Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 2002, UNAIDS memperkirakan di seluruh dunia terdapat


42 juta orang yang hidup dengan HIV; 19,2 juta di antaranya perempuan dan 3,2
juta anak di bawah usia 15 tahun. Selama tahun 2002 terdapat 800.000 kasus baru
dan 610.000 kematian anak yang menderita HIV. Sebagian besar (91%) anak
tersebut tertular HIV dari ibunya. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat 600.000
kasus HIV baru akibat penularan vertikal dari ibu ke anaknya. 1
Jumlah kasus HIV-AIDS pada kehamilan di Indonesia dan di dunia
semakin meningkat. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya kasus pada
penggunaan narkoba suntikan yang pada umumnya digunakan pada usia subur
(usia reproduksi). Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu dan Bagian
Kebidanan FKUI di daerah pemukiman kumuh di Jakarta menunjukkan bahwa
infeksi HIV-AIDS di kalangan ibu hamil yang mengikuti layanan testing dan
konseling sukarela melebihi 2%.2
Di Indonesia, menurut Ditjen PPM dan PL Departemen Kesehatan tercatat
3568 kasus HIV/AIDS pada akhir bulan Desember 2002, 20 kasus tertular dari
ibunya. Kharbiati, dkk dari Yayasan Pelita Ilmu bekerjasama dengan Bagian
Kebidanan FKUI/RSCM selama tahun 1999-2001 mendapatkan pada 558 ibu
hamil di daerah miskin di Jakarta (Kampung Melayu, Tanah abang, Petamburan)
yang melakukan tes HIV sebanyak 16 orang (2,86%) dinyatakan positif. 1Jumlah
kasus baru sejak tahun 2000 meningkat tajam dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya karena penambahan kasus baru akibat penularan melalui penggunaan
narkoba suntikan mencapai 21,8%.1
Permasalahan kesehatan reproduksi semakin rumit pada pengguna narkoba
yang terinfeksi HIV-AIDS. Apalagi sebagian besar yang terinfeksi HIV-AIDS
adalah remaja usia subur yang berumur antara 15-25 tahun, sehingga dapat
diperkirakan jumlah kehamilan yang disertai infeksi HIV akan semakin
meningkat. Di sisi lain HIV akan menurunkan infertilitas. Penelitian Gray, dkk di
Uganda menunjukkan bahwa perempuan yang positif HIV mempunyai
kemungkinan hamil yang lebih rendah, terutama dalam keadaan simptomatik. 1
Perjalanan penyakit bayi yang tertular HIV dari ibunya lebih progresif
dibandingkan dengan penderita dewasa karena paparan pertama terjadi pada saat
respons imun masih dalam tahap perkembangan. Kelainan respons imun yang
timbul antara lain limfopenia CD4, berbagai defek limfosit B dan T,
hipergamaglobulinemia poliklonal. 3
Selain itu infeksi HIV juga akan mempengaruhi tumbuh kembang anak
selanjutnya.Anak yang menderita HIV dilaporkan lebih sering mengalami
penyakit infeksi bakteri ataupun virus. Anak yang tertular HIV dari ibunya juga
mengalami keterlambatan pubertas dibandingkan anak seusianya. 4
Oleh karena itu infeksi HIV pada kehamilan menjadi sangat penting
dengan dasar pertimbangan efek terhadap kehamilan, lebih dari 90% kasus HIV
anak ditularkan dari ibunya, anak yang akan dilahirkan akan menjadi yatim piatu
dan sebagian besar wanita yang terinfeksi HIV-AIDS berada pada usia subur. 1
BAB II
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
II.1. Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human
Immunodeficiency Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari
famili Retrovirus dan subfamily Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua
serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy
associated virus type-2 (LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada
kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit yang menimbulkannya
belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun
(AIDS) yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic
virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus(LAV) dan AIDS-
associated virus. 5,6
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang
berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang
membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini.
Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer
informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan
menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse
transkriptase.6
Pada selubung (envelope) terdapat glikoprotein permukaan, terdiri dari dua
protein yang mengkordinasi masuknya HIV kedalam sel. Glikoprotein yang lebih
besar dinamakan gp 120, adalah komponen yang menspesifikasi sel yang
diinfeksi. gp 120 ini terutama akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu
reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel
langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-
sel enterokromafin). Glikoprotein yang besar ini adalah target utama dari respon
imun terhadap berbagai sel yang terinfeksi. Glikoprotein yang lebih kecil,
dinamai gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai
protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang
berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk
sinsitium.8

Gambar 1.1 Genome dan protein HIV15


II.2. Patofisiologi
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor
CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang
mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai
afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul gp 120 dari
selubung virus. Diantara sel tubuh yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki
molekul CD4 yang paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan
penempelan virus pada limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari
membran sel limfosit T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga
seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali
selubungnya.5
Setelah masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse transcriptase. Dengan
adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan diubah menjadi suatu DNA.
Karena reverse transcriptase tidak mempunyai
mekanisme proofreading (mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) maka
terjadi mutasi yang tinggi dalam proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini.
Dikombinasi dengan tingkat reproduktif virus yang tinggi, mutasi ini
menyebabkan HIV cepat mengalami evolusi dan sering terjadi resistensi yang
berkelanjutan terhadap pengobatan.7
Bersamaan dengan enzim reverse trancriptase, akan dibentuk RNAse.
Akibat aktivitas enzim ini, maka RNA yang asli dihancurkan. Sedangkan seuntai
DNA yang tadi telah terbentuk akan mengalami polimerisasi menjadi dua untai
DNA dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian
pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit T dan menyisip ke dalam DNA
sel penjamu dangan bantuan enzim integrase, dan DNA ini disebut sebagai
provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam
keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan diferensiasi
sel penjamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang
dapat memicu DNA ini untuk keluar dari DNA inang dan menjadi aktif, serta
selanjutnya terjadi replikasi dalam kecepatan yang tinggi. Keadaan laten ini dapat
berlangsung selama 1 sampai 12 tahun dari infeksi awal HIV dan dalam keadaan
ini pasien tidak mempunyai gejala (asimptomatik). Pada stadium laten ini, HIV
dan respon imun anti HIV dalam tubuh pasien dalam keadaan steady state.2,5
Infeksi akut dengan cepat meningkatkan viral load dan menyebabkan viremia
yang ringan sampai moderat. Walaupun viral load cenderung menurun dengan
cepat setelah infeksi akut pada orang dewasa, viral load menurun lebih lambat
pada anak-anak yang terinfeksi secara vertical (2-3 bulan setelah terinfeksi,
jumlah viral load dalam tubuh mereka menetap sekitar 750.000/mL) dan dapat
tidak mencapai level steady statesampai mereka berumur 4-5 tahun. Hal ini
disebabkan karena imaturitas sistem imun mereka. Walaupun bayi-bayi
mempunyai sejumlah antigen presenting cell dan sel-sel efektor lebih banyak
daripada orang dewasa, produksi sitokin, proliferasi dan sitotoksisitas sel-sel
tersebut pada mereka jauh lebih berkurang karena infeksi HIV ini.4,8
Gambar 2. Siklus Replikasi HIV16
Infeksi HIV pada limfosit T-CD4 diatas mengakibatkan perubahan pada
fungsi dan penghancuran sel T-CD4, hingga populasinya berkurang. Mekanisme
disfungsi dan penurunan jumlah sel limfosit T-CD4 ini diduga melalui proses
pengaruh sitopatik langsung HIV (single cell killing), pembentukkan sinsitium,
respon imun spesifik, limfosit T sitolitik yang spesifik untuk HIV, mekanisme
autoimun dan anergi.
Dengan menurunnya jumlah dan fungsi sel T-CD4 yang merupakan ‘orchestrator’
dari suatu sistem imun, maka individu yang terinfeksi HIV akan lebih berisiko
untuk terkena infeksi opportunistik, infeksi sistemik berat, penyakit sistem organ
yang kemudian berakhir dengan kematian.5
II.3. Cara Penularan
Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual, secara horizontal
maupun vertikal (dari ibu ke anak).
