Bronkopneumonia
Bronkopneumonia
BRONKOPNEUMONIA
Oleh:
Gerry Armando, S.Ked 04054821719144
Jovina Johny, S.Ked 04054821719145
Pembimbing:
dr. K. Yangtjik, Sp.A(K)
i
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Topik
BRONKOPNEUMONIA
Oleh
Gerry Armando, S.Ked 04054821719144
Jovina Johny, S.Ked 04054821719145
Pembimbing
dr. K. Yangtjik, Sp.A(K)
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Univesitas
Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 24 Juli 2017 – 2 Oktober 2017.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstitial. Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta perjalanan
penyakitnya. World Health Organization (WHO) mendefinisikan pneumonia hanya
berdasarkan penemuan klinis pada inspeksi dan frekuensi pernapasan.1 Gejala penyakit
pneumonia adalah batuk dan/atau sukar bernafas, dengan atau tanpa demam, adanya nafas
cepat atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, adanya retraksi pada saat inspirasi,
dan terkadang disertai wheezing. Populasi yang rentan adalah anak usia kurang dari 2 tahun,
usia lanjut lebih dari 65 tahun, dan orang yang memiliki masalah kesehatan, seperti malnutrisi
dan gangguan imunologi.2
Pneumonia dapat disebabkan oleh agen infeksius yang bermacam-macam, termasuk
virus, bakteri dan fungi. Penyebab paling sering adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae tipe B (Hib), respiratory syncytial virus (RSV), dan pada pasien HIV
pneumocystis jiroveci. S. Pneumoniae merupakan penyebab tersering pneumonia bakterial
pada semua kelompok umur, sedangkan virus lebih sering ditemukan pada anak kurang dari
5 tahun. RSV merupakan virus penyebab tersering pada anak kurang dari 3 tahun.1,3
Pneumonia dapat ditularkan melalui kontaminasi droplet di udara atau infeksi blood-borne.
Anak-anak rentan terkena penyakit ini terutama pada anak dengan sistem imun yang
compromised dan anak dengan kurang gizi. Lingkungan juga mempengaruhi seperti padatnya
rumah dan paparan terhadap polusi udara atau rokok.3
Pneumonia, “the forgotten killer of children”, membunuh hampir 1 dari 5 anak di dunia,
dan menempati 19% dari semua kematian anak dengan umur di bawah 5 tahun. Kematian
akibat pneumonia pada anak (2 juta) melebihi kombinasi angka kematian akibat AIDS
(300.000), malaria (800.000), dan campak, sedangkan pneumonia mendapatkan perhatian dan
dana yang kurang dibandingkan penyakit tersebut sehingga pneumonia disebut sebagai “a
forgotten pandemic”.4 Insiden pneumonia anak <5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100
anak/tahun, sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia
menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang.1
Insiden pneumonia di negara berkembang mencapai 10 kali lebih tinggi, dengan kematian
pneumonia anak 2.000 kali lebih tinggi pada negara berkembang dibandingkan negara maju.5
Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan tingkat kematian balita akibat pneumonia
4
tertinggi, dengan angka kematian 147 ribu balita pada tahun 2015. Setiap satu jam terdapat 2-
3 balita yang meninggal akibat pneumonia.6
Kompetensi dokter umum untuk kasus bronkopneumonia adalah tingkat kemampuan
4A, yaitu lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Pemahaman mengenai kasus bronkopneumonia
sangat dibutuhkan untuk mengenali gejala dan tanda awal, serta memberikan tatalaksana yang
tepat dan mencegah komplikasi akibat keterlambatan penatalaksanaan bronkopneumonia
5
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : An. MRA
b. Umur : 2 tahun 2 bulan
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Nama Ayah : M Darwis
e. Nama Ibu : Kamilia
f. Bangsa : Indonesia
g. Alamat : Terusan Muara, Banyuasin
h. Dikirim Oleh : IGD
i. MRS Tanggal : 10-08-2017
j. No. Rekam Medis : 1019062
II. ANAMNESIS
Tanggal : 11-08-2016 pukul 09.00 WIB
Diberikan Oleh : Ibu pasien
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Sesak nafas
Keluhan Tambahan : Batuk berdahak
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Kisaran 3 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh batuk dan pilek.
