Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus Kelompok

ANESTESI UMUM PADA PASIEN MENINGIOMA

Disusun Oleh:
Olvhan Tiara Sukma
Aisyatu Rabbiah
Ayu Adillah Putri
Suryani

Pembimbing :
dr. Nopian Hidayat, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan laporan kasus kelompok ini yang berjudul“Anestesi

umum pada pasien Meningioma”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyelesaian laporan kasus kelompok ini. Terima kasih penulis kepada dr.

Nopian Hidayat, Sp.An yang telah membimbing, meluangkan waktu, dan memberi

saran dalam penulisan laporan ini.

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan laporan ini, karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang relevan untuk kesempurnaan laporan ini.

Semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca.

Pekanbaru, Juni 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA MENINGIOMA ................................................... 3

2.1 Definisi dan klasifikasi...................................................................... 3

2.2 Etiologi .............................................................................................. 6

2.3 Patofisiologi dan Faktor Risiko ........................................................ 7

2.4 Manifestasi klinis dan diagnostik..................................................... 8

2.5 Pemeriksaan Penunjang Radiologi............................................... ... 9

2.6 Penatalaksanaan................................................................................ 11

2.6 Anestesi untuk operasi meningioma................................................. 14

2.6 Prognosis........................................................................................... 24

BAB III LAPORAN KASUS ................................................................................ 26

BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 38


BAB I

PENDAHULUAN

Meningioma adalah tumor pada meningens, yang merupakan selaput pelindung

yang melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat

manapun di bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi umumnya terjadi di hemisfer

otak di semua lobusnya. Kebanyakan meningioma bersifat jinak (benign), sedangkan

meningioma malignan jarang terjadi.1

Meningioma merupakan neoplasma intrakranial nomor 2 dalam urutan

frekuensinya yaitu mencapai angka 20%. Meningioma lebih sering dijumpai pada

wanita daripada pria terutama pada golongan umur antara 50-60 tahun dan

memperlihatkan kecenderungan untuk ditemukan pada beberapa anggota di satu

keluarga. Korelasinya dengan trauma kapitis masih dalam pencarian karena belum

cukup bukti untuk memastikannya. Pada umumnya meningioma dianggap sebagai

neoplasma yang berasal dari glioblas di sekitar vili arachnoid. Sel di medulla spinalis

yang sebanding dengan sel tersebut ialah sel yang terletak pada tempat pertemuan

antara arachnoid dengan dura yang menutupi radiks.1

Tempat predileksi di ruang kranium supratentorial ialah daerah parasagitalis.

Yang terletak di krista sphenoid, parasellar, dan baso-frontal biasanya gepeng atau

kecil bundar. Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan

dapat menimbulkan manifestasi klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan bagian

otak yang terganggu.1


Dalam makalah ini akan dibahas mengenai meningioma, klasifikasi,

patofisiologi, gambaran klinis, penatalaksanaan, serta diagnosis, gambaran radiologi

beruapa foto polos, CT scan, MRI, angiografi dan USG sebagai pemeriksaan

penunjang untuk menegakkan diagnosis serta anestesi pada penyakit meningioma.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. MENINGIOMA

2.1 Definisi dan Klasifikasi

Meningioma adalah tumor pada meningens, yang merupakan selaput pelindung

yang melindungi otak dan medulla spinalis. Di antara sel-sel meningen itu belum dapat

dipastikan sel mana yang membentuk tumor tetapi terdapat hubungan erat antara tumor

ini dengan villi arachnoid. Tumbuhnya meningioma kebanyakan di tempat ditemukan

banyak villi arachnoid. Pada orang dewasa menempati urutan kedua terbanyak.

Dijumpai 50% pada konveksitas dan 40% pada basis kranii. Selebihnya pada foramen

magnum, fosa posterior, dan sistem ventrikulus. Meningioma dapat timbul pada tempat

manapun di bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi, umumnya terjadi di

hemisphere otak di semua lobusnya.2

Meningioma lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria, terutama pada

golongan umur antara 50-60 tahun dan tetapi tidak tertutup kemungkinan muncul pada

masa kanak-kanak atau pada usia yang lebih lanjut, dan memperlihatkan

kecenderungan untuk ditemukan pada beberapa anggota pada satu keluarga.

Perbandingan antara wanita dan laki-laki adalah 3 : 2.3

Tumor ini mempunyai sifat yang khas yaitu tumbuh lambat dan mempunyai

kecendrungan meningkatnya vaskularisasi tulang yang berdekatan, hyperostosis

tengkorak serta menekan jaringan sekitarnya. Tumor otak yang tergolong jinak ini

secara histopatologis berasal dari sel pembungkus arakhnoid (arakhnoid cap cells)

yang mengalami granulasi dan perubahan bentuk. Patofisiologi terjadinya meningioma


sampai saat ini masih belum jelas. Kaskade eikosanoid diduga memainkan peranan

dalam tumorogenesis dan perkembangan edema peritumoral.3

WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang telah

diketahui, termasuk meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe sel dan derajat

pada hasil biopsi yang dilihat di bawah mikroskop. Penatalaksanaannya pun berbeda-

beda di tiap derajatnya.4

a. Grade I

Meningioma tumbuh dengan lambat. Jika tumor tidak menimbulkan gejala,

mungkin pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI secara periodic.

Jika tumor semakin berkembang, maka pada akhirnya dapat menimbulkan gejala,

kemudian penatalaksanaan bedah dapat direkomendasikan. Kebanyakan meningioma

grade I diterapi dengan tindakan bedah dan observasi lanjut.

b. Grade II

Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh lebih

cepat dibandingkan dengan grade I dan mempunyai angka kekambuhan yang lebih

tinggi juga. Pembedahan adalah penatalaksanaan awal pada tipe ini. Meningioma

grade II biasanya membutuhkan terapi radiasi setelah pembedahan.

c. Grade III

Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma

malignant atau meningioma anaplastik. Meningioma malignant terhitung kurang dari 1

% dari seluruh kejadian meningioma. Pembedahan adalah penatalaksanaan yang

pertama untuk grade III diikuti dengan terapi radiasi. Jika terjadi rekurensi tumor,

dapat dilakukan kemoterapi.


Meningioma juga diklasifikasikan ke dalam subtipe berdasarkan lokasi dari

tumor:5

1. Meningioma falx dan parasagital (25% dari kasus meningioma). Falx adalah

selaput yang terletak antara dua sisi otak yang memisahkan hemisfer kiri dan

kanan. Falx cerebri mengandung pembuluh darah besar. Parasagital meningioma

terdapat di sekitar falx.

2. Meningioma Convexitas (20%). Tipe meningioma ini terdapat pada permukaan

atas otak.

3. Meningioma Sphenoid (20%). Daerah Sphenoidalis berlokasi pada daerah

belakang mata. Banyak terjadi pada wanita.

4. Meningioma Olfactorius (10%). Tipe ini terjadi di sepanjang nervus yang

menghubungkan otak dengan hidung.

5. Meningioma fossa posterior (10%). Tipe ini berkembang di permukaan bawah

bagian belakang otak.

6. Meningioma suprasellar (10%). Terjadi di bagian atas sella tursica, sebuah kotak

pada dasar tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitary.

7. Spinal meningioma (kurang dari 10%). Banyak terjadi pada wanita yang berumur

antara 40 dan 70 tahun. Akan selalu terjadi pada medulla spinalis setingkat thorax

dan dapat menekan spinal cord. Meningioma spinalis dapat menyebabkan gejala

seperti nyeri radikuler di sekeliling dinding dada, gangguan kencing, dan nyeri

tungkai.

8. Meningioma Intraorbital (kurang dari 10%). Tipe ini berkembang pada atau di

sekitar mata cavum orbita.