1. Melalui hubungan seksual
Baik secara vaginal, oral ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah
cara yang umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia. Lebih
mudah terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau
peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonore. Resiko pada seks
anal lebih besar dibandingkan seks vaginal dan resiko juga lebih besar pada
yang reseptive daripada yang insertie. Diketahui juga epitel silindris pada
mukosa rektum, mukosa uretra laki-laki dan kanalis servikalis ternyata
mempunyai reseptor CD4 yang merupakan target utama HIV.9
2. Transmisi horisontal (kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum
suntik):
a. Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, resikonya sekitar 0,5-1%
dan telah terdapat 5-10% dari total kasus sedunia. 9
b. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik pada para
pecandu narkotik suntik. Resikonya sangat tinggi sampai lebih dari 90%.
Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia.9
c. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
Resikonya sekitar kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari 0,1%
dari total kasus sedunia.9
Kurang lebih 10% penularan HIV terjadi melalui transmisi horizontal.8
3. Infeksi HIV secara vertikal terjadi pada satu dari tiga periode berikut :
1. Intra uterin : Terjadi sebelum kelahiran atau pada masa awal kehamilan
sampai trisemester kedua, yang mencakup kira-kira 30-
50% dari penularan secara vertikal. Janin dapat terinfeksi
melalui transmisi virus lewat plasenta dan melewati
selaput amnion, khususnya bila selaput amnion
mengalami peradangan atau infeksi.8
2. Intra partum : Transmisi vertikal paling sering terjadi selama persalinan,
kurang lebih 50-60%, dan banyak faktor-faktor
mempengaruhi resiko untuk terinfeksi pada periode ini.
Secara umum, semakin lama dan semakin banyak jumlah
kontak neonatus dengan darah ibu dan sekresi serviks dan
vagina, maka semakin besar resiko penularan. Bayi
prematur dan BBLR mempunyai resiko terinfeksi lebih
tinggi selama persalinan karena barier kulitnya yang lebih
tipis dan pertahanan imunologis pada mereka lebih
lemah.8
3. Post partum : Bayi baru lahir terpajan oleh cairan ibu yang terinfeksi dan
bayi dapat tertular melalui pemberian air susu ibu yang
terinfeksi HIV kira-kira 7-22%.
Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam kandungan,
persalinan dan menyusui.8
II.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada beberapa
macam klasifikasi. Yang paling umum dipakai adalah klasifikasi yang dibuat
oleh Center for Disease Control (CDC), USA,10 sebagai berikut:
 Stadium awal infeksi HIV
 Stadium tanpa gejala
 Stadium ARC (AIDS related compleks)
 Stadium AIDS
 Stadium gangguan susunan saraf pusat
Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai munculnya gejala
pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit diketahui. Dari penelitian pada
sebagian besar kasus dikatakan masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun, dan bervariasi
sangat lebar, yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun. rata-rata 21 bulan
pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa walaupun belum ada gejala,
tetapi yang bersangkutan telah dapat menjadi sumber penularan.
 Stadium awal infeksi
Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus umumnya yaitu berupa demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, mialgia, pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Pada
sebagian orang, infeksi dapat berat disertai kesadaran menurun.10 Sindrom ini
akan menghilang dalam beberapa minggu. Dalam waktu 3-6 bulan kemudian tes
serologi baru akan positif, karena telah terbentuk antibodi. Masa 3-6 bulan ini
disebut window periode, dimana penderita dapat menularkan naamun secara
laboratorium hasil tes HIV-nya negatif.10
 Stadium tanpa gejala
Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik yang lamanya bisa
bertahun-tahun (5-7 tahun). Virus yang ada didalam tubuh secara pelan-pelan
terus menyerang sistem pertahanan tubuhnya. Walaupun tidak ada gejala, kita
tetap dapat mengisolasi virus dari darah pasien dan ini berarti bahwa selama fase
ini pasien juga infeksius. Tidak diketahui secara pasti apa yang terjadi pada HIV
pada fase ini. Mungkin terjadi replikasi lambat pada sel-sel tertentu dan laten pada
sel-sel lainnya. Tetapi jelas bahwa aktivitas HIV terjadi dan ini dibuktikan dengan
menurunnya fungsi sistem imun dari waktu ke waktu. Mungkin sampai jumlah
virus tertentu tubuh masih dapat mengantisipasi sistem imun. 9,10
 Stadium AIDS related compleks
Stadium ARC (AIDS Related Complex) adalah bila terjadi 2 atau lebih
gejala klinis yang berlangsung lebih dari 3 bulan, antara lain :
 Berat badan turun lebih dari 10%
 Demam lebih dari 380C
 Keringat malam hari tanpa sebab yang jelas
 Diare kronis tanpa sebab yang jelas
 Rasa lelah berkepanjangan
 Herpes zoster dan kandidiasis mulut
 Pembesaran kelenjar limfe, anemia, leucopenia, limfopenia,
trombositopenia
 Ditemukan antigen HIV atau antibody terhadap HIV.9,10
Stadium AIDS
Dalam stadium ini kekebalan tubuh penderita telah demikian rusaknya,
sehingga pada tahap ini penderita mudah diserang infeksi oportunistik antara lain :
TBC, kandidiasistoxoplasmosis, pneumocystis, disamping itu juga dapat terjadi
sarkoma kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) dan limfoma. 9,10
Gejala AIDS dikatakan lengkap bila gejala ARC ditambah dengan satu atau lebih
penyakit oportunistik seperti pneumonia pneumocystis carinii, sarcoma Kaposi,
infeksi sitomegalovirus.
Orang dewasa dicurigai menderita AIDS bila dijumpai minimal 2 gejala
mayor dan 1 gejala minor. 3 Gejala-gejala mayor tersebut adalah:
 Penurunan berat badan lebih dari 10%
 Diare kronik lebih dari 1 bulan
 Demam lebih dari 1 bulan (terus-menerus/intermitten)
Sedangkan yang termasuk gejala-gejala minor yaitu:
 Batuk lebih dari 1 bulan
 Dermatitis
 Herpes zoster rekuren
 Kandidiasis orofaring
 Limfadenopatia umum
 Herpes simpleks diseminata yang kronik&progresif
Anak-anak diduga menderita AIDS bila didapati minimal 2 gejala mayor dan
minor dengan catatan tidak ada riwayat imunosupresi, misalnya kanker atau
malnutrisi berat. 3
Adapun gejala mayor tersebut yaitu:
 Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat dan abnormal.
 Diare kronik lebih dari 1 bulan
 Demam lebih dari 1 bulan
Sedangkan yang termasuk gejala-gejala minor yaitu:
 Limfadenopatia umum
 Kandidiasis orofaring
 Infeksi umum (otitis, faringitis)
 Batuk persisten
 Dermatitis umum
 Infeksi HIV maternal
Stadium gangguan susunan saraf pusat
Virus AIDS selain menyerang sel limfosit T4 yang merupakan sumber
kekebalan tubuh, ternyata juga menyerang organ-organ tubuh lain. Organ yang
paling sering adalah otak dan susunan saraf lainnya. Selain itu akibat infeksi
oportunistik juga dapat menyebabkan gangguan susunan saraf pusat. 9,10
BAB III
KEHAMILAN DAN INFEKSI HIV
III.1. Pengaruh Kehamilan Pada Perjalanan Penyakit HIV
Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian, progresivitas
menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita yang terinfeksi
HIV. 3
Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns, dkk.
Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal kehamilan
untuk mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak menderita HIV, presentase
sel CD4 akan meningkat kembali mulai trisemester ketiga hingga 12 bulan setelah
melahirkan. Sedangkan pada wanita yang terinfeksi HIV penurunan tetap terjadi
pada kehamilan dan setelah melahirkan walaupun tidak bermakna secara statistik.
Nemun penelitian dariEuropean Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy
Cohort dengan jumlah sample yang lebih besar, menunjukkan presentase
penurunan sel CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap
stabil. 1
Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV.
Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara
statistik tidak bermakna. 2
Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi AIDS. Italian
Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi HIV dan pernah
hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau
penurunan CD4 menjadi kurang dari 200. 1
III.2. Pengaruh Infeksi HIV pada Kehamilan
Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa HIV
tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau
gangguan pertumbuhan intra uterin. 3 Sedangkan di negara berkembang, infeksi
HIV justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan
intra uterin dan kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain
karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan
perinatalnya lebih tinggi. 1
III.3. Transmisi Vertikal HIV
Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan
berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara berkembang
dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-26%).
Penularan dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum. Sebagian
besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui, 24%-40%
penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama persalinan. Sedangkan
pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi intra uterin,
60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15% setelah persalinan.
Resiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah 6%, 18% dan
4% dari keseluruhan kelahian ibu dengan HIV positif. 1,2
1) Transmisi Intra Uterin
Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV,
IgM anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama
membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan. 1
Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta.
Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi
HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu
sendiri dapat mencapai janin secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblas,
atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi sel makrofag
plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD4. 1
Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang
masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu human chorionic
gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa
cara, seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta, mengkontrol
replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis sel-sel yang
terinfeksi HIV-1. 1
Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials
Group(PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/infeksi awal, jika tes
virology positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes berikutnya juga
positif. 1
Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor yang berperan pada
transmisi antepartum seperti yang tercantum pada table 1. Malnutrisi yang
seringkali ditemukan pada wanita dengan HIV-AIDS akan meningkatkan
resiko transmisi karena akan menurunkan imunitas, meningkatkan
progresivitas penyakit ibu, meningkatkan resiko berat badan lahir rendah dan
prematuritas dan menurunkan fungsi imunitas gastrointestinal dan integritas
fetus. Pada penelitian prospektif random terkontrol, defisiensi vitamin A
(kurang dari 1,05 mol/L) yang dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T
dan sel B ternyata berhubungan dengan peningkatan transmisi HIV. Namun
penelitian Dreyfuss, dkk tidak dapat membuktikan bahwa defisiensi
mikronutrien akan meningkatkan transmisi antepartum atau sebaliknya.1
2). Transmisi Intrapartum
Transmisi intrapartum/infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan virologis
negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu berikutnya
menjadi positif dan bayi tidak menyusui. 1
Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang
mengandung HIV melalui paparan trakheobronkial atau tertelan pada jalan
lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi HIV-AIDS
sekitar 21% dan pada cairan aspirasi lambung bayi yang dilahirkan sekitar
10%. Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal berhubungan dengan duh
tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang rendah dan defisiensi vitamin A.
Selain menurunkan imunitas, defisiensi vitamin A akan menurunkan integritas
plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir, sehingga akan memudahkan
terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV secara vertikal. 1
Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks atau
vagina, korioamnionitis, ketuban pecah sebelum waktunya, persalinan
prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau
forceps, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 ibu. Ketuban pecah lebih dari 4
jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum
sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam
sebelum persalinan. 1
Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan atau
menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu, resiko
penularan lebih tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV primer.
Namun, belum ada angka pasti pada kadar HIV berapa penularan dapat terjadi.
Penelitian dari Women and Infants Transmission Study menunjukkan pada
kadar HIV ibu <> 1,2 Garcia, dkk melaporkan 21% penularan HIV pada ibu
dengan kadar HIV menjelang atau saat persalinan <100.000>100.000 kopi/mL
penularan yang terjadi 63%.1 John, dkk menemukan penularan empat kali
lebih tinggi pada ibu dengan kadar HIV>43.000 kopi/mL. Namun, kadar HIV
yang rendah atau tidak terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak akan
tertular karena pada beberapa kasus penularan tetap terjadi. John, dkk pada
penelitiannya mengemukakan transmisi yang terjadi pada tiga orang ibu
dengan kadar HIV<5000>1 juta kopi/mL. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum
dan saat persalinan juga akan menentukan kadar HIV pada bayi yang
ditularkannya. Wiener, dkk mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu
dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama kehidupannya. 1
Selain faktor ibu, faktor janin ternyata juga mempengaruhi transmisi perinatal.
Prematuritas dan berat badan lahir rendah diduga berperan karena sistem
imunitas pada bayi tersebut belum berkembang baik. Beberapa penelitian
menghubungkan kelahiran prematur dengan stadium penyakit HIV ibu,
penggunaan kokain atau opiat. Pada bayi kembar, urutan kelahiran juga
memegang peranan. Menurut Duliege, dkk bayi yang lahir pertama kali
mempunyai resiko penularan dua kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang
lahir kedua. Hal tersebut disebabkan bayi yang lahir pertama lebih lama
berada dijalan lahir dan biasanya berukuran lebih besar, sehingga secara tidak
langsung membersihkan jalan lahir untuk bayi yang lahir berikutnya. 1
3) Transmisi Post Partum
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup
banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita
HIV adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel
dan non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk HIV ditemukan pada
58% pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air
susu ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan.
HIV dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai
9 bulan setelah persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling
tinggi pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada
bulan-bulan berikutnya. 1,11
Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4 ibu,
defisiensi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di dalam
air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada yang
tidak terinfeksi HIV. 1
Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi resiko transmisi
HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka diputing susu, abses
payudara, lesi dimukosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi. 1
Tabel 3.1. Faktor yang berhubungan dengan tingginya
resiko penularan vertikal HIV dari ibu ke anak.
Periode Faktor
Antepartum Kadar HIV ibu, jumlah CD4 ibu, defisiensi vitamin
A, mutasi ko-reseptor HIV gp120 dan gp160,
malnutrisi, perokok, pengambilan sample vili korion,
amniosentesis.
Intrapartum Kadar HIV pada cairan servikovaginal ibu, cara
persalinan, ketuban pecah sebelum waktunya,
persalinan prematur, penggunaan elektrode pada
kepala janin, penyakit ulkus genital aktif, laserasi
vagina, korioamnionitis, episiotomi, persalinan
dengan vakum atau forseps
Pascapersalinan Air susu ibu, mastitis
Selain faktor-faktor yang sudah disebutkan diatas, resiko transmisi juga
dipengaruhi jenis virus. Transmisi vertikal pada ibu yang menderita HIV-2 jauh
lebih rendah daripada HIV-1, hanya 1%. Demikian juga angka kematian bayi
yang terinfeksi HIV-1 lebih tinggi daripada bayi yang terinfeksi HIV-2. 1,2,3
BAB IV
DIAGNOSIS INFEKSI HIV
Seperti penyakit lain, diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil penemuan laboratorium. Anamnesis yang
mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya :
1. Lahir dengan ibu resiko tinggi.
2. Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi.
3. Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan
tanpa uji HIV.
4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu
narkotika)
5. Homoseksual atau biseksual.
6. Kebiasaan seksual yang keliru.
Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit
menular seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya
ensefalopati yang menetap atau progresif, penyakit paru interstitiel, keganasan
sekunder, kardiomiopati dan lain-lainnya. Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan
pemeriksaan laboratorium mulai dari yang relatif sederhana hingga yang relatif
sulit dan mahal, yaitu mulai dari menentukan adanya antibodi anti-HIV misalnya
dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbant Assay) yang dilanjutkan dengan
uji yang lebih pasti seperti Western blot assay dan lain-lainnya.5
IV.1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Umumnya pemeriksaan laboratorium untuk HIV/AIDS dibagi atas tiga
kelompok, yaitu9 :
I. Pembuktian adanya antibodi atau antigen HIV
II. Pemeriksaan status imunitas
III. Pemeriksaan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan
I. Pembuktian adanya Antibodi atau Antigen HIV
HIV terdiri dari selubung, kapsid dan inti. Masing-masing terdiri dari
protein yang bersifat sebagai antigen dan menimbulkan pembentukkan antibodi
dalam tubuh yang terinfeksi. Jenis antibodi yang telah diketahui banyak sekali,
tetapi yang penting untuk diagnostik adalah : antibodi gp41. gp120 dan p24.
Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut :
1. Tes untuk menguji antibodi HIV
Terdapat berbagai macam cara yaitu: ELISA (Enzyme
LinkedImmunosorbent Assay), Western Blot, RIPA
(RadioImmunoPresipitation Assay) dan IFA (ImmunoFluorescence
Assay). 9
2. Tes untuk menguji antigen HIV, dapat dengan cara : pembiakan virus, antigen
p24, dan Polymerase Chain Reaction (PCR). 9
Yang praktis dan umum dipakai adalah tes ELISA, karena tes memiliki
sensitivitas yang tinggi. Oleh karena itu untuk menghindari adanya hasil tes yang
