Shares
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan bimbingan dan konseling secara profesional di Indonesia sampai saat ini masih
terfokus pada generasi muda yang masih duduk dibangku pendidikan formal atau di sekolah. itupun
nampaknya yang paling terrealisasi hanyalah pada jenjang pendidikan sekolah menegah dan
perguruan tinggi saja. Hampir semua tenaga bimbingan konseling profesional yang telah mendapat
pendidikan formal di bidang bimbingan dan konseling, bertugas dilembaga-lembaga pendidikan di
atas jenjang pendidikan dasar.
Diantara tenaga-tenaga bimbingan dan konseling itu sebagian terbesar terlibat didalam
jenjang pendidikan menegah. Kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang diwujudkan dalam
suatu program bimbingan dan konseling yang terorganisasi dan terencana, sampai saat ini lebih
banyak dikembangkan untuk jenjang pendidikan ditingkat menengah. sehingga seakan-akan ia
menjadi urutan yang pertama. Kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan
oleh tenaga-tenaga profesional dijenjang pendidikan tinggi menempati urutan ke dua dan kegiatan
bimbingan konseling yang dilaksanakan di jenjang pendidikan dasar menempati urutan ketiga.
Kenyataan ini hendaknya tidak harus berarti bahwa, urutan prioritas yang terdapat dilapangan,
sebagaimana dijelaskan di atas, tidak dapat diubah menjadi urutan prioritas yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Etika adalah suatu sistem prinsip moral, etika suatu budaya. Aturan tentang tindakan yang dianut
berkenaan dengan perilaku suatu kelas manusia, kelompok, atau budaya tertentu.
Kode etik merupakan etika profesi yang harus dipegang kuat oleh setiap konselor. Kode etik
juga merupakan moralitas para konselor dalam menjalankan profesinya. Bagaimana kode etik
profesi bimbingan dan konseling sesungguhnya, dan berjkaitan dengan apa saja yang menyangkut
etrika profesi yang terkait dengan bimbingan konseliong dilingkungan dunia pendidikan. Hal ini
karena dunia pendiodikan lebih memrlukan penjelasan kode etik ini dibanding dengan bimbingan
dan konseling dilingkungan lainnnya.[1]
Kode etik adalah pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau
pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau cara etis sebagai pedoman dalam berperilak. Etis
berarti sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat
tertentu. Dalam kaitannya dengan istilah profesi, kode etik merupakan aturan yang menjadi standr
kegiatan anggota suatu profesi.[2]
Menurut Gibson dan Mitchelm, suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai profsional suatu profesi
yang ditrjemahkan dalam standar perilaku anggotanya. Nilai profesional ini ditandai dengan adanya
sifat altruistis artinya lebih mementingkan kesejahteraan orang lain dan berorientasi pada pelyanan
umum dengan prima.
Etika Profesi Bimbingan dan Konseling adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan
bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya memberikan layanan bimbingan
dan konseling kepada konseli. Kaidah-kaidah perilaku yang dimaksud adalah:
1. Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan sebagai manusia: dan
mendapatkan layanan konseling tanpa tanpa melihat suku bangsa, agama, atau budaya.
3. Setriap orang memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab terhadap keputusan
yang diambilnya.
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman
tingkah laku profesioanl yang dijunjung tinggi, diamalkan, dan diamankan oleh setiap anggota
profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia wajib
dipatuhi dan diamalkan oleh pengurus dan anggota organisasi tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota (Anggaran Rumah Tangga ABKIN, Babb II, Pasal 2)[5].
ACA adalah asosiasi profesional untuk semua konselor. Misi organisasi ini adalah
meningkatkan kualitas hidup dalam masyarakat dengan mempromosikan pengembangan konselor
profesional, memajukan konseling profesi, dan menggunakan profesi dan praktek dari konseling
untuk mempromosikan penghormatan terhadap martabat manusia dan keragaman. Secara
organisasi ACA adalah organisasi yang mewakili kemitraan-kemitraan konselor profesional yang
meningkatkan pembangunan manusia.
Pada saat ini konselor sedunia menggunakan KEK dari lembaga yang bernama American
Consuler Association (ACA). Akan tetapi banyak negara yang mengadopsi KEK dari amerika serikat
tersebut lalu mengadakan penyesuaian dengan kondisi negaranya, terutama dalam hal aspek-aspek
Agama, Budaya, dan kondisi masyarakatnya. Hal itu juuga terjadi di Indonesia dimana KEK dari ACA
tersebut kita saring dan kita sesuaikan dengan kondisi negara kita namun demikian masyarakat
konseling harus mempelajari KEK dari ACA tersebut karena mengandung dasar-dasar penting
didalam konseling.[6]
a) Kode etik memapukan ACA menklarifikasi anggotanya kini dan yang akan datang, dan
bagi klien-klien yang dilayani, memberitahu mereka tanggung-jawab etik yang dipegang anggota-
anggota tersebut
c) Kode Etik menetapkan prinsip-prinsip yang menentukan perilaku etis dan praktik terbaik
anggota-anggota ACA
d) Kode Etik berfungsi sebagai pedoman etik yang dirancang untuk membantu anggota-
anggotanya mengkonstruksi arah dan tindakan profesional untuk melayani dengan cara terbaik
pihak-pihak yang menggunakan layanan konseling, dan mempromosikan dengan cara terbaik nilai-
nilai profesi konseling.