9. Meningioma Intraventrikular (2%). Terjadi pada ruangan yang berisi cairan di

seluruh bagian otak.

Gambar 1. Lokasi Umum Meningioma

2.2 Etiologi

Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun beberapa

teori telah diteliti dan sebagian besar menyetujui bahwa kromoson yang jelek yang

meyebabkan timbulnya meningioma. Para peneliti sedang mempelajari beberapa teori

tentang kemungkinan asal usul meningioma. Di antara 40% dan 80% dari

meningiomas berisi kromosom 22 yang abnormal pada lokus gen neurofibromatosis 2

(NF2). NF2 merupakan gen supresor tumor pada 22Q12, ditemukan tidak aktif pada

40% meningioma sporadik. Pasien dengan NF2 dan beberapa non-NF2 sindrom

familial yang lain dapat berkembang menjadi meningioma multiple, dan sering terjadi
pada usia muda. Disamping itu, deplesi gen yang lain juga berhubungan dengan

pertumbuhan meningioma.6

Kromosom ini biasanya terlibat dalam menekan pertumbuhan tumor. Penyebab

kelainan ini tidak diketahui. Meningioma juga sering memiliki salinan tambahan dari

platelet diturunkan faktor pertumbuhan (PDGFR) dan epidermis reseptor faktor

pertumbuhan (EGFR) yang mungkin memberikan kontribusi pada pertumbuhan tumor

ini. Sebelumnya radiasi ke kepala, sejarah payudara kanker, atau neurofibromatosis

tipe 2 dapat risiko faktor untuk mengembangkan meningioma. Multiple meningioma

terjadi pada 5% sampai 15% dari pasien, terutama mereka dengan neurofibromatosis

tipe 2. Beberapa meningioma memiliki reseptor yang berinteraksi dengan hormon seks

progesteron, androgen, dan jarang estrogen. Ekspresi progesteron reseptor dilihat

paling sering pada meningioma yang jinak, baik pada pria dan wanita. Fungsi reseptor

ini belum sepenuhnya dipahami, dan demikian, sering kali menantang bagi dokter

untuk menasihati pasien perempuan mereka tentang penggunaan hormon jika mereka

memiliki sejarah suatu meningioma. Meskipun peran tepat hormon dalam

pertumbuhan meningioma belum ditentukan, peneliti telah mengamati bahwa kadang-

kadang mungkin meningioma tumbuh lebih cepat pada saat kehamilan.6,7

2.3 Patofisiologi dan Faktor Risiko

Tempat predileksi meningioma adalah di ruang kranium supratentorial ialah

daerah parasagital. Yang terletak di krista sphenoid, paraselar dan baso-frontal

biasanya gepeng atau kecil bundar.7,8

Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun beberapa

teori telah diteliti dan sebagian besar menyetujui bahwa kromoson yang jelek yang

meyebabkan timbulnya meningioma. Selain itu Meningioma memiliki reseptor yang


berhubungan dengan hormon estrogen, progesteron, dan androgen, yang juga

dihubungkan dengan kanker payudara. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan

ukuran tumor pada fase lutheal siklus haid dan kehamilan. Ekspresi progesteron

reseptor dilihat paling sering pada jinak meningioma, baik pada pria dan wanita.

Fungsi reseptor ini belum sepenuhnya dipahami, sehingga sering kali menantang bagi

dokter untuk menasihati pasien perempuan mereka tentang penggunaan hormon jika

mereka memiliki riwayat meningioma. Meskipun peran tepat hormon dalam

pertumbuhan meningioma belum ditentukan, peneliti telah mengamati bahwa kadang-

kadang mungkin meningioma tumbuh lebih cepat pada saat kehamilan.9

Selain peningkatan usia, faktor lain yang dinilai konsisten berhubungan dengan

risiko terjadinya meningioma yaitu sinar radiasi, faktor lingkungan berupa gaya hidup

dan genetik telah dipelajari, namun perannya masih dipertanyakan. Faktor lain yang

telah diteliti yaitu penggunaan hormon endogen dan eksogen, penggunaan telepon

genggam, dan variasi genetik atau polimorfisme. Faktor lain yang dinilai berperan

adalah keadaan penyakit yang sudah ada seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan

epilepsi, pajanan timbal, pemakaian pewarna rambut, pajanan gelombang mikro atau

medan magnet, merokok, trauma kepala, dan alergi.9

2.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Gejala meningioma dapat bersifat umum (disebabkan oleh tekanan tumor pada

otak dan medulla spinalis) atau bisa bersifat khusus (disebabkan oleh terganggunya

fungsi normal dari bagian khusus dari otak). Secara umum, meningioma tidak bisa

didiagnosa pada gejala awal.9


Gejala umumnya seperti; sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat

beraktifitas atau pada pagi hari, perubahan mental, kejang, mual muntah, perubahan

visus misalnya pandangan kabur.9

Gejala dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor:5

 Meningioma falx dan parasagittal : nyeri tungkai

 Meningioma convexitas : kejang, sakit kepala, defisit neurologis fokal, perubahan

status mental

 Meningioma sphenoid : kurangnya sensibilitas wajah, gangguan lapangan pandang,

kebutaan, dan penglihatan ganda.

 Meningioma olfactorius : kurangnya kepekaan penciuman, masalah visus.

 Meningioma fossa posterior : nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan spasme otot-

otot wajah, berkurangnya pendengaran, gangguan menelan, gangguan gaya berjalan,

 Meningioma suprasellar : pembengkakan diskus optikus, masalah visus

 Spinal meningioma : nyeri punggung, nyeri dada dan lengan

 Meningioma Intraorbital : penurunan visus, penonjolan bola mata

 Meningioma Intraventrikular : perubahan mental, sakit kepala, pusing

2.5 Pemeriksaan Penunjang Radiologi

Pemeriksaan foto polos kepala sebagai penunjang penyakit meningioma masih

memiliki derajat kepercayaan yang tinggi. Gambaran yang sering terlihat plak yang

hyperostosis, dan bentuk sphenoid , dan pterion.9

Kalsifikasi tanpa adanya tumor pada foto polos kepala dapat menunjukkan

hasil false-negatif pada meningioma. Banyak pasien dengan meningioma otak dapat

ditegakkan secara langsung dengan menggunakan CT atau MRI.9


a. Computed Tomography (CT scan)

CT-scan kontras dan CT-scan tanpa kontras memperlihatkan paling banyak

meningioma. Tampak gambaran isodense hingga hiperdense pada foto sebelum

kontras, dan gambaran peningkatan densitas yang homogen pada foto kontras. Tumor

juga memberikan gambaran komponen kistik dan kalsifikasi pada beberapa kasus.

Udem peritumoral dapat terlihat dengan jelas. Perdarahan dan cairan intratumoral

sampai akumulasi cairan dapat terlihat.10

CT-scan memiliki kelebihan untuk menggambarkan meningioma. Invasi

sepanjang dura serebri sering muncul akibat provokasi dari respon osteoblas, yang

menyebabkan hyperostosis. Gambaran CT-scan paling baik untuk menunjukkan

kalsifikasi dari meningioma.10

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI merupakan pencitraan yang sangat baik digunakan untuk mengevaluasi

meningioma. MRI memperlihatkan lesi berupa massa, dengan gejala tergantung pada

lokasi tumor berada. Kelebihan MRI dalam memberikan gambaran meningioma adalah

resolusi 3 dimensi. Kemampuan MRI untuk membedakan tipe dari jaringan ikat,

kemampuan multiplanar, dan rekonstruksi 3D.10

c. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi dapat memberikan gambaran lokasi dari intratumoral

hemorrhage, perubahan kista yang terdapat di bagian dalam dan luar massa tumor,

kalsifikasi, invasi parenkim oleh meningioma malignan, dan massa lobus atau multi

lobules yang hanya dapat digambarkan dengan ultrasonografi.11


d. Angiografi

Umumnya meningioma merupakan tumor vaskular dan dapat menimbulkan

gambaran “spoke wheel appearance”. Selanjutnya arteri dan kapiler memperlihatkan

gambaran vaskular yang homogen dan prominen yang disebut dengan mother and law

phenomenon.11

Magnetic resonance angiography (MRA and MRV) merupakan pemeriksaan

penunjang yang berkembang dari ilmu angiografi klasik, yang belakangan ini

merupakan alat diagnostik yang kuat untuk mengetahui embolisasi dan perencanaan

untuk operasi. Angiografi masih bisa digunakan jika terjadi embolisasi akibat tumor.11

