pada :
1. Defisiensi bawaan
o Jika PPT normal kemungkinan kekurangan :
 Faktor VIII
 Faktor IX
 Faktor XI
 Faktor XII
o Jika faktor-faktor koagulasi tersebut normal, kemungkinan kekurangan
HMW kininogen (Fitzgerald factor)
o Defisiensi vitamin K, defisiensi protrombin, hipofibrinogenemia.
2. Defisiensi didapat dan kondisi abnormal seperti :
o Penyakit hati (sirosis hati)
o Leukemia (mielositik, monositik)
o Penyakit von Willebrand (hemophilia vaskular)
o Malaria
o Koagulopati konsumtif, seperti pada disseminated intravascular
coagulation (DIC)
o Circulating anticoagulant (antiprothrombinase atau circulating
anticoagulant terhadap suatu faktor koagulasi)
o Selama terapi antikoagulan oral atau heparin
f. Thrombin Time (TT)
Untuk memeriksa jalur bersama, yaitu fungsi perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
TT untuk mengetahui penyakit hipofibrinogenemia, disfibrinogenemia, inhibitor
trombin (heparin).
g. Fibrinogen
Pemeriksaan dengan tujuan yang sama dengan TT. Hipofibrinogenemia terjadi karena
konsumsi DIC (Dissaminated Intravascular Coagulation) atau defek dalam sintesis
fibrinogen di hati (penyakit hati)
h. D-Dimer
Pemeriksaan untuk mengetahui produk akhir dari sistem aktivasi fibrinolitik.
Merupakan penanda perubahan dari fungsi trombin atau koagulasi.

Tes khusus
a. Tes faal trombosit
Untuk mengukur penurunan penyerapan sinar pada plasma kaya trombosit sebagai
agregat trombosit.
b. Pengukuran faktor spesifik (faktor pembekuan)
Fibrinogen, faktor vW, dan faktor VIII secara kuantitatif atau membandingkan efek
koreksi dari plasma yang mengandung kekurangan substrat tertentu yang mempunyai
perpanjangan waktu pembekuan lalu hasilnya dengan presentase aktivitas normal.
c. Tes Ristocetin
Ristocetin adalah antibiotik yang menyebabkan agregasi trombosit. Pada hemofilia A
dan B, tes ini normal.

15
2. Memahami dan Menjelaskan Hemofilia
2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hemofilia

Hemofilia adalah kelainan genetik herediter yang merusak kemampuan tubuh


untuk mengendalikan pembekuan darah atau koagulasi, yang digunakan untuk
menghentikan perdarahan bila pembuluh darah rusak. Hemofilia diturunkan secara sex-
linked recessive pada kromosom X (𝑋 ℎ ).
Meskipun hemophilia penyakit herediter tetapi sekita 20-30% pasien tidak
memiliki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga terjadi mutasi
spontan akibat lingkungan eksogen/endogen.
Dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked recessive, yaitu:
a. Hemofilia A/ hemofilia klasik akibat defisiensi FVIII
b. Hemofilia B/ Christmas disease) akibat defisiensi FIX
Hemofilia C adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan FXI yang diturunkan
secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35.

2.2. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Hemofilia

Hemofilia terjadi pada semua ras dan etnis. Secara umum, penyebaran hemofilia
mengikuti distribusi ras dalam populasi tertentu. Misalnya antara pria kulit putih Afrika
Amerika sama dengan pria Hispanik di AS.
Hemofilia adalah penyakit herediter terpait gen X resesif, oleh karena itu kejadian
penyakit ini hanya dapat dirasakan oleh laki-laki. Sedangkan wanita hanya membawa
sifat asimptomatik (carrier). Tetapi wanita dapat juga mengalami perdarahan klinis
karena hemofilia jika berada dalam kondisi:
a. Lyonization ekstrim, yaitu inaktivasi alel faktor VIII/IX yang normal dalam
salah satu kromosom X.
b. Homozygot gen hemofilia (ayah hemofilia dan ibu carrier)
c. Sindrom turner (XO)

