Anda di halaman 1dari 16

Diagnosis dan Tatalaksanan Meningitis Bakterialis pada Anak

Angelina Wijaya
102015186 – B1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat korespondensi : Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510, Indonesia
Email : Angelina.2015fk186@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Kata Kunci : meningitis bakterial, anak, kejang, pungsi lumbal, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza

Abstract

Keywords : bacterial meningitis, child, lumbal puncture, Streptococcus pneumoniae,


Haemophilus influenza

Pendahuluan

Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan yang membahayakan
kehidupan anak, dengan berpotensial menyebabkan kerusakan permanen pada pasien yang
hidup. Infeksi ini juga merupakan penyebab tersering demam disertai tanda dan gejala kelaian
susunan saraf pusat pada anak. Pada anak Infeksi sebenarnya dapat disebabkan oleh mikroba
apapun, patogen spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status imun hospes dan epidemiologi
patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh lebih sering daripada infeksi
bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi jamur dan parasit. Infeksi pada
sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori besar yang utamanya melibatkan
meninges (meningitis) dan terbatas pada parenkim (ensefalitis).1,2

Anamnesis

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik umum yang dapat dilakukan adalah menilai kesadaran, keadaan
umum, mengukur tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
pernafasan, dan suhu tubuh. Kemudian pemeriksaan dari mata hingga kepala dan di tambahn
dengan pemeriksaan neurologis.

 Pemeriksaan rangsangan meningeal :


- Pemeriksaan kaku kuduk (+) :
Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,
kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk akan
terdapat tahanan hiperkestensi dan rotasi kepala dan dagu tidak mencapai dada
disertai rasa nyeri dan spasme otot. Kaku dapat bersifat ringan atau berat.4

- Pemeriksaan tanda kernig (+) :


Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada
persendian panggul sampi membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutu sampi membentuk sudut lebih dari 135 derajat
terhadap paha. Bila terdapat tehanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut
135 derajat (kaki tidak dapat diekstensi sempurna) diertai spasme otot paha maka
dikatakan kernig sign positif (+).4

- Tes laseque :
Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua tungkai
diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan
(fleksi) persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam
keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70 derajat
sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan
sebelum mencapai 70 derajat maka disebut tanda laseque positif. Namun pada
pasien yang lanjut usianya diambil patokan 60 derajat.4

- Tes Brudzinski 1 (Brudzinki leher)


Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala
dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda brudzinski positif bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.4
- Tes Brudzinski 2 (brudzinski kontra lateral)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi paha pasa sendi panggul seperti
pemeriksaan Kernig. Tanda brudzinski 2 positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi
fleksi involuter pada sendi panggul dan lutu kontralateral.1

Pemeriksaan Penunjang

Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospinal yang paling sering
dilakukan pada segala umur, dan relatif aman. Indikasinya adalah kejang atau twitching,
paresis atau paralisis termasuk paresis N. VI, koma, ubun-ubun besar membonjol, kaku
kuduk dengan kesadaran menurun, TBC milier, leukemia, mastoiditis kronik yang dicurigai
meningitis, sepsis.1,5
Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya dah pada
pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan dilakukan pada
meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis. Cairan serebrospinal
dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan sakit pinggang. Pungsi
lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn
intracranial hypertension), pungsi lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat
tertentu.1,5
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar tempat
pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses desak ruang dalam
otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang belum diobati. Pada
tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi (meningitis) bukan kontraindikasi
tetapi harus dilakukan dnegan hati-hati.1,5
Komplikasi lumbal pungsi adalah sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap
selaput otak, bila penggunaan jarum pungsi tidak kering, jarum patah, herniasi dan
tertusuknya saraf oleh jarum pungsi karena penusukan tidak tepat yaitu kearah lateral dan
menembus saraf di ruang ekstradural.1,5

Pemeriksaan LCS
Biasanya pada pungsi lumbal yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol
steril untuk pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan warnanya,
kemudian ditentukan adanya protein yang meninggi dengan menggunakan uji Pandy dan
Nonne.1,6
Pada uji Pandy 1-2 tetes LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah
diisi dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila kadar protein meninggi akan
didapatkan warna putih keruh atau endapan putih dalam tabung reaksi tersebut. 1,6
Pada uji Nonne, 0,5 ml LCS dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah
diisi dengan 1 ml larutan amonium-sulfat jenuh. Bila kadar protein LCS meningkat didapati
cincin putih pada perbatasan kedua cairan tersebut.1,6
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar protein,
glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada keadaan normal LCS
berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa xantokrom. 1,6

