Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang yang masih menghadapi berbagai masalah
kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.
Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan, gizi, kecerdasan, produktifitas
penderita dan secara ekonomi menyebabkan banyak kerugian (Ditjen PP dan PL, 2012).
Penyakit kecacingan adalah salah satu penyakit endemik yang disebabkan oleh infeksi
satu atau lebih jenis cacing. Ada 3 jenis cacing yang terpenting dari infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH) adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura)
(Depkes RI, 2005).
Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2016, lebih dari 1,5 milyar
orang atau sekitar 24% penduduk dunia terinfeksi STH. Angka kejadian terbesar berada di
sub Sahara Afrika, Amerika, China dan Asia Timur. Berdasarkan data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2008 didapatkan sekitar 800 juta sampai dengan 1 milyar
penduduk di dunia terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 700 juta sampai 900 juta
penduduk dunia terinfeksi cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale), 500 juta penduduk terinfeksi Trichuris trichiura, dan 300 juta penduduk dunia
terinfeksi Oxyuris vermicularis.
Data WHO (2013) pada bulan Juni, didapatkan lebih dari 1,5 milyar atau 24% dari
populasi penduduk di dunia terinfeksi STH. Pada tahun 2004, prevalensi penyakit cacingan
meningkat menjadi 46,8% (DEPKES RI, 2006). Pada tahun 2005, survey infeksi cacingan di
sekolah dasar di beberapa provinsi menunjukan prevalensi sekitar 60-80% (DEPKES RI,
2005). Berdasarkan dari hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan pada 8 provinsi di Indonesia
tahun 2008, didapat angka prevalensi kecacingan yang tinggi, yakni Banten 60,7%,
Nanggroe Aceh Darussalam 59,2%, Nusa Tenggara Timur 27,7%, Kalimantan barat 26,2%,
Sumatera Barat 10,1%, Jawa Barat 6,7%, Sulawesi Utara 6,7%, dan Kalimantan Tenggah
5,6% ( Ditjen PPL-RI Depkes RI, 2009).

1
Ascariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides.
Transmisi penularan Ascariasis melalui makanan yang terinfeksi telur matang (Galzerano,
et al., 2010). Penyakit ini paling sering menjangkit daerah tropis/subtropis. Ascariasis dapat
menyebabkan anemia, berat bayi lahir rendah, gangguan ibu bersalin, lemas, mengantuk,
malas belajar, IQ menurun, penurunan prestasi dan produktivitas, bahkan perforasi dan
obstruksi saluran pencernaan (Depkes RI, 2013 ; Galzerano, et al., 2010).
Sebanyak 807 juta kasus Ascariasis terjadi di wilayah Asia-Pasifik
(Hotez,etal.,2007). Di Indonesia sendiri prevalensi kejadian ascariasis mencapai 14-90%,
dengan persentase anak-anak di Indonesia yang menderita ascariasis berada di atas 30%
(Depkes RI, 2013). Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, seperti higiene individu, sanitasi
lingkungan, dan pengetahuan ibu mengenai ascariasis (Ariska, 2011).
Angka kejadian ascariasis tertinggi ditemukan pada negara berkembang dengan
lingkungan yang buruk serta di daerah tropis seperti Indonesia (Sutanto dkk, 2008).
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan memiliki kelembaban udara yang
tinggi.

Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia ini masih sangat tinggi, terutama pada
golongan penduduk yang kurang mampu dari segi ekonomi. Pada kelompok ekonomi lemah
mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan
dalam menjaga hygiene dan sanitasi lingkungan (Sumanto D, 2010). Tingkat ekonomi dan
sosial masyarakat Indonesia belum merata sehingga pengetahuan dan kesadaran masyarakat
untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan masih belum baik.
Hal ini yang menyebabkan penularan telur cacing lebih mudah di Indonesia sehingga
masyarakat dapat mengalami penyakit kecacingan (Kusmi, 2014). Pemerintah telah
berusaha melakukan upaya pemberantasan penyakit kecacingan dengan pemberian obat
massal, promosi gaya hidup sehat dan sanitasi yang bersih. Namun, masyarakat Indonesia
masih banyak menderita penyakit ini, terutama anak-anak. Infeksi kecacingan sering
dijumpai pada anak usia sekolah dasar dimana pada usia ini anak-anak masih sering kontak

2
dengan tanah (Mardiana; Djarismawati, 2008). Oleh sebab itu, perlu dilakukan terus upaya
untuk memberantas penyakit kecacingan (Depkes, 2005).
Untuk menanggulangi infeksi kecacingan ini diperlukan pengetahuan orang tua dalam
melakukan tindakan swamedikasi kepada anaknya yang diduga menderita infeksi
kecacingan berdasarkan diagnosis tanpa melakukan konsultasi kepada dokter. Berdasarkan
fakta empirik diketahui bahwa jenis obat yang digunakan untuk swamedikasi adalah obat-
obat OTC (Over the Counter) antara lain pirantel pamoat, yang merk dagangnya diketahui
oleh masyarakat luas berdasarkan iklan-iklan di televisi.
Tindakan swamedikasi yang dilakukan tanpa konsultasi kepada praktisi kesehatan
dapat menyebabkan kesalahan penggunaan obat bahkan terkadang dapat memperparah
kondisi pasien. Selain itu diperlukan juga pengetahuan tentang perkembangbiakan cacing
serta faktor-faktor lain, seperti tempat pembuangan kotoran manusia (WC), vektor sebagai
perantara berjangkitnya infeksi, kebersihan perorangan maupun lingkungan. Tindakan
pencegahan yang paling baik adalah dengan mengadakan sanitasi.
Perawat atau petugas kesehatan sebagai “educator” peran ini dilaksanakan dengan
membantu para orang tua dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, sehingga
terjadi perubahan tingkah laku dari para orang tua setelah dilakukan pendidikan kesehatan
(Wahit Iqbal, 2008). Dengan mengetahui faktor-faktor yang menunjang berjangkitnya
infeksi kecacingan dan cara pencegahannya, maka petugas kesehatan terutama perawat
harus memberikan pendidikan kesehatan kepada para orang tua dan terutama pada anak-
anak tentang infeksi kecacingan, cara pencegahan dan penularan infeksi tersebut.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian karena ingin
mengetahui kejadian pada masyarakat yang menderita ascariasis serta perencanaan program
untuk penanggulangan dan .pencegahan ascariasis di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Asih,
Desa Asih, Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara memutus mata rantai penularan penyakit ascariasis?
2. Bagaimana cara mencegah penularan ascariasis?