Meningioma mendapat asupan makanan oleh meningeal branches dari arteri

carotis internal dan eksternal. Basal meningioma pada anterior dan fossa cranial media

dan meningioma pada tulang sphenoid umumnya mendapat vaskularisasi dari arteri

carotis interna. Meningioma supratentorial divaskularisasikan dari arteri carotis interna

dan eksternal.11

2.6 Penatalaksanaan

Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan

pertama. Beberapa faktor yang mempengaruhi operasi removal massa tumor ini antara

lain lokasi tumor, ukuran dan konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh terhadap sel

saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat operasi sebelumnya dan atau radioterapi.

Lebih jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya berubah berdasarkan faktor risiko, pola,

dan rekurensi tumor. Tindakan operasi tidak hanya mengangkat seluruh tumor tetapi

juga termasuk dura, jaringan lunak, dan tulang untuk menurunkan kejadian rekurensi.12

Pengobatan standar untuk pasien dengan meningioma atipikal atau anaplastik

adalah reseksi bedah saraf. Dengan pendekatan ini, kontrol lokal berkisar antara 50%
dan 70%, tergantung pada status reseksi. Sebuah seri atau studi lebih kecil telah

menunjukkan bahwa radioterapi pasca operasi pada populasi pasien ini dapat

meningkatkan harapan hidup, yang diterjemahkan ke dalam kelangsungan hidup secara

keseluruhan. Namun, meningioma dikenal sebagai tumor radioresisten, dan radiasi

dosis 60 Gy atau lebih tinggi telah ditunjukkan diperlukan untuk kontrol tumor.13

Rekomendasi WHO untuk Meningioma Grade I:14

1. Pembedahan adalah pengobatan utama untuk pasien yang bukan kandidat untuk

elektif. Reseksi tumor lengkap dikaitkan dengan tingginya tingkat harapan hidup

bebas penyakit.

2. Radioterapi dapat dipertimbangkan dalam kasus lokasi tumor tidak mungkin

untuk dioperasi (seperti sinus cavernous meningioma), tumor yang tidak dapat

direseksi, gejala penyakit sisa, atau tumor berulang. Diagnosis radiologi

mungkin cukup dalam kasus ini.

Rekomendasi WHO untuk Meningioma Grade II dan III:14

1. Pengobatan standar operasi ditambah radioterapi. Radioterapi biasanya diberikan

dengan dosis 54-60 Gy, dalam 1,8-2,0 Gy per fraksi.

2. Pasien dengan tumor selektif mungkin menjadi kandidat untuk radiosurgery

stereotactic.

3. Terapi sistemik lainnya dapat dipertimbangkan untuk tumor yang tidak dapat

a. Radioterapi

Radiasi memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan meningioma.

Sekitar 4% dari semua meningioma diinduksi radiasi. Menariknya, ini biasanya tidak

disertai dengan mutasi gen NF2. Sering tumor ini berasal dari pinggiran lapangan

terpancar. Bukti untuk radiasi yang berasal dari setidaknya empat sumber:15
1. Korban tumor yang telah menerima radiasi pada mata atau leher memiliki

insiden yang signifikan pembentukan meningioma di situs tersebut 20 tahun

kemudian.

2. Sebuah studi kohort pada pasien yang diikuti di Israel yang memiliki medan

radiasi rendah untuk kurap kulit kepala telah mengembangkan beberapa

meningioma 20 dan 30 tahun kemudian.

3. Korban di pinggiran ledakan bom atom menjadi menderita meningioma sebagai

efek radiasi tertunda bertahun-tahun kemudian.

4. Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa mulut penuh gigi yang di x-ray yang

dihubungkan dengan insiden lebih besar untuk meningioma.

Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan pertimbangan

komplikasi yang ditimbulkan terutama pada meningioma. Saraf optikus sangat rentan

mengalami kerusakan akibat radioterapi. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan

berupa insufisiensi pituitari ataupun nekrosis akibat radioterapi.11

b. Kemoterapi

Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak

diketahui efikasinya untuk terapi meningioma jinak maupun maligna. Kemoterapi

sebagai terapi adjuvan untuk rekuren meningioma atipikal atau jinak baru sedikit

sekali diaplikasikan pada pasien, tetapi terapi menggunakan regimen kemoterapi (baik

intravena atau intraarterial cis-platinum, decarbazine (DTIC) dan adriamycin)

menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (DeMonte dan Yung), walaupun regimen

tersebut efektifitasnya sangat baik pada tumor jaringan lunak. Laporan dari

Chamberlin pemberian terapi kombinasi menggunakan cyclophosphamide,

adriamycin, dan vincristine dapat memperbaiki angka harapan hidup dengan rata-rata
sekitar 5,3 tahun. Pemberian obat kemoterapi lain seperti hydroxyurea sedang dalam

penelitian. Pertumbuhan sel pada meningioma dihambat pada fase S dari siklus sel dan

menginduksi apoptosis dari beberapa sel dengan pemberian hydroxyurea. Dan

dilaporkan pada satu kasus pemberian hydroxyurea ini memberikan efek pada pasien-

pasien dengan rekurensi dan meningioma yang tidak dapat direseksi. Pemberian

Alfainterferon dilaporkan dapat memperpanjang waktu terjadinya rekurensi pada kasus

meningioma yang agresif. Dilaporkan juga terapi ini kurang menimbulkon toksisitas

dibanding pemberian dengan kemoterapi.11

2.7 Anestesi Untuk Operasi Meningioma

Anestesi untuk bedah saraf memerlukan pengetahuan tentang prinsip dasar dan

neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial

(neurofarmakologi). Kebanyakan prosedur bedah saraf intrakranial adalah karena

adanya lesi massa, sekitar 80% terletak di supratentorial.15

a. Evaluasi Pra Bedah

Evaluasi pra bedah sama seperti tindakan anestesi lainnya dengan riwayat medis

lengkap yang menekankan terhadap fungsi jantung dan paru. Pada prosedur bedah

saraf; seperti halnya prosedur bedah lain, kebanyakan morbiditas dan mortalitas

anestesi perioperatif adalah akibat disfungsi paru atau jantung.15

1. Anamnesis

Pasien bedah saraf membutuhkan pertanyaan khusus tentang penyakit SSP.

Gejala kenaikan ICP harus ditanyakan (sakit kepala, mual, muntah, penurunan

kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya kejang dan defisit neurologis lokal akibat

efek penekanan lokal dari tumor. Perdarahan otak atau Cerebro Vascular Accident

sebelumnya dicatat sebagai residu defisit neurologis. Mannitol dan diuretik lain yang
digunakan pra bedah untuk mengurangi edema serebral, dapat menimbulkan

hipovolemia dan gangguan keseimbangan elektrolit yang bisa menyebabkan terjadinya

hipotensi berat dan aritmia pada saat induksi anestesi. Kortikosteroid, yang juga

digunakan untuk menurunkan edema serebral, akan meningkatkan kadar glukosa darah

dengan stimulasi glukoneogenesis dan menyebabkan penekanan adrenal secara

langsung yang dapat menyebabkan terjadinya hipotensi dan insufisiensi kardiovaskuler

dengan adanya stres bedah. Obat anti hipertensi dapat merubah volume intravaskuler.