positif palsu, tes ELISA perlu dikonfirmasi dengan tes Western Blot yang
mempunyai spesifisitas yang tinggi. Setiap tes positif dengan ELISA I akan
diulangi dengan ELISA II dari sampel yang sama, dan bila tes kedua positif lalu
dilakukan tes Western Blot. Dengan konfirmasi tes Western Blot ini, hasil tes
dikatakan positif. 9
SUDS (Single Use Diagnostic System) adalah tes antibodi HIV yang cepat yang
tersedi di United State. Pada beberapa penelitian, SUDS dilaporkan mempunyai
rata-rata false(+) sekitar 50% sehingga hal ini mempersulit untuk diagnosa.10
II. Tes Yang Menunjukkan Adanya Defisiensi Imun
Untuk ini dapat dilakukan pemeriksaan Hb, jumlah leukosit, trombosit, jumlah
limfosit dan sediaan apus darah tepi atau sumsum tulang. Pada pasien AIDS dapat
ditemukan anemia, leukopenia/limfopenia, trombositopenia, dan displasia
sumsum tulang normo atau hiperseluler. 9
Dapat dilakukan perhitungan jumlah sel limfosit T, limfosit B, sel limfosi CD4
dan CD8. Dikatakan terjadi gangguan sistem imun bila telah terjadi penurunan
jumlah sel limfosit, sel CD4 dan menurunnya ratio CD4/CD8. Tes kulit DTH
(Delayed Type Hypersensitivity) untuk tuberkulin dan kandida yang hasilnya
negatif atau anergi menunjukkan kegagalan imunitas seluler. Mungkin saja jumlah
CD4 masih normal, tetapi fungsinya sudah menurun. Dapat terjadi poliklonal
hipergammaglobulinemia (IgA dan IgG) yang menunjukkan adanya rangsangan
non apesifik terhadap sel B untuk membentuk imunitas seluler. 9
III. Tes Untuk Infeksi Oportunistik Atau Kanker.
Setiap infeksi oportunistik atau kanker sekunder yang ada pada pasien
AIDS diperiksa sesuai dengan metode diagnostik penyakitnya masing-masing.
Misalnya pemeriksaan untuk kandidiasis, PCP, TBC paru, dan sebagainya.
Kadang-kadang perlu pemeriksaan penunjang lain, seperti laboratorium rutin,
serologis, radiologis, USG, CT scann, bronkoskopi, pembiakan, histopatologi dan
sebagainya. 9
IV.2. Diagnosis Infeksi HIV Pada Wanita
Infeksi HIV pada wanita seringkali terdeteksi pada masa kehamilan, waktu
dilakukan uji saring HIV antenatal. Uji serologis HIV-1 antibodi spesifik IgG
merupakan tes dengan spesifikasi yang tinggi. Sera yang reaktif terhadap anti HIV
pada uji saring, sebaiknya diuji ulang dan hasilnya dikonfirmasikan dengan sistem
uji lainnya. Untuk diagnostik, contoh sera harus diambil ulang untuk
mengkonfirmasi ada tidaknya infeksi. Pada umumnya wanita yang terinfeksi
menampilkan kondisi sera yang reaktif 6-8 minggu setelah infeksi, meskipun pada
beberapa kasus antibodi tersebut tidak timbul setelah 6-9 bulan kemudian. 6
Hasil negatif tes antibodi berarti wanita tersebut tidak terkena infeksi HIV
lebih dari 6 bulan yang lalu, tetapi dapat juga berarti uji negatif palsu (false
negatif), bila wanita itu diuji pada waktu periode jendela (window periode) antara
infeksi dan serokonversi. 6
IV.3. Diagnosis Infeksi HIV Pada Anak
Pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan
Western Blot tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18
bulan. Hal ini disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang
melewati plasenta di darah bayi, bahkan sampai usia 24 bulan. Sedangkan IgA
dan IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga dapat digunakan untuk
konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan tetapi, sensitivitas kedua
pemeriksaan ini masih rendah. 2
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan
antara lain kultur HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk
mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24.1 Infeksi HIV
ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan yang berbeda dengan
kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut tidak
terinfeksi bila dua macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif. 1,2
Pada bayi usia 18 bulan keatas, infeksi HIV ditegakkan jika pemeriksaan
antibodi menetap atau bayi meninggal akibat penyakit terkait HIV. Disebut tidak
terinfeksi bila dua kali pemeriksaan antibodi menunjukkan negatif. Pemeriksaan
antibodi ini kemudian dilanjutkan dengan konfirmasi pemeriksaan Western
Blot.1,3
Bila timbul kecurigaan anak terinfeksi HIV, penting untuk melakukan
konseling pada ibunya dan meminta persetujuan sebelum melakukan tes darah
ibu. Bila ibu positif terinfeksi, maka perlu juga melakukan tes pada suaminya.
Selanjutnya konseling pasca tes juga diperlukan bila hasilnya pada anaknya
terbukti positif agar orangtua mengetahui gambaran mengenai penyakit anaknya,
cara melakukan perawatan di rumah, menjaga kualitas hidup anak sebaik
mungkin, cara pencegahan penularan perinatal pada anak selanjutnya dan bekerja
sama dengan pihak-pihak lain seperti psikolog, lembaga sosial, tokoh agama dan
petugas-petugas kesehatan lainnya.11
Di Indonesia untuk mendefinisikan kasus HIV pada anak dipakai kriteria
WHO/UNAIDS :5
Anak berumur 18 bulan atau kurang :
Ditemukan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 2 gejala minor dengan ibu yang
HIV positif. Gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan
dengan infeksi HIV.
Anak berumur diatas 18 bulan :
Menunjukkan tes HIV yang positif, dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala
mayor dan 2 gejala minor dibawah ini dengan ibu HIV positif dan gejala tersebut
bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Gejala mayor :
1. Berat badan menurun atau gagal tumbuh
2. Diare terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
3. Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
4. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah atau menetap
Gejala minor :
1. Limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali
2. Kandidiasis oral atau tenggorokan
3. Infeksi bakteri dan/atau virus yang berulang (misalnya otitis media akut,
faringitis
4. Batuk kronis
5. Dermatitis yang luas
6. Ensefalitis.
Manifestasi lain yang mungkin timbul tetapi tidak termasuk dalam kriteria
diagnosis, antara lain masalah persarafan, keterlambatan perkembangan,
pembesaran kelenjar parotis pada kedua sisi, abses berulang, meningitis dan
herpes simplex yang berulang dan persisten.
BAB V
PENATALAKSANAAN INFEKSI HIV
V.1. Pencegahan
V.1.1. Menghindari Faktor Resiko
Menghindari faktor-faktor resiko tersebut antara lain dengan cara12:
1. A=Abstinence ( jauhi seks), maksudnya menghindari hubungan seksual di
luarpernikahan dengan siapapun
2. B=Be faithful (setia dengan pasangan), maksudnya hindari berganti-ganti
pasangan dalam melakukan hubungan seksual
3. C=condom, pakailah kondom setiap melakukan hubungan seksual penetratif
(terutama bagi lesbian yang menggunakan alat-alat bantu) yaitu melakukan
hubungan kelamin, baik secara anal, vaginal maupun oral. Karena kondom
dapat mencegah pertukaran cairan tubuh yang mungkin mengandung HIV
4. Hindari hubungan dengan tuna susila (wanita maupun pria) meskipun di daerah
yang dikatakan bebas AIDS.
Kita tidak dapat mengetahui apakah seseorang mengidap AIDS dari
penampilannya saja. Orang yang terinfeksi virus AIDS seringkali merasa sehat
dan dari luar tampak sehat.
5. Perhatikan cara sterilisasi bila kita menggunakan alat-alat seperti jarum, jarum
suntik, alat tusuk untuk tato, tindik. Hindari perilaku pemakaian jarum suntik
secara bergantian atau bersamaan.
Peranan konseling tes HIV sangat diperlukan melihat banyaknya faktor-
faktor resiko untuk terjadinya HIV-AIDS. Konseling dan tes HIV sebaiknya
dilakukan oleh setiap pasangan.
Konseling dan tes HIV sukarela atau sering disebut Voluntary counseling and
testing (VCT) adalah kegiatan melakukan konseling dan tes HIV secara sukarela
atas kemauan pasien sendiri. Di dalam VCT ada 2 kegiatan utama yaitu konseling
dan tes HIV. Konseling dalam rangka VCT terutama dilakukan sebelum dan
sesudah tes HIV.. Konseling setelah tes HIV dapat dibedakan menjadi dua yakni
konseling untuk hasil tes positif dan konseling untuk hasil tes negatif. Namn
demikian sebenarnya masih banyak jenis konseling lain yang sebenarnya perlu
diberikan kepada pasien berkaitan dengan hasil VCT yang positif, seperti
konseling pencegahan, konseling kepatuhan berobat, konseling keluarga,
konseling berkelanjutan, konseling menghadapi kematian dan konseling untuk
masalah psikiatris yang menyertai klien/keluarga dengan HIV-AIDS.12
Meskipun VCT adalah sukarela namun utamanya diperuntukkan bagi orang-orang
yang sudah terinfeksi HIV-AIDS dan keluarganya, atau semua orang yang
mencari pertolongan karena merasa telah melakukan tindakan berisiko di masa
lalu dan mereka yang tidak mencari pertolongan namun berisiko tinggi.12
Ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni :
1. Dilakukan dengan sukarela, tanpa paksaan
2. Dengan persetujuan klien (informed consent)
3. Adanya proses konseling
4. Tidak boleh dilakukan tanpa adanya konselor atau dilakukan diam-diam
5. Tes dilakukan dengan menjaga kerahasiaan
Bagaimana jika prinsip-prinsip di atas dilanggar?UNAIDS dan pihak terkait
merekomendasikan seseorang boleh menolak tes HIV jika12:
1. Mendapatkan tekanan
2. Tanpa adanya persetujuan dari pasien sendiri.
3. Tanpa melalui proses konseling
4. Kerahasiaan tidak terjamin
Pada wanita hamil deteksi dini infeksi HIV tergantung saat yang tepat seorang
wanita mengetahui status HIV nya. Sehingga perlu di pertimbangkan peran
konseling dan tes HIV bagi ibu hamil. Dukungan psikososial sangat penting untuk
wanita yang diidentifikasi sebagai penderita HIV semasa kehamilan yang secara
emosional akan terganggu.
