Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
referat dengan judul “Tonsilitis Difteri ” guna memenuhi sebagian persyaratan
untuk mengikuti kegiatan sebagai dokter muda di SMF Ilmu Teling Hidung
Tenggorok di Rumah Sakit Umum Daerah Bangil, Jawa Timur.

Kami menyadari kelemahan serta keterbatasan yang ada sehingga dalam


menyelesaikan skripsi ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak, dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. dr. Novemi Elynawati, Sp. THT sebagai pembimbing dan Kepala Bagian
di SMF Ilmu Telinga Hidung Tenggorok di Rumah Sakit Umum Daerah
Bangil, Jawa Timur.

2. Teman-teman sejawat Kelompok D Dokter Muda di Rumah Sakit Umum


Daerah Bangil, Jawa Timur.

Kami menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan baik isi maupun
susunannya. Semoga referat ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis juga
bagi para pembaca.

Pasuruan, .... Maret 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... 4
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 5
1.1 Latar Belakang........................................................................... 5
1.2 Rumusan Permasalahan ............................................................ 5
1.3 Tujuan........................................................................................ 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 7
2.1 Anatomi .................................................................... 7
2.2 Fisiologi.................................................................................... 11
2.3 Definisi..................................................................................... 12
2.4 Epidemiologi............................................................................. 12
2.5 Etiologi..................................................................................... 13
2.6 Patofisiologi.............................................................................. 13
2.8 Manifestasi Klinis..................................................................... 14
2.9 Pemeriksaan Fisik..................................................................... 16
2.10 Pemeriksaan Penunjang............................................................ 17
2.11 Diagnosis.................................................................................. 19
2.12 Diagnosis Banding.................................................................... 19
2.13 Penatalaksanaan........................................................................ 20
BAB 3 KESIMPULAN…………………....................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ……………………….................................... 25

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi Tonsil...................................................................................9


Gambar 2 Derajat Pembesaran Tonsil ………………………………………....11
Gambar 3 Tonsilitis Difteri ……………………………………………………12
Gambar 4 Pemeriksaan Swab Pada Tonsil …………………………………….17
Gambar 5 Tonsilitis Akut ……………………………………………………...18

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina (tosil faucial), tonsil lingual (tosil pangkal lidah), tonsil tuba
Eustachius (lateral band dinding faring / Gerlach’s tonsil) (Soepardi, dkk
2004 ).
Difteri adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob.
Hal ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam rendah, dan suatu
pseudomembrane pada tonsil, faring, dan rongga hidung. Cara penularan
difteri melalui kontak fisik langsung atau terhirup droplet dari napas individu
yang terinfeksi. Difteri umumnya telah diberantas di negara-negara industri
dan beberapa negara berkembang. (Khalid N., dkk. 2011)
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne
bacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak
berusia kurang dari 10 tahunan, frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
(Khalid N., dkk. 2011)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan tonsilitis difteri?
2. Faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya tonsilitis difteri?
3. Bagaimana perjalanan penyakit tonsilitis difteri?
4. Apa saja gejala yang dikeluhkan pasien tonsilitis difteri?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit tonsilitis difteri?

1.3 Tujuan Umum


Mengetahui secara umum tentang tonsilitis difteri

5
1.4 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian tonsilitis difteri.
2. Mengetahui etiologi terjadinya tonsilitis difteri.
3. Mengetahui anatomi dari tonsil.
4. Mengetahui patologi atau perjalanan penyakit tonsilitis difteri.
5. Mengetahui gejala klinis, diagnostic, komplikasi, diagnosis banding, terapi
dan prognosisi dari tonsillitis difteri.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Tonsil merupakan bagian dari jaringan limfoid yang melingkari faring dan
secara kolektif dikenal sebagai cincin waldeyer. Cincin waldeyer merupakan
jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil
palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual,
gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam
fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat
orifisium tuba eustachius. (snell, 2001)

2.1.1 Tonsil Palatina


Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh plika
anterior (otot palatoglosus) dan plika posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh:
Lateral : M. konstriktor faring superior
Anterior : M. Palatoglosus
Posterior : M. Palatofaringeus
Superior : Palatum mole
Inferior : Tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari
jaringan limfoid). (snell, 2001)

a. Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah

7
otot konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti
kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi
lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai
palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah
meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus
hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior
bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan
masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. (snell, 2001)

b. Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan
ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal
adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah
jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil. (snell, 2001)

c. Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada
sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat
pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah
terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah. (snell, 2001)

d. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna,
yaitu:
1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan
A. palatina asenden
2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden
3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal
4) A. faringeal ascenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah
tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina
desenden.Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung

8
dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. (Pearce, Evelyn. C, 2006)

e. Aliran Getah Bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya
menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening
eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. (Pearce,
Evelyn. C, 2006)

f. Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
(Pearce, Evelyn. C, 2006)

Gambar 1. Anatomi Tonsil (Kornblut A, 1991)


Pada gambar diatas terdapat adenoid, lidah, uvula, palatum durum dan tonsil. Tonsil ada 2,
yaitu tonsil palatina dan tonsil lingual.