Tricyclic anti depresant dan levodopa telah nyata dapat memicu terjadinya hipertensi

intraoperatif dan cardiac disritmia Benzodiazepin, phenothiazine dan butirophenon

dapat berperanan terjadinya hipotensi perioperatif.15

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pra bedah ditujukan pada jalan napas, paru, sistem

kardiovaskuler dan SSP. Pada pasien-pasien dengan penyakit sertaan, pemeriksaan

ditujukan terhadap kemungkinan adanya hipovolemia. Pasien-pasien bedah saraf

sering somnolen dan intake oral yang tidak adekuat yang dapat menimbulkan keadaan

hipovolemia. Juga bisa terjadi peningkatan diuresis akibat diabetes insipidus, atau

pemberian diuretik. Hipovolemia ringan atau sedang umumnya dapat ditolerir dengan

baik, tetapi hipovolemia yang nyata harus dikoreksi sebelum induksi anestesi.15

Pemeriksaan neurologis harus dilakukan, tingkat kesadaran dan setiap defisit

sensoris/motoris harus dicatat. Pemeriksaan neurologis harus diulang di kamar operasi

sesaat sebelum dilakukan induksi. Pemeriksaan tanda-tanda kenaikan ICP, seperti

adanya sakit kepala, mual, muntah, midriasis unilateral, pupil edema, palsi

occulomotor atau abdusen. Bila ICP meningkat lebih jauh, kesadaran pasien

memburuk dan diikuti dengan disfungsi respirasi dan jantung. Adanya pernafasan
Cheyne-Stokes atau bradikardi disertai hipertensi merupakan tanda penekanan batang

otak.15

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk jumlah sel darah, kimia serum dan

koagulasi harus dilakukan. Hiperventilasi dan diuresis, akan menurunkan kadar K-

serum, jadi pemberian K harus dipertimbangkan. Bila kadar glukosa serum > 200 mg%

diperlukan terapi insulin untuk menurunkan kadar glukosa ke nilai normal yang

berguna untuk proteksi otak dan tekanan osmotik. Osmolaritas serum harus diukur

pada pasien dalam terapi ICP. Pasien dengan cedera kepala sering EKG-nya abnormal,

maka pemantauan EKG pra bedah harus dilakukan, untuk melihat perubahan selama

operasi dan anestesia. Pemeriksaan radiologis pra bedah untuk informasi tentang

ukuran tumor atau perdarahan serta lokasinya, edema serebral, dan mid-line shift. Mid-

line shift 0,5 cm pada MRI atau CT-Scan atau gangguan dari jaringan otak pada

sisterna basalis menunjukkan adanya kenaikan ICP.15.

4. Pengelolaan Obat

Sekali diagnosis dibuat dan direncanakan untuk tindakan pembedahan, tujuan

prinsip pemberian obat adalah untuk mengendalikan ICP dan terapi epilepsi. Steroid

efektif untuk mengurangi edema peritumor dan meningkatkan kompliance otak pada

pasien tumor ganas dan meningioma. Dosis umum dexamethasone adalah 4 mg 3x

sehari bersama-sama dengan hidrogen reseptor antagonist.15

 Premedikasi

Sedasi pra bedah merupakan kontra indikasi pada pasien dengan penurunan

kesadaran. Bila premedikasi diperlukan, dapat diberikan benzodiazepin (diazepam,

lorazepam atau midazolam). Diazepam 5-10 mg atau lorazepam 1-2 mg dapat


diberikan 1-2 jam pra bedah per oral. Diazepam dan lorazepam mempunyai waktu

paruh yang cukup panjang dan bisa memperlambat bangun paska bedah, karena itu

mungkin lebih baik dengan midazolam i.v., i.m. atau oral. Narkotik harus dihindari

karena meningkatkan risiko muntah dan hipoventilasi, yang keduanya dapat

meningkatkan ICP.15

 Monitoring

Monitoring rutin untuk operasi supratentorial adalah EKG, tekanan darah non-

invasif, arteri line, stetoskop oesophageal, FiO2, pulse oximetri, temperatur, nerve

stimulator, kateter urin. Idealnya EKG monitor di lead II, V5 dan modifikasi V5

ditempelkan pada semua pasien dengan penyakit jantung iskemik. Arteri line

digunakan bukan saja untuk memonitor tekanan darah dari denyut ke denyut jantung,

tetapi juga untuk analisa gas darah serta dapat juga menolong melihat status volume

pasien: (Tekanan Nadi = Tekanan Sistolik - Tekanan Diastolik). Untuk melihat CPP,

tranduser arteri line ditempelkan di level sirkulasi Willisi setinggi meatus acusticus

externa. Indikasi monitor arteri line terlihat pada tabel di bawah ini. Indikasi

pemasangan monitoring tekanan arteri invasif:

a. Operasi yang menyebabkan perubahan tekanan darah yang cepat.

b. Risiko kehilangan darah yang cepat.

c. Hipotensi kendali.

d. Diperlukan ventilasi pasca bedah.

e. Disertai dengan penyakit sertaan lain.

Monitoring ICP untuk operasi supra tentorial masih kontroversial. Walaupun

beberapa praktisi menasihatkan untuk digunakan secara rutin, tetapi praktisi yang lain

menunjukkan tidak adanya penelitian yang menyebutkan keuntungan penggunaan


monitor ICP. Tetapi pada pasien dengan risiko peningkatan ICP yang hebat (ukuran

tumor > 3 cm dengan mid-line shift atau edema yang nyata) akan menguntungkan bila

dipasang monitor ICP.15

 Pengelolaan Anestesi

Sasaran utama selama induksi anestesi adalah mempertahankan level normal dari

ICP sambil mempertahankan CPP yang adekuat. Sasaran ini kebanyakan dilakukan

dengan menurunkan volume otak. Penurunan jumlah volume CSF sebagai kompensasi

pada kenaikan ICP kronis. Drain lumbal dapat dipakai untuk menurunkan volume

CSF, tetapi di kamar operasi penurunan volume darah otak umumnya dilakukan

dengan terapi farmakologi atau ventilasi.15

 Induksi
Walaupun induksi anestesi untuk kraniotomi dapat dilakukan dengan berbagai

macam obat, tetapi yang paling baik adalah dengan barbiturat. Pentotal akan

menurunkan CMRO2, CBF dan ICP. Propofol juga menurunkan CMRO2, CBF dan

ICP. Narkotik juga menurunkan CMRO2, tetapi lebih kecil daripada penurunan CBF,

sehingga dalam teori disebutkan dapat membawa ke arah iskemia, walaupun demikian

efek ini tidak relevan secara klinis. Narkotik memberikan pengendalian tekanan darah

dan denyut jantung yang baik, sehingga selalu dipakai dalam anestesi.15

Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan ICP

serta menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai pada

neuroanestesi. Pengaruh obat-obat anestesi terhadap CBF dan ICP terlihat pada tabel di

bawah ini.15
ICP-CBF
Decreasing No Change Increasing

Induction *Thiopental *Midazolam *Ketamine


Agents *Etomidate *Droperidol
*Vecuronium
Muscle *Atracurium
Relaxants *Pancuronium
*Metocurium
*D-Tubocurarine
*Succinylcholine
Inhalation *N2O
Agents *Isoflurance
*Enflurance
*Halothane
Intravenous *Lidocaine
Agents *Benzodiazepines
*Narcotics
Combination *N2O/Narcotic / Diazepam *Thiopental/Ketamine
Therapy *Thiopental/Halothane
*Halothane/N2O
Anti- *Labetolol *Nitroglicerine
Hypertension *Nitropruside
*β Blockers
*Hydralazine
*Trimethaphan
Channel (Initial Data) *Nicardipine
Blockers *Verapamil
*Nifedipine
Tabel 2.1 The effects of various drugs and drug combinations on ICP and CBF

Induksi yang lancar lebih penting dari kombinasi obat yang digunakan. Pasien di

preoksigenasi dan hiperventilasi olehnya sendiri. Pemberian Pentotal 3-4 mg/kg,

propofol (2 mg/kg) atau etomidate 0,3 mg/kg i.v harus diikuti dengan ventilasi melalui

sungkup muka untuk menjamin patensi jalan nafas dan hiperventilasi. Neuromuskular

blockade dapat dilakukan dengan vecuronium (0,1-0,15 mg/kg) atau rocuronium (06-

0,8mg/kg) i.v. lalu dihiperventilasi melalui sungkup muka dengan N2O/O2 atau O2-

Isofluran konsentrasi terendah (0,5%). Lidokain i.v. (1,5mg/kg) dan ½ dosis obat

anestesi i.v. untuk induksi diberikan sebelum dilakukan intubasi.