Di Indonesia diperkirakan ada 20.000 kasus dari 200 juta penduduk. Kasus
hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan hemofilia B yaitu berturut-turut
mencapai 80-85% dan 10-15% tanpa memandang ras, geografi, keadaan social-ekonomi
dengan angka kejadian hemofilia A sekitar 1:10.000 dan hemofilia B sekitar 1:25.000-
30.000 orang. Mutasi gen spontan diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada
pasien tanpa riwayat keluarga.
Hemofilia dapat terjadi pada semua suku bangsa dan semua data laporan dari
World Federation of Haemofilia (WFH) 2002 tercatat jumlah penderita hemofilia yang
terdaftar hanya 150 penderita, namun sejak tahun 2005 setelah terbentuk organisasi
Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) di Jakarta pendataan penderita
sudah mulai terorganisir.
Berdasarkan data terakhir dari Yayasan Hemofilia Indonesia/HMHI Pusat jumlah
penderita hemofilia yang sudah teregistrasi sampai Juli 2005 sebanyak 895 penderita

16
yang tersebar di 21 provinsi dari 30 provinsi, berarti ada 9 provinsi yang belum membuat
data registrasi kemungkinan adanya penderita hemofilia di daerahnya, dengan jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai 217.854.000 populasi (BPS Indonesia, 2004), secara
nasional prevalensi hemofilia hanya mencapai ± 4,1/1 juta populasi, angka ini sangat
kecil dibandingkan prediksi secara epidemiologi seharusnya di Indonesia penderita
hemofilia ± 21.000 orang.

2.3. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Hemofilia

Etiologi hemofilia:
1. Faktor genetik
Hemofilia atau pennyakit gangguan pembekuan darah memang menurun dari
generasi ke generasi lewat wanita pembawa sifat (carier) dalam keluarganya, yang
bisa secara langsung dan juga tidak langsung. Seperti kita ketahui, di dalam setiap sel
tubuh manusia terdapat 23 pasang kromosom dengan bebagai macam fungsi dan
tugasnya. Kromosom ini menentukan sifat atau ciri organisme, misalnya tinggi,
penampilan, warna rambut, mata dan sebagainya. Sementara, sel kelamin adalah
sepasang kromosom di dalam inti sel yang menentukan jenis kelamin makhluk
tersebut. Seorang pria mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y,
sedangkan wanita mempunyai dua kromosom X. Pada kasus hemofilia, penyebab dari
penyakit hemofilia yaitu mutasi pada jalur koagulasi. Oleh karena itu, klasifikasi
dapat dilakukan berdasarkan etiologi sebagai berikut:
a. Hemofilia A adalah gangguan resesif terkait-X genetic yang melibatkan
kurangnya FVIII pembekuan fungsional dan mewakili 80% kasus hemofilia.
b. Hemofilia B adalah gangguan resesif terkait-X genetic yang melibatkan
kurangnya FIX pembekuan fungsional dan mewakili 20% kasus hemofilia.