Batuk tidak berdahak disertai sekret dari hidung (+) berwarna putih. Penderita belum
mengeluh sesak nafas. Keluhan disertai demam (+) tidak terlalu tinggi, BAB cair (+) tidak
disertai lendir dan darah, dan muntah (+). Penderita masih mau makan dan minum.
Penderita berobat ke bidan dan diberikan sirup parasetamol dan sirup untuk diare yang
diminum 3 kali sehari. Keluhan BAB cair berkurang.
Kisaran 1 hari yang lalu, penderita mengeluh batuk berdahak disertai pilek. Sesak
(-), batuk (+) berdahak, dahak berwarna kuning kehijauan, dahak tidak disertai darah,
demam (+) tidak terlalu tinggi, BAB cair (-), muntah (-). Pasien tidak dibawa berobat.
Kisaran 12 jam sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh tiba-tiba sesak
nafas saat bangun tidur. Sesak tidak dipengaruhi posisi dan cuaca, tidak berkurang saat
istirahat. Demam (+) tidak terlalu tinggi, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK normal.
6
Penderita dibawa ke puskesmas, kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
c. Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar
Umur Umur Umur
BCG 1 bulan DPT 2 3 bulan DPT 3 4 bulan
DPT 1 2 bulan Hepatitis B 2 3 bulan Hepatitis B 3 4 bulan
Hepatitis B 1 2 bulan Hib 2 3 bulan Hib 3 4 bulan
Hib 1 2 bulan Polio 2 2 bulan Polio 3 3 bulan
Polio 1 1 bulan Polio 4 4 bulan
Campak 9 bulan
Kesan: Imunisasi Dasar Lengkap
d. Riwayat Keluarga
Keluhan sesak nafas dalam keluarga (+) pada kakek
Ayah merupakan perokok aktif (1 bungkus 3 hari)
e. Riwayat Sosioekonomi
7
Penderita merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara. Pendidikan terakhir ibu dan ayah
penderita adalah SD. Ayah penderita bekerja sebagai petani dengan penghasilan Rp
1.000.000,- dan ibu penderita merupakan ibu rumah tangga.
8
P: Tidak dilakukan
A:Vesikuler mengeras, ronkhi (+) basah halus nyaring,
wheezing (-)
Cor:
I: Tidak tampak iktus cordis
P: Iktus cordis tidak teraba
P: Tidak dilakukan
A: BJ I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen : I: Datar, simetris
P: Dinding abdomen lemas, hepar dan lien tidak teraba,
turgor kulit baik
P: Timpani
A: Bising usus (+) normal, 3x/menit
Alat Kelamin : O , Fimosis (-), Eritema (-)
9
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan darah rutin dan imunoserologi sebagai petanda
infeksi, dengan hasil yaitu:
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin (Hb) 11,3 g/dL 11,1-14,4 g/dL
Eritrosit (RBC) 4,77 x 106/mm3 3,71-4,25 x 106/mm3
Leukosit (WBC) 15,5 x 103/mm3 4,5-13,5 x 103/mm3
Hematokrit 35% 35-41%
Trombosit (PLT) 360 x 103/ μL 271-497 x 103/ μL
Hitung Jenis Leukosit 0/0/82/13/5 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8
LED 59 mm/jam <15 mm/jam
CRP kualitatif 16 mg/L Negatif
VI. RESUME
M Rafa, laki-laki umur 2 tahun 2 bulan, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas
dan batuk berdahak. Sesak nafas tidak berkurang saat istirahat. Kisaran 3 hari sebelum
masuk rumah sakit, penderita mengeluh batuk pilek, disertai demam (+) tidak terlalu tinggi.
Keluhan disertai BAB cair dan muntah. Pasien berobat ke bidan dan diberi sirup parasetamol
dan sirup untuk diare. Keluhan BAB cair berkurang. Kisaran 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, penderita mengeluh batuk berdahak dan pilek. Dahak berwarna hijau kekuningan,
sesak (-), demam (+) tidak terlalu tinggi. Kisaran 12 jam sebelum masuk rumah sakit,
penderita mengalami sesak nafas saat bangun tidur. Penderita berobat ke puskesmas
kemudian di rujuk ke RSMH pada tanggal 10/08/2017.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang. Anak tampak sesak,
nafas cuping hidung (+), retraksi intercostal (+), dan retraksi subcostal (+). Pasien menderita
demam subfebris 37,8oC. Pasien juga mengalami batuk berdahak, dahak berwarna kuning
kehijauan dan tidak disertai darah. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan suara vesikuler
mengeras dan ronkhi basah halus nyaring pada kedua lapangan paru.
