Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nyeri merupakan alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan
kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan
beberapa pemeriksaan diagnostic atau pengobatan (Brunner & Suddarth, 2001).
Berbagai macam faktor dapat mempengaruhi respon nyeri pada tubuh, seperti
usia, jenis kelamin, kultur, ansietas, pengalaman masa lalu, pola koping adaptif, dan
support keluarga dan sosial. Dengan cara pemberian pemahaman tentang apa yang akan
dialami dan kesembuhan yang akan diperoleh setelah menjalani terapi dapat lebih
efektif dalam proses mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien (Gill, 1990). Oleh sebab
itu, diperlukan pemahaman mengenai penyebab, manifestasi klinik, diagnosis, dan
penatalaksanaan terhadap nyeri.

B. Tujuan
Makalah ini dibuat untuk membahas mengenai definisi, patofisiologi,
manifestasi klinik, diagnosis, hasil terapi yang diinginkan dan penanganan (dari segi
non-farmakologi dan farmakologi) dari nyeri dan melengkapi tugas mata kuliah
farmakoterapi.

C. Manfaat
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan dapat memberikan gambaran dan
penjelasan yang jelas mengenai nyeri.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Secara
umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri
didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Nyeri dinyatakan sebagai suatu dasar sensasi ketidaknyamanan yang
berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh
persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan
oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa
itu ada. Definisi ini tidak berarti bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat
diekspresikan melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Sjamsuhidajat,
2004).

B. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah sensitisasi
perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan
ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan
meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang
bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan (Tabolt, 2006).
Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor
disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di jaringan saraf, baik
serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik. Trauma atau lesi di
jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan berbagai mediator
inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, dan sebagainya. Mediator
inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri spontan,
atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitasi) secara langsung maupun tidak
langsung. Sensitasi nosiseptor menyebabkan munculnya hiperalgesia. Trauma atau lesi
serabut saraf di perifer atau sentral dapat memacu terjadinya remodelling atau

2
hipereksibilitas membran sel. Di bagian proksimal lesi yang masih berhubungan dengan
badan sel dalam beberapa jam atau hari, tumbuh tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-
tunas baru ini, ada yang tumbuh dan mencapai organ target, sedangkan sebagian lainnya
tidak mencapai organ target dan membentuk semacam pentolan yang disebut neuroma.
Pada neuroma terjadi akumulasi berbagai ion-channel, terutama Na+ channel.
Akumulasi Na+ channel menyebabkan munculnya ectopic pacemaker. Di samping ion
channel juga terlihat adanya molekul-molekul transducer dan reseptor baru yang
semuanya dapat menyebabkan terjadinya ectopic discharge, abnormal
mechanosensitivity, thermosensitivity, dan chemosensitivity. Ectopic discharge dan
sensitisasi dari berbagai reseptor (mechanical, termal, chemical) dapat menyebabkan
timbulnya nyeri spontan dan evoked pain (Katz et al., 2007).
Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat, dan bila lesi sembuh nyeri akan
hilang. Akan tetapi, lesi yang berlanjut menyebabkan neuron-neuron di kornu dorsalis
dibanjiri potensial aksi yang mungkin mengakibatkan terjadinya sensisitasi neuron-
neuron tersebut. Sensitisasi neuron di kornu dorsalis menjadi penyebab timbulnya
alodinia dan hiperalgesia sekunder. Dari keterangan di atas, secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa nyeri timbul karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif baik
perifer maupun sentral (Bond, 2006).
Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron
sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini
dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan kolum
dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks prefrontal dan
korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas
neuron; rendahnya ambang batas stimulus terhadap aktivitas neuron itu sendiri misalnya
terhadap stimulus yang nonnoksious, dan luasnya penyebaran areal yang mengandung
reseptor yang mengakibatkan peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron.
Sensitisasi ini pada umumnya berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf
akibat lesi ditambah dengan stimulasi yang terus menerus dan inpuls aferen baik yang
berasal dari perifer maupun sentral dan juga bergantung pada aktivasi kanal ion di akson
yang berkaitan dengan reseptor AMPA/kainat dan NMDA. Sejalan dengan
berkembangnya penelitian secara molekuler maka ditemukan beberapa kebersamaan
antara nyeri neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya tentang keterlibatan