Dosis obat induksi diatur untuk pasien dengan ketidakstabilan kardiovaskuler.

Kombinasi narkotik (fentanyl 5 µg/kg atau sufentanil 0,5-1 µg/kg) dan dosis kecil

pentotal dapat mengendalikan ICP serta kardiovaskuler tetap stabil. Ventilasi adekuat

harus dilakukan untuk menghindari hipoventilasi dan hiperkarbia akibat narkotik yang

akan menyebabkan kenaikan CBF.15

 Pemeliharaan Anestesi

Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Teknik-teknik ini

umumnya termasuk dalam 3 katagori: obat anestesi inhalasi, teknik anestesi intravena

dan teknik balans. Gambaran paling penting dalam pemberian anestesi adalah bukan

teknik mana yang digunakan, tetapi bagaimana tepatnya teknik tersebut dilakukan.

Banyak penulis yang memikirkan bahwa anestesi dengan dasar narkotik dengan

N2O atau dosis rendah Isofluran (< 1%) dalam oksigen, cukup optimal. Tetapi baru-

baru ini teknik tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian mual-muntah

paska bedah bila dibandingkan dengan teknik anestesi inhalasi atau anestesi

berbasiskan propofol. Bila anestesi berbasiskan narkotik, maka dapat digunakan

fentanyl, alfentanil atau sufentanil. Sufentanil mungkin mempengaruhi ICP dan CPP

(tak menguntungkan/tak baik). Fentanyl 5µg/kg dikombinasikan dengan Isofluran <

1% dalam oksigen mungkin cukup baik. Alternatif lain, sufentanil 0,5-lug/kg bolus,

diikuti intermitent dengan dosis tidak lebih dari 0,5µg/kg/jam, atau infus 0,25-0,5

µg/kg/jam kombinasi dengan Isofluran <1% dalam O2. Sufentanil kontinyu dihentikan

±l jam sebelum akhir operasi.

Obat anestesi inhalasi lebih disukai Isofluran dengan sedikit atau tanpa

suplement narkotik. Hiperventilasi dengan kombinasi Isofluran < 1% umumnya

menghasilkan intrakranial dinamik yang lebih stabil. Disebabkan karena operasi


intrakranial berlangsung lama, bila pada akhir operasi ada kenaikan tekanan darah dan

frekuensi nadi, lebih baik diatasi dengan labetolol atau esmolol, bukan dengan

menaikkan dengan menaikkan konsenrrasi obat anestesi inhalasi, supaya pasien lebih

cepat bangun.

N2O bisa digunakan kecuali pada pasien dengan pneumocephalus (trauma post

craniotomy) atau emboli udara. Penggunaan N2O akan mengurangi dosis narkotik dan

Isofluran serta bangun dari anestesi dengan tenang.

TIVA dapat dilakukan dengan propofol dan fentanil. Setelah induksi, propofol

dimulai dengan 200µg/kg/menit dan kemudian diturunkan disertai dengan infus,

fentanyl 2µg/kg/jam. Teknik ini akan memberikan anestesi yang stabil dan pasien

cepat bangun, serta kejadian mual-muntahnya rendah. Setiap teknik anestesi ini

menyebabkan keadaan anestesi yang baik, tetapi seni memberikan anestesi,

pengalaman-pengalaman dan pengetahuan anestetist akan menolong supaya tidak

terjadi pemberian obat yang berlebihan atau kurang. Bila pasien sulit bangun paska

bedah, salah satu kemungkinannya adalah ekses obat anestesi. Kemungkinan yang lain

adalah kerusakan jaringan otak (operasi, perdarahan, iskemia), gangguan elektrolit,

hipotermi.15

Hiperventilasi merupakan tambahan tindakan yang penting. Hipokapni akan

menurunkan ICP sebelum dura dibuka, melawan vasodilatasi akibat obat anestesi

inhalasi dan menyebabkan otak menjadi rileks selama operasi. Optimal hiperventilasi

adalah untuk mencapai PaCO2 25-30mmHg. Jika peningkatan ICP masih merupakan

masalah, mungkin menguntungkan untuk menurunkan PaCO2 menjadi 20-25mmHg.

PaCO2 harus dikorelasikan dengan EtCO2. Normalnya PaCO2 4-8mmHg lebih tinggi

dari EtCO2. Penurunan lebih besar dari PaCO2 tidak menunjukkan adanya perubahan
yang nyata pada ICP dan hipokapni yang ekstrim dapat memberi pengaruh yang buruk

pada metabolisme seluler, menyebabkan pergeseran ke kiri kurve disosiasi oxy-Hb,

atau terjadi vasokonstriksi maksimal.15

Pelemas otot mencegah pasien bergerak pada saat-saat yang kritis. Juga bisa

menurunkan ICP dengan rileksnya dinding dada, yang akan menurunkan tekanan

intratorakal dan terjadi drainage vena serebral yang baik. Pemilihan obat harus

berdasar pada lamanya operasi dan pengaruh obat pada haemodinamik serta ICP.

Untuk kebanyakan operasi supra tentorial dipilih norcuron / pavulon.

Cairan yang diberikan lebih disukai NaCl 0,9%. Pemberian cairan dibatasi

selama induksi anestesi dan dipertahankan tetap sedikit selama hemodinamik stabil

dan produksi urine baik. Bila dibutuhkan resusitasi volume dan nilai Ht tidak

menunjukkan perlunya darah, maka dapat diberikan koloid sebanyak 500-1000cc.15

Meningioma, karakteristik dengan adanya vaskularisasi yang banyak. Sering ada

hubungan yang berlebihan antara sirkulasi karotis eksternal dan internal, maka tulang

tengkorak sangat vaskuler. Bisa terjadi masalah pembekuan akibat dari tipe tumornya,

atau akibat transfusi darah masif dan beberapa kasus DIC telah dilaporkan terjadi pada

pasien dengan tumor serebral primer, juga sering terjadi edema serebri paska bedah.

Cara-cara mengurangi kehilangan darah adalah :

a. Teknik hipotensi kendali

b. Embolisasi selektif pra bedah.

Saat terjadinya kehilangan darah adalah pada saat meagangkat tulang dan

mengangkat tumor. Bila ada hubungan antara pembuluh darah tumor dengan

pembuluh darah ekstrakranial, perdarahan dari tulang tengkorak biasanya terjadi pada

saat membor tulang kepala, tetapi umumnya dapat diatasi dengan bone wax.
Perdarahan selanjutnya terjadi pada saat tulang diangkat dengan kraniotom dan tidak

dapat dikendalikan sampai seluruh tulang tersebut selesai diangkat, sehingga bila

terjadi kesulitan pengangkatan tulang kepala, dapat terjadi perdarahan yang banyak.15

Teknik hipotensi dilakukan sebelum mulai mengangkat tulang lebih baik dengan

trimetaphan daripada dengan nitroprusside. Pada awalnya tekanan sistolik

dipertahankan antara 70-80 mmHg pada pasien yang normotensi dan pada level yang

lebih tinggi pada pasien yang hipertensi. Bila tulang telah diangkat, tekanan darah bisa

diturunkan lagi (tetapi harus diingat dalam menurunkan tekanan darah ini, harus

diperhatikan CPP adekuat).

