Anda di halaman 1dari 9

2.1.

4 Penggunaan Antibiotik Kombinasi


Berikut adalah beberapa prinsip penggunaan terapi antibiotik kombinasi:
a. Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis untuk
mengatasi infeksi.
b. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah:
1) Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek sinergis).
2) Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten.
c. Indikasi penggunaan antibotik kombinasi (Brunton et. Al, 2008; Archer, GL.,
2008):
1) Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).
2) Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi campuran
aerob dan anaerob).
3) Terapi empiris pada infeksi berat.
d. Hal-hal yang perlu diperhatikanan (Brunton et. Al,; Cunha, BA., 2010):
1) Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat
meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotik.
2) Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat aditif
atau superaditif. Contoh: Vankomisin secara tunggal memiliki efek
nefrotoksik minimal, tetapi pemberian bersama aminoglikosida dapat
meningkatkan toksisitasnya.
3) Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotik
untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil efektif.
4) Hindari penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris jangka lama.
5) Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.

2.1.5 Pertimbangan Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotik


Farmakokinetik (pharmacokinetic, PK) membahas tentang perjalanan
kadar antibiotik di dalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (pharmacodynamic,
PD) membahas tentang hubungan antara kadar-kadar tersebut dan efek
antibiotiknya. Dosis antibiotik dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK saja.
Namun, ternyata PD juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih
penting. Pada abad resistensi antibiotika yang terus meningkat ini, PD bahkan
menjadi lebih penting lagi, karena parameter-parameter ini bisa digunakan untuk
mendesain rejimen dosis yang melawan atau mencegah resistensi.

Ukuran utama aktivitas antibiotik adalah Kadar Hambat Minimum


(KHM). KHM adalah kadar terendah antibiotik yang secara sempurna
menghambat pertumbuhan suatu mikroorganisme secara in vitro. Walaupun KHM
adalah indikator yang baik untuk potensi suatu antibiotik, KHM tidak
menunjukkan apa-apa tentang perjalanan waktu aktivitas antibiotik. Parameter
parameter farmakokinetik menghitung perjalanan kadar serum antibiotik.
Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling penting untuk mengevaluasi
efikasi antibiotik, yaitu kadar puncak serum (Cmax), kadar minimum (Cmin), dan
area under curve (AUC) pada kurva kadar serum vs waktu. Walaupun parameter-
parameter ini mengkuantifikasi perjalanan kadar serum, parameter-parameter
teresebut tidak mendeskripsikan aktivitas bakterisid suatu antibiotik.

Gambar. Parameter Farmakokinetik/Farmakodinamik

Aktivitas antibiotik dapat dikuantifikasi dengan mengintegrasikan


parameterparameter PK/PD dengan KHM. Parameter tersebut yaitu: rasio kadar
puncak/KHM, waktu>KHM, dan rasio AUC-24 jam/KHM. Tiga sifat
farmakodinamik antibiotik yang paling baik untuk menjelaskan aktivitas
bakterisidal adalah time-dependence, concentration-dependence, dan efek
persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu yang diperlukan
untuk membunuh bakteri (time-dependence), atau efek meningkatkan kadar obat
(concentration-dependence). Efek persisten mencakup Post-Antibiotic Effect
(PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan bakteri secara persisten sesudah paparan
antibiotik.
Tabel. Pola Aktivitas Antibiotik Berdasarkan Parameter PK/PD
Pola Aktivitas Antibiotik Tujuan Terapi Parameter PK/PD
Tipe I
Bakterisidal  Aminoglikosid  Rasio AUC-24
concentration-  Fluorokuinolon Memaksimalkan jam/KHM
dependence dan  Ketolid kadar  Rasio kadar
efek persisten yang puncak/KHM
lama
 Karbapenem
Tipe II
 Sefalosporin
Bakterisidal time-
 Eritromisin Memaksimalkan
dependence dan Waktu > KHM
 Linezolid durasi paparan
efek persisten
 Penicillin
minimal

 Azitromisin
Tipe III
 Klindamisin Memaksimalkan
Bakterisidal time-
 Oksazolidinon jumlah obat yang Rasio AUC-24
dependence dan
 Tetrasiklin masuk sirkulasi jam/KHM
efek persisten
 Vankomisin sistemik
sedang sampai lama