e) Kode Etik berfungsi sebagai basis untuk memproses keluhan dan tuduhan etik terhadap
anggota ACA
Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi
Akademik Dan Kompetensi Konselor
Konselor wajib mengkaji secara sadar tingkah laku dan perbuataannya bahwa ia mentaati
kode etik. Konselor wajib senantiasa mengingat bahwasetiap pelanggaran terhadap kode etik akan
merugikan diri sendiri, konseli, lembaga, dan pihak lain yang terkait. Pelanggaran terhadap kode etik
akan mendapatkan sanksi yang mekanismenya menjadi tanggung jawab Dewan Pertimbangan Kode
Etik ABKIN sebagaaimana diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ABKIN, Bab X, Pasal 26 ayat 1 dan 2
sebagai berikut.
Pada organisasi tingkat nasional dan tingkat provinsi dibentuk Dewan Pertimbangan Kode Etik
Bimbingan dan Konseling Indonesia.
Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia sebagaimana yang dimaksud
oleh ayat (1) mempunyai fungsi pokok:
a. Menegakkan penghayatan dan pengalaman Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia.
b. Memberikan pertimbangan kepada Pengurus Besar atau Pengurus Daerah ABKIN atau adanya
perbuatan melanggar Kode Etik Bimbingan dan Konseling oleh Anggota setelah mengadakan
penyelidikan yang seksama dan bertanggung jawab.
c. Bertindak sebagai saksi di pengadilan dalam perkara berkaitan dengan profesi bimbingan dan
konseling.
E. Bentuk Pelanggaran
1. Terhadap Konsil
a. Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait dengan kepentingan
konseli.
d. Kesalahan dalam melakukan praktik profesioanal (prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut)
a. Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
b. Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk kepentingan pribadi
dan/atau kelompok).
a. Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap
arogan).
b. Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai denagn masalah konseli.[8]
4. Sanksi Pelanggaran
Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan Konseling. Apabila terjadi
pelanggaran terhadap kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling maka kepadanya diberikan sanksi
sebagai berikut:
d) Pencabutan lisensi
e) Apabila terkait dengan permasalahan hukum/kriminal maka akan diserahkan pada pihak
yang berwenang.[9]
Apabila terjadi pelanggaran seperti tercantum diatas mekanisme penerapan sanksi yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
c) Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif ringan, maka penyelesainnya dilakukan
oleh dewan kode etik ditingkat daerah.
d) Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi data yang disampaikan oleh
konseli dan/atau masyarakat.
e) Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh dewan kode etik-daerah terbukti
kebenarannya, maka diterapkan sanksi sesuai dengan masalahnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kode etik konselor adalah serangkaian aturan-aturan susila, atau sikap akhlak yang
ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh para konselor atau serangkaian ketentuan dan
peraturan yang disepakati bersama guna mengatur tingkah laku para konselor saat proses
wawancara maupun kehidupan sehari-hari sehingga mampu memberikan sumbangan yang berguna
dalam pengabdiannya di masyarakat.
2. Kode Etik konselor dibuat untuk mengatur perilaku konselor dalam pelaksanaan tugas
dan kewajibannya serta mengatur secara moral peranan konselor di dalam masyarakat.
3. Implementasi Kode Etik konselor masih belum optimal, karena masih banyak konselor
yang belum melaksanakan Kode Etik konselor itu secara baik.
4. konselor di dalam masyarakat masih menempatkan diri sebagai orang biasa yang tidak
memiliki kewajiban khusus secara moral untuk membangun kesadaran berpendidikan bagi
masyarakat.
B. Saran
Kode Etik konselor adalah sesuatu yang hendaknya dipahami dan diamalkan oleh setiap konselor.
Dalam memainkan peran di dalam masyakat, konselor hendaknya senantiasa mengedepankan nilai-
nilai pendidikan.
Perilaku konselor di dalam kehidupan sehari-hari merupakan contoh cerminan seorang yang
berpendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Mcleod Jhon, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, Kencana, Jakarta: 2008.
S. Willis Sofyan. Konseling Individual Teori dan Praktek. CV Alfabeta. Bandung: 2007.
Supriatna Mamat. Bimbingan Dan Konseling Berbasis Kompetensi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta:
2013.
Chambera Iyas. Pengertian Hakikat Dan Fungsi Kode Etik Profesi Guru.
http://blog.uinmalang.ac.id/ilyasbima
[1]Anas Salahudin. Bimbingan & Konseling, CV Pustaka Setia, Bandung : 2010, hal 48.
[2]Iyas Chambera. Pengertian Hakikat Dan Fungsi Kode Etik Profesi Guru.
http://blog.uinmalang.ac.id/ilyasbima : 13/05/14
[4]Mamat Supriatna. Bimbingan Dan Konseling Berbasis Kompetensi, Rajawali Pers, Jakarta : 2013,
hal 259
[6] Sofyan S. Willis. Konseling Individual Teori dan Praktek. Alfabeta, CV. Bandung: 2007, hal 228.
[8] John Mcleod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus.Jakarta: Kencana, 2008, hal 442.
[9] Mamat Supriatna. Bimbingan Dan Konseling Berbasis Kompetensi, Rajawali Pers, Jakarta : 2013,
hal 259