Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang
Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu
sebagai persiapan mengemban tugas pembangunan pada masa yang akan datang, masa
penyerahan tanggung jawab dari generasi tua ke generasi muda. Sudah banyak generasi muda
yang menyadari peranan dan tanggung jawabnya, tetapi dibalik semua itu ada sebagian
generasi muda yang kurang menyadari tanggung jawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
Memang tingkah laku mereka hanyalah merupakan masalah kenakalan remaja, kenakalan
remaja itu harus diatasi, dicegah dan dikendalikan. Salah satu dampak dari kenakala itu ialah
seks bebas yang sering berakibat pada pernikahan dini.

Fenomena pernikahan di usia muda masih sangat tinggi. Pernikahan muda ini
dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari seks bebas. Ada juga yang melakukannya
karena terpaksa dan karena hamil diluar nikah. Dorongan seksual remaja yang tinggi. Pada
akhirnya, secara fisik anak bisa terlihat lebih matang dan dewasa, namun psikis, ekonomi,
agama, sosial belum tentu bisa membangun rumah tangga.

I. 2 Rumusan Masalah
1. Apa faktor-faktor penyebab yang mendorong pernikahan di usia muda?
2. Bagaimana dampak pernikahan usia muda bagi kehidupan remaja pada umumnya
dan remaja wanita pada khususnya?
3. Bagaimana upaya untuk mengatasi tingginya angka pernikahan usia muda?
4. Aspek-aspek apa yang memerlukan kedewasaan dalam membangun suatu rumah
tangga?

I. 3 Tujuan
Mengidentifikasi faktor penyebab remaja di Indonesia memilih melaksanakan
pernikahan di usia muda, mengidentifikasi dampak pernikahan di usia muda terhadap
kehidupan para remaja Indonesia, mengidentifikasi upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
mengatasi tingginya angka pernikahan di usia muda, dan mengidentifikasi hal-hal yang
memerlukan kedewasaan dalam membangun suatu rumah tangga.
BAB II
TELAAH PUSTAKA

II. 1 Pengertian Pernikahan


Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974:

1. Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkaN Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Untuk laki-laki minimal sudah berusia 19 tahun dan untuk perempuan harus sudah
berusia minimal 16 tahun
3. Jika menikah dibawah usia 21 tahun harus disertai dengan ijin kedua atau salah satu
orang tua yang ditunjuk sebagai wali.

II. 2 Pengertian Remaja


Remaja (adolescent) berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau
tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang
mencakup kematangan mental, emosional spirit dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja
sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi
tidak juga golongan dewasa atau tua. Calon (dalam Monks, dkk 1994) mengemukakan bahwa
masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum
memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.

II. 3 Pengertian Pernikahan Muda


Ada banyak pengertian pernikahan usia muda, diantaranya:

1. Pengertian secara umum, merupakan instituisi agung untuk mengikat dua spirit lawan
jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga.
2. Menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, pernikahan usia muda adalah sebuah
nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah
solusi spiritual. Jadi, cukup logis kalau pernikahan itu dinilai bukan sekedar tali
pengikat untuk menyalurkan kebutuhan biologis (tiket hubungan seksual yang sah),
tetapi juga harus menjadi media aktualisasi ketaqwaan.

Oleh karena itu, untuk memasuki jenjang pernikahan dibutuhkan persiapan-persiapan yang
matang (kematangan fisik, psikis, maupun spiritual).
II. 4 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah suatu kumpulan dari masyarakat terkecil, yang terdiri dari pasangan
suami istri, anak-anak, mertua dan sebagainya. Rumah tangga yang bahagia adalah keluarga
yang tenang dan tentram, rukun dan damai. Dalam keluarga itu terjalin hubungan yang mesra
dan harmonis di antara semua anggota keluarga dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Untuk mewujudkan keharmonisan diperlukan adanya faktor keserasian, faktor keselarasan,
dan faktor keseimbangan. Faktor–faktor ini hanya dimiliki oleh pasangan–pasangan yang
sudah memiliki kematangan dalam segala tindakan, jika kematangan ini belum dimiliki akan
banyak mengalami masalah dan kendala yang dihadapi dalam mengarungi kehidupan rumah
tangga.