10
VIII. DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkopneumonia
2. Bronkitis akut
3. Asma
X. TATALAKSANA
a. Pemeriksaan Anjuran
Foto thoraks AP/Lateral
Pemeriksaan mikrobiologi dari sputum dan swab nasopharyngeal
Analisis gas darah
b. Non-farmakologis
O2 nasal kanul 1 liter/menit
IVFD D5 ¼ NS gtt X/menit kebutuhan 1000 cc/24 jam
c. Farmakologis
1. Inj Ampisilin 250 mg IV tiap 8 jam
2. Inj Gentamisin 25 mg IV tiap 12 jam
3. Paracetamol syrup 125 mg bila demam (T>38,5˚C)
4. Nebulisasi ventolin + NaCl 2,5 cc tiap 4 jam
d. Diet
Diet 1000 kkal/hari (3 kali makanan biasa ditambah 2 kali snack)
e. Edukasi
1. Bila anak bertambah sesak (RR > 50x/menit) maka sementara anak dipuasakan
terlebih dahulu dan dipasang NGT
2. Bila anak demam, berikan obat penurun panas
3. Edukasi orang tua untuk berhenti merokok atau tidak merokok di sekitar anaknya
4. Edukasi untuk memberikan imunisasi lanjutan
XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : ad dubia
11
XII. FOLLOW UP
A: Bronkopneumonia
12
Cor: Bunyi jantung I & II normal, murmur (-),
gallop (-)
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
14
Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan.
16
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot
polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara
kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
3.5.2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan pada
perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu
selama 48 jam.
3.5.3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
3.5.4. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.
17
prevalensi tinggi pada golongan bayi (39%) dan balita (42%). ISPA merupakan penyebab
utama kematian pada bayi dan balita dengan CFR masingmasing (27,6%), dan (22,8%).
14
Angka kematian bayi dan balita menjadi indikator derajat kesehatan masyarakat.
Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan Surkesnas (Survei Kesehatan Nasional) 2001
masih sangat tinggi yaitu 38,7% pada umur dibawah 1 tahun dan 42,2% umur 1-4 tahun.
Cause Specific Death Rate (CSDR) pneumonia pada anak umur <1 tahun laki-laki 940
per 100.000 penduduk dan perempuan 652 per 100.000 penduduk, pada anak umur 1-4
tahun laki-laki 44 per 100.000 penduduk dan perempuan 40 per 100.000 penduduk.
Proporsi kematian balita akibat ISPA 28% artinya dari 100 balita yang meninggal 28
disebabkan oleh penyakit ISPA.15
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA tinggi pada perempuan
(24%) daripada laki-laki (23%).16 Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di Kelurahan
Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain
Cross Sectional, berdasarkan jenis kelamin IR ISPA balita pada laki-laki (43,3%) lebih
tinggi daripada perempuan (33,7%).17 Menurut hasil penelitian Barus (2005) di tiga
Kelurahan Kecamatan Medan Baru dengan menggunakan desain Cross Sectional,
diketahui bahwa kelompok umur >19 tahun merupakan anggota rumah tangga terbanyak
yaitu 568 jiwa (66,7%), demikian juga kasus ISPA terbanyak pada kelompok umur ini,
yaitu 280 kasus (65,6%). Namun bila dihitung angka Age Specific Morbidity Rate
tertinggi adalah pada kelompok ≤5 tahun (79,4%).18
b. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Tempat dan Waktu
Berdasarkan hasil Surkesnas 2001 proporsi kematian karena penyakit sistem
pernapasan pada bayi sebesar 23,9% di Jawa Bali, 15,8% di Sumatera, dan 42,6% di
Kawasan Timur Indonesia. Pada balita sebesar 16,7% di Jawa Bali, 29,4% di sumatera,
dan 30,3% di Kawasan Timur Indonesia.19 Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005,
prevalensi ISPA di pedesaan (25%) lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (22%).