Gambar 11. X-linked Hemofilia

2. Faktor komunikasi antar sel


Sel-sel di dalam tubuh manusia juga mempunyai hubungan antara sel satu dengan sel
lain yang dapat saling mempengaruhi. Penelitian menunjukkan, peristiwa pembekuan
17
darah terjadi akibat bekerjanya sebuah sistem yang sangat rumit. Terjadi interaksi
atau komunikasi antar sel, sehingga hilangnya satu bagian saja yang membentuk
sistem ini, atau kerusakan sekecil apa pun padanya, akan menjadikan keseluruhan
proses tidak berfungsi.. Jalur intrinsik menggunakan faktor-faktor yang terdapat
dalam sistem vaskular atau plasma. Dalam rangkaian ini, terdapat reaksi air terjun,
pengaktifan salah satu prokoagulan akan mengakibatkan pengaktifan bentuk
seterusnya. Faktor XII, XI, dan IX harus diaktivasi secara berurutan, dan faktor VIII
harus dilibatkan sebelum faktor X dapat diaktivasi. Zat prekalikein dan kiininogen
berat molekul tinggi juga ikut serta dan juga diperlukan ion kalsium. Koagulasi
terjadi di sepanjang apa yang dinamakan jalur bersama. Aktivasi faktor X dapat
terjadi sebagai akibat reaksi jalur ekstrinsik atau intrinsik. Pengalaman klinis
menunjukkan bahwa kedua jalur tersebut berperan dalam hemostasis. Pada penderita
hemofilia, dalam plasma darahnya kekurangan bahkan tidak ada faktor pembekuan
darah, yaitu faktor VIII dan IX. Semakin kecil kadar aktivitas dari faktor tersebut
maka, pembentukan faktor Xa dan seterusnya akan semakin lama. Sehingga
pembekuan akan memakan waktu yang lama juga (terjadi perdarahan yang
berlebihan).
3. Faktor epigenik
Hemofilia A disebabkan kekurangan faktor VIII dan hemofilia B disebabkan
kekurangan faktor IX. Kerusakan dari faktor VIII dimana tingkat sirkulasi yang
fungsional dari faktor VIII ini tereduksi. Aktifasi reduksi dapat menurunkan jumlah
protein faktor VIII, yang menimbulkan abnormalitas dari protein. Faktor VIII menjadi
kofaktor yang efektif untuk faktor IX yang aktif, faktor VIII aktif, faktor IX aktif,
fosfolipid dan juga kalsium bekerja sama untuk membentuk fungsional aktifasi faktor
X yang kompleks (”Xase”), sehigga hilangnya atau kekurangan kedua faktor ini dapat
mengakibatkan kehilangan atau berkurangnya aktifitas faktor X yang aktif dimana
berfungsi mengaktifkan protrombin menjadi trombin, sehingga jiaka trombin
mengalami penurunan pembekuanyang dibentuk mudah pecah dan tidak bertahan
mengakibatkan pendarahan yang berlebihan dan sulit dalam penyembuhan luka.

18
2.4. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Hemofilia

Skema 1. Patofisiologi hemofilia

Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit faktor VIII atau faktor IX maka
pembekuan bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita hemofilia
tidak berdarah lebih cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. Pada perdarahan dalam ruang
tertutu seperti dalam sendi, proses perdarahan terhenti akibat suatu efek yang membantu
mengendalikan perdarahan yaitu efek temponade. Namun efek temponade tidak ada pada
luka yang terbuka sehingga perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan daran yang terbentuk
tidak kuat dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau trauma
ringan.
Defisit faktor VIII atau IX disebabkan oleh mutasi pada gen f 8 atau f 9. Gen f 8
terletak dibagian lengan panjang kromosom X di regio Xq2.8, sedangkan gen f 9 terletak
di regio Xq2.7. mutasi gen f 8 dan f 9 ini diturunkan secara x-linked resesif sehingga
anak laki-laki dari pihak ibu yang menderta kelainan ini. Pada sepertiga kasus mutasi
spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai adanya riwayat keluarga penderita
19
hemofilia. Wanita pembawa sifat hemofilia juga menderita gejala perdarahan walaupun
biasanya ringan.
Perbedaan proses pembekuan darah yang terjadi antara orang normal (Gambar 12)
dengan penderita hemofilia (Gambar 13).

a. Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi luka pada


pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah mengalir
ke seluruh tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.
b. Pembuluh darah mengkerut atau mengecil.
c. Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada
pembuluh.
d. Faktor-faktor pembeku darah bekerja membuat
anyaman (benang-benang fibrin) yang akan menutup
luka sehingga darah berhenti mengalir keluar pembuluh
darah.
Gambar 12. Koagulasi pada orang normal

a. Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi luka pada


pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah mengalir
ke seluruh tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.
b. Pembuluh darah mengkerut atau mengecil.
c. Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada
pembuluh.
d. Faktor-faktor pembeku darah bekerja membuat
anyaman (benang-benang fibrin) yang akan menutup
luka sehingga darah berhenti mengalir keluar pembuluh
darah.
Gambar 13. Koagulasi pada hemofilia

20
2.5. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Hemofilia

a. Klasifikasi berdasarkan etiologi


- Hemofilia A : defisiensi atau tidak adanya faktor VII
- Hemofilia B : defisiensi atau tidak adanya faktor IX
b. Klasifikasi berdasarkan keparahan penyakit

Berat Sedang Ringan


Aktivitas F VIII/ F < 0,01 0,01 – 0,05 > 0,05
IX U/mL (%) (< 1) (1 – 5) (> 5)

Frekuensi hemofilia 70 15 15
A (%)

Frekuensi hemofilia 50 30 20
B (%)