Darah dan cairan harus diberikan untuk mempertahankan kestabilan sirkulasi

tanpa ada edema serebral paska bedah. Disebabkan bahaya dari gangguan pembekuan,

maka FFP dan thrombocyt harus diberikan setelah jumlah perdarahan mencapai 2 liter

bila perdarahan terns berlangsung. Pemberian ini lebih dini daripada yang biasanya

karena untuk mencegah terjadinya DIC, sebab hal ini secara nyata tidak mungkin

untuk mengobati keadaan ini pada pasien bedah syaraf karena kebutuhan heparin dan

penggantian cairan secara masif.

 Akhir Anestesi

Bangun dari anestesi setelah operasi supra tentorial harus lancar dan gentle.

Keputusan apakah pasien harus bangun dan di ekstubasi tergantung dari derajat

kesadaran pra bedah, lokasi operasi, luasnya edema serebri, jumlah obat yang

diberikan.

Pasien yang pra bedahnya dalam keadaan koma atau tumor besar di sentral,

jangan segera diekstubasi. Kebanyakan pasien tetap diintubasi dan bangun pelan-pelan
di ICU setelah terus dimonitor dan diventilasi. Ada dua situasi klinis dimana pasien

yang sebelumnya koma dicoba untuk bangun sesegera mungkin pasca bedah :

a. Drainage dari epidural hematom atau subdural hematom.

b. V-P shunt dari hidrocephalus akut

Kebanyakan pasien operasi supra tentorial diekstubasi di kamar operasi.

Labetolol atau esmolol dan lidokain 1,5mg/kg i.v. dapat digunakan untuk terapi

hipertensi, takikardia dan stimulasi simpatis yang dihubungkan pada periode sesaat

sebelum ekstubasi. Adanya hipertensi pada periode ini harus diterapi karena bisa

terjadi perdarahan otak pada daerah luka operasi.15

I.8 Prognosis

Pada umumnya prognosa meningioma adalah baik, karena pengangkatan tumor

yang sempurna akan memberikan penyembuhan yang permanen. Pada orang dewasa

survivalnya relatif lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak, dilaporkan survival rate

lima tahun adalah 75%. Pada anak-anak lebih agresif, perubahan menjadi keganasan

lebih besar dan tumor dapat menjadi sangat besar. Pada penyelidikan pengarang-

pengarang barat lebih dari 10% meningioma akan mengalami keganasan dan

kekambuhannya tinggi.14

Untuk tumor ini, teknik bedah dan pendekatan mungkin memerlukan

reevaluasi, dan pengobatan alternatif atau terapi multimodal memerlukan investigasi

lebih lanjut.13

Sejak 20 tahun lalu meningioma dipandang sebagai tumor jinak, dan bila

letaknya mudah dapat diangkat seluruhnya. Degenerasi keganasan tampak bila ada

invasi dan kerusakan tulang tumor tidak berkapsul pada saat operasi invasi pada

jaringan otak. Angka kematian (mortalitas) meningioma sebelum operasi jarang


dilaporkan, dengan kemajuan teknik dan pengalaman operasi para ahli bedah maka

angka kematian post operasi makin kecil. Diperkirakan angka kematian post operasi

selama lima tahun (1942–1946) adalah 7,9% dan (1957–1966) adalah8,5%. Sebab-

sebab kematian menurut laporan-laporan yang terdahulu yaitu perdarahan dan edema

otak.14
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. S
Umur : 48 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Kampar
Pembiayaan : BPJS
No RM : 954713
I. ANAMNESIS
Keluhan Utama :

Pandangan mata kiri terasa kabur sejak ± 1 tahun SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Os mengeluhkan pandangan mata kiri terasa kabur sejak ± 1 tahun SMRS.
Pasien juga mengeluhkan mata kanan tidak bisa melihat sejak ± 3 tahun SMRS.
Hal ini terjadi perlahan-lahan, diawali dengan pandangan kabur. Os juga
mengeluhkan telinga susah mendengar.

± 1 tahun belakangan ini os juga sering merasakan sakit kepala, sakit dirasakan
semakin hari semakin hebat, tidak sembuh dengan mengkonsumsi obat sakit
kepala, dan os sering muntah-muntah tiba-tiba tanpa didahului suatu penyebab.
Demam (-), batuk (-), pilek (-). BAB normal, BAK Normal

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat penyakit darah tinggi(-)
 Riwayat penyakit gula(-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat alergi obat-obatan(-)
Riwayat Penyakit Keluarga:
 Tidak ada keluarga yang mengeluhkan hal yang sama.

Riwayat Operasi Sebelumnya :Belum pernah melakukan operasi sebelumnya

A : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan.

M : Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan

P : Riwayat penyakit gula (-), darah tinggi (-), asma (-)

L : Pasien terakhir makan minum jam 02.00 WIB sebelum operasi

E : Tekanan darah pasien dalam batas normal, pasien tidak merokok dan
mengkonsumsi alkohol

II. PEMERIKSAAN FISIK


Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang.
Kesadaran : komposmentis,
Vital sign
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 82 x/i
Nafas : 20 x/i
Suhu : 36,40C

Status gizi

Berat badan : 53 kg

Tinggi badan : 152 cm

IMT : 22,9 kg/m2

a. Airway
- Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas.
- Penilaian LEMON
 L (Look) : Tidak terdapat kelainan.
 E (Evaluation) : Jarak antara gigi seri pasien 3 jari.
Jarak tulang tiroid dengan dagu 3 jari.
Jarak benjolan tiroid dengan dasar mulut 2 jari
 M (mallampati Score) : Grade 1 (PUSH).
 O (Obstruction) : Tidak ada sumbatan jalan napas. Trauma (-)
 N (Neck Mobility) : Tidak ada keterbatasan gerakan leher.
b. Breathing
- Respiratory Rate (RR) : 20 kali/menit
- Vesikuler (+)
- Tidak ada retraksi iga
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
c. Circulation
- Akral : akral hangat
- Frekuensi nadi : 82 x/menit
- CRT : < 2 detik
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
d. Disability
- Kesadaran composmentis, GCS 15 (E4V5M6)
- Pupil isokor 3 mm / 3 mm, refleks cahaya (+/+)
e. Exposure
- Tidak tampak adanya kelainan di tempat lain

Pemeriksaan kepala
Mata :konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), udem palpebral (-), pupil
isokor, refleks cahaya (+/+)
Mulut :Sianosis (-), mukosa kering (-), gigi palsu (-), bibir pucat (-)
Leher :Tidak tampak adanya benjolan dan pembesaran kelenjar getah bening.
N.Cranialis :Sensorik-Motorik dalam batas normal.
Pemeriksaan thoraks
Inspeksi : dinding dada simetris, gerakan dinding dada simetris, tidak ada
retraksi iga dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Palpasi : vokal fremitus simetris normal
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru, batas jantung dbn
Auskultasi : suara nafas vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-), bunyi
jantung S1 dan S2 normal regular, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : perut tampak datar, simetris, scar (-), ascites (-), venektasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) 8x/menit
Perkusi : timpani di seluruh lapangan abdomen, shifting dullness (-)
Palpasi : Supel, massa (-), nyeri tekan (-)
Pemeriksaan ekstremitas
 Akral hangat
 CRT <2 detik
 Edema (-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah rutin(18/05/2017) Kimia Darah (18/05/2017)