Sel
Untuk menghitung jumlah sel LCS harus segar, harus sudah dihitung dalam waktu 1
jam sesudah pungsi, karena jika terlalu lama sebagia sel menempel di dinding tabung/botol,
sebagian sudah lisis sehingga mempengaruhi perhitungan. Jumlah sel leukosit normal pada
bayi sampai umur 1 tahun adalah 10 sel/ µl, 1-4 tahun 8 sel/ µl, remaja dan dewasa 2,59 ± 1,73
leukosit /µl. Eritrosit biasanya tidak terdapat pada anak dan orang dewasa, kecuali pada pungsi
traumatik. Adanya sel neoplastik, plasmasit, sel stem dan eosinofil dalam LCS selalu
abnormal.1,5,6
Sel eritrosit berlebihan dalam LCS menunjukkan adanya perdarahan atau pungsi
traumatik, untuk membedakannya segera lakukan pemutaran (centrifuge) dan perhatikan
supernatanya. Apabila supernatan berwarna xantokrom berarti perdarah lama, jika jernih
berarti pungsi traumatik.1,6
Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka kemungkinan pasien
menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus dini atau neoplasma.di Bagian ilmu
kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah sel LCS normal pada anak 20/3 per µl dan pada
neonatus minggu pertama 100/3 per µl, tetapi tergantung juga pada keadaan klinis pasien dan
diferensiasi sel.1,6

Protein
Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom Guillain Barre,
tumor intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit degeneratif dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada umur 0-2 minggu, dan
30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan berat badan lahir rendah kadar
protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar protein yang tinggi pada neonatus mungkin
disebabkan oleh fungsi sawar darah otak yang belum matang dan adanya perdarahan-
perdarahan kecil saat partus.1,6

Glukosa
Kadar normal glukosa dalam LCS antara ½ - 2/3 kadar glukosa plasma, biasanya 50-
90 mg/dl. Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan kadar glukosa plasma dan
kedua nilai ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS kurang dari 50% kadar glukosa plasma,
maka dapat dikatakan bahwa kadar glukosa dalam LCS merendah. Penurunan kadar glukosa
dalam LCS didapati pada pasien dengan meningitis bakterial, karsinomatosis selaput otak dan
lain-lain.

Mikroorganisme
Pemeriksaan mikroorganisme perlu dilakukan yang pertama-tama dengan pewarnaan
gram. Dengan melihat bentuk kuman dan gram dapat diduga diagnosisnya secara cepat. Biakan
LCS dalam media dan uji sensitivitas terhadap obat dapat menentukan kuman penyebab yang
sebenarnya dan obat yang serasi.1,6
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis Meningitis Bakterialis yaitu
darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika ada indikasi.
Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi:
- Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/ (++).
- Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear, protein
200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada stadium dini jumlah sel dapat normal dengan
predominan limfosit.
- Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak spesifik.
Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan pemberian
antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali identifikasi
kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif). Jika memang kuat dugaan kearah meningitis,
meskipun terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat
dilakukan asalkan berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi
terjadinya herniasi.1,6
Diagnosis Banding

Meningitis Tuberkulosis (TB)