II. 5 Faktor Penyebab Pernikahan di Usia Muda


II. 5. 1 Faktor Pribadi

Tidak sedikit pasangan memiliki alasan yang salah ketika menikah, sehingga
terjebak pada pernikahan yang sebetulnya tak diinginkan. Agar pernikahan berjalan
langgeng, sebaiknya para pasangan memiliki alasan yang kuat dan benar untuk
menikah. Beberapa alasan pribadi yang salah antara lain: agar bisa menjauh dari
orangtua dan mendapat kebebasan, agar bisa menyalurkan hasrat seksual, untuk
menghilangkan rasa sepi, agar mendapatkan kebahagiaan, agar bisa menjadi pribadi
yang dewasa, karena telanjur hamil, karena pasangan mencintai anda, untuk
mendapatkan uang atau kesejahteraan finansial yang lebih baik, atau untuk
mempermudah mendapat izin tinggal di negara yang menjadi incaran anda, dan lain-
lain. Alasan yang benar antara lain: pasangan berdua sama-sama saling jatuh cinta,
sama-sama punya keinginan untuk saling berbagi dalam menjalani hidup, ingin
memiliki pasangan sejati yang menemani sampai tua, mempunyai harapan-harapan
yang realistis, sesuai hidup yang dijalani sekarang, sama-sama bersedia saling mengisi
dan memahami.

II. 5. 2 Faktor Keluarga

Kian maraknya seks bebas di kalangan remaja dan dewasa muda, maupun
meningkatnya angka aborsi setidaknya menjadi indikator tingkat pergaulan bebas
sudah berada pada tahap mengkhawatirkan dan harus segera dipikirkan solusinya.
Salah satu jalan yang dipikirkan keluarga, walaupun bukan yang mutlak adalah
menikahkan pasangan remaja di usia muda. Artinya, bagi mereka yang telah mantap
dengan pasangannya, keluarga biasanya menganjurkan untuk segera meresmikan
hubungan anak mereka dalam sebuah ikatan pernikahan. Sekalipun keduanya masih
menempuh pendidikan. Hal ini untuk menghindari dampak buruk dari keintiman
hubungan lawan jenis.
II. 5. 3 Faktor Budaya

Maraknya kawin di usia muda ini berkaitan dengan kultur yang berkembang di
masyarakat. Bagi sebagian masyarakat, seorang anak perempuan harus segera
berkeluarga karena takut tidak laku dan tak kunjung menikah di usia 20-an tahun. Bila
di kota-kota besar, kecenderungan perempuan menikah di usia dewasa dan tak jarang
menjadi semacam permainan hidup, di sudut lain masih ada anak yang dinikahkan
orang tuanya ketika baru saja lulus SMP. Jadi, jika seorang perempuan tetap melajang
pada usia di atas 18 tahun, biasanya ia dianggap terlambat menikah. Oleh karena itu,
banyak orang tua yang mendorong anaknya untuk cepat menikah. Perempuan juga
selalu menjadi pihak yang bisa dipaksa menikah, tanpa ataupun dengan
persetujuannya. Inilah celah awal bagi terjadinya pemaksaan perempuan untuk
menikah di usia yang masih belia sekalipun.

II. 5. 4 Faktor Pendidikan

Sebagian orang tua yang masih belum paham pentingnya pendidikan memaksa
anak-anak mereka untuk segera menikah. Hal itu biasanya terjadi setelah remaja lulus
SMP atau bahkan belum. Mereka menganggap, pendidikan tinggi itu tidak penting.
Bagi mereka, lulus SD saja sudah cukup. Anak-anak sendiri tidak memiliki keinginan
atau cita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Pendidikan dipandang secara modern memposisikan dirinya sebagai suatu


kebutuhan. Sedangkan pendidikan yang dipandang secara tradisional hanyalah sebatas
menggugurkan kewajiban atau sebagai penghambat dalam melakukan berbagai
kewajiban. Misalnya seorang anak yang dianggap telah dewasa dan mampu
memenuhi kebutuhan materinya lebih baik menikah atau bekerja daripada belajar.
Padahal seharusnya pendidikan itu adalah sesuatu yang dapat membantu masyarakat
dalam mempersiapkan masa depannya masing-masing.