3
3. Bagaimana faktor-faktor perilaku personal hygiene dan perilaku masyarakat dalam
hubungan kejadian ascariasis?
4. Bagaimana upaya-upaya masyarakat dalam pemberantasan ascariasis?
5. Bagaimana menentukan penanganan program pencegahan dan penyuluhan tentang
ascariasis?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
a. Membuat perencanaan program untuk penanggulangan dan pencegahan ascariasis di
Desa Asih, Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui cara memutus mata rantai penularan penyakit ascariasis.
b. Mengetahui cara mencegah penularan ascariasis.
c. Mengetahui faktor-faktor perilaku personal hygiene dan perilaku masyarakat dalam
hubungan kejadian ascariasis.
d. Mengetahui upaya-upaya masyarakat dalam pemberantasaan ascariasis.
e. Menganalisis penanganan program pencegahan dan penyuluhan tentang ascariasis.

4
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis
1. Skenario
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Asih terletak dan melayani anak-anak di desa Asih
di wilayah kecamatan Bandara, kabupaten Cendana. Suatu penelitian yang dilakukan
Mahasiswa FK UWKS menghasilkan data bahwa 25% siswa di sekolah tersebut positif
telur Ascariasis lumbricoides pada feces-nya. Survei pada masyarakat desa tersebut
menunjukkan bahwa 72% kepala keluarga (KK) telah memiliki fasilitas penyediaan air
bersih (sumur) yang umumnya sudah cukup memenuhi syarat. Tempat penyimpanan
sampah baru dimiliki oleh 63% KK, itupun sebagian besar tidak dilengkapi dengan tutup,
atau tutup yang tersedia tidak difungsikan dengan baik. Membuang air besar di tempat
terbuka (open defecation/OD) sudah menjadi kebiasaan dari sebagian masyarakat, karena
baru 61% KK yang memiliki jamban keluarga (kakus). Sebagian besar masyarakat
bekerja sebagai petani atau buruh tani, sebagian lainnya sebagai wiraswasta atau
karyawan di perusahaan yang ada di desa tetangga. Hanya sedikit yang bekerja di
lembaga formal seperti instansi Pemerintah. Tingkat pendidikan masyarakat (KK)
sebagian besar tamat Sekolah Dasar atau Sekolah Lanjutan Pertama. Sedikit yang
menyelesaikan Sekolah Lanjutan Atas atau Perguruan Tinggi. Perhatian Puskesmas
Bandara terhadap Usaha Kesehatan Sekolah cukup baik khususnya terhadap pemeriksaan
mata dan gigi. Sekolah membebaskan murid-murid membeli makanan yang dijajakan
pedagang kaki lima yang berjualan di depan sekolah. Kader kesehatan juga sudah cukup
jumlahnya. Mahasiswa FK UWKS tersebut ingin menyelesaikan penelitiannya agar dapat
memberi sumbangan pemikiran dalam memecahkan masalah penyakit kecacingan
tersebut. Bantulah mereka.

2. Ilustrasi Fish Bone

5
Dari skenario diatas, identifikasi masalah yang didapatkan adalah 25% siswa di
sekolah tersebut menderita positif telur Ascaris lumbricoides. Permasalahan tersebut
dapat disebabkan oleh beberapa faktor penyebab, diantaranya:
a. Tidak mengelola sampah dengan benar.
b. Perilaku Open Defecation sembarangan.
c. Rendahnya kepemilikan jamban keluarga.
d. Tidak adanya pemberian obat cacing.
e. Kurang optimalnya kinerja puskesmas.
f. Kurangnya peran serta kader, UKS, guru dan tokoh masyarakat dalam upaya
penanggulangan kecacingan.
g. Pendidikan dan sosial ekonomi rendah.
h. Perilaku jajan sembarangan.
Faktor-faktor tersebut mengakibatkan peningkatan penyakit ascariasis. Hubungan
antara peningkatan penyakit ascariasis dan faktor-faktor penyebab tersebut diatas akan
dianalisis. Hasil analisis tersebut dapat diilustrasikan seperti fish bone dibawah ini.

