Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

PERITONITIS GENERALISATA

A. Definisi

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya

akan vaskularisasi dan aliran limpa. Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada

membran serosa yang melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnya.

Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnya melalui

perforasi usus seperti ruptur appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis

merupakan lingkungan yang steril.Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang

iritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung

empeduatau laserasi hepar. Pada wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada

rongga pelvis dari infeksi tuba fallopi atau rupturnya kista ovari.

Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal. Pada saat ini

penanganan peritonitis dan abses peritoneal melingkupi pendekatan multimodal yang

berhubungan juga dengan perbaikan pada faktor penyebab, administrasi antibiotik, dan terapi

suportif untuk mencegah komplikasi sekunder dikarenakan kegagalan sistem organ.

B. Etiologi
1) Infeksi bakteri

a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal

b. Appendisitis yang meradang dan perforasi

c. Tukak peptik (lambung / dudenum)

d. Tukak thypoid

1
e. Tukan disentri amuba / colitis

f. Tukak pada tumor

g. Salpingitis

h. Divertikulitis

Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik,

stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.

2) Faktor ekstrinsik (dari luar)

a. Operasi yang tidak steril

b. Trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa, ruptur hati

C. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat

fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang

menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.

Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-

pita fibrosa, yang akan dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan

akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak

dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan

berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,

sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena

tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,

produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi

ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.


Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami

oedem.Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut

meninggi.Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta

oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan

retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan

suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan

lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan

penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.


Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila

infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.Dengan perkembangan peritonitis umum,

aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni

dan meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi,

syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung

usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan

obstruksi usus.Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus

karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus

sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu

obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau

parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi

iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus

dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan

kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar.

Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan
mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi

ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum

pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang

disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans

muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.Perforasi tukak peptik khas

ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh

peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan

menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan

hebat seperti ditikam di perut.Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah

epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim

pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal

perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya

nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam

yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi

peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami

bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks

mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,

dan obstruksi vena sehingga oedem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi

infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun

general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat

mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra

peritonial.Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,

mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.Rangsangan

kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas,

misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan

terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak

terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru

setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.

D. Klasifikasi

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Peritonitis bakterial primer

Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum

peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat

monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial

primer dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Spesifik : misalnya Tuberculosis

2. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan

intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok resiko tinggi adalah pasien


dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis

hepatis dengan asites.

b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal atau

tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis

yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi

ini.Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh

bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu

peritonitis. Kuman dapat berasal dari:

- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam

cavum peritoneal.

- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan

oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.

- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya

appendisitis.

c. Peritonitis tersier, misalnya:

- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur


- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.

Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu,

getah lambung, getah pankreas, dan urine.

d. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:

- Aseptik/steril peritonitis

- Granulomatous peritonitis

- Hiperlipidemik peritonitis

- Talkum peritonitis

E. Tanda dan Gejala


Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau

pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.

Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai

sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita

secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena

iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan

nyeri akibat pelvic inflammatoru disease.Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif

palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan

steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya

trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita

dengan paraplegia dan penderita geriatrik.

F. Manifestasi Klinis
Diagnosis peritonitis biasanya didapatkan secara klinis. Umumnya semuapasien

hadir dengan keluhan berbagai derajat nyeri abdomen. Nyerinya dapat akut maupun kronis.

Umumnya nyerinya dalam bentuk nyeri tumpul dengan tidak terlokalisasi dengan baik

(peritoneum visceral) yang kemudian berkembang menetap, makin parah dan makin

terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika proses infeksi tidak terbendung, nyeri akan menjadi

difus. Pada beberapa penyakit penyebab (seperti perforasi gaster, pakreatitis akut yang berat,

iskemi intestin) nyeri abdomen dapat tergeneralisasi dari awal.


Anoreksia dan nausea sering muncul dan dapat mendahului perkembangan nyeri abdomen.

Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara

sekunder akibat iritasi peritoneal.


Pada pemeriksan fisik, pasien dengan peritonitis sering tampak tidak sehat dan pada

keadaan berbahaya. Demam dengan temperatur melebihi 38°C dapat ditemukan, tapi pasien

dengan sepsis berat dapat ditemukan dalam keadaan hipotermia. Takikardi muncul akibat

mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit, demam serta

hilangnya sepertiga ruang peritoneal. Dengan dehidrasi yang progresif, pasien akan menjadi

hipotensi, yang menunjukan penurunan output urin dan dengan peritonitis berat.
Pada pemeriksaan abdomen, pada dasarnyasemua pasien menunjukan adanya tenderness

pada palpasi, (pada saat pemeriksaan pasien dengan suspect peritonitis sebaiknya pasien

sebaiknya berbaring dengan posisi lutut lebih tinggi agar pasien dapat lebih relaksasi pada

dinding abdomennya). Pada banyak pasien (baik pada peritonitis dan nyeri abdomen difus

yang berat) titik tenderness maksimal atau atau referred rebound tenderness terletak pada

tempat proses patologis.


Pada banyak pasien menunjukan adanya peningkatan rigiditas dinding abdomen.

Peningkatan tonus otot dinding abdomen dapat secara volunter akibat respon atau antisipasi

pada pemeriksaan abdomen atau secara involunter karena iritasi peritoneal. Pasien dengan
peritonitis berat sering menghindari banyak gerak dan memfleksikan pinggulnya untuk

mengurangi tekanan dinding abdomen. Abdomen terkadang distensi, dengan suara usus

hipoaktif hingga tidak terdengar.Pemeriksaan rektal kerap mengakibatkan nyeri abdomen.

Massa peradangan lunak yang terletak pada anterion kanan mungkin mengindikasikan

appendisitis dan anterio fullness dan fluktuasi dapat mengindikasikan sebuah abses cul de

sac.
Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual dan vaginal dapat mengarahkan pada differential

diagnosis penyakit inflamasi pelvis (seperti endometritis, salfingo-oovoritis, abses tuba

ovarii). Tapi temuannya kerap sulit untuk diinterpretasikan sebagai peritonitis berat.
Pada saat mengevaluasi pasien dengan dugaan infeksi peritoneal, melakukan pemeriksaan

fisik yang lengkap adalah hal yang sangat penting. Prosesus thoracic dengan iritasi diafragma

(seperti empiema), proses ekstraperitoneal (seperti pyelonephritis, cystitis, retensi urin akut),

dan proses dinding abdomen (seperti infeksi, hematoma recti) dapat terlihat seperti tanda-

tanda maupun gejala peritonitis.


Sering kali hasil dan temuan pemeriksaan klinis sama sekali tidak reliable pada pasien

dengan immunosupresi yang berarti (seperti pasien diabetes berat, pengguna steroid, status

post-transplantasi, HIV), pada pasien dengan perubahan status mental (seperti cedera kepala,

ensepalopati toksik, shock sepsis, agen analgesik), pada pasien paraplegi dan apda pasien

usia lanjut. Dengan infeksi peritoneal dalam yang terlokalisasi, demam dengan atau tanpa

peningkatan hitung WBC mungkin satu-satunya tanda yang ditemukan. Kebanyakan pasien

dengan TP menunjukan hanya gejala vagal dan mungkin afebril..

G. Penatalaksanaan
1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan kegagalan

sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk mengganti elektrolit
dan kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan melalui hidung ke dalam usus

untuk mengurangi tekanan dalam usus.

2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan perbaikan dapat

diupayakan.

3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti apendiktomi. Bila

perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase terhadap

abses.

H. Komplikasi
1. Eviserasi Luka

2. Pembentukan abses

I. Pemeriksaan Penunjang

1. Test laboratorium

o Leukositosis

o Hematokrit meningkat

2. X. Ray

Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :

o Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.

o Usus halus dan usus besar dilatasi.

o Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.


J. WOC (Web Of Caucion) Peritonitis

Infeksi bakteri Faktor ekstrinsik

(E.coli, streptokokus aureus,enterokokus) (operasi tidak steril,trauma kecelakaan)

Luka abdomen

Invasi bakteri

Robekan pada usus

Eksudat fibrinosa

Rupture usus
Resiko
Abses penyebaran
infeksi

Peritonitis

Infeksi peritoneum Peradangan Prognosis penyakit


Suhu tubuh Penekanan /

Obstruksi usus meningkat mendesak jaringan

Klien tampak Klien bertanya

Akumulasi gas dan cairan Cedera sel gelisah Tanya tentang


Hipertermi
dalam lumen proksimal dari penyakitnya

obstruksi Degranulasi sel mast


Ansietas

Pelepasan mediator kimia Kurang


pengetahuan
Mual dan Susah

Muntah BAB

Nociseptor

Resiko tinggi Konstipasi


Kekurangan Medulla spinalis
volume
cairan
Korteks serebri

Anoreksia
Nyeri Akut

Ketidak
seimbangan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
K. Asuhan Keperawatan Teoritis Peritonitis

1. Pengkajian
Data Subyektif
1) Pasien mengatakan nyeri didaerah perutnya, nyeri sedang
2) Pasien mengatakan mual dan muntah
3) Pasien mengatakan tidak nafsu makan
4) Pasien mengatakan demam
5) Pasien mengatakan badannya meriang
6) Pasien mengatakan susah buang air besar
7) Pasien mengatakan dadanya berdebar-debar, pusing dan nafasnya cepat
8) pasien bertanya-tanya tentang penyakitnya

Data Obyektif

1) Pasien tampak meringis


2) Mukosa mulut pasien kering
3) Turgor kulit pasien buruk
4) Pasien tampak gelisah
5) Pasien tampak lemas
6) Badan pasien teraba panas
7) RR pasien meningkat
8) Nadi pasien meningkat
9) Tekanan Darah pasien meningkat
10) Berat badan pasien menurun
11) Perut pasien kembung

2. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut yang berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga


abdomen/peritoneal (distensi abdomen) yang ditandai dengan pasien mengatakan
nyeri pada bagian abdomen, pasien tampak meringis kesakitan.
2. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder akibat infeksi atau
inflamasi ditandai dengan pasien mengatakan demam, badan pasien teraba panas.
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus ditandai dengan pasien
mengatakan sembelit, terdapat benjolan dikuadran bawah atau pelvis.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prognosis penyakitnya ditandai dengan
pasien bertanya-tanya tentang penyakitnya.
3. Perencanaan

4. 5. Dx 6. Tujuan dan Kriteria 7. Rencana Keperawatan 8. Rasional


No. Keperawatan Hasil

9. 10. Nyeri akut yang 12. Tujuan : nyeri pasien 20. Mandiri 42. Mandiri
21. 43.
1. berhubungan dengan dapat berkurang dengan
1. Kaji skala nyeri pasien 44. 1. Mengetahui
13. Kriteria Hasil:
akumulasi cairan
14. 1.Skala nyeri berkurang dengan metode PQRST penyebab, skala nyeri,
dalam rongga 15. 2.Pasien tidak meringis 22.
kualitas, lokasi, gejala
16. 3.TTV pasien normal 23.
abdomen/peritoneal
17. - RR = 16-20 x / menit 24. dan periode nyeri yang
(distensi abdomen) 18. - TD = 120/80 mmHg 25.
dialami pasien
11. 19. - Nadi = 80-100 x/menit 26.
27. sehingga dapat
28.
memberikan
29.
30. penanganan yang
2. Kaji TTV pasien terutama
sesuai dengan keadaan
nadi,RR dan tekanan darah
pasien
31.
45.
3. Pertahankan posisi semi
46. 2. Sebagai dasar
fowler sesuai indikasi
untuk intervensi
32.
33. selanjutnya
34. 47.
35. 48. 3. Memudahkan
36.
drainase cairan/luka
4. Ajarkan penggunaan
manajemen nyeri, tehnik karena gravitasi dan
keadaan hangat membantu
37.
meminimalkan nyeri
38.
5. Berikan tindakan karena gerakan.
49.
kenyamanan contoh pijatan
50. 4. Agar pasien dapat
punggung, nafas
menggunakan tehnik-
dalam,latihan
tehnik meningkatkan
relaksasi/visualisasi
nafsu makan pasien.
51.
39. 52. 5. Meningkatkan
relaksasi dan mungkin
40. Kolaborasi
meningkatkan
41.
6. Kolaborasi dengan dokter kemampuan koping
dalam pemberian analgetik pasien dengan
memfokuskan kembali
perhatian.

53. Kolaborasi
54. 6. Menurunkan laju
metabolik dan iritasi
usus karena toksin
sirkulasi/local yang
membantu
menghilangkan nyeri
dan meningkatkan
penyembuhan.
55.
61. Mandiri 74. Mandiri
56. 57. Hipertermi 58. Tujuan : suhu tubuh 75.
62.
2. berhubungan dengan pasien kembali normal dengan 76. 1. Sebagai dasar untuk
1. Kaji TTV, terutama suhu
59. Kriteria Hasil:
kerusakan kontrol intervensi selanjutnya.
1. Suhu tubuh pasien tubuh pasien
suhu sekunder akibat 77.
normal (36,5-370 C) 63.
infeksi atau inflamasi. 2. Pasien tidak meriang 78. 2. Perpindahan panas
2. Berikan kompres hangat
3. Kulit tidak teraba hangat
secara konduksi dari
60. pada daerah dahi dan ketiak
tubuh pasien ke
64.
65. kompres, akan
66. membantu
67. mempercepat
68. penurunan suhu tubuh
69. pasien.
70. 79.
3. Anjurkan pasien untuk 80. 3. Mengatasi
mengkonsumsi cairan dalam pengeluaran cairan
jumlah yang cukup (1500- melalui keringat akibat
2000 ml) peningkatan suhu
71. tubuh.
72. Kolaborasi 81.
4. Kolaborasi dengan dokter 82. Kolaborasi
dalam pemberian antipiretik 83. 4. Membantu
73. mempercepat
penurunan suhu tubuh
84.
90. Mandiri
85. 86. Konstipasi 88. Tujuan : BAB pasien 100. Mandiri
1. Catat adanya distensi 101. 1. Distensi dan
3 berhubungan dengan lancar dengan
89. Kriteria Hasil: abdomen dan auskultasi hilangnya peristaltic
penurunan peristaltik
1. BAB pasien teratasi
peristaltic usus. usus merupakan tanda
usus. 2. Peristaltik normal
87. 3. Perut tidak kembung 91. fungsi defekasi hilang
92. 102. 2. Untuk
2. Anjurkan pasien untuk
menstimulasi
miring kanan dan miring
peristaltic yang
kiri
memfasilitasi

93. kemungkinan
terbentuknya flatus
3. Beri pasien makanan yang 103. 3. Makanan

mengandung serat berserat dapat


94. melembekkan feses
95. 104. Kolaborasi
96.
97.
98. Kolaborasi 4. Untuk memperlancar
99. keluarnya feses.
4. Kolaborasi dalam
pemberian huknah/lavement 105.
dan obat supositoria
110. Mandiri 115. Mandiri
106.107. Kurang 108. Tujuan : pengetahuan
1. Dorong pasien untuk 116. 1. Pasien
4 pengetahuan pasien tentang penyakitnya
menanyakan hal-hal yang termotivasi untuk
. berhubungan dengan bertambah dengan
ingin diketahui mengenai bertanya tentang hal-
109. Kriteria Hasil:
prognosis penyakitnya.
1. Pasien tidak bertanya- penyakitnya. hal yang ingin dia
tanya lagi tentang 111. ketahui mengenai
penyakitnya. 112. penyakitnya, sehingga
2. Pasien mengerti dan
2. Berikan informasi mengenai pengetahuannya dapat
memahami tentang
hal-hal yang ingin diketahui bertambah.
penyakitnya
pasien mengenai 117. 2. Pengetahuan
penyakitnya. pasien tentang
113. penyakitnya dapat
114. bertambah.
3. Tanyakan kembali kepada 118.
pasien tentang hal-hal yang 119.
telah dijelaskan perawat 120.
121. 3. Mengetahui
tingkat pemahaman
pasien.
122.
123. DAFTAR PUSTAKA

124. Doegoes, M. 2000. Rencana

Asuhan Keperawatan. Jakarta: ECG

125. Smeltzer, Bare.2002.

Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta: EGC

126. Mansjoer, Arif, DKK. 2000.

Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

127.

128.
129.

Anda mungkin juga menyukai