Prevalensi ISPA untuk kawasan Sumatera 20%, sementara untuk kawasan Jawa-Bali
adalah 23% dan kawasan KTI (Kalimantan, Sulawesi, dan NTB/NTT/Papua) 29%.14
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, pneumonia yang terjadi pada balita berdasarkan
laporan 26 provinsi, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi berturut-turut adalah provinsi
Nusa Tenggara Barat 56,50%, Jawa Barat 42,50% dan Kepulauan Bangka Belitung
21,71%. Sedangkan cakupan terendah adalah provinsi DI Yogyakarta 1,81%, Kepulauan
Riau 2,08%, dan NAD 4,56%. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2004 prevalensi
ISPA (97,9 %) dan di kota Makasar (29,47%).15
18
3.6.2. Determinan Bronkopneumonia
a. Faktor Host
a.1. Umur
ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara sedang
berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak
berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian tersebut
adalah bayi (khususnya bayi muda). Hampir seluruh kematian karena ISPA pada bayi
dan balita disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA), paling
sering adalah pneumonia.20 Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang
kelompok usia bayi dan balita. Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko
kematian pada bayi dan balita yang sedang menderita pneumonia.21 Menurut hasil
penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh
Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA balita pada kelompok
umur 0-11 bulan (59,1%) lebih tinggi daripada kelompok umur 12-59 bulan
(33,7%).17
a.2. Jenis kelamin
Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit dapat terjadi pada
laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin merupakan determinan
perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau dalam
faktor risiko suatu penyakit.22 Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya
dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis
kelamin berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita
(p=0,001) dan diperoleh nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang
mengalami pneumonia kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan
dibandingkan laki-laki.23
a.3. Status gizi
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi
adalah kelompok bayi dan balita.24 Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap
pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi
kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan
aktivitasnya.25 Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri
dengan melihat kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur
(TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB).26
19
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara gizi
buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak
dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh balita terhadap
infeksi.25
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan
balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit
infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan
kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat”
bahkan serangannya lebih lama.25 Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di
Tasikmalaya dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik
menunjukkan status gizi berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia
pada balita (p=0,013) dan diperoleh nilai OR=6,041 (CI 95%=1,067-22,713), maka
balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 6,04 kali lebih besar mempunyai
riwayat gizi kurang dibandingkan gizi baik atau sedang. Status gizi berhubungan
dengan daya tahan tubuh, makin baik status gizi makin baik daya tahan tubuh,
sehingga memperkecil risiko pneumonia.23
a.4. Status imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat dicegah
dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap merupakan
faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama pneumonia.27 Bayi
dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat kekebalan alami
terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA
berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan cakupan imunisasi akan
berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang
meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang
mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.25
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status imunisasi
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,009), dan
20
diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 1,76 kali lebih besar mempunyai status imunisasi yang tidak
lengkap dibandingkan yang lengkap.23
b. Faktor Agent
Bronkopneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti Diplococus
pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus
influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), Mycobacterium tuberculosis.
Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, Virus sitomegalik. Jamur
seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides,
Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, Mycoplasma pneumonia.12 Pada
zaman sebelum ditemukan antibiotik, pneumokokus merupakan penyebab pneumonia
paling sering (95-98%) dari semua pneumonia yang dirawat di rumah sakit, dan
menyebabkan kematian pada 60% penderita pneumonia dengan bakteriemia dan pada
20% penderita pneumonia non bakteriemia. Kini, hanya 62% pneumonia disebabkan
oleh kuman pneumokokus dan menyebabkan kematian hanya pada 32% penderita
pneumonia dengan bakteriemia dan 6% menderita pneumonia non bakteriemia. Dahulu
kuman gram negatif jarang menyebabkan pneumonia dan menyebabkan angka kematian
97%, tapi sekarang gram negatif menyebabkan pneumonia 20% dari seluruh penderita
pneumonia, menggantikan stafilokokus sebagai penyebab kedua yang paling sering.
Pneumonia sebab gram negatif tetap mempunyai angka kematian yang tinggi 79%.29
c. Faktor Lingkungan Sosial
c.1. Pekerjaan Orang Tua
Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama
maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit
menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan, dan gizi balita
yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh
berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.24
Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan OR=1,280 (CI 95%=0,686-
3,193), dapat dikatakan bahwa bayi yang mengalami pneumonia kemungkinan 1,3
kali lebih besar pada bayi yang memiliki keluarga yang berpenghasilan kurang
(dibawah Upah Minimal Propinsi <Rp. 510.000,00) dibandingkan bayi yang memiliki
keluarga yang berpenghasilan cukup (Rp. 510.000,00).