Meningitis TB merupakan peradangan oada meninges yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini merupakan ssalah satu bentuk komplikasi yang
sering muncul pada penyakit TB paru. Meningitis TB menyerang 0,3% anak yang menderita
TB yang tidak diobati. Angka mortalitas pada anak berkisar antara 10-20%. Sebagian besar
dengan gejala sisa, hanya 18% pasien yang kembali normal secara neurlogis dan intelektual.
Pada anak gejala klinisyang biasanya muncul adalah nyeri kepala disertai penurunan
kesadaran, demam ringan, kaku pada tengkuk dan punggung. Pada bayi menjadi sangat rewel,
muncul bercak pada kulit, high pitched cry. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran
menurun, kernig (+), brudzsinsky (+). Pada pemeriksaan penunjang Tes Mantoux (+), analisa
cairan otak didapatkan warna cairan kuning muda, ada bekuan lunak, pleositosis ringan, hitung
jenis sel awal didominasi PMN, monosit meningkat, pada pemenriksaan kimia kadar protein
meningkat, glukosa menurun.7
Terapi diberikan sesuai dengan terapi TBC untuk anak dosis Isoniazid: 7-
15mg/kg/BB/hari ; Rimfapisin 10-20 mg/kg/BB/hari; Pirazinamid : 30-40 mg/kg/BB/hari;
Etambutol : 15-25 mg/kg/BB/hari; Streptomisin : 20 mg/kg/BB/hari. Dapat juga diberikan
dexametason untuk mengurangi edema serebri dan timbulnya perlekatan araknoid otak.
Kejadian TB dapat dicegah dengan memberikan vaksinasi BCG sesuai jadwal, hindari kontak
dengan penderita TB, menjaga kebersihan diri. Meningitis TB pada ana memiliki prognosis
baik apabila dapat sesegeramungkin terdiagnosis dan diberikan terapi.7

Kejang Demam Kompleks

Berdasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) kejang demam kompleks atau
kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih
dari 2x dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang ini terjadi pada 8% kejang
demam. Kejang bersifat fokal atau kejang umum didahului kejang parsial. Pemeriksaan
laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tapi dapat dilakukan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pungsi lumbal dilakukan untuk meneggakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.8
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal. Kematian karena kejang demam
juga tidak pernah dilaporkan. Kemungkinan berulangnya kejang demam apabila ada riwayat
kejang demam dalam keluarga, usia <12 bulan, temperatur <39C saat kejang, cepatnya kejang
setelah demam. Kejang demam kompleks menjadi salah satu faktor munculnya epilepsi
dikemudian hari. Tatalaksana umum dapat dilakukan dengan melonggarkan pakaian yang ketat
terutama daerah leher. Bila anak tidak sadar, miirngkan kepala untuk mencegah aspirasi akibat
muntah, dan jangan memasukkan benda apapun kedalam mulut.8

Untuk terapi farmakologi dapat diberikan diazepam intravena 1-2 mg/menit atau dalam
waktu 3-5menit dengan dosis maksimal 20 mg. Obat praktis yang dapat diberikan di rumah
adalah diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Atau
diazepam rektal 5mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untu anak diatas 3
tahun. Pemakaian antikonvulsan intermiten dapat diberikan diazepam oral dosis 0,3 mg/kg
setiap 8 jam pada saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus,
begitu juga dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu >38,5C.
Pengobatan rumat diindikasikan untuk kejang fokal, kejang >15 menit, dan apabila ditemukan
kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang. Pada pengobatan rumat yang
menjadi pilihan saat ini adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kg/hari dibagi 2 dosis.8

Epilepsi

Epilepsi diartikan sebagai manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan
gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron oak
secara berlebihan dan proksimal. Terdapat 2 katergori kejang epilepsi yaitu kejang fokal akibat
adanya lesi pada satu bagian korteks serebral yang dapat disetai kehilangan kesadaran parsial
dan kejang umum yang dimana letak lesinya mencakup area yang luas dari korteks serebral
dan biasanya mengenai kedua hemisfer serebri. Sekitar 60% penyebab epilepsi tidak dapat
ditemukan penyebab pastinya, namun berbagai faktor resiko seperti infeksi sistem saraf pusat,
trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik dapat memicu terjadinya
epilepsi. Insidensi epilepsi lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Puncak insidensi epilepsi terdapat pada kelompok umur < 1 tahun, menurunpada masa kanak-
kanak dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Diagnosis epilepsy didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik,dan hasil pemeriksaan EEG atau radiologi.Terapi pada fase akut dapat
diberikan diazepam rektal sedangkan pengobatan epilepsinya dapat digunakan obat anti
epilepsi (OAE). Di Indonesia biasa diberikan obat golongan fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital, dan asam valproat.9

