PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang
Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu
sebagai persiapan mengemban tugas pembangunan pada masa yang akan datang, masa
penyerahan tanggung jawab dari generasi tua ke generasi muda. Sudah banyak generasi muda
yang menyadari peranan dan tanggung jawabnya, tetapi dibalik semua itu ada sebagian
generasi muda yang kurang menyadari tanggung jawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
Memang tingkah laku mereka hanyalah merupakan masalah kenakalan remaja, kenakalan
remaja itu harus diatasi, dicegah dan dikendalikan. Salah satu dampak dari kenakala itu ialah
seks bebas yang sering berakibat pada pernikahan dini.
Fenomena pernikahan di usia muda masih sangat tinggi. Pernikahan muda ini
dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari seks bebas. Ada juga yang melakukannya
karena terpaksa dan karena hamil diluar nikah. Dorongan seksual remaja yang tinggi. Pada
akhirnya, secara fisik anak bisa terlihat lebih matang dan dewasa, namun psikis, ekonomi,
agama, sosial belum tentu bisa membangun rumah tangga.
I. 2 Rumusan Masalah
1. Apa faktor-faktor penyebab yang mendorong pernikahan di usia muda?
2. Bagaimana dampak pernikahan usia muda bagi kehidupan remaja pada umumnya
dan remaja wanita pada khususnya?
3. Bagaimana upaya untuk mengatasi tingginya angka pernikahan usia muda?
4. Aspek-aspek apa yang memerlukan kedewasaan dalam membangun suatu rumah
tangga?
I. 3 Tujuan
Mengidentifikasi faktor penyebab remaja di Indonesia memilih melaksanakan
pernikahan di usia muda, mengidentifikasi dampak pernikahan di usia muda terhadap
kehidupan para remaja Indonesia, mengidentifikasi upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
mengatasi tingginya angka pernikahan di usia muda, dan mengidentifikasi hal-hal yang
memerlukan kedewasaan dalam membangun suatu rumah tangga.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
1. Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkaN Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Untuk laki-laki minimal sudah berusia 19 tahun dan untuk perempuan harus sudah
berusia minimal 16 tahun
3. Jika menikah dibawah usia 21 tahun harus disertai dengan ijin kedua atau salah satu
orang tua yang ditunjuk sebagai wali.
1. Pengertian secara umum, merupakan instituisi agung untuk mengikat dua spirit lawan
jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga.
2. Menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, pernikahan usia muda adalah sebuah
nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah
solusi spiritual. Jadi, cukup logis kalau pernikahan itu dinilai bukan sekedar tali
pengikat untuk menyalurkan kebutuhan biologis (tiket hubungan seksual yang sah),
tetapi juga harus menjadi media aktualisasi ketaqwaan.
Oleh karena itu, untuk memasuki jenjang pernikahan dibutuhkan persiapan-persiapan yang
matang (kematangan fisik, psikis, maupun spiritual).
II. 4 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah suatu kumpulan dari masyarakat terkecil, yang terdiri dari pasangan
suami istri, anak-anak, mertua dan sebagainya. Rumah tangga yang bahagia adalah keluarga
yang tenang dan tentram, rukun dan damai. Dalam keluarga itu terjalin hubungan yang mesra
dan harmonis di antara semua anggota keluarga dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Untuk mewujudkan keharmonisan diperlukan adanya faktor keserasian, faktor keselarasan,
dan faktor keseimbangan. Faktor–faktor ini hanya dimiliki oleh pasangan–pasangan yang
sudah memiliki kematangan dalam segala tindakan, jika kematangan ini belum dimiliki akan
banyak mengalami masalah dan kendala yang dihadapi dalam mengarungi kehidupan rumah
tangga.