II. 5. 6 Faktor Ekonomi

Penyebab lain praktek ini masih saja ditemui antara lain karena kemiskinan.
Tingginya angka kawin muda dipicu oleh rendahnya kemampuan ekonomi
masyarakat atau kesulitan ekonomi, maka agar tidak terus membebani secara ekonomi
karena orang tua juga tidak sanggup lagi membiayai pendidikan anak, orang tua
mendorong anaknya untuk menikah agar bisa segera mandiri. Sayangnya, para gadis
ini juga menikah dengan pria berstatus ekonomi tidak jauh beda, sehingga malah
menimbulkan kemiskinan baru. Di beberapa negara miskin, anak-anak perempuan
dijadikan target untuk dijual atau dinikahkan agar orang tua terbebaskan dari beban
ekonomi. Alasan lain adalah kepentingan kasta, tribal serta kekuatan ekonomi dan
politik agar anak-anak mereka yang dikawinkan dapat memperkuat keturunan dan
status sosial mereka.
II. 5. 7 Faktor Hukum

Hukum negara yang lemah merupakan salah satu penyebab anak-anak tidak
terlindungi dari praktek ini. Negara mengabaikan terjadinya pelanggaran hak-hak
anak padahal negara wajib melindungi warganya khususnya anak-anak dari keadaan
bahaya. Sebagai contoh dapat kita lihat bahwa pernikahan yang tidak cukup umur bisa
terjadi karena adanya manipulasi usia saat mengurus surat nikah di tingkat kelurahan
dengan tujuan agar petugas Kantor Urusan Agama (KUA) bisa menikahkan mereka.
Selain itu, dalam UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan di pasal 7 menyebutkan,
menikah di usia dini diperbolehkan asal memperoleh izin dispensasi dari pejabat
pengadilan yakni Pengadilan Agama. Permohonan dispensasi kawin dilakukan karena
berbagai faktor antara lain kekhawatiran orang tua terhadap hubungan asmara anak
mereka yang terlalu dalam. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, mereka
menikahkan anaknya itu meski di usia yang masih muda.

II. 6 Dampak Pernikahan di Usia Muda


II. 6. 1 Penyakit HIV

Anak yang dinikahkan di usia muda, menurut penelitian Barua pada tahun
2007 mengandung resiko terhadap penyakit kelamin dan juga HIV atau AIDS lebih
besar. Anak-anak yang dinikahkan pada usia muda tidak memiliki kekuatan untuk
bernegosiasi dalam kehidupan perkawinannya. Anak-anak tersebut tidak kuasa
menolak hubungan seks yang dipaksakan oleh suami mereka dan tidak memiliki
cukup pengetahuan tentang kontrasepsi dan juga bahaya penyakit seksual. Akibatnya,
mereka tidak dapat bernegosiasi soal hubungan seks yang aman (safe sex). Anak-anak
perempuan yang dinikahkan di usia muda mudah mengidap penyakit HIV atau AIDS
karena vagina mereka masih belum sempurna dan sel-sel yang melindunginya masih
belum kuat sehingga mudah terluka. Penelitian Barua menunjukan bahaya ketularan
HIV atau AIDS pada pengantin anak-anak sangat mengkhawatirkan.

II. 6. 2 Kanker Leher Rahim

Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena kanker


leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang sehingga bila
terpapar Human Papiloma Virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang
menjadi kanker. Leher rahim memiliki dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel
kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama
pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa.
Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan
menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari kanker. Pada usia di atas 20
tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko semakin kecil.
II. 6. 3 Neoritis Deperesi

Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan usia muda ini, dapat
terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan
membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau
bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang
dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi extrovert (terbuka) sejak
kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya
seperti perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara
psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.