Gambar II.1: Ilustrasi Fish Bone Peningkatan Penyakit Ascariasis di Desa Asih, Kecamatan Bandara,
Kabupaten Cendana

6
1. Perilaku Open Defecation sembarangan
Defekasi merupakan tindakan buang air besar yang dilakukan di tempat
terbuka. Pada skenario di atas, sebagian besar masyarakat di desa Asih masih
memiliki kebiasaan untuk melakukan open defecation. Sebagian besar masyarakat
di desa Asih mempunyai kebiasaan membuang air besar di tempat terbuka karena
baru 61% KK yang memiliki jamban keluarga (kakus), sehingga beberapa dari
anggota keluarga lain yang membuang air besar sembarangan di tanah dan
menyebabkan tanah di tempat tersebut terkontaminasi oleh telur cacing Ascaris
lumbricoides. Hal ini meningkatkan risiko peningkatan penyakit ascariasis pada
anak-anak yang lebih sering kontak dengan tanah saat bermain dan terkadang
tangan yang sudah kontak dengan tanah tidak dicuci dengan benar sehingga telur
cacing akan ikut tertelan bersama dengan makanan. Hal ini bertujuan apabila
warga di desa tersebut mengurangi perilaku open defecation, dapat memutus
rantai penularan penyakit ascariasis.

2. Tidak mengelola sampah dengan benar


Tempat sampah merupakan sebuah tempat yang digunakan untuk
menampung sampah secara sementara. Tempat sampah sendiri biasanya ada yang
memiliki tutup dan ada yang tidak memiliki tutup. Tujuan dibuatnya tutup pada
tempat sampah agar bau dari sampah yang ada di dalamnya tidak keluar dan juga
sampah di dalamnya tidak menjadi sarang lalat yang merupakan vektor penyakit
ascariasis. Pada skenario ini sebagian besar KK pada umumnya belum memiliki
tempat sampah, ada yang memiliki tempat sampah tidak bertutup atau memiliki
tutup tetapi tutupnya tidak berfungsi dengan baik. Hal ini bertujuan agar apabila
terkelolanya sampah dengan benar mencegah penularan ascariasis.

7
3. Tidak adanya pemberian obat cacing
Puskesmas di desa Asih kurang memperhatikan tentang masalah penyakit
kecacingan di desa tersebut. Hal tersebut tercermin dari tidak adanya suatu
program pemberian obat cacing guna mencegah penyakit ascariasis bagi anak-
anak SD di desa tersebut, sehingga penderita penyakit kecacingan di desa Asih
tidak terobati dan terus menjadi sumber penularan bagi anak-anak SD lainnya,
mengingat mayoritas penduduk di desa tersebut memiliki budaya Open
Defecation. Hal ini bertujuan agar dengan pemberian obat cacing dapat
mengurangi penularan penyakit ascariasis dan ditunjang dengan melaksanakan
perilaku hiidup bersih dan sehat.

4. Rendahnya kepemilikan jamban keluarga


Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang
dan mengumpulkan kotoran manusia yang lazim disebut kakus, sehingga kotoran
tersebut tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau
penyebaran penyakit serta mengotori lingkungan sekitar. Pada skenario ini baru
61% KK yang memiliki fasilitas jamban keluarga (kakus). Kurangnya fasilitas
jamban keluarga akan membuat rantai penularan penyakit askariasis semakin
meningkat. Hal tersebut dikarenakan masyarakat akan melakukan kebiasaan open
defecation terus-menerus sehingga lingkungan sekitar akan tercemar telur
Ascariasis lumbricoides dan menimbulkan penyakit kecacingan. Jamban yang
layak merupakan salah satu hal yang sangat dibutuhkan untuk memutus rantai
penularan penyakit Ascariasis. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya jamban
yang layak diharapkan masyarakat akan berhenti melakukan kebiasaan Open
Defecation sehingga lingkungan tidak lagi tercemar telur Ascaris lumbricoides.

5. Kurangnya peran serta kader, UKS, guru dan tokoh masyarakat dalam upaya
penanggulangan kecacingan
Dari skenario dikatakan pada program UKS hanya terdapat pemeriksaan
mata dan gigi, kurangnya peran UKS dan guru terhadap higienitas siswa SD dapat

8
menyebabkan siswa SD kurang paham terhadap kebersihan dan tidak berperilaku
hidup sehat dan bersih yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan penyakit
kecacingan di lingkungan sekolah. Contohnya pemeriksaan pada kuku yang
panjang, dimana kuku yang panjang dapat menyebabkan kotoran-kotoran
menyelip di kuku dan dapat menyebabkan penyakit kecacingan.

6. Kurang optimalnya kinerja puskesmas


Peran dari kinerja puskesmas antara lain meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dengan memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Dengan tidak optimalnya kinerja
dari puskesmas, orang tua dari anak-anak SD di desa Asih tersebut akan
kekurangan wawasan tentang perilaku hidup bersih dan sehat sehingga upaya
penanggulangan kecacingan menjadi tidak optimal.

7. Pendidikan dan sosial ekonomi rendah


Dari skenario di atas, diketahui bahwa sebagian besar pendidikan orang
tua dari anak-anak SD di desa Asih pada umumnya tamatan SD dan Sekolah
Lanjutan Pertama. Rendahnya tingkat pendidikan menyulitkan masyarakat dalam
memahami atau kurangnya pengetahuan dari orang tua terhadap anaknya apabila
menderita penyakit ascariasis tentang gejala dan tanda awal, penyebab, maupun
pengobatan penyakit ascariasis. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan
penyakit ascariasis di desa tersebut.