Tidak sedikit pasangan memiliki alasan yang salah ketika menikah, sehingga
terjebak pada pernikahan yang sebetulnya tak diinginkan. Agar pernikahan berjalan
langgeng, sebaiknya para pasangan memiliki alasan yang kuat dan benar untuk
menikah. Beberapa alasan pribadi yang salah antara lain: agar bisa menjauh dari
orangtua dan mendapat kebebasan, agar bisa menyalurkan hasrat seksual, untuk
menghilangkan rasa sepi, agar mendapatkan kebahagiaan, agar bisa menjadi pribadi
yang dewasa, karena telanjur hamil, karena pasangan mencintai anda, untuk
mendapatkan uang atau kesejahteraan finansial yang lebih baik, atau untuk
mempermudah mendapat izin tinggal di negara yang menjadi incaran anda, dan lain-
lain. Alasan yang benar antara lain: pasangan berdua sama-sama saling jatuh cinta,
sama-sama punya keinginan untuk saling berbagi dalam menjalani hidup, ingin
memiliki pasangan sejati yang menemani sampai tua, mempunyai harapan-harapan
yang realistis, sesuai hidup yang dijalani sekarang, sama-sama bersedia saling mengisi
dan memahami.
Kian maraknya seks bebas di kalangan remaja dan dewasa muda, maupun
meningkatnya angka aborsi setidaknya menjadi indikator tingkat pergaulan bebas
sudah berada pada tahap mengkhawatirkan dan harus segera dipikirkan solusinya.
Salah satu jalan yang dipikirkan keluarga, walaupun bukan yang mutlak adalah
menikahkan pasangan remaja di usia muda. Artinya, bagi mereka yang telah mantap
dengan pasangannya, keluarga biasanya menganjurkan untuk segera meresmikan
hubungan anak mereka dalam sebuah ikatan pernikahan. Sekalipun keduanya masih
menempuh pendidikan. Hal ini untuk menghindari dampak buruk dari keintiman
hubungan lawan jenis.
II. 5. 3 Faktor Budaya
Maraknya kawin di usia muda ini berkaitan dengan kultur yang berkembang di
masyarakat. Bagi sebagian masyarakat, seorang anak perempuan harus segera
berkeluarga karena takut tidak laku dan tak kunjung menikah di usia 20-an tahun. Bila
di kota-kota besar, kecenderungan perempuan menikah di usia dewasa dan tak jarang
menjadi semacam permainan hidup, di sudut lain masih ada anak yang dinikahkan
orang tuanya ketika baru saja lulus SMP. Jadi, jika seorang perempuan tetap melajang
pada usia di atas 18 tahun, biasanya ia dianggap terlambat menikah. Oleh karena itu,
banyak orang tua yang mendorong anaknya untuk cepat menikah. Perempuan juga
selalu menjadi pihak yang bisa dipaksa menikah, tanpa ataupun dengan
persetujuannya. Inilah celah awal bagi terjadinya pemaksaan perempuan untuk
menikah di usia yang masih belia sekalipun.
Sebagian orang tua yang masih belum paham pentingnya pendidikan memaksa
anak-anak mereka untuk segera menikah. Hal itu biasanya terjadi setelah remaja lulus
SMP atau bahkan belum. Mereka menganggap, pendidikan tinggi itu tidak penting.
Bagi mereka, lulus SD saja sudah cukup. Anak-anak sendiri tidak memiliki keinginan
atau cita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Penyebab lain praktek ini masih saja ditemui antara lain karena kemiskinan.
Tingginya angka kawin muda dipicu oleh rendahnya kemampuan ekonomi
masyarakat atau kesulitan ekonomi, maka agar tidak terus membebani secara ekonomi
karena orang tua juga tidak sanggup lagi membiayai pendidikan anak, orang tua
mendorong anaknya untuk menikah agar bisa segera mandiri. Sayangnya, para gadis
ini juga menikah dengan pria berstatus ekonomi tidak jauh beda, sehingga malah
menimbulkan kemiskinan baru. Di beberapa negara miskin, anak-anak perempuan
dijadikan target untuk dijual atau dinikahkan agar orang tua terbebaskan dari beban
ekonomi. Alasan lain adalah kepentingan kasta, tribal serta kekuatan ekonomi dan
politik agar anak-anak mereka yang dikawinkan dapat memperkuat keturunan dan
status sosial mereka.
II. 5. 7 Faktor Hukum
Hukum negara yang lemah merupakan salah satu penyebab anak-anak tidak
terlindungi dari praktek ini. Negara mengabaikan terjadinya pelanggaran hak-hak
anak padahal negara wajib melindungi warganya khususnya anak-anak dari keadaan
bahaya. Sebagai contoh dapat kita lihat bahwa pernikahan yang tidak cukup umur bisa
terjadi karena adanya manipulasi usia saat mengurus surat nikah di tingkat kelurahan
dengan tujuan agar petugas Kantor Urusan Agama (KUA) bisa menikahkan mereka.