2.1.2 Tonsil Faringeal (Adenoid) (Khalid, dkk 2011).


Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk
dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

9
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang
nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding
atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan
orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing
anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia
3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.
Pembagian pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4 (Thane & Cody):
T1 : Batas medial tonsil melewati plika anterior sampai ¼ jarak plika
anterior-uvula
T2 : Batas medial tonsil melewati ¼ plika anterior-uvula sampai ½ jarak
plika anterior-uvula
T3 : Batas medial tonsil melewati ½ plika anterior-uvula sampai ¾ jarak
plika anterior-uvula
T4 : Batas medial tonsil melewati ¾ plika anterior-uvula sampai uvula atau
lebih.

Gambar 2. Derajat Pembesaran Tonsil (snell, 2001)


Keterangan Gambar : To: tonsil telah diangkat; T1: tonsil masih berada dalam fossa
tonsilaris; T2: Batas medial tonsil melewati ¼ plika anterior-uvula sampai ½ jarak plika
anterior-uvula; T3 : Batas medial tonsil melewati ½ plika anterior-uvula sampai ¾ jarak
plika anterior-uvula; T4 : Batas medial tonsil melewati ¾ plika anterior-uvula sampai
uvula atau lebih.

2.1.3 Fisiologi Tonsil

10
Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin
spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel
pembawa IgG. (Khalid, dkk 2011).
Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. (Khalid, dkk 2011).

2.2 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Difteri ditularkan dengan cara
kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi tetesan) ketika batuk,
bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi media penularan
(vehicle of transmission). Menurut manifestasi klinisnya difteri terdiri dari
difteri hidung, difteri tonsil faring, difteri laring, dan difteria kulit,
vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga. (Khalid, dkk 2011).
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne
bacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak
berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun. (Khalid,
dkk 2011).

Gambar 3. Tonsilitis Difteri

11
Keterangan gambar: Tonsil dan faring hiperemi dan terlihat adanya pseudomembran keluar dari
tonsil

2.1 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara
mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih
tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang
tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi
insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri
yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan
penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang
belum mendapatkan imunisasi Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak
berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun
walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini (Khalid,
dkk 2011).

2.2 Etiologi
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman
yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini
akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah
seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap
cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
(Khalid, dkk 2011).

2.3 Patofisiologi
Kuman Corynebacterium diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit,
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian
atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh
darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. (Rampengan, Laurentz, 1992)

12
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino
lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan
proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer
RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini
memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif. Toksin difteria
mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim
translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif)
+ H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses
traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama
dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah
dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat
berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung.
Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan
terlepas sendiri pada masa penyembuhan. (Rampengan, Laurentz, 1992)

2.4 Manifestasi Klinis


Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah
terjadi membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar
dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih
dan berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah
kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. (Khalid, dkk
2011).
Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan
dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara
paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya

13
tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan
menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan. Gambaran
klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :
a. Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat, serta keluhan nyeri menelan
b. Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring,
trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini
melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai sapi( bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.
c. Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminuria.

2.5 Pemeriksaan Fisik (Herawati Sri, 2003)


1. Tonsil dan faring hiperemi dan terlihat adanya pseudomembran keluar dari
tonsil.
2. Pembesaran kelenjar leher sangat berat, terletak dibagian anterior leher
sekitar angulus mandibula (Keadaan ini disebut bullneck dan terjadi karena
adanya oedema periglandul).
3. Sangat penting untuk diagnosis ditemukannya membran pada tempat
infeksi yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat.
4. Pada pemeriksaan didapatkan plika anterior hiperemis, tonsil biasanya
membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi),
terutama pada dewasa.

14
2.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Bakteriologik, yaitu dilakukan swab pada tonsil dengan cara tekan lidah
dengan spatula lidah, usap lidi kapas pada kedua tonsil dan faring
belakang, jangan menyentuh lidah dan uvula.
b. Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnose klinis, untuk isolasi
primer menggunakan agar Loeffler, atau agar tellurite Tinsdale.
c. Menyusul isolasi awal C.diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis,
intermedius, atau biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat
karbohidrat dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain ditentukan
secara in vitro dan in vivo.
d. Darah lengkap : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, eritrosit,trombosit,LED
e. Urin lengkap : protein dan sedimen
f. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
g. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu,
kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
h. Tes schick
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Pada seseorang yang tidak mengandung
antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah
beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick
dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam
24 jam.
Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada
tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau
mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi
alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. Uji
ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus
yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna.
Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri
disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain
disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada

15
hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya
10 mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya
antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). Perlu diperhatikan
bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap
toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya
menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena
adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.
i. Tes hapusan specimen Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi
mukokutan lain, berguna untuknidentifikasi tempat spesies, uji
toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.