8. Perilaku jajan sembarangan


Perilaku siswa SD yang suka jajan sembarangan dapat menyebabkan
beberapa gangguan kesehatan karena proses pembuatan dan penyimpanan
makanan tersebut tidak dilakukan dengan baik sehingga menyebabkan makanan
yang dikonsumsi siswa menjadi tidak hygienis dan dapat mengganggu kesehatan.
Makanan yang tidak hygienis tersebut kemungkinan tercemar debu yang
terkontaminasi telur cacing ascariasis. Perilaku suka membeli makanan yang

9
dijajakan pedagang kaki lima menyebabkan beberapa gangguan kesehatan akibat
tidak terjaganya higienitas karena makanan yang dijajakan oleh pedagang kaki
lima rentan dihinggapi lalat yang memungkinkan hidup dan berkembang biak
telur-telur cacing hingga menjadi cacing yang infektif menularkan penyakit
kecacingan.

3. Identifikasi Masalah
Tabel II.1. Identifikasi Masalah
Teori Blum Masalah Keterangan
a. Perilaku kebiasaan warga desa melakukan
Perilaku A Open Defecation
b. Perilaku siswa SD jajan sembarangan
a. Tidak mengelola sampah dengan benar
Lingkungan B b. Rendahnya kepemilikan jamban keluarga
c. Pendidikan dan sosial ekonomi rendah

Pelayanan
C a. Tidak adanya pemberian obat cacing
Kesehatan
b. Kurang optimalnya kinerja puskesmas

4. Prioritas Masalah
Tabel II.2. Tabel Scoring Menentukan Urutan Prioritas Masalah
No Parameter Masalah
A B C
1. Prevalence 5 3 3
2. Severity 4 2 2
3. Rate % increase 4 2 3
4. Degree of unmeet need 5 3 2
5. Social benefit 5 3 3
6. Public concern 5 3 3
7. Technical feasibility study 2 2 2
8. Resources availlability 4 3 3

10
Jumlah 34 21 20
Rerata 4,25 2,62 2,5

Dari hasil scoring diatas, didapatkan urutan prioritas masalah sebagai berikut:
1. Masalah A menjadi prioritas masalah tertinggi
2. Masalah B menjadi prioritas masalah kedua
3. Masalah C menjadi prioritas masalah ketiga atau yang terakhir

Berdasarkan analisis masalah diatas, dapat disimpulkan beberapa solusi


permasalahan sebagai berikut:
1. Pengobatan pada anak-anak atau siswa SD yang menderita ascariasis di Desa
Asih, Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana.
2. Melakukan promosi kesehatan, seperti pendidikan kesehatan dan penyuluhan
kesehatan tentang personal hygiene, hygiene keluarga dan sanitasi yang baik
kepada orang tua dari anak-anak siswa SD di Desa Asih, Kecamatan Bandara,
Kabupaten Cendana diantaranya:
a. Mengajarkan kepada para orang tua dari siswa SD yang sebagian besar bekerja
sebagai petani untuk tidak kontak langsung dengan tanah tanpa alat pelindung
diri.
b. Peran guru serta UKS dalam hal mengajarkan anak-anak siswa SD untuk tidak
membeli jajan sembarangan dan menyarankan untuk membeli makanan yang
tersedia di kantin sekolah yang kebersihan makanannya lebih terjaga.
c. Membiasakan diri apabila sebelum dan sesudah makan, hendaknya mencuci
tangan secara benar dan bersih menggunakan sabun.
d. Melaksanakan penyuluhan tentang pentingnya melakukan buang air besar pada
jamban keluarga (kakus) guna memutus mata rantai dari penyakit ascariasis.
e. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk untuk tanaman.
3. Meningkatkan fasilitas sanitasi di sekolah maupun di lingkungan sekitar desa
Asih, Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana.

11
B. ASCARIASIS
1. Definisi
Ascariasis adalah infeksi cacing yang disebabkan Ascaris lumbricoides yang dapat
menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin namun paling sering ditemukan pada
anak usia belum sekolah dan anak sekolah dasar yang berusia 4-10 tahun, dapat
menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan menghambat tumbuh kembang anak karena
cacing mengambil sari makanan yang dibutuhkan oleh tubuh. Kerugian yang diakibatkan
oleh Ascariasis lebih lanjut dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia terutama
pada anak-anak yang merupakan kelompok rentan terinfeksi kecacingan. Kerugian yang
diakibatkan oleh Ascariasis lebih lanjut dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia
terutama pada anak-anak yang merupakan kelompok rentan terinfeksi kecacingan
.(Nurjana, 2013).

2. Epidemiologi

Diperkirakan 1,3 milyar orang di dunia pernah terinfeksi Ascaris lumbricoides. Infeksi

tidak jarang bercampur dengan cacing lain, yaitu Trichuris trichiura (Soedarmo, 2012). Cacing

ini ditemukan kosmopolit. Prevalensi Ascaris Lumbricoides di Indonesia adalah 60-90%

(Sutanto et al, 2011)

Menurut WHO, Soil-Transmitted Helminth merupakan salah satu penyakit infeksi yang

cukup sering terjadi di berbagai belahan dunia,dan biasanya mengenai kelompok masyarakat

12
golongan ekonomi rendah. Infeksi ini menular melalui fecal oral, dimana telur dari cacing

berkontaminasi dengan tanah sekitar tempat tinggal yang sanitasinya buruk. Organisme yang

sering menyebabkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

(Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus and Ancylostoma duodenale).

Yang tersering menyebabkan infeksi adalah species Ascariasis Lumbricoides (WHO, 2013).

Tingginya angka kejadian Ascariasis ini terutama disebabkan oleh karena banyaknya

telur disertai dengan daya tahan larva cacing pada keadaan tanah kondusif. Parasit ini lebih

banyak ditemukan pada tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu 25°- 30°C sehingga sangat

baik untuk menunjang perkembangan telur cacing A.lumbricoides tersebut (Sutanto dkk, 2008).