II. 6. 4 Pernikahan yang Tidak Berkekuatan Hukum.

Dalam pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa pegawai


pencatat pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari
ketentuan batas umur minimum pernikahan. Oleh karena itu, apabila pasangan
mempelai dan juga keluarga tidak keberatan maka tindakan yang paling mungkin
dilakukan adalah tidak mencatatkan pernikahannya di hadapan Kantor Pencatat Nikah
(Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil). Pernikahan yang tidak tercatat di
lembaga pencatat nikah adalah pernikahan yang tidak berkekuatan hukum, meskipun
mungkin dapat disebut sah menurut keyakinan agama masing-masing pasangan.
Untuk pernikahan yang tidak tercatat seperti ini, pihak yang mengalami kerugian
utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya karena bila tidak memiliki
dokumen pernikahan, seperti surat nikah, maka ia akan kesulitan menuntut hak-
haknya selaku istri terkait dengan masalah perceraian, kewarisan, tunjangan keluarga,
dan lain-lain.

II. 6. 5 Munculnya Pekerja Anak

Para kaum muda Indonesia yang menikah dan putus sekolah sebelum
menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), pada
umumnya cenderung berpenghasilan rendah. Selain itu mereka juga rentan terhadap
pengangguran, atau bekerja di bidang pekerjaan yang kurang aman dan pasti (tanpa
kontrak).

II. 6. 6 Kekerasan dalam Rumah Tangga

Penelitian yang di lakukan UNICEF pada tahun 2005 mengangkat soal


kekerasan domestik yang tinggi dialami anak-anak yang dinikahkan pada usia muda
sebanyak 67 persen anak-anak yang dipaksa menikah mengalami kekerasan dalam
rumah tangga dibandingkan 47 persen perempuan dewasa yang menikah. Hal ini
disebabkan karena anak-anak tersebut lebih banyak dinikahkan dengan laki-laki yang
jauh lebih tua sehingga keputusan-keputusan rumah tangga dilakukan oleh suami
mereka karena anak-anak tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi. Kekerasan
seksual dalam kehidupan rumah tangga juga menunjukan lebih banyak dialami oleh
pengantin anak-anak dibandingkan dengan pengantin dewasa.

II. 6. 7 Konflik yang Berujung Perceraian

Setiap periode kehidupan manusia punya masalahnya sendiri-sendiri termasuk


periode remaja. Remaja seringkali sulit mengatasi masalah mereka karena ketika
masih anak-anak semua masalah mereka selalu diatasi oleh kedua orangtua mereka
atau orang-orang dewasa. Remaja juga sering merasa dirinya telah menjadi mandiri,
mereka mempunyai gengsi dan menolak bantuan dari orang dewasa lainnya sehingga
membuat remaja tidak mempunyai pengalaman dalam menghadapi masalah.
Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab kepada diri sendiri dan pasangan. Namun,
sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia
belum siap menerima perubahan ini membuat pernikahan usia muda sering berakhir
dengan perceraian.

II. 6. 8 Banyaknya Anak Terlantar

Sering kali pasangan yang menikah di usia muda melahirkan banyak anak
karena mereka tidak menjalankan keluarga berencana dan kurang mengerti mengenai
alat-alat kontrasepsi. Akibatnya banyak anak yang tidak tercukupi kebutuhannya
ditelantarkan oleh orang tua mereka atau diberikan kepada orang lain. Ironisnya,
orang tua yang tidak menyadari akibat dari perbuatan mereka tetap saja melahirkan
anak lagi meskipun tahu kebutuhan si anak tidak akan tercukupi.

II. 6. 9 Kurangnya Jaminan Masa Depan.

Masa depan pernikahan di usia muda kurang terjamin. Hasil penelitian Pusat
Riset Innocenti Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UNICEF) di Itali,
menyatakan, perkawinan usia muda penuh ketidakpastian dan mengandung risiko
yang tak terhitung besarnya.