Usia awitan < 1 tahun 1 – 2 tahun > 2 tahun

Gejala neonatus sering PCB sering PCB tak pernah PCB


kejadian ICH jarang ICB jarang sekali ICB

Perdarahan tanpa trauma trauma ringan trauma cukup kuat


otot/sendi

Peradarahan SSP risiko tinggi risiko sedang jarang

Perdarahan post- sering dan fatal butuh bebat pada operasi besar
operasi

Perdarahan oral sering terjadi dapat terjadi kadang terjadi


(trauma, cabut gigi)

Tabel 2. Klasifikasi hemofilia berdasarkan manifestasi klinis

2.6. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Hemofilia

a. Perdarahan mulai terjadi semasa janin atau pada proses persalinan.


b. Perdarahan pada mukosa mulut, gusi, hidung, saluran kemih.
c. Perdarahan pasca sirkumsisi atau pembedahan lain.
d. Hemartrosis 85% ditemukan dengan lokasi berturut-turut di sendi lutut, siku, bahu,
pergelangan kaki dan tangan dll.
e. Hematoma intramuscular terjadi pada otot-otot betis, iliopsoas dan lengan bawah.
f. Pendarahan dalam kulit sering terjadi pada persendian seperti siku tangan maupun
lutut kaki sehingga mengakibatkan rasa nyeri yang hebat.
g. Perdarahan di kepala. Tanda-tandanya: sakit kepala hebat, muntah berulang kali,
mengantuk terus, bingung, tak dapat mengenali orang atau benda di sekitarnya,
penglihatannya kabur atau ganda, keluar cairan dari hidung atau telinga, terasa lemah
pada tangan, kaki, dan wajah.

21
h. Perdarahan di tenggorokan. Tanda-tanda: sulit bernapas atau menelan, bengkak.
i. Perdarahan di perut. Tanda-tanda: muntah darah, terdapat darah pada feses, sakit
perut tak kunjung sembuh, penderita tampak pucat dan lemah.
j. Perdarahan di paha. Tanda-tanda: nyeri di daerah paha atau agak ke bawahnya, mati
rasa di daerah paha atau tidak mampu mengangkat kaki.

2.7. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Hemofilia

a. Anamnesis
- Lahir : perdarahan lewat tali pusat.
- Anak yang lebih besar : perdarahan sendi sebagai akibat jatuh pada saat belajar
berjalan.
- Ada riwayat timbulnya ”biru-biru” bila terbentur (perdarahan abnormal).
- Riwayat keluarga dengan gangguan perdarahan terutama saudara laki-laki atau
dari pihak ibu.
b. Pemeriksaan fisik
- Terjadi perdarahan yang terus menerus
- Hematom di kepala atau tungkai atas/bawah.
- Hemarthrosis.
- Sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan menyebabkan atrofi dari otot,
pergerakan terganggu dan terjadi kontraktur sendi. Sendi yang sering terkena
adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha dan sendi bahu.
c. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan darah rutin biasanya normal.
- Pemeriksaan penyaring dapat ditemukan:
Bleeding Time (BT) normal
Protrombin Time (PT) normal
Activated Partial Trombolastin Time (APTT) memanjang
Trombin Time (TT) normal
- Pemeriksaan definitif
Pemeriksaan kadar faktor VIII untuk hemofilia A dan faktor IX untuk hemofilia
B, dimana kedua faktor tersebut ditemukan di bawah normal pada penderita
hemofilia. Nilai normal aktivitas F VIII/F IX adalah 0,5-1,5 U/ml atau 50-150 %.
- Pemeriksaan molekular
Pemeriksaan gen penanda hemofilia pada kromosom X dapat memastikan
diagnosis hemofilia, serta dapat mengetahui pembawa sifat gen tersebut.
Pemeriksaan ini disebut pemeriksaan antenatal yang dapat dilakukan pada ibu
hamil dengan risiko. Pemeriksaan aktivitas F VIII/F IX dan kadar antigen F
VIII/F IX dalam darah janin pada trimester kedua dapat membantu menentukan
status janin terhadap kerentanan hemofilia A/B. Indentifikasi gen F VIII/F IX dan
petanda gen tersebut lebih baik dan lebih dianjurkan.