21
c.2. Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor risiko yang
dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat pendidikan
ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak yang
menderita ISPA. Menurut hasil penelitian Notosiswoyo, dkk (2001) di Indramayu
dengan menggunakan rancangan penelitian survei cepat (Rapid Assement Survey),
pendidikan akhir ibu berhubungan bermakna dengan pengetahuan tentang ISPA
(p<0,05). Dilihat dari pengetahuan ibu bayi/anak balita masih terdapat : tidak
mengetahui istilah ISPA (70%), tidak tahu istilah pneumonia (76,2%), tidak tahu
adanya hubungan antara penyakit ISPA dan pneumonia (75,0%), tidak tahu penyebab
penyakit ISPA (72,6%), tidak tahu cara mencegah penyakit ISPA (56,5%).30
22
c.3. Pola Asuhan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Jumlah Anak
Orang tua yang menerapkan pola asuh secara tepat artinya pola asuh yang
diterapkan orang tua bersifat dinamis, sesuai, konsisten, penerapan pola asuh yang
kompak antara kedua orang tua, serta adanya contoh perilaku yang positif dari kedua
orang tua. Pola asuh yang dinamis artinya pola asuh yang diterapkan sejalan dengan
usia balita misalkan pemberian jenis makanan pada anak yang berumur 1 tahun tentu
berbeda dengan jenis makanan anak yang berumur 5 tahun, pola asuh bersifat sesuai
artinya orang tua menerapkan pola asuh sesuai dengan kondisi balita itu sendiri karena
pola asuh pada balita yang memiliki ganaguan kesehatan tentu berbeda dengan pola
asuh pada balita normal. Pola asuh yang baik yaitu pola asuh yang bersifat konsisten
dalam penerapan pola asuh cenderung bersifat tetap sebagai contoh balita boleh
bermain asal ditempat yang bersih dan saat tiba waktu makan balita harus berhenti
bermain dulu unuk makan, berbagi dan berkasih sayang dengan saudara dan anggota
keluarga yang lain, lama kelamaan balita akan terbiasa dengan hal tersebut dan pada
akhirnya balita akan mengerti hal mana yang boleh atau baik dan hal mana yang tidak
boleh atau tidak baik. Pada orang tua yang melakukan pola asuh tidak tepat, artinya
pola asuh yang diterapkan orang tua bersifat terlalu over protektif dimana balita tidak
diberi kepercayaan sama sekali seperti tidak memperbolehkan bermain diluar rumah
dan harus didalam rumah terus membuat anak stres sehingga dapat membuatnya sakit,
dan pola asuh yang diterapkan terlalu bebas artinya disini orang tua memperbolehkan
segala sesuatu tanpa menuntut seperti saat si balita tidak mau makan dibiarkan saja
padahal balita tersebut perlu nutrisi yang kuat untuk meningkatkan kualitas gizinya
sehingga pada akhirnya status gizi si balita semakin buruk dan orang tua tidak
memperdulikan lingkungan sekitar yang mungkin kurang baik bagi kesehatan
sehingga membuatnya mudah terserang penyakit.31
Adapun faktor lain adalah ekonomi keluarga yang tidak yang terlihat pada
pendapatan keluarga yang kurang dan ditambah lagi faktor jumlah anak.Bagi orang
tua yang memiliki anak tunggal, secara ekonomis menguntungkan. Orang tua tidak
perlu bersusah payah mencari penghasilan yang besar karena tanggung jawab untuk
memberi atau memenuhi kebutuhan fisik anaknya relatif tidak besar. Berlainan bila
mempunyai banyak anak, di mana tiap anak memunyai kebutuhan-kebutuhan sendiri
yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya seperti kebutuhan akan kesehatan,
kebutuhan perumahan atau tempat tinggal yang lebih luas, dan kebutuhan lainnya.31
23
d. Faktor Lingkungan Fisik
d.1. Polusi Udara Dalam Ruangan/Rumah
Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat mendukung
terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya adalah infeksi
saluran nafas.31 Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang dan dapur
terletak di dalam rumah bersatu dengan kamar tidur dan ruang tempat bayi dan balita
bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan balita lebih lama berada di
rumah bersama-sama ibunya sehingga lebih sering terhirup udara yang pencemaran
tentunya akan lebih tinggi.25 Rumah kecil yang tidak memiliki sirkulasi udara
memadai yang penuh asap yang berasal dari asap anti nyamuk bakar, asap rokok, dan
asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak akan mendukung penyebaran
virus atau bakteri, dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan
paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.37
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan asap anti nyamuk bakar
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,003) dan
diperoleh nilai OR=2,310 (CI 95%=1,379-3,870), maka balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 2,31 kali lebih besar tidur di kamar yang memakai anti
nyamuk bakar dibandingkan yang tidak memakai anti nyamuk bakar.23
Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan polusi asap
rokok berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada anak umur <1
tahun (p=0,039) dan diperoleh nilai OR=2,348 (CI 95%=1,045-5,277), maka anak
umur <1 tahun yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,35 kali lebih besar tinggal
di dalam rumah dengan ada anggota keluarga merokok dibandingkan yang tidak ada
anggota keluarga merokok.