Pernikahan di usia muda baik karena keterpaksaan ataupun bukan biasanya


menimbulkan tanggapan yang kurang baik dari sebagian masyarakat yang cenderung
menganggap bahwa pernikahan terjadi karena pergaulan yang tidak baik. Pasangan
muda akan sulit bersosialisasi karena telah di anggap buruk. Pernikahan usia muda
juga biasanya tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian ataupun misalnya
pasangan meninggal, akan memunculkan banyak janda muda. Janda yang masih anak-
anak ini akan kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidup diri sendiri dan anak-
anaknya karena banyak keterbatasan yang dimiliki. Kesulitan mendapatkan pekerjaan
merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh para janda muda dan tidak
sedikit yang pada akhirnya melakukan pekerjaan yang melanggar hukum.
II. 7 Upaya Mengatasi Tingginya Angka Pernikahan di Usia Muda
1. Keluarga harus mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai yang baik sejak dini kepada
anak, serta memberikan bimbingan, perlindungan, dan pengawasan agar anak tidak
terjerumus dalam pergaulan bebas yang dapat mengarah pada berbagai hal negatif.
2. Sekolah bekerja sama dengan organisasi-organisasi sosial untuk memberikan
penyuluhan atau bimbingan mengenai berbagai permasalahan sosial terutama tentang
risiko pernikahan di usia muda melalui pendidikan seks dini, konseling kesehatan
reproduksi juga memberikan kesadaran kepada para siswa untuk menghindari seks
pranikah yang bisa mengakibatkan kehamilan.
3. Masyarakat diminta untuk melapor jika menemukan kasus pernikahan di bawah umur
karena pernikahan seperti ini merupakan kebiasaan sebagian masyarakat di daerah.
4. Pemerintah Daerah diharapkan dapat melakukan perlindungan anak secara optimal
yaitu memenuhi hak kesehatan dan pendidikan anak-anak yang dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya perkawinan muda yang kerap terjadi di daerah dan memantau
perkembangan anak di bawah umur agar tidak terjadi lagi eksploitasi anak-anak
dalam pernikahan.
5. Pemerintah Pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama
diharapkan dapat memberikan penjelasan bagi masyarakat mengenai perlindungan
atas hak anak tersebut termasuk menjaga anak agar tidak menikah muda.
6. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan juga harus mengupayakan sosialisasi kepada
warga untuk menyekolahkan anak-anak mereka hingga tamat SMA /SMK.
7. Pemerintah Indonesia harus membuat hukum perkawinan yang menjamin
perlindungan hukum bagi semua pihak dan pada saat bersamaan tetap melahirkan
keadilan untuk melindungi keamanan, kesehatan, kesejahteraan, serta hak-hak anak.
8. Pemerintah maupun kalangan masyarakat harus terus mengembangkan pendidikan
dan membuka lapangan kerja agar perempuan dan laki-laki mempunyai alternatif
kegiatan lain sehingga menikah muda bukan satu-satunya pilihan hidup. Misalnya
mengembangkan program pemberdayaan orang muda agar meneruskan sekolah, dan
bagi yang terpaksa putus sekolah diberikan pendidikan keterampikan agar tidak
segera memasuki jenjang pernikahan.

II. 8 Aspek-Aspek yang Memerlukan Kedewasaan dalam Membangun


Rumah Tangga
II. 8. 1 Pendidikan dan keterampilan

Dalam bidang pendidikan dan keterampilan merupakan aspek yang sangat


penting sebagai bekal kemampuan yang harus dimiliki bagi seseorang yang
melangsungkan pernikahan. Hal ini sebagai penopang dan sumber memperoleh
nafkah untuk memenuhi segala kebutuhan dalam rumah tangga. Dalam proses
pendidikan yang ditempuh diharapkan seseorang dapat melihat ilmu pengetahuan
sebagai bekal yang penting bila dibandingkan dengan potensi lainnya.
Jika ia seorang pemuda, ilmu sangat diperlukan karena akan menempati posisi
kepala rumah tangga yang akan bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anak. Juga
bagi seorang wanita, sekalipun bukan sebagai kepala rumah tangga tetapi akan sangat
berpengaruh dalam pembentukan rumah tangga dan dalam mewarnai kepribadian
anak. Seorang ibu yang baik dan berpendidikan akan mampu mengarahkan anak-
anaknya menjadi anak-anak yang baik dan cerdas serta berpribadi luhur dan berakhlak
mulia. Karena itu peran seorang ibu amatlah besar dan tidak dapat diabaikan.