Selain itu, dalam UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan di pasal 7 menyebutkan,
menikah di usia dini diperbolehkan asal memperoleh izin dispensasi dari pejabat
pengadilan yakni Pengadilan Agama. Permohonan dispensasi kawin dilakukan karena
berbagai faktor antara lain kekhawatiran orang tua terhadap hubungan asmara anak
mereka yang terlalu dalam. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, mereka
menikahkan anaknya itu meski di usia yang masih muda.
Anak yang dinikahkan di usia muda, menurut penelitian Barua pada tahun
2007 mengandung resiko terhadap penyakit kelamin dan juga HIV atau AIDS lebih
besar. Anak-anak yang dinikahkan pada usia muda tidak memiliki kekuatan untuk
bernegosiasi dalam kehidupan perkawinannya. Anak-anak tersebut tidak kuasa
menolak hubungan seks yang dipaksakan oleh suami mereka dan tidak memiliki
cukup pengetahuan tentang kontrasepsi dan juga bahaya penyakit seksual. Akibatnya,
mereka tidak dapat bernegosiasi soal hubungan seks yang aman (safe sex). Anak-anak
perempuan yang dinikahkan di usia muda mudah mengidap penyakit HIV atau AIDS
karena vagina mereka masih belum sempurna dan sel-sel yang melindunginya masih
belum kuat sehingga mudah terluka. Penelitian Barua menunjukan bahaya ketularan
HIV atau AIDS pada pengantin anak-anak sangat mengkhawatirkan.
Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan usia muda ini, dapat
terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan
membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau
bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang
dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi extrovert (terbuka) sejak
kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya
seperti perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara
psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.
Para kaum muda Indonesia yang menikah dan putus sekolah sebelum
menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), pada
umumnya cenderung berpenghasilan rendah. Selain itu mereka juga rentan terhadap
pengangguran, atau bekerja di bidang pekerjaan yang kurang aman dan pasti (tanpa
kontrak).
Sering kali pasangan yang menikah di usia muda melahirkan banyak anak
karena mereka tidak menjalankan keluarga berencana dan kurang mengerti mengenai
alat-alat kontrasepsi. Akibatnya banyak anak yang tidak tercukupi kebutuhannya
ditelantarkan oleh orang tua mereka atau diberikan kepada orang lain. Ironisnya,
orang tua yang tidak menyadari akibat dari perbuatan mereka tetap saja melahirkan
anak lagi meskipun tahu kebutuhan si anak tidak akan tercukupi.
Masa depan pernikahan di usia muda kurang terjamin. Hasil penelitian Pusat
Riset Innocenti Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UNICEF) di Itali,
menyatakan, perkawinan usia muda penuh ketidakpastian dan mengandung risiko
yang tak terhitung besarnya.
III. 2 Saran
Orang tua sebaiknya lebih mementingkan pendidikan anaknya, minimal tingkat SMA
khususnya kepada anak perempuan, agar wawasannya lebih luas dan tidak terjadi
pernikahan di usia muda.
Orang tua dan anak sebaiknya jangan terpengaruh kebiasaan masyarakat sekitar, dan
ada baiknya kebiasaan ini dihilangkan.
Bagi pasangan usia muda sebaiknya diperhitungkan terlebih dahulu resiko apa yang
akan dihadapi. Karena banyak sekali terjadi perceraian pada pasangan usia muda yang
disebabkan kurangnya pengetahuan yang memadai mengenai rumah tangga.
Pasangan yang menikah muda biasanya cenderung masih suka untuk berhura-hura
dan bersenang-senang, sehingga terkadang tidak siap menghadapi permasalahan
dalam pernikahan, apalagi bila telah mempunyai anak. Jadi, mereka harus benar-benar
sudah siap untuk menghadapi masalah-masalah dalam pernikahan
Pasangan muda yang belum berpenghasilan sendiri atau belum menyelesaikan
pendidikannya, sebaiknya menunda untuk memiliki anak terlebih dahulu atau
setidaknya tidak memiliki lebih dari satu anak. Laksanakan program keluarga
berencana dan lakukan persiapan agar menjadi orangtua yang bertanggungjawab.