Prevalensi dan intensitas gejala simtomatis yang paling tinggi terjadi pada anak-anak.
Pada anak-anak obstruksi intestinal merupakan manifestasi penyakit yang paling sering ditemui.
Diantara anak-anak usia 1-12 tahun yang berada di rumah sakit Cape Town dengan keluhan
abdominal antara 1958-1962, 12.8 % dari infeksinya disebabkan oleh Ascariasis
lumbricoides. Anak-anak dengan askariasis kronis dapat menyebabkan pertumbuhan lambat
berkaitan dengan penurunan jumlah makanan yang dimakan. Menurut World Health
Organization (WHO), intestinal obstruction pada anak-anak menyebabkan komplikasi fatal,
menyebabkan 8000 sampai 100,000 kematian per tahun (WHO,2013)

3. Etiologi

Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides. Cacing

Ascaris lumbricoides merupakan golongan nematoda. Nematoda berasal dari kata nematos yang

berarti benang dan oidos yang berarti bentuk, sehingga cacing ini sering disebut cacing gilik

ataupun cacing gelang. Nematoda itu sendiri dibagi menjadi 2 jenis yakni nematoda usus dan

13
nematoda jaringan. Manusia merupakan hospes untuk beberapa nematoda usus yang dapat

menimbulkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Sutantodkk, 2008)

4. Morfologi Ascaris lumbricoides

Morfologi Ascaris lumbricoides terdiri dari telur, larva dan cacing dewasa. Telur
Ascaris lumbricoides yang ditemukan dalam tinja dibedakan menjadi 3 bentuk umum,
yaitu :

a) Telur fertil dengan kulit yang memiliki lapisan protein


Telur ini berukuran 50-70 x 40-50μm, berbentuk subspheris sampai bulat. Kulit
telurnya terdiri 3 lapisan (lapisan albumin, glycogen, dan lapisan lipiodal) yang tebal.
Lapisan telur berbenjol-benjol (mammilated) dengan protein yang bergelombang dan
berwarna seperti warna empedu. Saat dikeluarkan dari tinja telur ini belum
berembrio, tetapi hanya terdiri dari satu sel yang berbentuk bulan sabit. Sering
ditemukan bentuk telur fertil yang abnormal sebesar 9,2%. Telur ini tetap dapat
berkembang dan tumbuh menjadi telur yang mengandung larva yang infeksius
walaupun bentuknya abnormal.

b) Telur fertil yang kulit telurnya tidak memiliki lapisan protein


(decorticated eggs)

Telur ini berwarna keabuan dan sangat menyerupai hookworm. Telur ini hanya
memiliki dua lapisan yaitu lapisan glycogen dan lipiodal, lapisan terluarnya hilang.
Telur ini hanya terjadi di laboratorium, yaitu saat melakukan pewarnaan dengan
lugol, lapisan luar telur menghilang dan tinggal lapisan dalamnya saja.

c) Telur non fertil


Telur ini berukuran 60-90 X 40-60 μm, berbentuk elips, berwarna coklat sampai
coklat tua. Telur ini jauh lebih besar dan lebih ramping dibandingkan telur fertil serta
ukurannya bervariasi. Kulit telurnya tipis dan hanya mempunyai dua lapisan, yaitu
lapisan luar yang sangat tidak rata, kasar dan mammilated (lapisan albumin) dan
lapisan tengah atau lapisan glycogen. Telur ini tidak mengalami lapisan dalan
14
(lipiodal). Di dalam telur nampak banyak sekali butir-butir atau granula yang
memantulkan sinar. Telur non fertil terjadi bila penderita terinfeksi dengan banyak
cacing betina dan sedikit cacing jantan (Sandjaja B, 2007).

Gambar 1. Telur Ascaris lumbricoides fertilisasi pada feses tanpa pewarnaan perbesaran
200x (CDC, 2015).

15
Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides terdekortikasi pada

feses basah pembesaran 200x (CDC, 2015).

Gambar 3. Telur Ascaris lumbricoides lumbricoides tidak

terfetilisasi perbesaran 200x (CDC, 2015)

16
Gambar 4. Larva Ascaris lumbricoides menetas dari telur

perbesaran 200x (CDC, 2015)

Cacing jantan memiliki ukuran 15-31 cm x 2-4 mm, bagian posterior ujung ekornya
melengkung ke ventral dan terdapat kloaka dengan dua spikula yang sederhana,
sebagai alat kopulasi dengan ukuran panjang 2-3,5 mm dan ujung meruncing. Cacing
betina berukuran 20-35 cm x 3-6 mm memiliki vulva dibagian

ventral pada 2/3 bagian posterior tubuh. Vagina bercabang membentuk pasangan
saluran genital. Saluran genital terdiri dari seminal reseptakulum, oviduk, ovarium
dan salurannya berkelok-kelok menuju bagian posterior tubuh (Irianto K, 2013).
Cacing betina mampu bertahan hidup selama 1-2 tahun dengan memproduksi 26 juta
telur atau dalam sehari sektitar memproduksi 200.000 telur (Widoyono, 2011).