Hb : 12,1 g/dL Ureum : 21 mg/dl
Ht : 38,3% Creatinin : 0,76 mg/dl
Leukosit : 7.590/µL GDS : 199 mg/dl
Trombosit : 301.000 /µL Albumin : 3,8 mg/dl
MCV : 85,9 µ3
MCHC : 31,6 g/dl

Diagnosis kerja

Meningioma sphenoid medial

IV. RENCANA TATA LAKSANA : Eksisi jaringan tumor


V. RENCANA TINDAKAN ANESTESI :General anesthesia dengan
teknik intubasi ET (GA-ET)
VI. STATUS ASA : ASA II
VII. PERSIAPAN ANESTESI :
Persiapan pasien

 Pasien dijelaskan tentang prosedur rencana tindakan anestesi (GA : ET)


 Pasien diminta puasa 6 jam sebelum operasi
 Pasien diminta melepaskan gigi palsu, perhiasan dan besi-besi lain yang ada
atau melekat pada tubuh pasien
 Pada pasien dipasangkan akses intravena dengan IV cateter no. 18 G dan set
transfusi dengan loading cairan kristaloid, pastikan cairan menetes lancar
 Pakaian pasien dilepas dan diganti dengan baju operasi
 Pasien diposisikan tidur terlentang
 Dikamar operasi, pada pasien dipasangkan tensimeter dan sensor saturasi O2.
Evaluasi nadi, tekanan darah dan saturasi 02 pre-operasi

Persiapan alat

 Mempersiapkan mesin anestesi, monitor, selang penghubung (connector); face


mask, tensimeter, sensor saturasi 02, memastikan selang gas 02 dan N20
terhubung ke sumber sentral, mengisi penuh vaporizer sevoflurance dan
isoflurance
 Mempersiapkan stetoskop, gagang + blade + laringoskop + ETT jenis non
kingking nomor 7 , guedel, plaster hipafix 2 lembar ukuran 1,5 x 1,5 cm + 2
lembar ukuran 5 x 3 cm, introducer, connector, kotak dan selang suction, spuit
20 cc
 Mempersiapkan spuit obat 3 cc, 5 cc dan 10 cc
 Alat infuse continue dan syringe pump

Persiapan obat

 Fentayl 1 – 3 mcg/kgbb x 53 kg = 53-159 mcg


 Propofol 1,5 – 2,5 mg/kgbb x 53 kg = 79,5-132,5 mg
 Atracurium besylate 0,5 – 0,6 mg/kgbb x 53 kg = 26,5-31,8 mg
 O2 2 l/menit, N2O 2 l/menit, isoflurance 2 vol%
 Manitol 250 cc
 Asam traneksamat 50 mg
 Vitamin K 20 mg
 Tramadol 100 mg

VIII. Tahapan Anestesi :


 Premedikasi
Cth: bolus fentanyl 100 mcg
 Oksigenasi
Cth: alirkan O2 6 L/menit melalui face mask dan alirkan ke depan wajah
pasien.
 Induksi
Cth: bolus propofol 100 mg, periksa reflek bulu mata hingga negatif
 Ventilasi + Injeksi muscle relaxant
 Kuasai patensi jalan nafas pasien dengan cara mengekstensikan kepala
pasien, pasang gudel untuk mencegah lidah menyumbat jalan nafas
pasien.
 Pasang facemask dan beri aliran O2 3L/ menit, N2O 3L/ menit
 Ventilasi secara manual, evaluasi pergerakan dinding dada dan
saturasi O2
 Setelah jalan nafas dapat dikuasai dengan baik, bolus atraculum
besylate 25 mg , kemudian lanjutkan ventilasi manual selama 3-5
menit.
 Laringoskopi
 Lepaskan facemask dan guedel
 Pasang blade pada gagang laringoskop dan pegang laringoskop
dengan tangan kiri
 Masukan laringoskop ke dalam mulut pasien dari sisi kanan,
singkirkan lidah ke kiri, posisikan kepala pasien ekstensi, telusuri
lidah pasien hingga terlihat epiglottis dan plica vocalis
 Intubasi
 Masukan ETT no 7 dengan tangan kanan ke arah plica vocalis
 Sambungkan ujung ETT dengan selang mesin anestesi
 Pastikan ETT telah masuk ke trakea dengan cara lihat pergerakan
dinding dada simetris dan auskultasi paru dengan suara nafas yang
sama kuat pada lapangan paru kanan dan kiri saat memompa balon.
 Fiksasi interna ETT dengan mengembangkan balon ETT
menggunakan udara dan spuit 20 Ml dan fiksasi eksterna dengan
menggunakan plester.
 Tutup mata pasien dengan plester
 Pasang gudel pada pasien
 Ubah setting mesin anestesi dari manual spontan ke IPPV spontan
dengan 500 Ml dan RR 12x/ menit
 Maintenance
 O2 3 L/ menit
 N2O 3 L/menit
 Terapi cairan
Kebutuhan cairan maintenance per jam (M)

 4 ml / kg BB/ jam x 10 Kg= 40 ml/ jam


 2 ml / kg BB/ jam x 10 kg= 20ml/ jam
 1 ml/ kg BB/ jam x 33 kg= 33 ml/ jam
M = 93 ml/jam

Kebutuhan cairan pengganti penguapan per jam (O)

Ringan : Berat : 8 ml / kgBB/ jam

8 ml x 53 kg x 1 jam = 424 ml/jam

Kebutuhan cairan pengganti puasa (P)

P = M x lama puasa
P = 93 ml/jam x 6 jam = 558 ml
Pemberian cairan durante operasi
Jam I : M + O + ½ P = 93 ml + 424 ml + 279 ml = 796 ml
Jam II : M + O + ¼ P = 93 ml + 424 ml + 139,5 ml = 656,5 ml
Jam III : M + O + ¼ P = 93 ml + 424 ml + 139,5 ml = 656,5 ml
Jam IV dan seterusnya : M + O = 93 ml + 424 ml = 517 ml/jam

Pemeliharaan anestesi :
Syringe pump :
- Propofol 10 mg/jam
- Fentanyl 15 mcg/jam
- Atracurium 15 mg/jam

Lama waktu anestesi


 08.55-17.00 WIB

Lama waktu operasi


 09.05-16.45 WIB

 Ekstubasi
 Menutup aliran N2O
 Alirkan oksigen 6 L/menit
 Pastikan pasien bernafas spontan dan teratur
 Melakukan suction slem pada airway pasien
 Mengempeskan balon ETT, lepaskan plester fiksasi ETT, cabut ETT,
dan segera pasang face mask dengan oksigen 6 L/menit
 Ekstensikan kepala pasien

IX. Post Operasi


 Pasien dipindahkan ke Intensive Care Unit (ICU)
 pantau TTV tiap 15 menit mulai PONV dan skala VAS
 Oksigenasi 2L/ menit via nasal canul
X. Penatalaksanaan di ruang rawat

Non farmakologis:

- Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital


- Cek DPL post op

Farmakologis:

- Syringe pump :
Fentanyl 50 mcg/jam
Miloz 1 mg/jam
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan rangkaian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang yang dilakukan terhadap pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin

Achmad didapatkan diagnosis pasien ini adalah meningioma sphenoid medial.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah eksisi jaringan tumor.

Sasaran dokter anestesiologi dalam bedah saraf selain memfasilitasi

dilakukannya tindakan pembedahan juga untuk mengendalikan tekanan intrakranial dan

volume otak, melindungi jaringan saraf dari cedera dan iskemia, serta mengurangi

terjadinya pendarahan selama berlangsungnya pembedahan. Pendarahan dapat

dikurangi dengan cara menurunkan tekanan darah akan tetapi penurunan tekanan darah

harus diperhatikan karena dapat mengakibatkan penurunan tekanan perfusi otak dan

menyebabkan iskemia pada jaringan otak sehat maupun jaringan otak yang sudah
16
iskemia karena tertekan tumor.