3
reseptor misalnya NMDA dan AMPA dan plastisitas disinapsis, immediate early gene
changes. Yang berbeda hanyalah dalam hal burst discharge secara paroksismal pada
epilepsi sementara pada neuropatik yang terjadi adalah ectopic discharge. Nyeri
neuropatik muncul akibat proses patologi yang berlangsung berupa perubahan
sensitisasi baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi sistem inhibitorik
serta gangguan interaksi antara somatik dan simpatetik. Keadaan ini memberikan
gambaran umum berupa alodinia dan hiperalgesia. Permasalahan pada nyeri neuropatik
adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan kerusakan neuron dan sifatnya
ireversibel. Pada umumnya hal ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik
melalui modulasi intrinsik kalsium di neuron sendiri maupun akibat proses inflamasi
sebagai faktor ekstrinsik. Kejadian inilah yang mendasari konsep nyeri kronik yang
ireversibel pada sistem saraf. Atas dasar ini jugalah maka nyeri neuropatik harus secepat
mungkin di terapi untuk menghindari proses mengarah ke plastisitas sebagai nyeri
kronik. Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada bagian lamina paling superfisial dari
medula spinalis. Sebaliknya, serabut sensorik dengan ambang rendah (raba, tekanan,
vibrasi, dan gerakan sendi) berakhir pada lapisan yang dalam. Penelitian eksperimental
pada tikus menunjukkan adanya perubahan fisik sirkuit ini setelah cedera pada saraf.
Pada beberapa minggu setelah cedera, terjadi pertumbuhan baru atau sprouting affreen
dengan non noksious ke daerah-daerah akhiran nosiseptor. Sampai saat ini belum
diketahui benar apakah hal yang serupa juga terjadi pada pasien dengan nyeri neuropati.
Hal ini menjelaskan mengapa banyak kasus nyeri intraktabel terhadap terapi. Rasa nyeri
akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri neuropati disebabkan oleh karena respon
sentral abnormal serabut sensorik non noksious. Reaksi sentral yang abnormal ini dapat
disebabkan oleh faktor sensitisasi sentral, reorganisasi struktural, dan hilangnya inhibisi
(Tabolt, 2006).
Nyeri neuropati merupakan nyeri yang dikarenakan adanya lesi pada sistem
saraf perifer maupun pusat. Nyeri ini bersifat kronik dan mengakibatkan penurunan
kualitas hidup penderita. Nyeri neuropati melibatkan gangguan neuronal fungsional
dimana saraf perifer atau sentral terlibat dan menimbulkan nyeri khas bersifat epikritik
(tajam dan menyetrum) yg ditimbulkan oleh serabut Aδ yg rusak, atau protopatik seperti
disestesia, rasa terbakar, parestesia dengan lokalisasi tak jelas yang disebabkan oleh

4
serabut C yang abnormal. Gejala-gejala ini biasa disertai dengan defisit neurologik atau
gangguan fungsi lokal (Tabolt, 2006).
Umumnya, lesi saraf tepi maupun sentral berakibat hilangnya fungsi seluruh
atau sebagian sistim saraf tersebut, ini sering disebut sebagai gejala negatif. Akan tetapi,
pada bagian kecil penderita dengan lesi saraf tepi, seperti pada penderita stroke, akan
menunjukkan gejala positif yang berupa disestesia, parestesia atau nyeri. Nyeri yang
terjadi akibat lesi sistem saraf ini dinamakan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik adalah
nyeri yang didahuluhi atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf
(Bond, 2006).
Iskemia, keracunan zat tonik, infeksi dan gangguan metabolik dapat
menyebabkan lesi serabut saraf aferen. Lesi tersebut dapat mengubah fungsi neuron
sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan
antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan
keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekular, sehingga aktivitas serabut
saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan
gangguan nosiseptik sentral (Bond, 2006).
Pada nyeri inflamasi maupun nyeri neuropatik sudah jelas keterlibatan reseptor
NMDA dalam proses sensitisasi sentral yang menimbulkan gejala hiperalgesia terutama
sekunder dan alodinia. Akan tetapi di klinik ada perbedaaan dalam terapi untuk kedua
jenis nyeri inflamasi sedangkan untuk nyeri neuropatik obat tersebut kurang efektif.
Banyak teori telah dikembangkan untuk menerangkan perbedaan tersebut (Katz et al.,
2007).
Prinsip terjadinya nyeri adalah gangguan keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi akibat kerusakan jaringan (inflamasi) atau sistem saraf (neuropatik). Eksitasi
meningkat pada kedua jenis nyeri tersebut pada nyeri neuropatik dari beberapa
keterangan sebelumnya telah dketahui bahwa inhibisi menurun yang sering disebut
dengan istilah disinhibisi. Disinhibisi dapat disebabkan oleh penurunan reseptor opioid
di neuron kornu dorsalis terutama di presinap serabut C (Katz et al., 2007).