II. 8. 2 Psikis dan Biologis

Mentalitas yang mantap merupakan satu kekuatan besar dalam memperoleh


keutuhan sebuah rumah tangga. Keseimbangan fisik dan psikis yang ada pada setiap
individual manusia dapat menghasilkan ketahanan dan kejernihan akal dalam
menyelesaikan berbagai jenis persoalan yang dihadapi. Akal yang potensial baru
dapat muncul setelah mengalami berbagai proses dan perkembangan. Aspek biologis
merupakan potensi yang sangat dominan terhadap keharmonisan rumah tangga. Oleh
karena itu keberadaannya tidak boleh diabaikan begitu saja.

II. 8. 3 Sosial Kultural

Pada sisi ini, seorang individu diharapkan mampu membaca kondisi


dilingkungan sekitar dan dapat menyesuaikannya. Hal ini agar tercipta suasana
dimana dalam suatu rumah tangga yang dibina diakui keberadaannya oleh masyarakat
sekitar sebagai bagian dari anggota masyarakat sehingga keluarga yang dibentuk tidak
merasa terisolasi dari pergaulan yang bersifat umum. Secara sosiologis kedewasaan
merupakan sesuatu yang didasari atas perbedaan peran sosial yang ditempati. Artinya
tingkat perkembangan kedewasaan berbeda-beda sesuai dengan tempat dan
lingkungannya. Bagi pasangan dalam satu keluarga perlu memahami dan membekali
akan pengetahuan ini, agar kelengkapan potensi yang diperkirakan dapat tercukupi.
BAB III
PENUTUP
III. 1 Kesimpulan
Pernikahan usia muda berpengaruh pada kehidupan anak-anak dan remaja sebagai
generasi penerus bangsa dalam memberikan kontribusi dan melaksanakan peranannya
ditengah masyarakat. Oleh karena itu, semua pihak terkait seperti keluarga, masyarakat, dan
pemerintah harus memikirkan hal-hal terbaik menyangkut kehidupan anak. Kepentingan
terbaik bagi anak harus dilihat dari sudut pandang anak, bukan dari sudut orang dewasa.
Melindungi anak-anak dan remaja dari eksploitasi pernikahan dapat menjadi dasar perubahan
kehidupan yang lebih baik.

III. 2 Saran
 Orang tua sebaiknya lebih mementingkan pendidikan anaknya, minimal tingkat SMA
khususnya kepada anak perempuan, agar wawasannya lebih luas dan tidak terjadi
pernikahan di usia muda.
 Orang tua dan anak sebaiknya jangan terpengaruh kebiasaan masyarakat sekitar, dan
ada baiknya kebiasaan ini dihilangkan.
 Bagi pasangan usia muda sebaiknya diperhitungkan terlebih dahulu resiko apa yang
akan dihadapi. Karena banyak sekali terjadi perceraian pada pasangan usia muda yang
disebabkan kurangnya pengetahuan yang memadai mengenai rumah tangga.
 Pasangan yang menikah muda biasanya cenderung masih suka untuk berhura-hura
dan bersenang-senang, sehingga terkadang tidak siap menghadapi permasalahan
dalam pernikahan, apalagi bila telah mempunyai anak. Jadi, mereka harus benar-benar
sudah siap untuk menghadapi masalah-masalah dalam pernikahan
 Pasangan muda yang belum berpenghasilan sendiri atau belum menyelesaikan
pendidikannya, sebaiknya menunda untuk memiliki anak terlebih dahulu atau
setidaknya tidak memiliki lebih dari satu anak. Laksanakan program keluarga
berencana dan lakukan persiapan agar menjadi orangtua yang bertanggungjawab.

Anda mungkin juga menyukai