Secara anatomi, jaringan yang terdapat dibawah kranium terdiri dari 3 komponen,

yaitu parenkim otak (86%), darah (4%), dan cairan serebrospinal (10%). Komposisi

volume ketiga komponen tersebut dapat berubah sesuai hukum Monroe Kellie,

akan tetapi volume totalnya selalu konstan karena volume intrakranial selalu sama,

sehingga perubahan salah satu komponen akan diikuti oleh pergeseran komponen yang
16
lain.

Autoregulasi aliran darah ke otak pada kondisi normal berkisar 50

cc/100gram/menit dengan konsumsi basal oksigen otak 3,3 cc/100 gram/menit dan

konsumsi glukosa otak 4,5 mg/100 gram/menit, hal tersebut dapat terjadi bila

tekanan rata-rata arteri (MAP) dijaga antara 50–150 mmHg. Tekanan darah arteri
rata-rata di bawah 50 mmHg akan menyebabkan iskemia pada jaringan otak, sementara

tekanan di atas 150 mmHg akan menyebabkan kerusakan sawar darah otak sehingga

terjadi edema otak atau pendarahan yang lebih buruk. Pada kasus pembedahan

tumor otak maka diharapkan target PaO2 antara 100–200 mmHg. Pemberian kadar

oksigen tinggi dengan PaO2 > 200 mmHg harus dihindari karena dapat terjadi

vasokontriksi serebral dan menyebabkan iskemi jaringan otak.16,17

Perubahan tekanan parsial CO2 pada arteri (PaCO2) akan mengakibatkan

perubahan aliran darah otakkarena CO2 merupakan vasodilator kuat pada pembuluh

darah otak. Setiap perubahan 1 mmHg PaCO2 antara 25–80 mmHg akan

mengakibatkan perubahan aliran darah sekitar 4%. Pada operasi tumor otak PaCO2

dipertahankan antara 25–30 mmHg dengan tujuan unutk menurunkan aliran darah

otak. Tekanan PaCO2 di bawah 20 mmHg harus dihindari karena dapat menyebabkan

16,17
vasokontriksi hebat dan menyebabkan iskemia jaringan otak.

Pada pasien ini digunakan propofol. Beberapa penelitian menunjukkan propofol

memiliki efek proteksi terhadap otak. Tekanan intrakranial, aliran darah otak, dan
16
metabolisme otak turun pada penggunaan propofol. Mekanisme kerja propofol

yaitu memfasilitasi inhibisi neurotransmisi yang dimediasi oleh gamma-aminobutyric

acid (GABA). Pada pasien dengan tekanan intrakranial normal, propofol akan

menurunkan metabolisme otak 36%, tekanan intrakranial 30% dan tekanan perfusi
16,18
otak 10%. Propofol juga menurunkan tekanan intraokular. Pemberian propofol

pada sistem kardiovaskuler dapat menyebabkan penurunan pada tekanan darah rata-

rata 20% dan penurunan systemic vascular resisten (SVR) sebesar 26% dan hasil

akhirnya adalah penurunan perfusi serebral, akan tetapi penurunan tersebut dapat
dicegah dengan pemberian propofol secara titrasi dan pemberian cairan sebelum

induksi.16

Pelemas otot yang digunakan pada pasien ini adalah atracurium. Atracurium

tidak mempengaruhi ICP. Atracurium memiliki onset yang cepat, namun durasinya

pendek.16

Pada pasien ini digunakan fentanyl sebagai pemeliharaan anestesi. Selain itu,

efek fentanyl yang juga dimanfaatkan adalah efek analgetik. Meskipun

penggunaannya dapat sedikit meningkatkan ICP, namun efek analgetik yang

ditimbulkannya cukup memuaskan.16

Anestesi inhalasi yang digunakan pada pasien ini untuk pemeliharaan anestesi

adalah Isoflurane. Isoflurane memiliki pengaruh yang minimal terhadap CBF dan

ICP. Oleh karena isoflurane menekan metabolisme serebral, hal ini memberikan efek

perlindungan terhadap otak.16

Pada pasien diberikan manitol dengan 2 kali pemberian. Pemberian mannitol

yang pertama dilakukan sebelum dilakukan craniotomy untuk mengurangi edema otak.

Pemberian mannitol kedua diberikan pada saat akhir operasi dengan tujuan

mengurangi edema otak terkait pendarahan dan manipulasi otak oleh operator saat

menghentikan pendarahan yang terjadi pada saat 1 jam sebelum operasi berakhir

karena robeknya pembuluh darah. Setelah edema berkurang maka penjahitan

duramater dapat dilakukan, dan luka operasi ditutup.16


DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. Dalam: Neurologi klinis dasar. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universtas Indonesia, 2003; Hal 393-4.

2. Harsono. Tumor Otak. Dalam : Buku Ajar Neurologi Klinis Edisi pertama.
Yogyakarta: UGM Press, 1999; 201-201.

3. Wonoyudo, Tri Astuti. Peran CT Scan Pada Diagnosis Tumor Otak. Cermin Dunia
Kedokteran, 1992;77:12-18.

4. Markam, Soemarmo. Tumor Serebri, Dalam: Neurologi Praktis. Jakarta: Widya


Medika, 2002; Hal.137-47.

5. Anonymous. Meningioma. Tanpa Tahun; (online), (http://www.cancer.net, diakses


tanggal 25 November 2011).

6. Anonymous. Patogenesis, Histopatologi, dan Klasifikasi Meningioma. Tanpa


Tahun; (online),
(http://www.neuroonkologi.com/articles/Patogenesis,%20histopatologi%20dan%2
0klasifikasi%20meningioma.doc, diakses tanggal 25 November 2011).

7. Anonymous. Focusing on Tumor Meningioma. Tanpa Tahun; (online),


(http://www.abta.org/meningioma.pdf, diakses tanggal 25 November 2011).

8. Luhulima JW. Menings. Dalam: Anatomi susunan saraf pusat. Makassar: Bagian
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, 2003.

9. Anonymous. Image of Meninx. Tanpa Tahun; (online), (http://www. American


Society of Oncology, diakses tanggal 25 November 2011).

10. Fyann E, Khan N, Ojo A. Meningioma. In: SA Journal of Article Radiology. SA:
Medical University of Southern Africa,2004:3-5.

11. Anonymous. Neuroradiology Imaging Teaching Files Case Thirty Six-


Meningioma. Tanpa Tahun; (online), (http://www.uhrad.com/mriarc/mri036.htm,
diakses tanggal 25 November 2011).

12. Riadi, Djoko. Terapi Pembedahan Tumor Otak. Cermin Dunia Kedokteran,
1992;77:30-32.

13. Stephanie E Combs, Lutz Edler, Iris Burkholder, et al. Treatment of patients with
atypical meningiomas Simpson grade 4 and 5 with a carbon ion boost in
combination with postoperative photon radiotherapy: The MARCIE Trial. BMC
Cancer,2010;10(615):1471-2407.
14. Anonymous. Meningiomas. Clinical Practice Guideline CNS-005,2009.

15. Peter Black, M.D., Ph.D., Andrew Morokoff, M.D., Ph.D., Jacob Zauberman,
M.D., et.al. Meningiomas: Science and Surgery. Clinical Neurosurgery,
2007;54:91-99.

16. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi edisi ke-2. Bandung: Saga Olah Citra;2008:1-
74

17. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and neurosurgery. Edisi ke-4. St
Louis: Mosby; 2001,297–313.

18. Roosiati B, Yarlitasari D, Harahap S, Rahardjo S. TIVA pada kraniotomi


pengangkatan tumor residif. JNI 2012;1(4):269–77.

Anda mungkin juga menyukai