Anda di halaman 1dari 11

Meet The Expert

Rinitis Alergi

Oleh:
Nidya yunaz 1110312100
Chintya Dwi Putri 1110312
Widya Sari 121031

Preseptor:
Dr. Dolly Irvandy, SpTHT-KL

BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2012

1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung


1.1.1. Anatomi Hidung
A. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah : 1,2
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja
otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus
melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut
dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :1,2
- Superior : os frontal, os nasal, os maksila
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.
Perdarahan : 2,3
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika,
cabang dari a. Karotis interna).
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,
cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)

2
Persarafan : 2,3
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

B. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan
dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas –
batas kavum nasi : 2,3
Posterior : berhubungan dengan nasofaring
Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian
atap. Bagian ini dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh
kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum
yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa
= kolumna = kolumela.
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid,
konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan
belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan
sinus sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di
bagian ini. 2

3
Gambar 1.1. Anatomi Hidung

Perdarahan : 2
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang
dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan
bersama – sama arteri.
Persarafan : 2
1. Anterior kavum nasal dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi
N. Sfenopalatinus.

C. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital

4
skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan
oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. 1,2
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia
akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat – obatan. 1,2
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified
columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,
sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. 1,2

1.1.2. Fisiologi hidung

Hidung memiliki beberapa fungsi penting, antara lain :

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. 1,2
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.1,2

5
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C. 1,2
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh : 1,2
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir
ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
nafas dengan kuat. 1,2
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 1,2
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. 1,2
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas. 1,2

1.2. Rinitis Alergi

6
1.2.1. Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986).3
Menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.3

1.2.2. Epidemiologi

Meskipun insiden rinitis alergika yang tepat tidak diketahui, tampaknya menyerang sekitar
10 persen dari populasi umum (Norman, 1985).3

1.2.3. Klasifikasi
Menurut klasifikasi WHO Initiative ARIA tahun 2001, berdasarkan sifat berlangsungnya
rinitis alergi dibagi menjadi3 :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

1.2.4. Etiologi dan Patogenesis


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu reaksi
alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan
reaksi alergi fase lambat yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-
reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.3
1.2.5. Gambaran klinis

7
Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung.
Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi rinitis
musiman (seasonal allergic rinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rinitis), dan akibat kerja
(occupational allergic rinitis). Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal,
maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit
berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse
nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung
dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membran mukosa edema, basah dan
kebiru-biruan (boggy and bluish).3

Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah
sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Kualitas
hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi
kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup,
sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain
yang lebih banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup,
menjadi intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat.3

1.2.6. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa.
Hampir 50 % diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala yang khas adalah
terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali
gejala yang muncul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.3
b. Pemeriksaan fisik

8
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak
adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu sering juga
tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan menggunakan punggung tangan,
yang disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut
allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak
granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).3
c. Pemeriksaan penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total
seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam
penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST atau ELISA.
Pemeriksaan sitologi hidung, jika ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.3
In vivo :
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). Untuk alergi makanan, uji
kulit yang banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT),
namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (”Challenge
Test”).3

1.2.7. Diagnosis Banding


Rinitis alergi perlu dibedakan dari rinitis vasomotor ataupun idiopatik, rinitis infeksiosa,
rinitis sekunder dari obat-obatan baik local (Neo-Synephrine dan kkokain) maupun sistemik
(beta bloker, aspirin, reserpin, morfin), rinitis sekunder dari factor mekanis, tumor hidung, polip
hidung, rhinorea serebrospinal, iritan kimia, factor psikologis dan mastositosis hidung.3

9
1.2.8. Penatalaksanaan
Tata laksana Rinitis Alergi secara umum, antara lain3:
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dan
eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1. Pemberian dapat dalam kombinasi
atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Preparat kortikosteroid dipilih bila
gejala terutama sumbatan hidung tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Pengobatan baru
lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor
asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan
IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.

DAFTAR PUSTAKA

10
1. Nizar, Mangunkusumo E. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung dan

Telinga. Edisi Ke-6. Jakarta : FKUI. 2007 ; h. 118 - 122.

2. Snell, Richard S, Kepala dan Leher. Dalam : Anatomi Klinik. Jakarta : EGC. 1997

3. Irawati M, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Hidung dan Telinga. Edisi Ke-6. Jakarta : FKUI. 2007 ; h. 128 - 130

11

Anda mungkin juga menyukai