Menurut penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan
Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA
pada balita meningkat dengan bertambahnya jumlah rata-rata rokok yang dihisap
dalam ruang rumah perhari yaitu 1-9 batang rokok perhari (38,3%), 10-20 batang
perhari (47,2%), >20 perhari (55,6%).17
d.2. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, dua orang minimal
24
menempati luas kamar tidur 8m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah
penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.25 Di daerah perkotaan, kepadatan
merupakan salah satu masalah yang dialami penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh
pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah
satu kaitan kepadatan hunian dan kesehatan adalah karena rumah yang sempit dan
banyak penghuninya, maka penghuni mudah terserang penyakit dan orang yang sakit
dapat menularkan penyakit pada anggota keluarga lainnya.32
25
3.8. Klasifikasi ISPA Pada Balita dengan Gejala Batuk dan atau Kesukaran Bernafas
Berdasarkan Pola Tatalaksana Pemeriksaan, Penentuan Ada Tidaknya Tanda Bahaya,
Penentuan Klasifikasi Penyakit, Pengobatan dan Tindakan.19
3.8.1. Klasifikasikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur <2 bulan
a. Bronkopneumonia berat, adanya nafas cepat (fast breathing) yaitu frekuensi pernafasan
sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada
bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
b. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
3.8.2. Klasifikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur 2 bulan – <5 tahun
a. Bronkopneumonia sangat berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai nafas
sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).
b. Bronkopneumonia berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai adanya nafas
cepat sesuai umur. Batas nafas cepat ( fast breathing) pada anak umur 2 bulan - <1
tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak umur 1 - <5 tahun adalah 40
kali atau lebih permenit.
c. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
26
3.9.2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang telah
sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan
mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya
komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :20
a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik
benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap hari.
b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.
3.9.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan
rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :20
a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses
pemberian makan.
c. Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
d. Tingkatkan pemberian ASI.
e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.
f. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit, pernapasan
menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika terdapat tanda-
tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.
3.10. Komplikasi
Pemberian Antibiotik
Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun -karena
efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan pneumonia pada anak,
ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor,
eritromisin, claritromisin, dan azitromisin
M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik golongan
makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak >5 tahun
Makrolid diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia dicurigai sebagai penyebab
Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae sangat mungkin
sebagai penyebab.
Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi
flucloxacillin dengan amoksisilin
Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat
per oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat
Antibiotik intravena yang danjurkan adalah: ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav,
ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime
Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah
mendapat antibiotik intravena
Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan antibiotik golongan
yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.
Nutrisi
Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus dihindari.
Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus
diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak
dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan
ukuran yang terkecil.
Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik.