Kapan, dimana dan bagaimana konseling dan tes HIV sukarela dilaksanakan
para ibu hamil ?
Sejak pertama kali seorang perempuan dirinya hamil dan mengunjungi bidan,
puskesmas, klinik bersalin, bagian kebidanan rumah sakit, maupun dokter
kandungan untuk memeriksakan kandungannya maka disaat itulah peranan
konselor, petugas kesehatan, dan para penolong persalinan untuk memberikan
informasi dan pendidikan HIV/AIDS. Informasi mengenai HIV/AIDS sangatlah
tepat disisipkan pada kunjungan pemeriksaan kehamilan tersebut. Setelah
mendapat penyuluhan dan konseling, tes HIV secara sukarela juga dapat
disertakan atas persetujuan ibu dalam paket pemeriksaan darah lainnya.12
Konseling pra dan pasca tes HIV
Konseling pra dan pasca tes bagi perempuan hamil menyangkut beberapa hal di
bawah ini12 :
1. Konseling pra tes
Informasi mengenai penularan HIV melalui hubungan seksual dan
bagaimana mencegahnya
Informasi mengenai penularan HIV dari ibu ke anak dan bagaimana
penanggulangannya
Jaminan kerahasiaan dan bagaimana mendiskusikan kerahasiaan dan
kemungkina konseling bagi pasangan
Implikasi dari tes negatif : termasuk program promosi menyusui dengan
asi
Implikasi dari tes positif : keuntungan dan kerugiannya intervensi yang
di pilih
2. Konseling pasca tes
Hasil tes negatif :
Informasi untuk mencegah penularan masa depan
Dianjurkan untuk melakukan tes kembali
Promosi ASI eksklusif kepada ibu hamil yang tidak terdeteksi HIV
Hasil tes positif :
Informasi mengenai piliha-pilihan untuk terapi termasuk pengobatan
untuk dirinya dan untuk pencegahan penularan ke bayi. Perlu juga
di ketahui mengenai kondisi keuangan dan harga terapi anti
retrovirus
Konseling yang menyangkut pilihan-pilihan pemberian ASI,
dukungan finansial untuk susu formula, ada stigma dari masyarakat
dan keluarga.
Informasi dan konseling mengenai KB dan kemungkinan kehamilan
masa depan.
Konseling pemberitahuan pada pasangan dan masalah kerahasiaan
Informasi dan layanan rujukan untuk dukungan, perawatan, pengobatan juga
persalinan.
V.1.2. Pemberian Antiretrovirus (ART)
Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV-AIDS
yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini
berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV
ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20% dengan terapi
antiretrovirus. 1,3
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas
hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai
HIV.13 Pada kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus
dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka
lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek
samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek
samping tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi
antiretrovirus, seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis
folat yang dilaporkan Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala,
dkk menunjukkan bahwa dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi
antiretrovirus tidak meningkatkan resiko prematuritas, berat badan lahir rendah
atau kematian janin intrauterine. Kategori Food and Drug Administration (FDA)
tentang ART dapat dilihat pada table 2. 6,7
A. Monoterapi Zidovudine
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko
transmisi perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee
of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan
peroral mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan zidovudin intravena pada saat
intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup yang diberikan pada bayi
sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu.1,7
Tabel 5.1. Regimen pemberian Zidovudine berdasarkan PACTG 076
Antepartum : Zidovudine oral dari kehamilan 14-34 minggu
5x100mg/hari
Intrapartum : Zidovudine intravena, dosis awal 2mg/kgBB/jam,
dilanjutkan infus 1mg/kgBB sampai 1 hari setelah
melahirkan
Postpartum : Zidovudine sirup, 2 mg/kgBB, dimulai 8-12 jam
postpartum dan diteruskan sampai 6 minggu
Pada penelitian ini bayi tidak mendapat air susu ibu. Cara ini ternyata
efektif menurunkan transmisi perinatal dari 25,5% pada kelompok kontrol
menjadi 8,3%. Penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan PACTG 185 yang
menambahkan imunoglobulin spesifik HIV intravena yang diberikan tiap bulan
pada ibu mulai minggu ke 20-30 hingga persalinan, kemudian dilanjutkan
pemberian pada bayi dalam 12 jam pertama. Namun ternyata hiperimunoglobulin
tidak memberikan efek protektif tambahan seperti yang diharapkan.
Kesulitannya, protokol PACTG 076 ini cukup rumit, membutuhkan
kepatuhan yang baik dan memerlukan biaya yang besar. Penelitian retrospektif
oleh Wade, dkk diNew York menunjukkan kepatuhan orang dengan HIV-AIDS
mengikuti protokol ini seringkali tidak komplit. Transmisi yang terjadi 6,1% jika
terapi dimulai antepartum, 10,0% jika dimulai intrapartum dan 5,9% jika hanya
diberikan pada bayi dalam 12 jam pertama. Jika zidovudin baru diberikan setelah
usia 48 jam, kejadian transmisi menjadi lebih tinggi 18,4%.1
Beberapa penelitian mencoba menggunakan zidovudin dalam jangka waktu yang
lebih singkat dengan regimen yang lebih sederhana dan murah. Makin lama
penggunaan antiretrovirus, makin besar kemungkinan penurunan resiko transmisi
HIV. Joao, dkk mengungkapkan pada bayi yang tidak tertular HIV, rata-rata lama
penggunaan antiretrovirus pada ibunya 16,63 minggu dibandingkan dengan lama
penggunaan antiretrovirus ibu 6,28 minggu pada kelompok bayi yang tertular
HIV. 1
Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah diteliti alah
monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin dan lamivudin.
Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi zidovudin dan nevirapin. 1
Saat ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah tersedia dalam bentuk
generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin,
nevirapin dan stavudin.1
B. Nevirapin
Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan disertai
pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari.
Selain karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali wanita hamil
terinfeksi HIV-AIDS baru dating pada saat melahirkan.1
Tabel 5.2. Kategori FDA antiretrovirus untuk digunakan pada
kehamilan1,7
Golongan Obat Kategori FDA
Nukleosida Reverse Zidovudin/ZDV/AZT C
Transcriptase Zalsitabin/ddC C
Inhibitor(NRTI) Didanosin/ddl B
Stavudin/d4T C
Lamivudin/3TC C
Abacavir/ABC C
Tenofovir/DF B
Non Nukleosida Reverse Nevirapin C
Transcriptase Delavirdin C
Inhibitor (NNRTI) Efavirenz C

Protease Inhibitor (PI) Indinavir C


Ritonavir B
Saquinavir B
Nelvinafir B
Amprenavir C
Lopinavir C
Golongan lain hidroksiurea D
Keterangan :
Kategori B : Tidak terdapat resiko untuk janin pada penelitian pada hewan, namun
belum terdapat penelitian pada wanita hamil; atau penelitian pada
hewan menunjukkan efek samping yang yang tidak sesuai
dengan penelitian kontrol pada wanita hamil trisemestar pertama
(dan tidak beresiko pada trisemester berikutnya).
Kategori C : Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin
(teratogenik atau embrisiodal atau lainnya) dan belum terdapat
penelitian kontrol pada wanita hamil atau belum terdapat
penelitian efek samping obat pada hewan ataupun wanita hamil.
Obat kategori ini hanya diberikan jika keuntungannya
melebihi resiko potensial pada janin.