17
Gambar 5. Cacing Ascaris lumbricoides betina (CDC, 2015)

5. Siklus Hidup

Manusia dapat terinfeksi Ascaris lumbricoides karena mengonsumsi makanan dan


minuman yang terkontaminasi telur Ascaris lumbricoides yang telah berkembang (telur
berembrio). Di alam telur berada di tempat yang lembab, temperatur yang cocok dan cukup
sirkulasi udara. Telur tumbuh dengan baik menjadi infektif setelah kira-kira 20-24 hari.
Telur Ascaris lumbricoides tidak akan tumbuh dalam keadaan kering, karena dinding telur
harus dalam keadaan lembab untuk pertukaran gas. Kecepatan pertumbuhan telur Ascaris
yang fertil di luar tubuh tuan rumah sampai stadium berembrio yang infektif tergantung
beberapa faktor lingkungan antara lain temperatur, aerasi dan beberapa larutan desinfektan
serta deterjen.

Pertumbuhan telur Ascaris dapat terjadi pada suhu 8-37°C. Telur yang telah
berkembang menetas menjadi larva di dalam usus halus selanjutnya akan bergerak
menembus pembuluh darah dan limfe di usus mengikuti aliran darah ke hati atau aliran
limfe ke ductus thoracicus menuju jantung. Setelah sampai di jantung larva dialirkan
keseluruh tubuh antara lain ke paru melalui arteri pulmonalis.

18
Larva di dalam paru mencapai alveoli dan tinggal selama 10 hari untuk berkembang.
Bila larva sudah mencapai ukuran 1,5 mm, larva mulai bermigrasi ke saluran nafas,
epiglotis, dan ke esofagus, dan ke lambung akhirnya kembali ke usus halus dan menjadi
dewasa berukuran 15-35 cm. Seekor cacing betina mampu menghasilkan 200.000-250.000
telur perhari. Telur ini dikeluarkan bersama tinja dan siklus seperti di atas terulang lagi.

Siklus ini berlangsung kurang lebih 2-3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup di usus
halus selama satu tahun dan kemudian dikeluarkan dari tubuh (Irianto K, 2009)

Gambar 6. Siklus hidup Ascaris lumbricoides

19
6. Faktor-faktor perilaku Personal Hygiene dan perilaku Open Defecation yang
berhubungan dengan kejadian ascariasis

a. Perilaku Open Defecation


Open Defecation/membuang air besar di tempat terbuka meningkatkan risiko
penularan cacing, karena menyebabkan tanah di tempat tersebut terkontaminasi oleh
telur cacing Ascaris lumbricoides. Hal ini meningkatkan rIsiko penularan cacing
Ascaris lumbricoides karena anak-anak sering kontak dengan tanah, dan terkadang
tangan yang sudah kontak dengan tanah tidak dicuci dengan benar sehingga telur
cacing akan ikut tertelan bersama dengan makanan.
b. Perilaku mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
Kebiasaan cuci tangan sebelum makan memakai air dan sabun mempunyai peranan
penting dalam kaitannya dengan pencegahan infeksi kecacingan, karena dengan
mencuci tangan dengan air dan sabun dapat lebih efektif menghilangkan kotoran
dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan secara bermakna menghindari
ikut tertelanya telur cacing Ascaris lumbricoides yang ada pada kedua tangan.
c. Perilaku membuang sampah pada tempatnya
Membuang sampah pada tempatnya dapat menciptakan lingkungan yang bersih dan
sehat, karena jika banyak sampah-sampah berserakan akan mengundang banyak
lalat. Lalat merupakan vektor penyakit yang bisa membawa telur cacing lalu hinggap
dimakanan, sehingga telur cacing Ascaris lumbricoides akan ikut tertelan bersama
makanan.
d. Perilaku tidak jajan sembarangan
Perilaku agar tidak jajan sembarangan dapat menurunkan risiko penularan telur
cacing. Hal ini dimaksudkan agar membeli makanan di tempat yang bersih dan
membeli makanan yang tertutup agar tidak terkena debu dan dihinggapi lalat, karena
debu dan lalat kemungkinan membawa telur cacing Ascaris lumbricoides.
7. Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis askariasis adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung.

Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain itu, diagnosis dapat pula

20
ditegakkan bila terdapat cacing dewasa keluar dengan sendirinya, baik melalui mulut ataupun

hidung karena muntah maupun melalui tinja (Sutanto dkk, 2011).

Cara menegakkan diagnosis Ascariasis biasanya melalui pemeriksaan laboratorium

karena gejala klinis dari penyakit ini tidak spesifik. Secara garis besar Ascariasis dapat

ditegakkan berdasarkan

kriteria sebagai berikut:

a. Ditemukannya telur A. lumbricoides fertilized, unfertilized,

maupun dekortikasi di dalam tinja seseorang.

b. Ditemukannya larva A. lumbricoides di dalam sputum seseorang.

c. Ditemukannya cacing dewasa keluar melalui anus ataupun

bersama dengan muntahan (Gillespie dkk, 2008).

8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan lain yang dapat menunjang diagnosa adalah:

a) Pemeriksaan X-ray dengan Barium yang memberikan kesan gambaran tubulair defect
(Sandjaja B, 2007).
b) Pemeriksaan foto thorak,karena jika terjadi Ascariasis oleh cacing jantan, di tinja tidak
ditemukan telur sehingga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto thorak (Agoes dan
Natadisastra 2009).
c) Larva Ascaris lumbricoides dapat ditemukan di sputum atau bahan aspirasi lambung
sebelum telur cacing ditemukan di feses. Berdasarkan penelitian Trilusiani pada tahun 2013,
bahwa ditemukannya juga telur cacing pada kotoran kuku. Tempat dapat ditemukannya telur
cacing dapat
d) dijadikan pemeriksaan alternatif dalam mendiagnosis infeksi kecacingan (Maguire, 2010;
Trilusiani, 2013).
21
e) Pemeriksaan mikroskopik pada hapusan tinja dapat digunakan untuk memeriksa sejumlah
besar telur yang di ekskresikan melalui anus (Agoes dan Natadisastra 2009).
9. Prognosis

Prognosis sangat baik untuk pengobatan ascariasis tanpa gejala. Dalam beberapa
kasus, pengobatan kedua mungkin perlu untuk sepenuhnya menghapus cacing. Hal ini
telah dibuktikan secara signifikan mengurangi jumlah komplikasi. Perhatian di negara-
negara endemik adalah infeksi ulang yang akan terjadi.