5
C. Manifestasi Klinik
Nyeri bisa berupa nyeri tajam, nyeri tumpul, rasa terbakar, geli (tingling),
menyentak (shooting) yang bervariasi dalamintensitas dan lokasinya. Suatu stimulus
yang sama dapat menyebabkan gejala nyeriyang berubah sama sekali (misalnya tajam
menjadi tumpul). Gejala nyeri terkadang bersifat nonspesifik. Nyeri akut dapat
mencetuskan hipertensi, takikardi, midriasis, tetapi tidak bersifat diagnostik. Untuk
nyeri kronis seringkali tidak ada tanda yang nyata. Tetapi perlu diingat bahwa nyeri
bersifat subyektif (Ikawati, 2010).
a. Nyeri Nosiseptif
1. Nyeri Nosiseptif Somatik
Nyeri nosiseptif somatik berasal dari kulit, soft tissue (jaringan halus),
otot, dan tulang. Rasa Nyeri terlokalisir dengan jelas, tajam, berdenyut, sakit,
seperti ditikam, seperti ditekan, konstan/intermiten dengan intensitas bervariasi.
2. Nyeri Nosiseptif Viseral
Nyeri nosiseptif viseral berasal dari organ internal dan hollow viseral.
Nyeri kurang terlokalisir dengan jelas,nyeri tumpul, penyebaran nyeri ke kulit

6
didekat organ yang terganggu, nyeri tajam (peregangan kapsul organ), perih atau
kolik.
b. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik terjadi akibat stimulasi pada saraf yang rusak atau
cedera.
1. Nyeri Neuropatik Sentral
Lokasi kelainan di susunan saraf sentral, yaitu medulla spinalis, batang
otak, thalamus sampai korteks serebri.
2. Nyeri Neuropatik Perifer (Deaferentasi)
Lokasi kelainan di saraf perifer, yaitu saraf sensorik perifer, radiks dan
ganglion dorsalis. Manifestasi klinisnya yaitu rasa terbakar, menggelenyar,
geli/gatal, kesemutan, seperti ditikam/ditusuk, seperti ditembak, sengatan listrik,
menyebar dan menjalar.
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri psikogenik adalah nyeri dimana factor psikogen dominan dan
tanpa adanya kerusakan jaringan atau kelainan patofisiologik sebagai penyebab
(Maksoep, 2010).
D. Diagnosis
Bermacam-macam teknik tersedia untuk menentukan penyebab nyeri, termasuk
alat pengukur nyeri dan alat X-ray. Dokter akan berbicara kepada mengenai symptom
yang dirasakan dan menanyakan riwayat penyakit, luka, atau operasi. Pasien mungkin
diminta mengisi kuisioner untuk menentukan intensitas dan lokasi dari nyeri.
Dokter juga akan melakukan pemeriksaan fisik, dan mungkin meminta tes darah
atau X-ray. Pemeriksaan-pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosa penyebab
nyeri antara lain :
a. CT atau CAT Scans
Computed Tomography (CT) atau computed axial tomography (CAT) scans
menggunakan X-ray dan komputer untuk menghasilkan gambar cross-section dari
tubuh. Selama tes, anda akan diminta untuk berbaring dan tidak bergerak di atas
meja. Mejanya akan bergerak masuk ke dalam alat scanning yang berbentuk seperti
donat. Terkadang, kontras material yang disuntikkan secara intravena dibutuhkan

7
untuk CAT scan. Dalam kasus seperti ini, anda harus melakukan tes darah sebelum
CAT scan. Biasanya CAT scan memerlukan waktu 15-60 menit.
b. MRI
MRI (Magnetic Resonance Imaging) menghasilkan gambar tubuh yang sangat
jelas tanpa menggunakan X-ray. Tes ini menggunakan magnet besar, gelombang
radio, dan sebuah computer untuk menghasilkan gambar. Dalam kebanyakan kasus,
MRI tes membutuhkan waktu 40-80 menit, sementara itu beberapa lusin gambar
dapat diamati. Tes MRI memerlukan injeksi kontras materil yang dinamakan
gadolinium, yang membantu identifikasi struktur anatomis pada gambar scan.
Karena adanya magnet yang digunakan, beberapa orang (seperti mereka yang
menggunakan pacemaker) tidak boleh melakukan MRI.
c. Discography
Selama diskografi, zat warna yang kontras diinjeksikan ke sumsum tulang
belakang yang diduga menyebabkan nyeri punggung. Zat warna ini akan mewarnai
area yang sakit pada injeksi X-ray/ prosedur ini sering disarankan untuk orang yang
dipertimbangkan akan melakukan operadi atau IDET (intradiscal electrothermal
treatment).
d. Myelograms
Seperti pada discography, selama pelaksanaan myelogram, zat warna kontras
akan diinjeksikan ke sumsum tulang belakang untuk meningkatkan kemampuan
diagnostic dari X-ray. Dokter akan dapat melihat gambar X-ray dari sumsum tulang
belakang dan dapat mengindentifikasi tekanan syaraf yang disebabkan oleh patah
tulang.
e. EMG
Pemeriksaan ini memperkenankan dokter untuk mengevaluasi aktivitas otot.
Selama pemeriksaan, jarum sangat tipis diinsersikan ke dalam otot untuk mengukur
respon otot terhadap sinyal dari otak atau sumsum tulang belakang.
f. Bone Scans
Bone scans digunakan untuk mendiagnosis dan meminotir infeksi, patah tulang,
atau kelainan lainnya pada tulang. Selama bone scan, sejumlah kecil zat radioaktif
disuntikkan ke dalam aliran darah. Zat ini kan terkumpul pada tulang, terutama di
area yang abnormal. Gambar yang dihasilkan oleh scanner dikirim ke computer

8
untuk identifikasi area spesifik dari metabolisme tulang abnormal atau aliran darah
abnormal.
g. Ultrasound Imaging
Disebut juga ultrasound scanning atau sonography, tes ini menggunakan
gelombang suara berfrekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar didalam tubuh.
Gema gelombang suara direkam dan ditampilakn dalam gambar yang dapat
divisualisasikan (Brenman, 2007).
E. Hasil terapi yang diinginkan
Tujuan dari penatalaksanaan nyeri adalah:
 Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri
 Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri
kronis yang persisten
 Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
 Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri
 Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan
pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari (
F. Penanganan
Berbagai tindakan dapat dilakukan oleh perawat untuk mengatasi nyeri.
Penatalaksanaan terserbut dibagi 2 yaitu farmakologis dan non
farmakologis(Tamsuri, 2007).
a. Penatalaksanaan farmakologis
Terapi obat yang efektif untuk nyeri seharusnya memiliki resikorelatif rendah,
tidak mahal, dan onsetnya cepat. WHO menganjurkan tigalangkah bertahap dalam
penggunaan alagesik. Langkah 1 digunakan untuknyeri ringan dan sedang adalah
obat golongan non opioid seperti aspirin,asetaminofen, atau AINS, ini diberikan
tanpa obat tambahan lain. Jikanyeri masih menetap atau meningkat, langkah 2
ditambah dengan opioid,untuk non opioid diberikan dengan atau tanpa obat
tambahan lain. Jikanyeri terus-menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis
potensiopioid atau dosisnya sementara dilanjutkan non opioid dan obat
tambahanlain (Sudoyo, 2006).

9
b. Penatalaksanaan non farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari berbagai tindakan penanganan
nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif (Tamsuri, 2007).
1. Masase kulit
Masase kulit dapat memberikan efek penurunan kecemasan dan
ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan merangsang
serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok atau menurunkan implus
nyeri.
2. Kompres
Kompers panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat
meningkatkan proses penyernbuhan jaringan yang mengalami kerusakan.
3. Imobilisasi
Imobilisasi terhadap organ tubuh yang mengalami nyeri hebat mungkin
dapat meredakan nyeri. Kasus seperti rheumatoid arthritis mungkin memerlukan
teknik untuk mengatasi nyeri.
4. Distraksi
Distraksi merupakan pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri.
Teknik distraksi terdapat beberapa macam yaitu: distraksi visual, distraksi
pendengaran, distraksi pernafasan, distraksi intelektual, teknik pernafasan,
imajinasi terbimbing.
5. Relaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi
mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil yang normal.
6. Plasebo
Plasebo merupakan suatu bentuk tidakan, misalnya pengobatan atau
tindakan keperawatan yang mempunyai efek pada pasien akibat sugesti daripada
kandungan fisik atau kimianya. Suatu obat yang tidak berisi analgetika tetapi
berisi gula, air atau saliner dinamakan plasebo (Priharjo, 1996).

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Prinsip terjadinya nyeri adalah gangguan
keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akibat kerusakan jaringan (inflamasi) atau
sistem saraf (neuropatik). Diagnosis nyeri dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
CAT Scan, MRI, Discography, Myelograms, EMG, Bone Scans, dan Ultrasound
imaging. Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan secara farmakologis maupun non-
farmakologis.

B. Saran
Diharapkan makalah selanjutnya dapat membahas lebih mendetail mengenai
nyeri dan terapi yang sesuai dengan penyebab timbulnya nyeri tersebut.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of Societies of


Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm
2. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute postoperative
pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds. Acute Pain:
Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1992:253-68
3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral
catheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior
cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.
4. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill Livingstone.
2006

12

Anda mungkin juga menyukai