Kategori D : Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin manusia,
namun keuntungan pada wanita hamil dapat diterima
dibandingkan resikonya terutama untuk penyelamatan jiwa.
Berdasarkan penelitian-penelitian Perinatal HIV Guidelines Working Group di
Amerika Serikat mengajukan rekomendasi pemberian
antiretrovirus. Rekomendasi ini tidak berbeda dengan yang
direkomendasikan British HIV Association. Rekomendasi yang dianjurkan yaitu
: 1,7
1. Situasi kehamilan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang belum
pernahmenggunakan antiretrovirus sebelumnya.
Rekomendasi : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani
pemeriksaan klinis, imunologis dan virologis standar.
Pertimbangan inisiasi dan pemilihan antiretrovirus sama
dengan wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang tidak
hamil dengan pertimbangan efek terhadap kehamilan.
Regimen zidovudin tiga bagian seperti tercantum dalam
tabel 5.1, direkomendasikan setelah trimester pertama
tanpa memandang kadar HIV ibu. Regimen kombinasi
direkomendasikan pada wanita hamil yang terinfeksi
HIV-AIDS yang status klinis, imunologis, dan
virologisnya berat atau kadar HIV > 1000 kopi/mL. Jika
wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang pada
trimester pertama kehamilan, pemberian antiretrovirus
dapat ditunda sampai usia kehamilan 10-12 minggu.
2. Situasi Kehamilan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS yang
sedangmendapatkan antiretrovirus.
Rekomendasi : Jika kehamilan diketahui setelah trimester pertama, terapi
antiretrovirus sebelumnya diteruskan, sebaiknya dengan
menyertakan zidovudin.
Jika kehamilan diketahui pada trimester pertama,
wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS diberikan
konseling tentang keuntungan dan resiko antiretrovirus
pada trimester pertama. Jika wanita hamil yang
terinfeksi HIV–AIDS memilih menghentikan
antiretrovirus selama trimester pertama, semua obat
harus dihentikan untuk kemudian diberikan secara
simultan setelah trimester pertama untuk mencegah
resistensi obat. Tanpa mempertimbangkan regimen
sebelumnya, zidovudin dianjurkan untuk diberikan
selama intrapartum dan pada bayi.
3. Situasi Kehamilan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS datang pada saat
persalinan dan belum mendapat antiretrovirus.
Rekomendasi : Ada beberapa regimen yang dianjurkan :
Nevirapin dosis tunggal pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi
pada usia 48 jam;
Zidovudin dan lamivudin oral pada persalinan, diikuti zidovudin/lamivudin
pada bayi selama seminggu;
Zidovudin intravena intrapartum, diikuti zidovudin pada bayi selama 6
minggu;
Dua dosis nevirapin dikombinasi dengan zidovudin intravena selama
persalinan diikuti zidovudin pada bayi selama 6 minggu.
Segera setelah persalinan, wanita hamil yang terinfeksi
HIV-AIDS menjalani pemeriksaan seperti CD4 dan
kadar HIV untuk menentukan apakah antiretrovirus
akan dilanjutkan.
4. Situasi Kehamilan : Jika bayi dari ibu wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
datang setelah persalinan, sedangkan ibu belum
mendapatkan antiretrovirus selama kehamilan atau
intrapartum.
Rekomendasi : Zidovudin sirup diberikan pada bayi selama 6 minggu, dimulai
secepatnya dalam 6-12 jam setelah kelahiran.
Beberapa dokter dapat memilih kombinasi zidovudin
dengan antiretrovirus lain, terutama jika ibunya
diketahui resisten terhadap zidovudin. Namun, efikasi
regimen ini belum diketahui dan dosis untuk anak
belum sepenuhnya diketahui.
Segera setelah persalinan, wanita hamil yang terinfeksi
HIV-AIDS menjalani pemeriksaan seperti CD4 dan
kadar HIV untuk menentukan apakah antiretrovirus
akan dilanjutkan. Bayi menjalani pemeriksaan
diagnostik awal agar antiretrovirus dapat diberikan
sesegera mungkin jika ternyata HIV positif.
V. 2. Penatalaksanaan Obsterik
Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi pada saat
intrapartum, beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang menjalani seksio sesarea dengan partus
pervaginam. Persalinan dengan seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi
paparan bayi dengan cairan servikovaginal yang mengandung HIV.3
Penelitian awal dari European Collaborative Study melaporkan transmisi
HIV yang lebih rendah pada wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang
menjalani seksio sesarea dibandingkan partus pervaginam (11,7 % dibandingkan
17,6 % ) tanpa membedakan seksio elektif dan seksio emergensi. Namun, ternyata
penelitian-penelitian selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
secara statistik. Women and Infants Transmission Study mengemukakan bahwa
lamanya ketuban pecah sebelum persalinan lebih bermakna daripada seksio
sesarea untuk menurunkan transmisi vertikal ( resiko relatif 1,81 dibandingkan
1,13 ). 1
Selanjutnya beberapa penelitian membandingkan resiko transmisi pada
partus pervaginam, seksio sesarea emergensi dan seksio elektif. European Mode
of Delivery Collaboration membandingkan transmisi perinatal pada wanita hamil
yang terinfeksi HIV-AIDS yang melahirkan pervaginam dan seksio sesarea
elektif. Ternyata seksio sesarea elektif dapat menurunkan resiko transmisi hingga
80 % dibandingkan partus pervaginam (1,8 % dibandingkan 10,5%). Demikian
juga hasil metaanalisis dari the International Perinatal HIV Group terhadap 15
penelitian dengan lebih dari 8000 sampel di berbagai negara. 1
Seksio sesarea elektif akan lebih bermakna jika disertai dengan
pemberian antiretrovirus. Resiko transmisi akan berkurang sekitar 87 %. Karena
itu, saat ini seksio sesarea dianggap hanya mempunyai efek proteksi parsial
terhadap transmisi HIV vertikal.14
Untuk lebih mengurangi kemungkinan transmisi intrapartum, Towers,
dkk mencoba teknik seksio sesarea dengan perdarahan minimal. Namun, pada
penelitian tersebut tersebut ternyata efek seksio sesarea dengan perdarahan
minimal hampir sama dengan pemberian antiretrovirus (transmisi HIV 6,3 %
dibanding 7,9 %). Cara ini mungkin dapat menjadi alternatif pada ibu yang tidak
mendapat terapi antiretrovirus. 1
Namun, pertimbangan untuk melakukan seksio sesarea tanpa indikasi
obstetric lain harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat komplikasi seksio yang
mungkin terjadi pada wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS, terutama pada
stadium lanjut. Laporan PACTG 185 menyebutkan bahwa komplikasi minor
seksio sesarea seperti endometritis, infeksi luka, dan infeksi traktus urinarius lebih
banyak terjadi pada wanita yang terinfeksi HIV-AIDS dibandingkan dengan
kelompok non-HIV. Namun, tidak ada perbedaan kejadian komplikasi mayor
seperti pneumonia, efusi pleura, ataupun sepsis. 1
Selain seksio sesarea, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan
resiko transmisi intrapartum pada wanita yang terinfeksi HIV-AIDS . Salah
satunya adalah pencucian jalan lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25%
klorheksidin. Ternyata cara ini tidak dapat mengurangi resiko transmisi partus
pervaginam. 1
Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat
mengajukanrekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi
HIV vertikal. Rekomendasi yang dianjurkan adalah: 1
1. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang
padakehamilan di atas 36 minggu, belum mendapat
antiretrovirus, dan sedang menunggu hasil pemeriksaan
kadar HIV dan CD4 yang diperkirakan adasebelum
persalinan.
Rekomendasi : Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus
mendapat terapi antiretrovirus seperti regimen PACTG
076. Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dilakukan
konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi
resiko transmisi dan resiko komplikasi pascaoperasi,
anestesi, dan resiko operasi lain padanya. Jika
diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada
minggu ke-38 kehamilan,. Selama seksio, wanita hamil
yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat
zidovudin intravena yang dimulai 3 jam sebelumnya,
dan bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah
melahirkan atau tidak tergantung pada hasil
pemeriksaan kadar virus dan CD4.
2. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada
kehamilan awal, sedang mendapat kombinasi
antiretrovirus, dan kadar HIV tetap di atas 1000
kopi/mL pada minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi : Regimen antiretrovirus yang digunakan tetap diteruskan. Wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat
konseling bahwa kadar HIV-nya mungkin tidak turun
sampai kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan,
sehingga dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea.
Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio yang
meningkat, seperti infeksi pascaoperasi, anestesi, dan
operasi. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio
direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan. Selama
seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
mendapat zidovudin intravena yang dimulai minimal 3
jam sebelumnya. antiretrovirus lain tetap diteruskan
sebelum dan sesudah persalinan. Bayi mendapat
zidovudin sirup selama 6 minggu.
3. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang
mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV
tidak terdeteksi pada minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan konseling
bahwa kemungkinan transmisi jika kadar HIV tidak
terdeteksi mungkin kurang dari 2 %, bahkan pada
persalinan pervaginam. Pemilihan cara persalinan harus
mempertimbangkan keuntungan dan resiko komplikasi
seksio.
4. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sudah
direncanakan seksio sesarea elektif, namun datang pada
awal persalinan atau setelah ketuban pecah.
Rekomendasi : Zidovudin intravena segera diberikan. Jika kemajuan persalinan
cepat, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
ditawarkan untuk menjalani persalinan pervaginam.
Jika dilatasi serviks minimal dan diduga persalinan
akan berlangsung lama, dapat dipilih antara zidovudine
intravena dan melakukan seksio sesarea atau
memberikan pitosin untuk mempercepat persalinan.
Jika diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam,
elektrode kepala, monitor invasive dan alat bantu lain
sebaiknya dihindari. Bayi sebaiknya mendapat
zidovudin sirup selama 6 minggu.
V.3. Penatalaksanaan Pasca Persalinan
V.3.1. Pemberian Air Susu Ibu
Penularan HIV melalui air susu ibu diketahui merupakan faktor penting transmisi
pasca persalinan dan meningkatkan resiko transmisi dua kali lipat. Miotti, dkk
pada penelitian di Malawi membuktikan air susu ibu meningkatkan insidens
transmisi HIV 0,7% per bulan pada usia 0 sampai 5 bulan; 0,6% pada usia 6-11
bulan; 0,3% per bulan pada usia 12-17 tahun. Penelitian di Nairobi yang
membandingkan bayi dari ibu dengan HIV yang disusui dengan air susu ibu
dibandingkan dengan susu formula menunjukkan probabilitas kumulatif infeksi
HIV pada usia 24 bulan 36,7% dibandingkan 20,5%.Namun angka kematian
setelah 2 tahun pada kedua kelompok ternyata sama. Penelitian Leroy, dkk di
berbagai negara menyebutkan resiko transmisi HIV melalui air susu ibu yang
diperkirakan adalah 3,2 per 100 anak-tahun. 1,10
Di negara maju, upaya untuk menghindari menyusui bayi dari ibu penderita HIV
seperti yang dianjurkan tidak mengalami kendala. Namun, hal tersebut sulit
dilakukan di negara berkembang mengingat keterbatasan dana untuk membeli
susu formula, kesulitan mencari air bersih dan menyediakan botol yang bersih,
selain norma-norma di masyarakat tertentu.
Ternyata tidak selamanya susu formula lebih efektif daripada air susu ibu untuk
mencegah penularan HIV, tetapi tergantung dari cara pemberiannya. Penelitian
Coutsoudis, dkk di Afrika Selatan menunjukkan bahwa bayi yang mendapat air
susu eksklusif selama 3 bulan mempunyai resiko transmisi HIV lebih rendah
(14,6%) dibandingkan dengan bayi yang mendapat air susu formula dan air susu
ibu (24,1%), bahkan menyamai resiko pemberian susu formula saja. Hal ini
diperkirakan karena air dan makanan terkontaminasi yang diberikan pada bayi
yang menerima dua macam susu tersebut merusak usus bayi, sehingga HIV dari
air susu ibu dapat masuk ke tubuh bayi.1,10
Karena hal-hal tersebut, WHO, Unicef dan UNAIDS mengeluarkan rekomendasi
untuk menghindari air susu ibu yang terkena HIV jika alternatif susu lain tersedia
dan aman. Pada bayi yang terinfeksi HIV in utero, air susu ibu eksklusif
dianjurkan kecuali jika keadaan ibu yang tidak memungkinkan. Keadaan penyakit
ibu juga perlu diperhatikan karena wanita yang terinfeksi HIV-AIDS menyusui
mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi daripada yang tidak menyusui. 3,10
V.3.2. Pilihan Untuk Hamil Pada Wanita Yang Terinfeksi HIV-AIDS
Seperti yang sudah ditunjukkan berbagai penelitian dengan antiretrovirus,
penatalaksanaan obstetrik yang tepat dan pemilihan susu yang sesuai,
kemungkinan transmisi HIV dari ibu ke bayinya dapat dikurangi, namun tidak
dapat sama sekali dihilangkan. Selain itu, intervensi-intervensi ini belum tersedia
luas di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Banyak wanita hamil yang
belum menjalani konseling yang sesuai, serta pelayanan antenatal dan obstetrik di
tempat-tempat yang menyediakan antiretrovirus. Karena itu, timbul pertanyaan
“apakah keinginan wanita yang terinfeksi HIV-AIDS dan pasangannya untuk
mempunyai keturunan sendiri lebih penting daripada resiko menularkan penyakit
serius seperti HIV kepada bayinya?” 1,14
Selain kemungkinan tertular HIV, anak yang dilahirkan wanita yang
terinfeksi HIV-AIDS juga mempunyai kemungkinan menjadi yatim piatu pada
usia muda karena kematian ibunya akibat AIDS. Kematian orangtuanya akibat
AIDS akan menyebabkan anak berada pada situasi yang membahayakan. Anak
yang tidak mempunyai orang tua lagi cenderung menjadi malnutrisi dan terlambat
tumbuh kembangnya dibandingkan dengan anak yang dibesarkan dengan orang
tua. Mereka juga cenderung kurang mendapatkan pendidikan dan layanan
kesehatan dibandingkan anak lainnya. Belum lagi akibat isolasi sosial dari
masyarakat karena dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV-AIDS. 14
Seseorang dengan HIV-AIDS yang mempunyai pasangan sebaiknya menjalani
konseling tentang pilihan reproduksi mereka, apakah mempunyai anak atau tidak.
Selanjutnya, keputusan tetap di tangan mereka. Alternatif terbaik adalah tidak
mempunyai anak atau adopsi. Namun, jika pasangan suami istri tersebut
memutuskan untuk mempunyai anak sendiri dengan kemungkinan infeksi yang
sudah disadari, pasangan tersebut sebaiknya pergi ke fasilitas kesehatan yang
menyediakan konseling. Evaluasi, terapi dan pemantauan penularan perinatal
HIV. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan adalah pemakaian antiretrovirus,
inseminasi dan pencucian sperma bagi suami, operasi seksio sesarea dan tidak
menyusui bayi.12
V.4. Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik Selama
Kehamilan
Infeksi oportunistik terjadi karena kekebalan tubuh yang amat menurun. Pola
infeksi oportunistik berbeda di berbagai negara tergantung pola mikroba yang ada
dalam tubuh atau lingkungan penderita. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman
yang semula komensal, reaktivasi kuman atau parasit yang telah ada dalam tubuh
pasien atau infeksi baru. 1,3
Terapi profilaksis dan terapi terhadap infeksi Mycobacterium
tuberculosis,pneumocystis carinii, M avium complex, Toxoplasma gondii dan
virus Herpes simplex pada wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS tidak berbeda
dengan wanita terinfeksi HIV-AIDS yang tidak hamil. Namun profilaksis primer
terhadap infeksi sitomegalovirus, kandida dan infeksi jamur invasif tidak
dianjurkan secara rutin mengingat toksisitas obatnya. Flukonazol misalnya,
diketahui dapat menyebabkan deformitas skeletal dan kraniofasial pada
pemakaian jangka lama selama kehamilan. Vaksinasi hepatitis B, influenza dan
pneumokokus tetap dapat diberikan selama kehamilan. Sebaiknya vaksinasi
tersebut diberikan sesudah kadar HIV turun sampai tidak terdeteksi untuk
mencegah peningkatan kadar HIV RNA setelah vaksinasi. 1,4
BAB VI
PROGNOSIS
Prognosis HIV-AIDS menyangkut masa lamanya AIDS, kemungkinan terjadi
komplikasi, harapan terjadi kesembuhan, angka keberhasilan hidup, angka
kematian dan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang menyangkut prognosis
dari HIV-AIDS. 10
Prognosis untuk HIV-AIDS pada beberapa tahun terakhir ini, angka
prognosis telah meningkat secara signifikan, hal ini karena adanya obat-obatan
yang baru, dan penyuluhan dalam hal-hal yang berhubungan dengan pencegahan.