Pada anak-anak di negara-negara endemik, hasil pengobatan dalam perbaikan


ditunjukkan dalam perkembangan kognitif, kinerja sekolah, dan berat badan.
Prognosis baik untuk pasien dengan obstruksi usus parsial yang tidak memiliki toksisitas
dan yang nonseptic, asalkan pasien diperlakukan secara awal dengan manajemen
konservatif.

B. PHBS
a. Definisi
Beberapa pengertian kaitannya dengan PHBS adalah

1. Perilaku Sehat adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan proaktif untuk

memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari

ancaman penyakit, serta berperan aktif dalam Gerakan Kesehatan Masyarakat.

2. PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga

anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang

kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat.

3. Program PHBS adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar bagi

perorangan, kelompok dan masyarakat dengan cara membuka jalur komunikasi,

memberikan informasi dan melakukan edukasi guna meningkatkan pengetahuan,

sikap dan perilaku melalui pendekatan advokasi, bina suasana dan melakukan

22
gerakan pemberdayaan masyarakat sehingga dapat menerapkan cara-cara hidup

sehat dalam rangka menjaga, memelihara, melindungi, dan meningkatkan

kesehatannya.

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan wujud keberdayaan

masyarakat yang sadar, mau dan mampu mempraktekan PHBS. Program PHBS

merupakan upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi

bagi perorangan,keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi,

memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap

dan perilaku, melalui pendekatan pimpinan (Advokasi), bina suasana (Social Support)

dan pemberdayaan masyarakat (Empowerment). Dengan demikian masyarakat dapat

mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri, dan dapat menerapkan cara-cara hidup

sehat dengan menjaga,memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Notoadmodjo

S.,2007).

23
BAB III
RENCANA PROGRAM

Cara dalam menanggulangi permasalahan peningkatan penyakit ascariasis di Desa Asih


di wilayah Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana. Dari masalah tersebut terdapat beberapa
pemecahan masalah kegiatan yang diperlukan, yaitu sebagai berikut:

1. Pengobatan pada anak-anak atau siswa SD yang menderita ascariasis di Desa Asih,
Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana.
2. Melakukan promosi kesehatan, seperti pendidikan kesehatan dan penyuluhan kesehatan
tentang personal hygiene, hygiene keluarga dan sanitasi yang baik kepada orang tua dari
anak-anak siswa SD di Desa Asih, Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana untuk
memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan, diantaranya:
a. Mengajarkan kepada para orang tua dari siswa SD yang sebagian besar bekerja sebagai
petani untuk tidak kontak langsung dengan tanah tanpa alat pelindung diri.
b. Peran guru serta UKS dalam hal mengajarkan anak-anak siswa SD untuk tidak membeli
jajan sembarangan dan menyarankan untuk membeli makanan yang tersedia di kantin
sekolah yang kebersihan makanannya lebih terjaga.
c. Membiasakan diri apabila sebelum dan sesudah makan, hendaknya mencuci tangan
secara benar dan bersih menggunakan sabun.
d. Melaksanakan penyuluhan tentang pentingnya melakukan buang air besar pada jamban
keluarga (kakus) guna memutus mata rantai dari penyakit ascariasis.
e. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk untuk tanaman.

3. Melakukan promosi kesehatan, seperti pendidikan kesehatan dan penyuluhan kesehatan


tentang personal hygiene kepada anak – anak SD di Desa Asih, Kecamatan Bandara,
Kabupaten Cendana, diantaranya :
a. Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (Cuci tangan memakai sabun)
b. Mengajak untuk mengenakan alas kaki
c. Mengajak untuk memotong kuku 1 kali setiap minggu

24
d. Menghimbau untuk tidak buang air besar sembarangan
4. Meningkatkan fasilitas sanitasi di sekolah maupun di lingkungan sekitar desa Asih,
Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana.

Tabel III.1 Scoring Prioritas Pemecahan Masalah Ascariasis pada Anak-anak di Sekolah Dasar Negeri di
desa Asih di wilayah Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana

Efektifitas Efisiensi Hasil

No Program
MxIxV
M I V C P=
𝐶

 Pengobatan pada anak-anak atau siswa


1 SD yang menderita ascariasis di desa 4 3 4 5 9,6
Asih, Kecamatan Bandara, Kabupaten
Cendana.

 Melakukan promosi kesehatan, seperti


pendidikan kesehatan dan penyuluhan
kesehatan tentang personal hygiene,
2 5 4 4 2 40
hygiene keluarga dan sanitasi yang baik
kepada orang tua dari anak-anak siswa
SD di Desa Asih, Kecamatan Bandara,
Kabupaten Cendana

 Melakukan promosi kesehatan,


seperti pendidikan kesehatan dan
penyuluhan kesehatan tentang
3 5 4 4 3 26,6
personal hygiene kepada anak – anak
SD di Desa Asih, Kecamatan
Bandara, Kabupaten Cendana,

 Meningkatkan fasilitas sanitasi di


sekolah maupun di lingkungan sekitar
4. 4 3 3 4 9
desa Asih, Kecamatan Bandara,
Kabupaten Cendana.