Diagnosis Kerja

Meningitis Bakterial

Meningitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada meninges, baik sebagian
meninges atau seluruh bagian meninges yang ditandai dengan adanya peningkatan leukosit
dalam cairan serebrospinal. Secara klinis, meningitis bermanifestasi dengan gejala meningeal
misalnya, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia, serta pleositosis dalam cairan cerebrospinal.
Tergantung pada durasi gejala, meningitis dapat dibedakan sebagai akut atau kronis.
Meningitis bakterial merupakan salah satu klasifikasi dari meningitis yang diakibatkan oleh
adanya invasi bakteri patogen ke dalam meninges. Menurut WHO, anak-anak dengan rentang
usia 0-14 tahun memiliki resiko besar untuk terkena meningitis bakterial karena biasanya
kelompok umur ini tidak mempunyai kekebalan terhadap bakteri. Haemophilus influenza atau
pneumococcus biasanya menjadi bakteri patogen penyebab meningitis pada anak- anak.6,10

Berdasarkan perubahan pada cairan otak, meningitis dibagi menjadi 2 golongan yaitu
meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang meninges
terutama araknoid dan piamater yang bermanifestasi warna jernih pada cairan otak. Penyebab
terseringnya dalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya bias virus, Toxoplasma
gondhii. Sedangkan meningitis purulenta adalah radang bernanah pada meninges yang
disebabkan oleh Pneumococcus, Nesseria meningitides, Streptococcushaemolyticus,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan
Pseudomonas aeruginosa.6,10

Epidemiologi
Respon imunologi yang lemeah terhadap patogen spesifik pada anak- anak atau orang
dengan usia yang muda menjadi faktor resiko utama untuk meningitis. Resiko terbesar adalah
pada bayi antara usia 1 -12 bulan. Walaupun meningitis dapat terjadi pada semua usia,
ditemukan 95% kasus terjadi pada umur 1 bulan dan 5 tahun. Faktor ekonomi yang rendah
dan tidak adanya pemberian ASI pada bayi usia <6 bulan menjadi resiko tambahan kejadian
meningitis pada anak.6,10

Secara umum, mortalitas dari meningitis bakterial bervariasi menurut usia dan jenis
patogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada neonatus tinggi dan
meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae yang menyebabkan morbiditas
pada periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni pada tahun pertama kehidupan, menurun
pada pertengahan (mid life) dan meningkat kembali di masa tua. Insidens lebih banyak pada
kulit hitam. Bayi laki – laki lebih sering terkena meningitis gram negatif, bayi perempuan lebih
rentan terhadap infeksi L.monocytogenes , sedangkan Streptococcus agalactiae (GBS)
mengenai kedua jenis kelamin.6,10

Pada negara berkembang, meningitis banyak disebabkan oleh infeksi H. influenzae


pada anak yang tidak divaksinasi. Insiden tertinggi ditemukan pada usia 6-9 bulan dan 50)
kasus terjadi pada usia tahun pertama. Di Amerika Insidens rate kasus meningitis oleh H.
influenzae pada usia <5 tahun berkisar 32-71/ 100.000 setiap tahun. Pada neonatus 2-4 kasus/
100 bayi lahir hidup dan 2/3 nya disebabkan oleh Streptococcus  haemoliticus grup B dan E.
coli.Tahun 2001-2002 di Uganda meningitis akibat H. Influenzae tipe b pada usia < 5 tahun
sebesar 88 kasus per 100.000. 6,10

Letak geografis dan musim dengan kelembaban rendah bisa menjadi predisposisi untuk
terjadinya penyakit endemik. Di daerah tropis meningitis bakterial lebih sering terjadi pada
anak berusia 6 bulan – 3 tahun. Di Afrika wabah meningitis terjadi selama musim panas,
sedangkan di daerah Sub-Saharan (Ghana, Nigeria, Sudan Timur, Chad, dan Mali Barat)
wabah terjadi dimulai pada musim panas dandiakhiri ketika musim penghujan dimulai. Tahun
2008 di Afghanistan melaporkan 2.154 kasus meningitis dan 140 kematian, sebagian besar
kasus terjadi pada musim panas. 6,10,11

Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun. Umumnya
terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah. Insidens meningitis bakterialis
pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran hidup. Insidens meningitis pada
bayi berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal.
Streptococcus group B dan E.coli merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada
neonatus. Penyakit ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40%
diantaranya mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit neurologis.

Etiologi
Bakteri penyebab meningitis pada anak biasanya ditularkan melalui saluran nafas.
Bakteri disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sektresi
tenggorokan yang masuk melalui jalur hematogen. Bakteri penyebab juga berbeda-beda
berdasarkan kelompok umur. Pada 2 bulan pertama kehidupan, organisme yang paling sering
menyebabkan meningitis adalah organisme flora dari ibu atau lingkungan dimana bayi berada
yang disebabkan oleh Listeria monocytogenes dan Haemophilus influenza. Meningitis bakteri
pada anak usia 2 bulan – 12 tahun biasanya disebabkan oleh H. influenzae tipe B, Streptococcus
pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Penyakit yang disebabkan oleh H.influenzae tipe B
dapat terjadi segala umur namun seringkali terjadi sebelum usia 2 tahun.

Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis berdasarkan usia :


a. 0 – 3 bulan
Pada grup usia ini meningitis dapat disebabkan oleh semua agen termasuk bakteri,
virus, jamur, Mycoplasma, dan Ureaplasma. Bakteri penyebab yang tersering seperti
Streptococcus grup B, E.Coli, Listeria, bakteri usus selain E.Coli ( Klebsiella, Serratia
spesies, Enterobacter), streptococcus lain, jamur, nontypeable H.influenza, dan bakteri
anaerob. Virus yang sering seperti Herpes simplekx virus (HSV), enterovirus dan
Cytomegalovirus.6,10

b. 3 bulan – 5 tahun
Sejak vaksin conjugate HIB menjadi vaksinasi rutin di Amerika Serikat, penyakit yang
disebabkan oleh H.influenza tipe B telah menurun. Bakteri penyebab tersering
meningitis pada grup usia ini belakangan seperti N.meningitidis dam S.Pneumoniae. H.
influenza tipe B masih dapat dipertimbangkan pada meningitis yang terjadi pada anak
kurang dari 2 tahun yang belum mendapat imunisasi atau imunisasi yang tidak lengkap.
Meningitis oleh karena Mycobacterium Tuberculosis jarang, namun harus
dipertimbangkan pada daerah dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi dan jika
didapatkan anamnesis, gejala klinis, LCS dan laboratorium yang mendukung diagnosis
Tuberkulosis. Virus yang sering pada grup usia ini seperti enterovirus, HSV,
Human Herpesvirus-6 (HHV-6). 6,10

c. 5 tahun – dewasa
Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada grup usia ini seperti
N.meningitidis dan S.pneumoniae. Mycoplasma pneumonia juga dapat menyebabkan
meningitis yang berat dan meningoencephalitis pada grup usia ini. Meningitis virus
pada grup ini tersering disebabkan oleh enterovirus, herpes virus, dan arbovirus. Virus
lain yang lebih jarang seperti virus Epstein-Barr , virus lymphocytic choriomeningitis,
HHV-6, virus rabies, dan virus influenza A dan B.6,10

Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat disebabkan
oleh patogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh pathogen lain seperti
Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV. 6,10

Patofisiologi
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung, penyebaran
hematogen, atau embolisasi thrombus yang terinfeksi. Transmisi bakteri pathogen umumnya
melalui droplet respirasi atau kontak langsung dengan karier. Proses masuknya bakteri ke
dalam sistem saraf pusat merupakan mekanisme yang kompleks. Awalnya bakteri melakukan
kolonisasi nasofaring dengan berikatan pada sel epitel menggunakan vili adhesi dan membrane
protein. Resiko kolonisasi epitel nasofaring meningkat pada individu yang mengalami infeksi
virus pada sistem pernapasan atau pada perokok.5
Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut mengatasi
mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang. Bakteri kemudian
melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana baktrei relative terlindung dari respon
humoral komplemen karenakapsul polisakarida yang dimilikinya. Kemudia bakteri memasuki
ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal melalui plekus coroid atau kapiler serebral.
Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel yang disebabkannya. Seluruh area ruang
subaraknoid yang mliputi otak, medulla spinalis, dan nervus optikus dapat dimasuki oleh
bakteri dan akan menyebar dengan cepat. Hal ini menunjukkan meningitis hampir pasti selalu
melibatkkan struktur serebrospinal.5
Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respon humoral
komplemen cairan serebrospinal. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan
menginduksi proses inflamasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya, permeabilitas sawar
darah otak meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam cairan
serebrospinal yang akan memicu inflamsai dan menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang
subaraknoid. Ekdudat akan menumpuk dengan cepat dan akan terakumulasi di bagian basal
otak serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan spinal. Selain itu, eksudat akan
menginfiltrasi dinding arteri dan menyebabkan penebalan tunika intima serta vasokonstriksi,
yang dapat mengakibatkan iskemia serebral. Tunika adventisia arteriola danvenula
subaraknoid sejarina terbentuk sebagai bagian dari membrane araknoid. Dinding vasa bagian
luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses inflamasibersamaan dengan proses
meningitis (vasculitis infeksisus).5
Selanjutnya terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga dapat
mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, meningitis bakterial dapat menyebabkan
thrombosis sekunder pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis pada vena-vena kortikal.
Eksudat purulen yang terbentuk dapat menyumbat resorpsi cairan serebrospinal oleh villi
araknoid atau menyumbat aliran pada sistem ventrikel yang menyebabka hidrosefalus
obstruktif atau komunikas yang disertai edema serebral intersitisial. Eksudat tersebut juga
dapat mengelilingi saraf-saraf kranial dan menyebabkan neuropati kranial fokal.5

Tatalaksana
Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah penting.
Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen umum: S
pneumoniae, N. meningitidis, dan H. influenzae. Menurut Infectious Diseases Society of
America (IDSA) practice guidelines for bacterial meningitis tahun 2004, kombinasi dari
vankomisin dan ceftriaxone atau cefotaxime dianjurkan bagi mereka yang dicurigai
meningitis bakteri, dengan terapi ditargetkan berdasarkan pada kepekaan patogen terisolasi.
Kombinasi ini memberikan respon yang adekuat terhadap pneumococcus yang resisten
penisilin dan H. Influenza tipe B yang resisten beta-laktam. Perlu diketahui, Ceftazidime
mempunyai aktivitas yang buruk terhadap penumococcus dan tidak dapat digunakan
sebagai substitusi untuk cefotaxime atau ceftriaxone.12
Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis yang lebih
tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf pusat. Cefotaxime atau
ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka. Namun, bila S.pneumonia
terisolasi mempunya MIC yang lebih tinggi untuk cefotaxime, dosis tinggi cefotaxime (300
mg/kg/hari) dengan vankomisisn (60 mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan.12
Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang resisten
sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh karena resiko kejang lebih
rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon (linezolid), masih dalam penelitian.
Fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat menggunakan antibiotik
jenis lain atau gagal pada terapi sebelumnya.12
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih
vankomisin dan rifampisin untuk kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga
direkomendasikan pada pasien dengan meningitis meningococcal yang alergi beta-laktam.12
Penilaian LCS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya relaps atau
rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B dapat menetap pada sekret nasofaring
walopun setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien harus diberikan Rifampisin
20 mg/kg dosis single selama 4 hari bila anak dengan resiko tinggi tinggal di rumah ataupun
pusat penitipan anak. N.meningitidis dan S.pneumoniae biasanya dapat di eradikasi dari
nasofaring setelah terapi meningitis berhasil.12
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan
anak dengan meningitis bakterial sebagai berikut : 13
· Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-
300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
· Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur
dan resistensi.
Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of bacterial
meningitis adalah sebagai berikut :12
· N meningitidis - 7 hari
· H influenzae - 7 hari
· S pneumoniae - 10-14 hari
· S agalactiae - 14-21 hari
· Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu
· L monocytogenes - 21 hari atau lebih

Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial yang
menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema
serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.13
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae tipe B yang
mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens gejala sisa
neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan pendengaran. Oleh karena
itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason pada kasus meningits oleh
H.influenza tipe B 10 – 20 menit sebelum atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 –
0,6 mg/kg setiap 6 jam selama 2-4 hari.13
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP. Oleh
karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan kasus, resiko dan
manfaatnya.13

Prognosis
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain umur
pasien, jenis mikroorganisme, berat ringannya infeksi, lamanya sakit sebelum mendapat
pengobatan, kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan.10,11
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang
menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC mempunyai
prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun kurang adekuat dapat
menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang
resisten terhadap antibiotik bersifat fatal. 10,11
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat dan
pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan. Walaupun
kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan,
tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae, pneumococcus dan
meningitidis angka kematian dapat diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele
Meningitis bakterialis 9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan
setelah pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan
dengan temuan klinis pada saat itu. 10,11

Pencegahan
Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan sesuai jadwal
merupakan pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat, seperti istirahat yang cukup,
tidak kontak langsung dengan penderita lain juga dapat membantu. Bila hamil, resiko
meningitis oleh bakteri Listeria (listeriosis) dapat dikurangi dengan memasak daging dengan
benar, hindari keju yang terbuat dari susu tanpa pasteurisasi.11
Berikut beberapa vaksin untuk tiga bakteri penyebab meningitis: Neisseria
meningitidis, Streptococcus pneumoniae and Haemophilus influenzae type b (Hib):
Vaksin Meningococcus
Terdapat dua macam vaksin untuk Neisseria meningitidis yang tersedia di America
Serikat. Vaksin Meningococcus polisakarida (Menomune®). Vaksin Meningococcus
conjugate, Menactra® and Menveo®. Vaksin Meningococcus tidak dapat mencegah semua
tipe penyakit, namun dapat memberikan proteksi orang-orang yang dapat sakit jika tidak diberi
vaksin. Vaksin meningococcus conjugate di rekomendasikan rutin untuk orang berusia 11 – 18
tahun dan anak serta dewasa yang mempunyai resiko tinggi.11,13

Vaksin Pneumococcal
Terdapat dua tipe dari vaksin pneumococcus yang tersedia : Vaksin polisakarida dan
konjugasi. Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®), yang diproduksi akhir tahun
2000, merupakan vaksin pertama yang digunakan untuk anak-anak usia kurang dari 2 tahun.
PCV13 (Prevnar 13®), diproduksi awal tahun 2010, menggantikan PCV7. Vaksin
pneumococcus sebagai pencegahan penyakit pada anak-anak usia 2 tahun atau lebih dan
dewasa sudah digunakan sejak tahun 1977. Pneumovax®, 23-valent polysaccharide vaccine
(PPSV) di rekomendasikan untuk dewasa usia 65 tahun atau lebih, untuk usia 2 tahun atau
lebih yang mempunyai resiko tinggi penyakit Pneumococcus (termasuk penyakit sel sabit,
infeksi HIV, atau kondisi imunokompromais, dan untuk usia 19-64 tahun yang merokok dan
mempunyai asma.11,13

Vaksin Hib
Vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) mempunyai efektivitas yang tinggi
melawan meningitis bakterial oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin Hib dapat
mencegah can prevent pneumonia, epiglottitis, dan infeksi serius lainnya yang disebabkan oleh
bakteri Hib. Vaksin ini di rekomendasikan untuk semua anak usia kurang dari 5 tahun di
Amerika Serikat, dan biasa diberikan pada bayi mulai usia 2 bulan. Vaksin Hib dapat
dikombinasikan dengan vaksin lainnya.11,13

Kesimpulan

Daftar Pustaka
1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Dipublikasi 29 Maret 2011 . Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. , Januari 2018
3. Anamnesis: Penyakit Sistem Neurologis. In : Saputra L. Sinopsis Pediatri. Ed 1. Jakarta
: Binapura Aksara Publisher, 2007. H 345
4. Lumbantobing SM. Rangsang Selaput Otak (Iritasi Meningeal). Neurologi Klinik
Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 107 - 8.
5. GogorM, Anne DS, Riwanti E.Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis Bakterialis.CDK-
224.42(1).2015.Diunduh dari
http://www.kalbemed.com/Portals/6/17_191Tinjauan%20Pustakai-
Diagnosis%20dan%20Tatalaksana20%Meningitis%20Bakterialis.pdf
6. Marcdante KJ. Kliegman RM. Jenson HB. Behrman RE. Nelson textbook of
paediatrics. 18th ed. Saunders Elsevier pub; 2007.

7. Dewanto G. panduan praktis diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC;
2009.h.37-8,48-9
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi penatalaksanaan status epileptikus.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016
10. Tureen J. Meningitis. In : Rudolph A, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri
Rudolph. Ed 20. Vol 1. Jakarta : EGC, 2006. H 610 - 4.
11. Meningitis. Center for Disease Control and Prevention. Dipublikasi 6 Agustus 2009.
Diunduh dari http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html, Januari 2018
12. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. Dipublikasikan 11Mei 2011. Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview., Januari 2018
13. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid
1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
14.

Anda mungkin juga menyukai