Angka rata-rata keberhasilan hidup sekarang ini adalah 35,7 tahun dan di
California Utara 37,9 tahun. Angka kematian HIV adalah 15.245 kematian pada
tahun 2000 dan di Amerika pada tahun 1999 dilaporkan terjadi kematian sekitar
14.802. 10
Infeksi HIV pada bayi menyebutkan prognosis yang sangat buruk dengan
angka harapan hidup setelah didiagnosis 9,4 bulan. Namun penelitian selanjutnya
menunjukkan angka harapan hidup yang lebih baik (median 60-120 bulan). Tanpa
obat pencegahan, dua pertiga bayi yang tertular HIV dari ibunya tetap
asimptomatik sampai usia sekolah dan perjalanan penyakitnya perlahan-lahan; 20-
30% sisanya penyakit lebih progresif dan sudah bermanifestasi pada tahun
pertama. Infeksi oportunistik yang berat sepertipneumocystis carinii, ensefalopati
dan gangguan pertumbuhan sudah tampak pada bayi tersebut. 1
Para peneliti juga telah meneliti 2 jenis kelainan pada anak-anak yang
menderita HIV, sekitar 20% menderita penyakit yang serius pada tahun pertama
kehidupan, dan kebanyakan anak tersebut meninggal pada umur 4 tahun. Sekitar
80% anak yang terinfeksi HIV mempunyai angka progresivitas yang rendah dan
kebanyakan tidak menderita penyakit-penyakit yang serius sebelum masuk
sekolah sampai masa dewasa.Ada laporan dinegara Eropa dimana anak-anak yang
menderita HIV akan tetap hidup sampai umur 9 tahun. Penelitian lainnya kurang
lebih 42 anak yang terinfeksi HIV, yang mempunyai survival rate sampai umur 9
tahun ditemukan kurang lebih seperempat anak tersebut tidak bergejala dengan
sistem pertahanan tubuh yang baik. 10
Pada wanita yang menderita infeksi HIV yang dideteksi secara awal dan
mendapat pengobatan yang sesuai akan bertahan hidup seperti pada laki-laki.
Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan HIV menunjukkan
masa hidup yang lebih sebentar dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena
pada wanita lebih jarang terdeteksi secara dini. Pada analisis yang
mengikutsertakan 4.500 orang dengan infeksi HIV, ternyata perbandingan angka
kematian antara wanita dan laki-laki adalah 3:1. Para peneliti tidak dapat
mengidentifikasikan alasan penyebab dari kematian tersebut. Namun mereka
menduga bahwa hal ini disebabkan karena akses yang lebih sulit dalam
menggunakan pelayanan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki, adanya
kekerasan rumah tangga, tidak mempunyai tempat tinggal dan kurangnya
dukungan sosial yang merupakan faktor yang paling penting. Pada orang yang
lebih tua dengan HIV, hidupnya tidak selama dibandingkan orang yang lebih
muda. 10
Jika tidak ada pencegahan transmisi ibu ke anak dilaporkan terjadi pada
sekitar 25% kelahiran, dan bisa dikurangi sekitar 8% dengan pengobatan
antiretrovirus seperti zidovudine. Kombinasi terapi antiretroviral, sectio caesarea,
menghindari pemberian ASI akan lebih mengurangi resiko transmisi ibu ke anak
sekitar 1%. Di Inggris rata-rata transmisi ibu keanak sekitar 19,6% pada tahun
1993 dan menurun sampai 22,2% pada tahun 1998. 10
Penelitian terbaru juga menegaskan bahwa suatu kehamilan tidak
mempunyai efek terhadap pertumbuhan AIDS, penyakit yang berhubungan
dengan AIDS atau terjadi imunosupresi yang berat sampai 1 tahun setelah
kelahiran ataupun aborsi. 10
Semakin cepat kita memulai pengobatan maka peluang untuk hidup akan
lebih lama.
BAB VII
KESIMPULAN
Penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, terjadi secara horizontal
maupun vertikal (dari ibu ke anak). Transmisi horisontal dapat terjadi melalui
darah (diantaranya transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV,
penggunaan alat yang tidak steril disarana pelayanan kesehatan, penggunaan alat
yang tidak steril dilayanan kesehatan tradisional ) dan melalui hubungan seks
(misalnya pelecehan seksual pada anak, pelacuran anak ). Kurang lebih 10%
penularan HIV terjadi melalui transmisi horizontal. Dan yang cukup penting
adalah penularan secara vertikal dari ibu ke anak. Penularan vertikal dapat terjadi
selama intra uterine, intra partum maupun post partum.
Penatalaksanaan klinis penyakit HIV pada kehamilan terus dikembangkan
untuk menekan transmisi secara vertikal. Pemberian antiretrovirus bertujuan
untuk mengurangi viral load agar menjadi sangat rendah atau dibawah tingkat
yang dapat terdeteksi untuk jangka waktu yang lama. Rekomendasi cara
persalinan dikeluarkan oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika
Serikat untuk mengurangi transmisi HIV dari ibu ke anak dan persalinan dengan
seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi paparan bayi dengan cairan
servikovaginal yang mengandung HIV. Selain itu WHO, Unicef dan UNAIDS
mengeluarkan rekomendasi untuk menghindari air susu ibu yang terkena HIV jika
alternatif susu lain tersedia dan aman.
Cara yang efektif untuk mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke
anak tergantung pada saat kapan wanita tersebut mengetahui status HIV-nya
sehingga dapat ditentukan penatalaksanaannya secepat mungkin. Oleh karena itu
peranan konseling dan tes HIV bagi ibu hamil sangatlah penting sebagai salah
satu cara untuk deteksi dini terhadap infeksi HIV.
DAFTAR PUSTAKA
1. McFarland, Elizabeth J. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection in
:Current Pediatric Diagnosis&Treatment. 16th edition. 2003. McGraw&Hill
Company. Singapore (1140-50).
2. Yunihastuti E, Wibowo N, Djauzi S, Djoerban Z. Kelompok Studi Kasus AIDS
FKUI/RSUPN dr.Ciptomangunkusumo. Infeksi HIV pada Kehamilan. 2003.
FKUI. Jakarta (1 – 32).
3. Volderding A, Sande A.. The Medical Management of AIDS. 4th edition. 1995.
WB Saunders Company. United State of America . (22-4, 614-32).
4. Behrman, Kliegman, Jenson. Acquired Immunodeficiency Syndrome (Human
Immunodeficiency Virus). in: Nelson Textbook of Pediatrics. 17th Edition.
2004. WB Saunders Company. Philadelpia. (1109-20).
5. Suwendra, Putu.. Human Immunodeficiency Virus. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi&Penyakit Tropis. Edisi Pertama. 2001.
IDAI. Jakarta(281-301).
6. Maslow S. AIDS in Gynocology in Gynecology and Obstetrics Sciarra. Volume
1 Edisi Revisi.1995. J.B Lippincott Company 46. Philadelphia (1-12).
7. Walker K, Stratton P. Human Immunodeficiency Virus (HIV) In Non Pregnant
Women in Text Book of Gynecology. 2th edition. 2000. WB Saunders
Company. United State of America (895 – 902).
8. Djauzi, Samsuridjal&djoerban, Zubairi. Penatalaksanaan Infeksi HIV di
Pelayanan Kesehatan Dasar. Edisi kedua. 2003. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.Jakarta (1, 3-4, 8-10, 19-20, 26-48).
9. Murati T P. Acquired Immunodeficiency Syndrome. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Ketiga. 1996. FKUI. Jakarta. (543-50).
10. http://www.google.com . HIV and AIDS. 2002.
11. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular&Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan RI.. Pedoman Nasional Perawatan,
Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA. 2003. Departemen Kesehatan RI
Jakarta (4-6, 21-7, 68-104).
12. http://www.google.com. Konseling HIV-AIDS. 2000
13. Berek S. Human Immunodeficiency Virus (HIV). in Novak’s Gynecology.
13thedition. 2003. Lippincott William&Wilkins Wloter Kluwer Company.
Philadelpia (465-7).
14. De Cherney H, Nathan L. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection.
inCurrent Obstetric&Gynecologyc Diagnosis&Treatment. 9th Edition. Mc
Graw-Hill Companies. United State (745-8).
15. http://www.yahoo.com. Image. Genom dan protein HIV.
16. http://www.yahoo.com. Image. Siklus Replikasi Virus HIV

http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/hiv-dalam-kehamilan.html

Anda mungkin juga menyukai