Gambar 4. Pemeriksaan swab pada tonsil


Keterangan gambar : teknik pemeriksaan swab pada tonsil

2.9 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae. Cara yang
lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique,
namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C,
diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes

16
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). (Khalid N., dkk.
2011)

2.10 Diagnosis Banding

1. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman
streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus
pygenes, dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer,A. 2000). Tonsilitis
akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada tonsilla palatina,
yang terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya infeksi
maupun virus. (Sutji Pratiwi,2008).

Gejala linis pada tonsilitis akut mula mula tenggorokan terasa panas
dan kering. Di susul dengan nyeri telan yang semakin hebat, nyeri
menjalar ke telinga (reffered pain), demam, nyeri kepala, malaise, serta
suara terdengar seperti mulut penuh makanan ( plummy voice). Pada
pemeriksaan fisik di dapatkan tonsil hiperemi dan odem, banyak detritus,
pseudomembran pada tonsil. Serta ismus fasium menyempit. (Sri
Herawati, 2003).

Gambar 5. Tonsilitis Akut


Keterangan gambar: terdapat bercak putih pada tonsil

17
TONSILITIS DIFTERI TONSILITIS AKUT
Gejala Klinis: Gejala Klinis:
- Terlihat keadaan umum yang jelek, - Mula-mula tenggorok rasa panas
lesu, dan pucat dan kering
- Kenaikan suhu tubuh - Disusun timbulnya nyeri telan
- Sakit kepala yang makin hebat
- Nyeri telan - Anak tidak mau makan
- Nyeri menjalar ke telinga (referred
Pemeriksaan Fisik: pain)
- Tonsil dan faring hiperemi dan - Demam (dapat sangat tinggi), nyeri
terlihat adanya pseudomembran kepala, malaise
pada tonsil dan diluar tonsil - Suara penderita seperti mulut
- Pembesaran kelenjar leher sangat penuh makanan (plummy voice)
berat, terletak dibagian anterior
leher sekitar angulus mandibula Pemeriksaan Fisik:
(Keadaan ini disebut bullneck dan - Mulut berbau busuk (foetor ex ore)
terjadi karena adanya oedema - Ptialismus
periglandul). - Tonsil hiperemi dan udem, banyak
detritus, dan pseudomembran pada
tonsil
- Ismus fasium menyempit
- Palatum mole, arkus anterior dan
posterior tonsil oedema dan
hiperemi
- Kelenjar getah bening
jugulodigastrikus membesar dan
nyeri tekan.

2.11 Penatalaksanaan (Khalid N., dkk. 2011)


1. Isolasi dan Karantina :
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah
masa akut terlampaui.
Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :

18
a. Biakan hidung dan tenggorok
b. Dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria +
penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).

1. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah
penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
a. Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan
serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi
tindakan trakeostomi.
b. Khusus
Anti Diphteria Serum(ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva
dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan
terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 :
1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20
menit terjadi indurasi > 10 mm.

19
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum
1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali.
Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan
lakrimasi. Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan
cara desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena. Dosis
serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar
antara 20.000-120.000 KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam
larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness).

Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama
7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari

Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi
saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati
toksik.

2. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai
Reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau
suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
Tonsilektomi

20
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan
jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil
faringeal. (Khalid Naman, dkk 2011)

BAB 3
KESIMPULAN

Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne


bacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia
kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun. Dengan gejala
kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan
lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan, tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody
technique,namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi
C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmot) dan vitro (tes elek).

21
DAFTAR PUSTAKA

Herawati S., Rukmini S., 2004. Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Khalid N., dkk. 2011. Tonsilitis difteri. Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.
Kornblut A, Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In:
Paparella,Gluckman S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck
surgery. Philadelphia, WB Saunders 3rd edition,1991:2149-56
Pearce, Evelyn. C. (2006); “Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis”,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rahardjo S.P., 2008. Infeksi Leher Dalam.Ilmu Penyakit THT. Penerbit Graha
ilmu : Jakarta.
Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik
Pada Anak, Difteri, 1-18.Snell. Buku Ajar Anatomi Klinik Jilid I. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 2001.
Soepardi E., Iskandar N. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher. Edisi
Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.

22
2

Anda mungkin juga menyukai