22
2.8. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding Hemofilia

a. Von Willebrand disease


Disebabkan oleh defisiensi atau gangguan fungsi faktor von willebrand sehingga
dapat pula ditemukan aktivitas faktor VIII yang rendah, karena tidak ada yang
melindunginya dari degradasi proteolitik. Penyakit ini menyebabkan masa perdarahan
memanjang karena proses adhesi trombosit terganggu. Pada penyakit von willebrand
ditemukan APTT yang normal atau memanjang dan aktivitas faktor VIII bisa normal
atau rendah, serta faktor von willebrand yang rendah.
b. Trombosit disorder
Gangguan trombosit dapat menyebabkan sistem hemostasis terganggu, karena tidak
dapat terjadinya proses adhesi trombosit. Gangguan pada trombosit dapat terjadi
karena kadar trombosit yang berkurang atau fungsi trombosit yang terganggu. Pada
sediaan hapus darah tepi dapat ditemukan trombositopenia apabila gangguan yang
terjadi karena kadar trombosit yang berkurang. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan petechiae dan purpura, tetapi tidak ditemukan adanya hemarthrosis dan
hematoma yang dapat ditemukan pada hemofilia.

2.9. Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan Hemofilia

a. Terapi suportif
- RICE (Rest, Ice, Compression, Elevation)
Apabila terjadi perdarahan spontan, maka lakukan dengan segera. Sendi yang
mengalami perdarahan diistirahatkan dan diimobilisasi, kemudian kompres
dengan es atau handuk basah yang dingin, lakukan penekanan pada luka, serta
meninggikan atau mengelevasi daerah perdarahan.
- Analgesik
Indikasi pada pasien dengan hemartrosis dengan nyeri hebat, dipilih yang tidak
mengganggu agregasi trombosit.
- Kortikosteroid
Untuk menghilangkan inflamasi pada sinovitis akut setelah serangan akut
hemartrosis. Pemberian Prednisone 0,5-1 mg/kg BB selama 5-7 hari untuk
mencegah kaku sendi (artrosis).
- Hindari antikoagulan dan aspirin
- Hindari trauma/ benturan

b. Dua jam setelah terjadi perdarahan sebaiknya dilakukan Replacement Therapy faktor
VIII/IX. Dosis yang diberikan yaitu:
F VIII (Unit) : BB (kg) x % (target kadar plasma – kadar faktor VIII pasien) x 0,5
F IX (Unit) : BB (kg) x % (target kadar plasma – kadar faktor IX pasien)

23
Tabel 3. Pemberian Faktor VII dan Faktor IX

Pemantauan replacement therapy:


1. Efek samping terapi
Hepatitis B dan hepatitis C dapat terjadi pada penderita hemofilia karena
transmisi virus. Dianjurkan pemeriksaan fungsi hati setiap 6 bulan.
Monitor kemungkinan AIDS dan kelainan imunologi.
2. Tumbuh Kembang
Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi bila terdapat komplikasi kontraktur
sendi. Hal ini dapat dicegah dengan penanganan secara komprehensif. Yang
terdiri dari dokter anak, dokter gigi, ahli bedah ortopedi, ahli jiwa dan ahli
patologi klinik.

c. Terapi ajuvan
- Desmopresin (1-deamino-8-D-arginine vasopressin/DDAVP)
Untuk meningkatkan kadar faktor VIII dalam sirkulasi.
Indikasi : hemofilia ringan dan sedang
Kontraindikasi : hemofilia berat
Dosis : 0,3 mg/kg (intravena)
300 mg (intravena) → berguna untuk mengatasi perdarahan
minor bila di rumah
- Asam traneksamat
Indikasi : perdarahan mukosa seperti perdarahan gusi
Kontraindikasi : perdarahan saluran kemih (risiko obstruksi saluran kemih akibat

24
bekuan darah)
Dosis : 25 mg/kg BB 3x sehari (oral/IV) diberikan selama 5 – 10 hari
- Profilaksis
Pemberian faktor VIII/IX dapat diberikan kepada penderita hemofilia berat agar
mengurangi kejadian hemarthrosis dan kecacatan sendi. WHO menganjurkan
profilaksis dimulai pada usia 1 – 2 tahun dan dilanjutkan seumur hidup.
Dosis : F VIII 20 – 40 U/kg selang sehari minimal 3 hari/minggu
F IX 20 – 40 U/kg 2 kali/minggu

2.10. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Hemofilia

a. Kecacatan
Perdarahan sendi yang terjadi secara berulang akan mengiritasi sinovium dan
merangsang reaksi inflamasi dalam sendi. Pada akhirnya sendi akan akan menjadi
kaku, terjadi deformitas permanen, misalignment, perbedaan panjang anggota gerak,
serta hipotrofi otot yang berdekatan.
b. Perdarahan intrakranial
Perdarahan ini terjadi pada penderita hemofilia berat yang merupakan penyebab
utama kematian, biasanya menyerang di usia balita.
c. Infeksi virus
Infeksi ini disebabkan oleh transfusi darah dan faktor pengganti. Biasanya virus yang
menular yaitu HIV dan hepatitis.

2.11. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Hemofilia

Hemofilia tidak dapat disembuhkan karena bersifat herediter. Dengan terapi serta
edukasi yang benar maka enderita hemofilia dapat hidup normal dan produktif.
Profilaksis dan pengobatan dini dengan faktor VIII/IX yang aman dari kontaminasi
virus telah meningkatkan prognosis pasien mengenai morbiditas dan mortalitas akibat
hemofilia berat. Namun demikian, sekitar seperempat dari pasien usia 18 tahun
memiliki keterampilan motorik di bawah rata-rata, serta keterampilan akademik yang
kurang, dan mengalami masalah emosional dan perilaku.
Apabila penderita sudah terinfeksi akibat transfusi, maka kemungkinan hidup
sehat semakin menurun, terutama apabila terinfeksi HIV.

2.12. Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Hemofilia

a. Olah raga rutin namun hindari olah raga yang terlalu berat.
b. Menjaga berat badan terutama bila memiliki kelainan sendi, karena berat badan yang
berlebih akan meningkatkan keparahan arthritis.
c. Harus menjaga kebersihan mulut dan gigi.
d. Pemberian vaksinasi seperti anak normal melalui jalur subkutan bukan intramuskular.
e. Konseling genetik, untuk mengetahui terapi dan prognosis serta pola keturunan.
f. Hindari mengkonsumsi obat-obatan yang mempengaruhi kerja trombosit yang berfungsi
membentuk sumbatan pada pembuluh darah, seperti asam salisilat, obat antiradang jenis
nonsteroid, ataupun pengencer darah seperti heparin.

25
g. Kenakan tanda khusus seperti gelang atau kalung yang menandakan bahwa ia menderita
hemofilia. Hal ini penting dilakukan agar ketika terjadi kecelakaan atau kondisi darurat
lainnya, personel medis dapat menentukan pertolongan khusus.

26
DAFTAR PUSTAKA

BETZ & LINDA (2009). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Ed 5. Jakarta : EGC

Hoffbrand dan Moss (2013) Kapita Selekta Hematologi Edisi 6. Jakarta : EGC

http://www.news-medical.net/health/Haemophilia-Causes-(Indonesian).aspx unggah 10/11/2013

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000537.htm (Oleh yi-bin chen,MD : hemophilia


update 3/3/2013, unggah 10/11/2013)

IDAI (Unggah : 22 Agustus 2013. Unduh : 9 November 2013) Penanganan Perdarahan Akut
pada Hemofilia. http://idai.or.id/professional-resources/rekomendasi/1417.html

Sacher, Ronald A. dan McPherson, Richard A. (2004) Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta : EGC

Sherwood. Lauralee (2011) Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta : EGC

Sudoyo, Aru W, Bambang Setiyohadi, Idris Alwi, dkk (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II. Ed: V. Jakarta : UI

Sylvia A.Price dan Lloraine M.Wilson. Patofisioogi klinik proses-proses penyakit vol.1

Waterbury, lary (1998). Buku saku hematologi. Jakarta : EGC

Zaiden, Robert A (Unggah : 15 Juli 2013. Unduh : 9 November 2013) Hemophilia B.


http://emedicine.medscape.com/article/779434-overview#aw2aab6b2b6

Zaiden, Robert A (Unggah : 28 Oktober 2013. Unduh : 9 November 2013) Hemophilia A.


http://emedicine.medscape.com/article/779322-overview#aw2aab6b2b6aa

27

Anda mungkin juga menyukai