Untuk antibiotik Tipe I, rejimen dosis yang ideal adalah memaksimalkan kadar,
karena semakin tinggi kadar, semakin ekstensif dan cepat tingkat bakterisidalnya.
Karena itu, rasio AUC 24 jam/KHM, dan rasio kadar puncak/KHM merupakan
prediktor efikasi antibiotik yang penting. Untuk aminoglikosid, efek optimal
dicapai bila rasio kadar puncak/KHM minimal 8- 10 untuk mencegah resistensi.
Untuk fluorokuinolon vs bakteri Gramnegatif, rasio AUC 24 jam/KHM optimal
adalah sekitar 125. Bila fluorokuinolon vs Gram-positif, 40 nampaknya cukup
optimal. Namun, rasio AUC 24 jam/KHM untuk fluorokuinolon sangat bervariasi.
Antibiotik Tipe II menunjukkan sifat yang sama sekali berlawanan.
Rejimen dosis ideal untuk antibiotik ini diperoleh dengan memaksimalkan durasi
paparan. Parameter yang paling berkorelasi dengan efikasi adalah apabila waktu
(t) di atas KHM. Untuk beta-laktam dan eritromisin, efek bakterisidal maksimum
diperoleh bila waktu di atas KHM minimal 70% dari interval dosis.
Antibiotik Tipe III memiliki sifat campuran, yaitu tergantung-waktu dan
efek persisten yang sedang. Rejimen dosis ideal untuk antibiotik ini diperoleh
dengan memaksimalkan jumlah obat yang masuk dalam sirkulasi sistemik. Efikasi
obat ditentukan oleh rasio AUC 24 jam/KHM. Untuk vankomisin, diperlukan
rasio AUC 24 jam/KHM minimal 125.

Gambar. Pola Aktivitas Antibiotik Berdasarkan Profil PK/PD

2.1.6 Penggunaan Antibiotik pada Kelompok Khusus


a. Penggunaan Antibiotik pada Anak
Perhitungan dosis antibiotik berdasarkan per kg berat badan ideal sesuai
dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium. Pada praktek
pemilihan antibiotik untuk anak tetap memperhatikan manfaat dan risiko.
b. Penggunaan Antibiotik pada Lanjut Usia
Hal yang harus diperhatikan pada pemberian antibiotik pada usia lanjut:
1) Pada umumnya pasien usia lanjut (>60 tahun) mengalami mild renal
impairement (gangguan fungsi ginjal ringan) sehingga penggunaan
antibiotik tertentu yang eliminasinya terutama melalui ginjal memerlukan
penyesuaian dosis atau perpanjangan interval pemberian.
2) Komorbiditas pada usia lanjut yang sering menggunakan berbagai jenis obat
memerlukan pertimbangan terjadinya interaksi dengan antibiotik.
c. Penggunaan Antibiotik pada Penurunan Fungsi Ginjal dan Gangguan Fungsi
Hati
1) Penyesuaian Dosis pada Penurunan Fungsi Hati
Pedoman penyesuaian dosis insufisiensi fungsi liver tergantung dari
kondisi fungsi hati tersebut. Secara umum dikatakan bahwa penyesuaian
dosis hanya dilakukan pada insufisiensi hati serius sehingga insufisiensi
ringan sampai sedang tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis. Strategi
praktis sebagai berikut:
a) Dosis total harian diturunkan sampai 50% bagi obat yang tereliminasi
melalui liver pada pasien sakit hati serius.
b) Sebagai alternatif, dapat menggunakan antibiotik yang tereliminasi
melalui ginjal dengan dosis regular.
2) Penyesuaian Dosis pada Gangguan Fungsi Ginjal
a) Pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal, dosis antibiotik
disesuaikan dengan bersihan kreatinin (Creatinine clearance).
Penyesuaian dosis penting untuk dilakukan terhadap obat dengan rasio
toksik–terapetik yang sempit, atau obat yang dikonsumsi oleh pasien
yang sedang mengalami penyakit ginjal.
b) Usahakan menghindari obat yang bersifat nefrotoksis.

Berikut adalah beberapa acuan yang dapat digunakan dalam penyesuaian


dosis:
(1) Jika bersihan kreatinin (Clearance creatinine = ClCr) obat yang
tereliminasi melalui ginjal 40-60 ml/menit, dosis diturunkan 50%
dengan interval waktu regular.
(2) Jika Clearance creatinine (Clcr) 10-40ml/menit, dosis obat yang
eliminasi utamanya melalui ginjal diturunkan 50% dan interval waktu
pemberian diperpanjang dua kali lebih lama dari interval regular.
(3) Sebagai alternatif, dapat menggunakan antibiotik yang eliminasi
utamanya melalui hati dengan dosis reguler.
(4) Clearance creatinine (Clcr) digunakan sebagai gambaran fungsi ginjal.
Perhitungan dapat menggunakan formula sbb :
[(140−umur(th)]×BB (kg)
Laki-laki : ClCr (mL⁄menit) = 72 ×Srcr (mg⁄dL)

Perempuan : 0,85 × ClCr (Laki − laki)


(5) Dosis muatan (Loading dose) dan dosis rumatan (maintenance dose)
insufisiensiginjal. Kalkulasi dosis muatan obat yang rute eliminasi
utama mealui ginjal tidak ada perubahan dosis, sedangkan dosis
rumatan disesuaikan dengan kalkulasi bersihan kreatinin.
(6) Pada Antibiotik Golongan Aminoglikosida (misalnya: Amikasin,
Gentamisin, Netimisin, Tobramisin dll), penggunaan dosis tunggal
setelah dosis muatan telah terbukti menurunkan risiko potensial
toksisitas ginjal. Strategi ini direkomendasikan bagi semua pasien
termasuk pasien kritis (Critically Ill).