TABEL. Dosis Amoxicillin Untuk Anak Usia 2–59 Bulan Dengan Pneumonia (WHO
2012)
Kategori DOSIS AMOXICILLIN
USIA/BERAT BADAN
Pneumonia DISPERSIBLE TABLETS (250 mg)
Pneumonia 2 - 12 bulan (4–<10 kg) 1 tab dua kali per hari x 5 hari (10 tab)
dengan 12 bulan - 5 tahun (10–19 kg) 2 tabs dua kali per hari x 5 hari (20 tab)
takipneu
Pneumonia 2 - 12 bulan (4–<10 kg) 1 tab dua kali per hari x 5 hari (10 tab)
dengan 12 bulan - 3 tahun (10–<14 kg) 2 tabs dua kali per hari x 5 hari (20 tab)
retraksi 3 - 5 tahun (14–19 kg) 3 tabs dua kali per hari x 5 hari (30 tab)
dinding dada
dan takipneu
29
30
BAB IV
ANALISIS KASUS
M Rafa, seorang anak laki-laki usia 2 tahun 2 bulan masuk rumah sakit melalui IGD pada
tanggal 10 Agustus 2017 dengan keluhan utama sesak nafas yang terjadi secara tiba-tiba sejak
12 jam sebelum masuk rumah sakit. Penderita juga mengalami demam subfebris (37,8˚C).
Penderita sempat berobat ke bidan karena keluhan batuk tidak berdahak dan pilek disertai
demam tidak terlalu tinggi kisaran 3 hari sebelumnya. Keluhan disertai BAB cair dan muntah.
Penderita diberikan sirup untuk diare dan penurunan panas. Kisaran 1 hari sebelum masuk
rumah sakit penderita mengalami batuk berdahak dengan dahak berwarna kuning kehijauan,
keluhan disertai demam tidak terlalu tinggi. Riwayat menderita keluhan sesak disertai demam
ada pada saat berusia 7 bulan. Keluarga penderita memiliki riwayat sesak pada kakeknya.
Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan bronkopneumonia karena pada pasien ini
didapatkan gambaran klinis infeksi dan gangguan respiratori. Gambaran klinis infeksi berupa
demam subfebris, diare, muntah, dan batuk berdahak. Gangguan respiratori dapat dilihat dari
frekuensi pernafasannya yang meningkat dan adanya sesak disertai peningkatan usaha nafas,
seperti nafas cuping hidung, retraksi subkostal dan interkostal. Pemeriksaan fisik auskultasi
pada pasien ini ditemukan adanya suara vesikuler mengeras dan ronkhi basah halus nyaring di
seluruh lapangan paru.
Diagnosis kasus bronkopneumonia dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis, didapatkan keluhan infeksi saluran pernafasan atas disertai demam dan
adanya gangguan pencernaan sebelumnya yang terjadi secara akut. Pemeriksaan fisik yaitu
ditemukannya pernafasan cepat dan peningkatan usaha nafas, disertai adanya suara ronkhi
basah halus nyaring. Pemeriksaan penunjang pada darah rutin ditemukannya peningkatan
leukosit, laju endap darah, neutrofil, dan CRP yang menunjukkan adanya infeksi yang
kemungkinan disebabkan oleh bakteri.
Penatalaksanaan pasien ini antara lain terapi oksigen, pemberian cairan sesuai kebutuhan,
pemberian antipiretik bila T>38,5˚C (parasetamol syrup 125 mg tiap 6-8 jam) dan pemberian
antibiotik berupa ampisilin 250 mg tiap 8 jam dan gentamisin 25 mg tiap 12 jam. Antibiotik
dapat diberikan 5-7 hari apabila keadaan pasien memungkinkan untuk rawat jalan. Antibiotik
dapat juga diberikan sampai 72 jam afebris, tetapi tidak kurang dari 10 hari pemberian.
Pemberian bronkodilator berupa ventolin tiap 4 jam bertujuan untuk memperbaiki mucocilliary
clearance dan mengurangi sesak.
1
Pasien disarankan untuk diet seperti biasanya (1000 kkal/hari) secara per oral. Apabila
anak sesak (RR> 50x/menit) dapat diberikan nutrisi melalui NGT untuk sementara waktu.
Edukasi orang tua untuk berhenti merokok atau tidak merokok di sekitar anaknya, dan juga
menyarankan untuk memberikan imunisasi lanjutan. Prognosis pada penyakit
bronkopneumonia adalah sembuh total, tetapi apabila disertai dengan riwayat asma maka
kemungkinan penyakit ini dapat terjadi secara berulang.
2
DAFTAR PUSTAKA
1. Antonius H. Pudjiadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, dkk. 2009. Pedoman Pelayanan
Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia 2015.
(http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-
kesehatan-Indonesia-2015.pdf, diakses pada 18 April 2017)
3. World Health Organization. 2016. “Pneumonia”. (http://www.who.int/mediacentre/
factsheets/fs331/en/, diakses pada 18 April 2017)
4. UNICEF/WHO. 2006. Pneumonia: The forgotten killer of children.
(http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/43640/1/9280640489_eng.pdf, diakses pada 18 April
2017)
5. Kliegman, Robert M. 2016. Nelson Textbook of Pediatrics, 20th Edition. Philadelphia:
Elsevier
6. CNN. 2016. “Pneumonia, Si Perenggut Nyawa Balita di Indonesia”.
(http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20161122113819-255-174345/pneumonia-si-
perenggut-nyawa-balita-di-indonesia/, diakses pada 18 April 2017)
7. Rab, Tabrani. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates.
8. Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
9. Robins, Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi II. Jakarta: EGC.
10. Thomson, A.D., Cotton, R.E. Catatan Kuliah Patologi. Jakarta: EGC.
11. Hidayat, A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
12. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press.
13. Marbun, Diessy N.R. 2009. Karakteristik Penderita Pneumonia Pada Balita Rawat Inap di
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan Tahun 2004-2007. Skripsi FKM.
14. Depkes R.I. 2005. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2005. Jakarta.
15. Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, 2005, Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2004.
16. Nugroho, S.H.P, 2009, Hubungan Antara Status Gizi Balita Dengan Kejadian Ispa Di Desa
Wonoboyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoboyo Kabupaten Temanggung, Skripsi
Universitas Muhammadiyah Semarang. http://digilib.unimus.ac.id (diakses
pada 20 Agustus 2017)
3
17. Taisir, 2005, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di
Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan Tahun 2005, Skripsi
FKM USU.
18. Barus, Nerseri, 2005, Prevalensi Pola Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Tiga
Kelurahan Kecamatan Medan Baru, Kota Meadn, Tahun 2005. Info Kesehatan
Masyarakat, Volume XI, Nomor 1.
19. Depkes R.I., 2005, Rencana Keraja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan
Pneumonia Balita Tahun 2005-2009, Depkes R.I., Jakarta.
20. WHO, 2002, Penanganan ISPA Pada Anak Di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang,
EGC, Jakarta.
21. Nursalam, dkk, 2002, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Salemba Medika, Jakarta.
22. C.Timmreck, Thomas, 2005, Epidemiologi Suatu Pengantar, EGC, Jakarta.
23. Widodo, Nur, 2007, Lingkungan Fisik Kamar Tidur dan Pneumonia Pada Anak Balita di
Puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Volume 2,
Nomor 2.
24. Notoatmodjo, S, 2007, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Rineka Cipta, Jakarta.
25. Irfan, Mohammad, 2004, Karakteristik Penderita Pneumonia Balita Rawat Inap di Rumah
Sakit Umum H. Adam Malik Medan Tahun 1998-2002, Skripsi FKM.
26. Supariasa, I.D.N., dkk, 2002, Penilaian Status Gizi, EGC, Jakarta.
27. Depkes R.I., 2002, Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Depkes R.I., Jakarta.
28. Hatta, Muhammad, 2001, Hubungan Imunisasi Campak dengan Kejadian Pneumonia pada
Balita di Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan Tahun 2000, Badan
Litbang Kesehatan, Jakarta. http://www.litbang.depkes.go.id (diakses pada 20
Agustus 2017)
29. Soeparman,dkk, 2005, Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
30. Notosiswoyo, Mulyono, dkk, 2001, Pengetahuan, Sikap dan Prilaku Ibu Bayi/Anak Balita
Serta Persepsi Masyarakat Dalam Kaitannya Dengan Penyakit ISPA dan Pneumonia,
Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 31, No.2.
31. Gunarsa, Singgih D, 2008, Psikologi Perkembangan Anak Remaja, BPK Gunung Mulia,
Jakarta.
32. Surjadi, C, dkk, 2006, Kepadatan Pemukiman dan Kesehatan, Majalah Kesehatan dan
Perkotaan, Tahun III, No.1
33. Nursalam, dkk, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Salemba Medika, Jakarta.