25
P : Prioritas jalan keluar
M : Maknitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini dilaksanakan (turunnya
prevalensi dan besarnya masalah ini)
I : Implementasi, kelanggengan selesainya masalah.
V : Valiability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, biaya yang diperlukan

Dengan demikian, prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan untuk memecahkan masalah
peningkatan penyakit ascariasis yang terpilih adalah melakukan promosi kesehatan, seperti
pendidikan kesehatan dan penyuluhan kesehatan tentang personal hygiene, hygiene keluarga dan
sanitasi yang baik kepada orang tua dari anak-anak siswa SD di Desa Asih, Kecamatan Bandara,
Kabupaten Cendana guna mencegah dan memutus rantai penularan penyakit ascariasis di Desa
Asih, Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana.

26
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ascariasis adalah salah satu penyakit yang banyak terjadi pada anak-anak siswa SD
di Desa Asih, Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana. Hal ini terjadi karena beberapa
faktor diantaranya adalah faktor lingkungan, input dan proses yang mana telah dijelaskan
pada ilustrasi Fish Bone. Penularan ascariasis sendiri antara lain masuk ke dalam mulut
bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi, melalui tangan yang kotor
tercemar terutama pada anak, telur infektif yang terhirup udara bersamaan dengan debu atau
dapat terjadi melalui sayuran dan buah karena tinja yang dijadikan pupuk untuk tanaman
sayur-mayur maupun buah-buahan. Oleh karena itu, untuk mengurangi dan mencegah
penularan telur cacing Ascariasis lumbricoides perlu promosi kesehatan dengan pendidikan
kesehatan dan penyuluhan kesehatan tentang peningkatan penyakit ascariasis serta melalui
pencegahan primer, sekunder dan tersier.

B. Saran
1. Kepada Orang tua dari anak-anak siswa SD
- Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih
dahulu dengan menggunkan sabun.
- Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci
bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
- Buang Air Besar (BAB) di jamban/WC.
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

2. Kepada Sekolah
- Menyediakan tempat cuci tangan
- Mengedukasi kepada orang tua murid dan murid tentang dampak buruk dari jajan
sembarangan.

27
- Pihak sekolah lebih selektif dan mengedukasi para pedagang makanan di lingkungan
sekolah agar kualitas makananya tetap dijaga.
3. Kepada Siswa SD
- Mencuci tangan menggunakan sabun sebelum makan
- Tidak jajan sembarangan

28
DAFTAR PUSTAKA

Brotowidjoyo, S. MD. 2007. Parasit dan Parasitisme. Jakarta: Media Sarana Press.

Depkes RI, 2006. Pedoman Pengendalian Cacingan. Permenkes RI Nomor


424/MENKES/SK/VI/2006.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (DitjenPP & PL) (2012).
Pedoman pengendalian kecacingan. Jakarta: Direktur JenderalPengendalian Penyakit –
Penyehatan Lingkungan.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Laporan Hasil Survei Morbiditas Cacingan Tahun 2005. Jakarta:
Subdit Diare dan Penyakit Pencernaan Ditjen PPM & PLP Depkes RI.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006 tentang
Pedoman Pengendalian Cacingan.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 856/MENKES/SK/XV/2017 tentang
Penanggulangan cacingan. diakses pada july 2018.
Kusmi, H (2014). Hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian askariasis dan trikuriasis
pada siswa SD Negeri 29 Purus Padang. Skripsi. Universitas Andalas. Padang. Mardiana,
Djarismawati. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan
Gerakan Terpadu Pengentsan kemiskinan Daerah Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal
Ekologi Kesehatan Vol. 7 No.2, 2008, p. 769-774.
Shoff, William H. Pediatric Ascariasis. Department of Emergency Medicine, Hospital of the
University of Pennsylvania. Available at URL: http://emedicine.medscape.com/article/996482-
overview Accessed on July 2018.
Soedarmo, S. Garna, H. Hadinegoro, S. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua.
Jakarta: FKUI. 370-383

Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
FKUI, 6-9.
Sumanto D, 2010. Faktor Resiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah di Desa Rejosari
Karangawen Demak. Tesis. Program Studi Magister Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. Semarang.

29
Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
FKUI, 6-9.
Tri Rezki, Andi., Azriful. 2016. Distribusi Spasial Kasus Kecacingan (Ascaris lumbricoides)
Terhadap Personal Higiene Anak Balita di Pulau Kodingareng Kecamatan Ujung Tanah Kota
Makassar Tahun 2016. Jurnal Kesehatan Masyarakat.Bagian Epidemiologi UIN Alauddin,
Makassar.Jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Alauddin, Makassar.Vol 2. No.2. Hal 75.
Wahit Iqbal Mubarrak, D. 2007.Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar
Dalam Pendidikan.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
World Health Organization (WHO) (2016). Soil transmitted helminths infections.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/ - Accessed on April 19, 2016.
World Health Organization (WHO). 2016. Water related diseases: Ascariasis. Communicable
Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health unit (WSH).
WHO. 2008. Worm Control. (Online), (http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en)
diakses 1 oktober 2018.
WHO. 2013. Intestinal Worm. (Online), (http://www.who.int/intestinal worms
/resources/en/ppc_unicef_finalre port.pdf) diakses 1 oktober 2018.

30

Anda mungkin juga menyukai