2.2 Peran Apoteker dalam Pengendalian Resistensi Antibiotik


2.2.1 Peran Apoteker pada Penanganan Pasien dengan Penyakit Infeksi
Kegiatan Apoteker dalam melaksanakan pharmaceutical care pada pasien
dengan penyakit infeksi meliputi:Apoteker bekerjasama dengan Ahli
Mikrobiologi untuk menjamin bahwa hasil uji kepekaan antibiotik dilaporkan
tepat waktu dan ketepatan laboratorium mikrobiologi dalam melakukan
interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium terkait penyakit infeksi. Apoteker
bekerja dengan sistem pengelolaan yang efektif dan efisien, sehingga dapat
menurunkan kesalahan yang mungkin terjadi dan kejadian yang tidak diharapkan
akibat penggunaan antibiotik.

2.2.2 Peran Apoteker dalam Kegiatan Edukasi


Apoteker berperan dalam memberikan edukasi dan informasi tentang
pengendalian resistensi antibiotik serta pencegahan dan pengendalian infeksi
kepada tenaga kesehatan, pasien dan keluarga pasien. Kegiatan edukasi yang
disertai dengan sosialisasi tentang kebijakan dan prosedur restriksi antibiotik
dapat meningkatkan efektivitas edukasi. Kegiatan-kegiatan edukasi yang dapat
dilakukan meliputi:

a. Penyelenggaraan seminar dan lokakarya, penerbitan buletin dan forum edukasi


lain kepada tenaga kesehatan tentang penggunaan antibiotik dan resistensinya,
penggunaan antiseptik dan desinfektan, teknik aseptik dan prosedurnya serta
metode sterilisasi.
b. Pemberian edukasi dan konseling pada pasien rawat inap, rawat jalan,
perawatan di rumah (home pharmacy care) dan keluarga pasien/pelaku rawat
(care giver) meliputi:
1) Kepatuhan dalam menggunakan antibiotik yang diresepkan.
2) Penyimpanan antibiotik.
3) Prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi (sebagai contoh:
pembuangan limbah medis).
c. Pemberian edukasi bagi masyarakat umum dalam meningkatkan kesadaran
terhadap pengendalian penyebaran penyakit infeksi melalui:
1) Mendorong penggunaan antibiotik yang bijak.
2) Mempermudah akses imunisasi untuk anak-anak dan dewasa.
3) Mempromosikan teknik cuci tangan yang benar.
Program edukasi seharusnya berisi evaluasi secara kritis, menilai obat
baru dan memberikan edukasi penggunaan dan penggunasalahan yang tidak
sesuai kepada staf rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan lain. Program
edukasi bertujuan untuk mengurangi peresepan dan penggunaan antibiotik
yang tidak bijak. Materi edukasi berupa regimen terapi yang cost effective dan
memberikan informasi mengenai dampak peresepan terhadap segi ekonomi dan
ekologi bakteri.
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Prinsip penggunaan antibiotik secara kombinasi yaitu apabila terjadi
infeksi yang disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri), infeksi
campuran aerob dan anaerob, serta terapi empiris pada infeksi berat.
 Penentuan dosis antibiotik saat ini tidak hanya menggunakan parameter
farmakokinetik saja, tetapi juga menggunakan parameter
farmakodinamik. Hal ini dikarenakan parameter farmakodinak ini bisa
digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang melawan atau mencegah
resistensi.
 Apoteker memiliki peran penting dalam pengendalian resistensi
antibiotik, dimana apoteker tidak hanya berfokus pada penanganan
pasien yang mengunakan antibiotik, tetapi juga dapat memberikan
edukasi kepada masyarakat maupun kepada para tenaga medis lain
mengenai penggunaan antibiotik yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Brunton, L. L., K. L. Blumenthal, D. Boxton. 2008. General Principle: Goodman


and Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. 2008 edition.
California: McGraw-Hill. Hal. 1-25.

Brunton, L. L. Et al. 2010. Goodman and Gilman: Manual Farmakologi dan


Terapi. Terjemahan oleh Sukandar, et al. Cetakan 2011. Jakarta: EGC.

Kalenic S., M. Borg. 2007. Principles of antibiotic policies. In: Friedman C,


Newsom W, editors. Basic concepts of infection control. International
Federation of Infection Control.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


2406/Menkes/Per/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai