Anda di halaman 1dari 21

Argumentasi Kenabian Al Mawardi

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas kuliah
Mata KuliahMetafisika Islam
bersama

Dr. Syamsuddin Arif

Oleh:

Fuad Muhammad Zein


34. 2. 1. 0107

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT STUDI ISLAM DARUSSLAM (ISID) GONTOR
2015
Argumentasi Kenabian al Mawardi

Fuad Muhammad Zein, M. Ud

34. 2. 1. 0107

Pendahuluan

Kenabian menjadi satu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap agama di dunia memiliki asal dari penjelasan
seseorang yang membawa ajaran agama tersebut. Khususnya agama-agama
samawi yang dipahami sebagai ajaran yang datang dari Tuhan. Oleh karena itu,
hadirnya seseorang yang membawa ajaran tersebut dari Tuhan dan
menjelaskannya kepada manusia sangat penting, karena tanpanya manusia tidak
akan mengetahui dan tidak memahami ajaran agama tersebut.

Namun tidak sedikit pula yang mengingkari keberadaan nabi sehingga


mereka meyakini bahwa hadirnya nabi sangat tidak diperlukan dengan beberapa
alasan. Kritikan dari para penentang ini bukan hanya ada pada zaman sekarang,
namun sejak zaman nabi Nuh.1 Di antaranya adalah, bagi mereka yang tidak
meyakini adanya Tuhan, maka nabi pun tidak akan mereka yakini, karena
bagaimana mereka bisa meyakini adanya nabi bila Tuhan yang mengutus nabi saja
mereka tidak yakini.2 Selain itu, ada beberapa kalangan yang menyatakan bahwa
manusia telah dianugerahi Tuhan dengan akal sehingga mereka bisa mencapai
pada kebenaran dengan optimalisasi akal. Nabi tidak diperlukan karena seseorang
dengan akalnya mampu berkontemplasi dan berfikir akan kebenaran yang mereka
inginkan.3 Dengan demikian, mereka memandang bahwa superioritas akal
mengindikasikan ketidak-butuhan manusia akan hadirnya nabi. Beberapa

1
Lihat: Q. S. al Mu’minun: 24, 34, 69; Q. S. asy Syu’ara’: 141-145, 176-186
2
Dr. Farjullahi ‘Abdul Bari, an Nubuwwat Baina al Iman wa al Inkar, (Kairo, Dar al
Aafaq al ‘Arabiyyah, 2006), cetakan pertama, p. 43
3
Sirajuddi Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2009), cet. I, p. 78-79
argument ini sangat jelas melihat nabi bukanlah hal yang diperlukan manusia.
Maka dengan begitu mereka pun menolak tentang adanya nabi.

Beberapa ulama dan sarjanawan Islam telah banyak yang menanggapi isu
ini dan mencurahkan kemampuannya untuk menjawab para pengkritik kenabian.
Seperti al Farabi yang memunculkan konsep kenabiannya untuk menjawab kritik
tersebut dengan berkesimpulan bahwa kemampuan intelektual manusia perlu
untuk dikembangkan dan dididik agar mampu mencapai kesempurnaan.4
Atas dasar ini, al Farabi menyatakan perlunya seorang guru yang akan
menjelaskan dan membimbing manusia untuk mengembangkan kemampuan
mereka sehingga mereka bisa mencapai bentuk individu yang sempurna dengan
kebaikan yang sebenarnya.5 Bahkan al Farabi mengaitkan konsep kenabiannya
dengan konsep politik.6 Dengan begitu, al Farabi memandang bahwa
keberadaan nabi sangat penting dan perlu bagi kehidupan manusia.

Selain al Farabi, ulama Islam yang sangat bersemangat untuk menjawab


para penolak kenabian adalah al Mawardi. Seperti al Farabi, al Mawardi juga
dikenal dengan seorang ulama yang memiliki wawasan luas dalam politik.7
Argumentasi kenabiannya pun sangat lekat dengan konsep politiknya hingga ia
mendefinisikan kepemimpinan atau imamah sebagai satu institusi kekuasaan yang
berfungsi sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur
urusan dunia atau sosial.8 Maka dengan begitu, al Mawardi pun memandang
bahwa nabi sangat penting, karena nabi adalah sosok sentral bagi manusia
sebagai panutan hingga para penerusnya harus menjadikannya teladan demi
menjaga kebaikan manusia itu sendiri.

4
Abu Nashr al Farabi, as Siyaasah al Madaniyyah, (Beirut, al Mathba’ah al
Kathulikiyyah, 1998), p. 76-80
5
Ibid, p. 77-79
6
Al Farabi menegaskan bahwa sosok Rasul adalah pemimpin dan penguasa yang
mendirikan sebuah Negara yang ideal. Ibid, p. 79-80
7
Al Mawardi pada masa hidupnya memiliki kaitan erat dengan pemerintahan.Ia pernah
menjabat sebagai duta dari Daulat Abbasiyah. Dari pengalamannya inilah dan juga kedalaman
ilmunya, ia mampu membuahkan pemikiran politiknya. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah
Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syari’ah, edisi revisi, (Jakarta, Prenada
Media, 2003), cetakan pertama, p. 13
8
Abu Hasan al Mawardi, Ahkam as Sulthoniyyah, (Beirut-Libanon, Dar al Kutub al
‘Ilmiyyah, t.t), p. 5
Pada makalah singkat ini, penulis ingin berusaha menjelaskan argumentasi
al Mawardi dalam menjawab para pengkritik kenabian tersebut. Pembahasan akan
terbagi menjadi empat bagian yang berisi tentang pengertian al Mawardi tentang
nabi dan rasul, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan terkait tentang alasan al
Mawardi tentang pentingnya keberadaan nabi. Bagian selanjutnya adalah
pemaparan argumentasi al Mawardi tentang kenabian dan diakhiri dengan
kesimpulan.

Pengertian Nabi dan Rasul

Al mawardi mengkategorikan teori kenabian ini dalam kategori ilmu


iktisab dengan cara mengetahuinya melalui pembuktian dan menghadirkan dalil.
Hal ini disebabkan karena kebenaran kenabian harus bisa dibuktikan dan tidak
hanya sekedar percaya tanpa bukti.9Kategori teori kenabian dengan cara istidlal
akal ini juga menunjukkan bahwa adanya perbedaan diantara ulama mengenai
perihal kenabian. Karena bila kenabian diketahui dengan akal secara sadar saja,
maka tidak boleh adanya perbedaan, seperti dalam masalah tauhid, dan juga tidak
bisa hanya berdasarkan ilham semata, karena bila melalui hal tersebut, akan
mengundang pertanyaan ilham yang bagaimana dan ilham siapa yang akan
dijadikan pedoman bila terjadi pertentanga antara ilham dengan realitanya. 10 Oleh
karena itu, kenabian menjadi kajian yang mendapatkan perhatian khusus sehingga
banyak dari kalangan ulama yang merumuskan konsep kenabian, seperti al Farabi
dan al Mawardi.

Mengenai arti dari kata nabi, para ahli bahasa mendefinisikannya dalam
beberapa makna. Kata “al Naby” secara lughawy berasal dari kata-kata “al-naba’”
yang berarti “berita yang berarti dan penting”. Dengan demikian “al-naby” adalah
“orang yang membawa berita penting.” Seseorang disebut “al-naby” karena

9
Abu al Hasan al Mawadi, A’lamu an Nubuwwah, (Beirut, Dar al Maktabah al Hilal,
1409), cetakan pertama, p. 18
10
Abu al Hasan al Mawadi, A’lamu an Nubuwwah, …., p. 18-19
membawa berita dari Allah SWT.11Selain itu, kata nabi juga diartikan sebagai
sesuatu yang ditinggikan dari bumi, maa irtafa’a min al ardhi.12 Pemaknaan ini
didasarkan pada jati diri seorang nabi yang merupakan manusia yang paling tinggi
derajatnya dan paling dekat dengan Allah SWT.13Sedangkan arti “al-naby” secara
teknis atau terminologis adalah “seseorang yang diberi wahyu oleh Allah SWT,
baik diperintahkan untuk menyampaikan (tabliigh) atau tidak.” Jika ia
diperintahkan untuk menyampaikan kepada yang lain, maka ia disebut “rasuul”.14

Al Mawardi mendefinisikan nabi sebagai seorang utusan Allah yang


membawa dan menjelaskan segala perintah dan larangan-Nya. Beliau menulis
dalam karyanya A’laamu an Nubuwwah bahwa Allah telah menganugerahkan akal
kepada manusia dengan memiliki tujuan. Anugerah akal tersebut bermaksud
untuk dioptimalkan manusia sebagai sarana mendapatkan pengetahuan yang
diberikan Allah terkait dengan segala hal yang akan membawa kesejahteraan bagi
manusia.Namun manusia tidak bisa dengan akalnya saja mencapai pengetahuan
tersebut. Mereka membutuhkan guru atau pembimbing yang menjelaskan kepada
mereka segala hal tentang pengetahuan mengenai Allah. Sehingga dengan begitu,
akal manusia bisa memahami hukum-hukum, larangan dan perintah yang telah
ditentukan oleh Allah. Sosok guru dan pembimbing tersebut haruslah manusia
yang begitu sempurna sehingga derajat kemanusiaannya naik hingga ia
mendapatkan petunjuk Allah dan menyampaikannya kepada manusia. Sosok
tersebut adalah nabi dan rasul.15

Al Mawardi juga menjelaskan terkait perbedaan antara nabi dan rasul.


Beliau mendasarkan penjelasan tersebut dari ayat al Qur’an dalam surat al Hajj:

11
Lihat, misalnya, al-Fayruz Abaady, al-Qomuus al-Muhith, ed: Maktabu Tahqiq at
Turats fi Mu’assasati ar Risaalah; Muhamad Na’im al Qorsusi, (Beirut-Libanon, Mu’assasatu ar
Risaalah li at Thiba’ah wa an Nasyr, 1426/2005), cetakan kedelapan, p. 1337
12
Ibid
13
Ibnu Manzhur al Anshory, Lisan al ‘Arab, (Beirut, Dar Shodir, 1414), vol: 15, p. 302
14
Dr. Farjullahi ‘Abdul Bari, an Nubuwwat Baina al Iman wa al Inkar, ….., p. 9
15
Abu Hasan al Mawardi, A’laamu an Nubuwwah, (Beirut, Dar wa Maktabatu al Hilal,
1409), cetakan pertama, p. 35
52.16Dalam tafsirnya, beliau menjelaskan mengenai maksud perbedaan nabi
dan rasul, bahwa ada dua pendapat yang bisa dijadikan pertimbangan. Pertama,
mereka yang mengatakan bahwa nabi dan rasul adalah sama dan tidak ada
perbedaan antara keduanya. Nabi adalah rasul dan rasul adalah nabi. 17 Rasul
adalah mereka yang membawa pesan (ar risaalah) dan nabi diambil dari kata an
nabaa’ yang berarti berita karena mereka membawa kabar tentang Allah dan
mengajak mereka yang dikabari, dan diambil dari kata an nubuwwah karena
ketinggian derajat mereka kepada Allah sehingga mendapatkan wahyu dan
petunjuk dari-Nya.18Seperti pendapat al Qodhi ‘Abd al Jabbar, bahwa mengenai
pembedaan nabi dan rasul pada ayat tersebut tidak menunjukkan perbedaan
keduanya dalam jenis.19 Beliau mendasarkan pendapatnya pada surat al Ahzab
ayat 7.20

Pendapat kedua adalah mereka yang membedakan antara nabi dan rasul.
Alasannya adalah perbedaan nama atau istilah menunjukkan perbedaan sesuatu
yang dilekatkan kepadanya istilah atau nama tersebut.21 Istilah nabi hanya
diperuntukkan bagi manusia, seperti halnya 25 nabi yang dikenal semuanya
adalah nabi dan rasul hanya saja rasul memiliki posisi lebih tinggi daripada nabi.22
Sedangkan rasul lebih umum karena mencakup manusia dan malaikat. Seperti
yang diketahui bahwa dalam beberapa ayat, malaikat juga disebut dengan rasul,
namun mereka tidak disebut dengan nabi.23

‫يبَن ََّلَو ٍّلوُسَر ْنِم َكِلْبَق ْنِم اَنْلَس ْ َرأ اَمَو‬


ِ ٍّ ‫ىنَمَت َاذِإ ََّّلِإ‬ َ ‫ ُخَسْنَيَف ِ ِه َّت ِين ْ ُمأ يِف ُناَطْيَّشلا‬16
َّ ‫ىقْ َلأ‬
‫ميِكَح ٌميِلَع ََُّّللاَو ِهِتاَيآ ََُّّللا ُمِكْحُي َّ ُمث ُناَطْيَّشلا يِقْلُي اَم ََُّّللا‬
Abu Hasan al Mawardi, Tafsir al Mawardi : an Naktu wa al ‘Uyuun, ed: as Sayyid ibn
17

‘Abdi al Maqshud ibn ‘Abdi ar Rahim, (Beirut, Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, t.t), vol: IV, p. 34
18
Abu Hasan al Mawardi, A’laamu an Nubuwwah, …, p. 50-51
19
Al Qodhi ‘Abd al Jabbar, Ushulu al Khomsah, ed: Dr. Faishal Badir ‘Aun, (Kwait,
Lajnatu at Ta’lif wa at Ta’riib wa an Nasyr Bi Jami’ati al Kwait, 1998), cetakan pertama, p. 568
‫ ىَسيِعَو ىَسوُمَو َميِهاَرْبِإَو ٍّح ُون ْنِمَو َكْنِمَو ْمُهَق َاثيِم َنيِيِبَّنلا َنِم اَنْذ ََخأ ْذِإَو‬20
‫اًظيِلَغ ًاق َاثيِم ْمُهْنِم اَنْذ ََخأَو َ َميْرَم ِنْبا‬
Abu Hasan al Mawardi, A’laamu an Nubuwwah, …, p. 51
21

Abu Hasan al Mawardi, A’laamu an Nubuwwah, …, p. 51; Abu Hasan al Mawardi,


22

Tafsir al Mawardi : an Naktu wa al ‘Uyuun, …., p. 35


23
Abu Hasan al Mawardi, Tafsir al Mawardi : an Naktu wa al ‘Uyuun, …., p. 34-35
Beliau juga menuliskan bahwa mereka yang mengatakan antara nabi
dan rasul berbeda terbagi kedalam tiga pendapat. Pertama, mereka yang
mengatakan bahwa nabi dan rasul berbeda beralasan bahwa rasul adalah mereka
yang mendapatkan wahyu langsung dari malaikat sebagai agen penyampai wahyu,
sedangkan nabi adalah mereka yang mendapatkan wahyu melalui mimpi. Kedua,
rasul adalah utusan Allah yang diutus kepada sebuah ummat, sedangkan nabi
tidak diutus kepada sebuah ummat. Ketiga, rasul adalah utusan Allah yang datang
dengan hukum dan syari’at baru, sedangkan nabi adalah sosok utusan Allah yang
tidak datang dengan syari’at baru melainkan hanya menjaga syari’at dari rasul
sebelumnya.24

Al Mawardi menegaskan bahwa bila rasul dipahami sebagai seseorang


yang menerima wahyu dari Allah, maka hal tersebut harus dibuktikan.
Kesimpulan ini yang membawa al Mawardi menjadikan kenabian sebagai ilmu
iktisab yang harus bisa dibuktikan bahwa seseorang tersebut benar-benar diutus
oleh Allah SWT kepada manusia. Al Mawardi menawarkan ada tiga syarat yang
harus dipenuhi bagi mereka yang mengaku bahwa ia adalah nabi dan rasul:

Pertama: seseorang yang mengaku nabi harus memiliki sifat dan


kepribadian yang menunjang kebenaran kenabiannya. Seseorang yang
tidak memiliki sifat ini, dan diketahui bahwa kondisi pribadiannya tidak
memenuhi syarat ini seperti misalnya memiliki sifat pembohong, maka ia
tidak layak untuk disebut atau mengaku nabi dan rasul.

Kedua: seseorang yang mengaku nabi harus dapat memunculkan mu’jizat.


Mu’jizat sangat penting untuk membuktikan bahwa seseorang tersebut
adalah nabi.25 Mu’jizat dianggap sebagai bukti konkrit akan kenabian
seseorang karena hal tersebut mampu menyatakan bahwa seseorang yang
memiliki mu’jizat bisa mengalahkan kehebatan orang-orang disekitarnya
sehingga mereka tidak bisa menandinginya. Maka bila seseorang tidak

24
Ibid, p. 35; Abu Hasan al Mawardi, A’laamu an Nubuwwah, …., p. 51
25
Ibn Taimiyyah membedakan antara mu’jizat dengan karomah. Mu’jizat adalah tanda
kenabian sedangkan karomah adalah tanda kewalian bagi seorang sholeh yang dekat dengan Allah
SWT. Lihat: Ibnu Taimiyyah, an Nubuwwat, ed: ‘Abd al ‘Aziz ibn Sholeh ath Thawiyyan,
(Riyadh: Adhwaa’u as Salaf, 1420/2000), vol: I, p. 40
bisa mendatangkan mu’jizat, ia tidak berhak untuk mengaku nabi dan
rasul.

Ketiga: keberadaan mu’jizat harus mengindikaskan keserasian tentang


legitimasi kenabian seseorang yang padanya mu’jizat. Hal ini disebabkan
karena sifat tidak akan muncul kecuali setelah adanya sesuatu yang
disifati. Seperti Nabi Isa a. s yang mampu berbicara ketika masih dalam
buaian, oleh sebab itu ia dipercaya sebagai nabi. Namun ketika pengakuan
sebagai nabi terlebih dahulu muncul sebelum mu’jizat, maka seseorang
tersebut harus tetap membuktikannya dengan mu’jizat agar seluruh orang
disekitarnya mengakui kebenaran kenabiannya.26

Al Mawardi menjelaskan bahwa mu’jizat tidak akan muncul kecuali untuk


membuktikan kebenaran kenabian. Mu’jizat hanya khusus diperuntukkan kepada
nabi dan rasul. Karena, mu’jizat termasuk dalam kategori hal-hal yang ghoib dan
hanya diketahui oleh orang yang diberikan kepadanya mu’jizat langsung dari
Allah. Oleh karena itu, mu’jizat tidak bisa dipelajari dan tidak bisa ditiru. Beliau
menegaskan pentingnya mu’jizat ini karena mu’jizat merupakan bukti empiris
tentang kenabian seseorang. Maka dari itu, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, al Mawardi mengkategorikan kenabian ini sebaga ilmu iktisab yaitu
ilmu yang harus disertai dengannya bukti, dan mu’jizat ini adalah bukti empiris
tersebut.

Alasan adanya nabi

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diutusnya nabi dan rasul adalah
untuk mengkabarkan berita dan pengetahuan dari Allah kepada manusia.
Pengetahuan tersebut berisi hukum dan tuntunan yang berguna untuk menjaga
manusia dari kerusakan dan membawa mereka kepada kebahagiaan. Mereka yang
mengerjakan ajaran agama, akan selamat dan menjadikannya pribadi yang baik
26
Abu Hasan al Mawardi, A’laamu an Nubuwwah, …., p. 41-42; penjelasan ini juga
terdapat dalam pendapat Ibnu Taimiyyah mengenai mu’jizat. Lihat: Ibnu Taimiyyah, an
Nubuwwat, ed: ‘Abd al ‘Aziz ibn Sholeh ath Thawiyyan, (Riyadh: Adhwaa’u as Salaf, 1420/2000),
vol: I, p. 171
serta bertaqwa kepada Allah SWT. Sehingga bisa dikatakan bahwa bila nabi dan
rasul tidak diutus, maka manusia akan kehilangan sosok pembawa berita tersebut
dan juga berarti mereka tidak akan mengetahui hukum dan tuntunan hidup
mereka.27 Akhirnya manusia akan mendefinisikan segala hal menurut pribadinya
masing-masing dan bukan berdasarkan apa yang telah ditentukan Allah. Sebagai
implikasi lanjutnya adalah, kehidupan manusia akan diisi dengan kejahatan dan
ketidakteraturan sehingga kehidupan manusia pun akan binasa. Oleh karena itulah
al Mawardi menyatakan bahwa diutusnya nabi adalah bukti kasih sayang Allah
kepada manusia untuk menghindarkan mereka dari kerusakan itu.28Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa posisi nabi dan rasul dalam masyarakat sangat
penting. Mereka adalah agen yang akan memberikan bimbingan dan pendidikan
bagi manusia sehingga manusia bisa berkembang menjadi pribadi yang sempurna.
Maka, posisi nabi pun memiliki hubungan yang erat dengan kondisi sosial di
mana nabi dan rasul itu diutus.

Allah telah menciptakan pada manusia panca indera untuk mengenal


beragam hal yang berkaitan dengan kemaslahatannya. Mereka mengenal rasa
sehingga mampu mengenal makanan, mata untuk melihat dan lain sebagainya.
Panca indera juga diciptakan bagi manusia untuk mengenal ayat-ayat Allah
sehingga manusia dengannya belajar dan kemudian beribadah dengan Allah.
Namun meski begitu, manusia dengan panca inderanya belum cukup untuk bisa
mencapai kebahagiannya.29 Ia kemudian dianugerahi akal untuk dapat
membedakan antara yang baik dan buruk, mengenal perintah Allah sehingga
megerjakannya dan larangan-Nya sehingga menghindarinya. Hal tersebut didapat
bukan dari dalam diri manusia sehingga ia berkontemplasi dan mendapatkan
pengetahuan tentang Tuhan, namun di sini kabar yang benar memiliki posisi yang
penting untuk memberitahu manusia tentang pengetahuan tentang Tuhan. Kabar
yang terpercaya berasal dari orang yang terpercaya. Orang yang terpercaya ini

27
Shaikh Saleh Ibn Fauzan al Fauzan, We Believe in All Prophets and Messengers,
translator: Shawana A. Aziz, (Qur’an Sunnah Educational Program, www.qsep.com), p. 5-6
28
Ibid
29
Husein Hilmi Isik, Ithbat an Nubuwwa: The Proof of Propethood, (Istanbul-Turkey,
Hakikat Kitabevi, 2010), nineteenth edition, p. 16-17
membawa pesan dan pengetahuan yang ia langsung dapatkan dari Allah. Sehingga
bisa dikatakan orang ini sangat penting, karena tanpanya pengetahuan tentang
Allah tidak bisa didapatkan. Sosok tersebut adalah nabi dan rasul.30

Al Mawardi memulai pembahasaannya mengenai masyarakat yang ideal


dengan pernyataan yang mirip dengan apa yang pernah disampaikan Plato bahwa
masyarakat dengan tempat mereka tinggal memiliki hubungan saling
mempengaruhi yang sangat erat.31 Beliau menyadari bahwa manusia sangat
membutuhkan kehidupan sosial untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya. Namun
meski sama dengan Plato bahkan Aristotle, al Mawardi menyajikan konsepnya
dengan dasar ajaran Islam. Beliau menjelaskan bahwa manusia telah diciptakan
oleh Allah sebagai mahkluk yang lemah sehingga membutuhkan orang lain untuk
saling menolong di antara mereka, dan juga membutuhkan pertolongan Allah
sehingga mereka mendapatkan anugerah-Nya:32

‫ ِ ِهتَمْكِح ِغِل َابَو ِهِتَرْ ُدق ِذِفاَنِل ىَل َا َعت َََّّللا َّ َنأ ْمَل ْعا‬، ‫ِهِر ِيبْ َد ِتب َقْل َخْلا َقَل َخ‬
‫ِهِريِدْ َق ِتب ْمُهَرَطَفَو‬، ‫ه َ َّردَق اَم ِعيِدَبَو ُه َ َّر َبد اَم ِفيِطَل ْنِم َناَكَف‬،ُ ‫ْمُهَقَل َخ ُ َّه َنأ‬
‫ َنيِزِجاَع ْمُهَرَطَفَو َنيِج َاتْحُم‬، ‫صتْخُم ِةَرْ ُدقْلاِبَو اًدِرَفْنُم ىَنِغْلاِب َنوُكَيِل‬ َّ
َ ًّ ‫ىتَح ا‬
ُ ْ ‫ٌقِلا َخ ُ َّه َنأ ِهِتَرْ ُد ِقب اَنَرِع‬، ‫ٌقِزاَر ُ َّه َنأ ُهاَنِغِب اَنَمِلْ ُعيَو‬، ‫ًةَبْغَر ِهِتَعاَطِب َنِعْ ُذنَف‬
‫شي‬
‫صئاَقَ ِنب َّرِ ُقنَو ً َةبْهَرَو‬
ِ ِ ‫ًةَجاَحَو اًزْجَع اَن‬

Penjelasan al Mawardi ini dianggap sebagai sebuah pemikiran yang unik di antara
para pemikir politik Islam abad pertengahan. Pemikirannya mengenai manusia
yang merupakan makhluk sosial telah beliau tempatkan dalam kerangkan
perspektif Islam. Pemikiran inilah yang kemudian bisa dikatakan bahwa al
Mawardi telah melakukan islamisasi pemikiran secular mengenai manusia.

30
Ibid, p. 17
Dr. Muhammad Jalal Syaraf, Nasy’atu al Fikri as Siyasi fi al Islam, (Beirut, Dar
31

Nahdhoti al ‘Arabiyyah, 1990), cetakan kedua, p. 214


32
Abu Hasan al Mawardi, Adabu ad Dunya wa ad Diin, (Dar Maktabatu al Hayat, 1986),
p. 129
Dalam penjelasannya, demi kelangsungan hidup manuisa, Allah telah
menganugerahkan akal kepada manusia. Dengan akal ini, manusia bisa menyadari
akan kekuasaan Allah, mengetahui bahwa Allah adalah pencipta seluruh alam
raya, dan manusia hanyalah makhluk yang selalu membutuhkan pertolongan-Nya.
Hasil dari kesadaran dan pengetahuan ini adalah sikap tunduk dan patuh kepada
Allah dan menyandarkan segala perbuatannya kepada-Nya.33Keta’atan dan
kepatuhan manusia kepada Allah ini merupakan kesadaran bahwa mereka lemah
bila tidak bergantung kepada Allah. Rasa lemah ini pun juga merupakan anugerah
Allah agar manusia tidak melakukan hal-hal yang buruk kepada orang lain karena
sikap sombong dengan menyatakan bahwa mereka cukup kuat untuk hidup tanpa
ada pertolongan Allah lalu mereka melakukan perbuatan yang diluar batas.34

Al Mawardi juga menjelaskan bahwa akal berfungsi untuk mengenal hal-


hal yang baik dan yang buruk. Hal-hal yang baik tersebut akan memberitahu
manusia untuk mengerjakannya, dan menghindari hal-hal yang buruk dan jahat.
Kemampuan mengenal ini sangat penting untuk menciptakan tatanan masyarakat
yang baik dan ideal.35 Manusia yang tidak mengoptimalkan akalnya akan menjadi
beban dalam masyarakat karena ia akan selalu cenderung berbuat kerusakan.
Manusia dengan akalnya yang sempurna akan mencapai kesempurnaan dan
kebahagiaan. Kesempurnaan tersebut merupakan tahap awal untuk mencapai
kesempurnaan di akhirat. Kesempurnaan tersebut tidak diukur dengan hal-hal
yang materialistis, tapi dari tingkat keta’atannya kepada Allah hasil dari
pengetahuannya tentang Dia.36 Maka bisa disimpulkan bahwa akal merupakan
sarana yang penting bagi manusia untuk menjadikannya hamba yang ta’at. Bila
keta’atan kepada Allah adalah hal yang penting dalam membentuk masyarakat
yang ideal, dan keta’atan tersebut hanya bisa didapat melalui ajaran agama, maka
nabi pun penting dalam masyarakat karena nabi dan rasul adalah sosok yang

33
Ibid
34
Ibid, p. 134; Abu Hasan al Mawardi, Tafsir al Mawardi : an Naktu wa al ‘Uyuun, ….,
vol: VI, p. 306
35
Abu Hasan al Mawardi, Adabu ad Dunya wa ad Diin, …., p. 129
36
Abu Hasan al Mawardi, Adabu ad Dunya wa ad Diin, …., p. 130
menyampaikan agama. Sehingga bila nabi tidak ada, maka masyarakat yang ideal
pun tidak akan pernah ada.

Para penentang teori Kenabian

Al Mawardi juga mendapatkan permasalah yang sama seperti al Farabi


dalam menjawab tuduhan dan kritikan para pengingkar adanya kenabian. Dalam
karyannya al Mawardi membagi ada tiga kelompok yang menurutnya merupakan
para pengingkar kenabian. Pertama adalah mereka yang mengingkari adanya
Tuhan. Kelompok ini berkeyakinan bahwa alam ini abadi dan alam berjalan
dengan sendirinya. Maka dengan begitu, bila mereka mengingkari Tuhan,
otomatis mereka pun mengingkari nabi sebagai utusan Tuhan. Kedua, adalah para
Brahmana atau para pendeta. Kelompok ini tidak mengingkari kenabian secara
umum, namun hanya meyakini Adam a.s dan Ibrahim a.s saja sebagai nabi.37 Hal
ini dikarenakan keduanya dianggap sebagai bapak manusia oleh mereka. Ketiga,
adalah para filosof.38 Menurut al Mawardi, kelompok ini tidak secara terang-
terangan menyatakan pengingkaran mereka terhadap kenabian, namun dari
perkataannya bisa disimpulkan bahwa mereka mengingkari kenabian. Seperti
yang disampaikan dua filosof yang dikritik al Farabi sebelumnya, bahwa ilmu
ketuhanan bisa dicapai dengan perenungang filosofis dengan menggunakan
kemampuan akal, sehingga manusia dengan potensi akalnya mampu untuk
memahami dengan sendirinya ilmu ke-Tuhan-an tersebut tanpa harus ada nabi
atau rasul.39

Untuk para pengingkar ini, al Mawardi menjawabnya dengan beberapa


argumentasi. Pertama, untuk mereka yang mengingkari nabi dan rasul atas dasar

37
Dr. Farjullahi ‘Abdul Bari, an Nubuwwat Baina al Iman wa al Inkar, ….., p. 43
38
Yang dimaksud dengan filosof di sini bukanlah para filosof muslim seperti al Farabi,
Ibnu Sina atau Ibnu Rusyd karena mereka pun memiliki teori atau konsep tentang kenabian.
Namun yang di maksud dengan filosof tersebut adalah para filosof dari kalangan Yahudi maupun
Nasrani yang mengingkari dengan jelas tentang adanya nabi dan rasul, seperti Abu Hasan ar
Rawandi
39
Abu al Hasan al Mawadi, A’lamu an Nubuwwah, …….., p. 35-36
bahwa akal sudah cukup untuk memahami Tuhan sehingga secara logis, nabi
sudah tidak diperlukan. Selain itu, Allah bisa dengan langsung untuk memberikan
hidayahnya kepada manusia secara langsung sehingga sosok seorang nabi dan
rasul tidak diperlukan. Untuk mereka ini, al Mawardi menjawab bahwa datangnya
nabi dan rasul tidak tergantung oleh akal. Allah dengan sifat-Nya muriidan dan
menghendaki segala hal sesuai dengan keinginan Allah. Maka, diutusnya nabi
tidak memerlukan alasan akal manusia. Jika akal menyatakan bahwa nabi tidak
diperlukan itu tidak berarti bahwa diutusnya nabi juga tidak diperlukan, karena
akal bukanlah penentu adanya nabi atau tidak. Kemudian, akal manusia memiliki
keterbatasan dalam menerangkan segala hal dan karena itu, akal terkadang
berbeda anatara satu orang dengan yang lainnya. Oleh karena itu, akal pun tidak
mampu untuk dijadikan dasar diutusnya nabi, karena meski seseorang mengatakan
bahwa nabi tidak perlu, orang lain mungkin akan menyatakan bahwa nabi perlu
ada. Selain itu, akal tidak mampu untuk menerangkan hal-hal yang sifatnya ghaib,
seperti balasan adzab maupun pahala, surga dan neraka, datangnya hari kiamat.
Hal-hal tersebut hanya bisa dipahami dan diketahui dari penjelasan seseorang
yang telah diberikan pengetahuan langsung dari Allah, dan mereka itu ada nabi.
Sehingga nabi pun sangat diperlukan.40

Selain itu, beberapa kalangan menilai bahwa diutusnya nabi adalah sia-sia
jika diperuntukkan kepada orang-orang yang menolaknya. Maka hal tersebut
berarti bahwa maksud dan hikmah di balik diutusnya nabi agar masyarakat
berkembang menurut ajaran yang dibawanya batal. Alasan ini menurut al
Mawardi salah dalam dua hal. Pertama, penolakan masyarakat terhadap diutusnya
nabi kepada mereka bukanlah hal yang sia-sia. Seperti halnya bahwa Allah telah
menganugerahkan segala yang ada di dunia ini sebaga indicator tentang wujud
Allah, maka bagi yang tidak menggunakannya bukanlah hal yang sia-sia bagi
Allah. Karena itu semua merupakan pertolongan Allah, dan jika mereka
menolaknya itu bukan berarti apa-apa bagi Allah. Kedua, pernyataan mereka yang
menyatakan penolakan tersebut, bukan berarti bahwa seluruh manusia

40
Ibid, p. 36-37
menolaknya. Berarti ada golongan manusia yang menerima nabi dan rasul atau
bahkan membutuhkannya. Sehingga dengan demikian, hikmah dan maksud Allah
dengan diutusnya nabi memang benar dan perlu. Pengertian ini sekaligus
membatalkan hujatan bahwa diutusnya nabi sia-sia.41

Alasan lain yang diungkapkan para pengingkar kenabian adalah bahwa


pada kenyataannya, ajaran yang dibawa oleh para rasul bertentangan antara satu
dengan yang lainnya. Ajaran nabi dan rasul terdahulu dihapus dan diganti dengan
yang baru. Maka bila nabi dan rasul tersebut diutus dengan misi yang sama, maka
seharusnya tidak terjadi perselisihan dan perbedaan tersebut. Al Mawardi kembali
menganalisa hujatan tersebut dengan memberikan penilaian dalam dua jawaban.
Pertama, al Mawardi menjelaskan bahwa ajaran yang dibawa oleh para nabi dan
rasul terdiri dari dua macam hal. Ajaran yang tidak boleh berbeda dan sekaligus
tidak boleh diganti-ganti dengan berbagai macam alasan seperti ajaran Tauhid,
dan sifat-sifat Allah. Lainnya adalah ajaran yang menyangkut ibadah praktis, di
mana dalam beberapa hal boleh dirubah atau berbeda. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan waktu dan tempat diutusnya nabi dan rasul sehingga membutuhkan
penyesuaian demi sebuah kemasalahatan. Jawaban kedua yang diberikan al
Mawardi menyangkut hujatan sebelumnya adalah, bahwa terjadinya perbedaan
antara para ahli tidak menyebabkan berkurangnya fungsi akal untuk menjadi
bukti, maka demikian juga perbedaan antara rasul tidak bisa dijadikan alasan tidak
diperlukannya nabi.42

Kemudian, bahwa pembuktian mengenai kebenaran nabi sangat sulit


didapatkan. Hal tersebut disebabkan karena kenabian merupakan hal yang ghaib,
oleh sebab tersebut seseorang yang mengaku nabi sulit untuk dipercaya
kebenarannya. Mukjizat yang ada pada mereka merupakan hal yang diluar dari
kemampuan mereka, sehingga dengan begitu, sulit untuk dijadikan alasan tentang
kenabiannya. Al Mawardi menjawab, bahwa mukjizat merupakan perbuatan Allah
SWT, maka pasti merupakan hal yang diluar kemampuan para nabi dan rasul.

41
Ibid, p. 37
42
Ibid
Kemudian, kemampuan mereka yang diluar kebiasaan tersebut sekaligus
merupakan tanda bahwa mereka merupakan utusan yang diutus oleh Dzat yang
memang diluar kemampuan manusia untuk mencapainya, yaitu Allah SWT.43

Namun, beberapa dari mereka juga berpendapat bahwa keluar biasaan


mukjizat juga terdapat pada perbuatan para ahli sulap dan sihir dan juga para ahli
api dari Najyat, oleh sebab itu tidak bisa dijadikan alasan akan kenabian. Al
Mawardi kembali menjawab, bahwa sulap maupun sihir merupakan perbuatan
yang sudah diketahui triknya oleh orang-orang yang memang menguasai ilmu
tersebut, dan juga membodohi orang-orang yang tidak mengetahuinya. Sedangkan
mu’jizat adalah sesuatu yang mampu mengejutkan dan mengagumkan orang-
orang yang mahir, ahli dan orang-orang pintar, yang artinya orang-orang yang ahli
pun tidak memiliki pengetahuan tentang mu’jizat. Selain itu, sihir dan sulap
adalah sesuatu yang bisa dipelajari dan ketika sudah menguasainya mereka
menampilkan apa yang telah mereka pelajari tersebut. Sedangkan mu’jizat adalah
sesuatu yang tidak bisa dipelajari karena merupakan anugerah langsung dari
Allah, dan tidak seorangpun mampu menirunya.44

Dari beberapa hujatan dan jawaban di atas, al Mawardi kemudian


menyimpulkan 5 alasan yang bisa dijadikan jawaban mengenai kebenaran adanya
kenabian. Pertama, bahwa Allah Maha Pengasih kepada hamba-Nya dengan
memberikan pengetahuan kepada mereka kemasalahatan demi kesejahteraan
mereka. Maka kedatangan nabi adalah untuk memberitahu mereka mengenai hal
tersebut di mana akal tidak bisa menjelaskannya. Kedua, bahwa apa yang dibawa
nabi dan rasul mengenai balasan surga bagi yang mengerjakan kebaikan dan
neraka bagi yang mengerjakan keburukan menjadi sebab bersatunya persepsi
manusia dan satunya pengetahuan tentang kebenaran. Ketiga, bahwa dengan
kedatangan nabi dan rasul, manusia bisa mengetahui hal-hal yang berada di luar
kemampuan akal mereka untuk mengetahuinya. Keempat, bahwa ber-Tuhan tidak
mungkin tanpa adanya agama, dan agama tidak akan mungkin ada tanpa hadirnya

43
Ibid, p. 37-38
44
Ibid, p. 38
nabi dan rasul yang menyampaikannya.Kelima, akal mungkin bisa menangkap
beragam konsep dan teori, namun hal tersebut tidak akan sempurna kecuali
disertai keimanan dan ketaatan kepada Allah melalui ajaran yang dibawa oleh
nabi dan rasul. Dengan demikian, maka konsep dan teori tersebut akan menjadi
lebih sempurna, lebih bermaslahat, dan menghindari perselisihan. Maka, akal
yang sebelumnya tidak sempurna akan menjadi lebih sempurna dengan ajaran
agama yang dibawa oleh nabi dan rasul.45

Permasalahan lain yang masih membutuhkan jawaban perihal masalah


kenabian ini, adalah mengenai bagaimana nabi bisa mendapatkan wahyu. Al
Mawardi menulis dalam bukunya bahwa diutusnya nabi dan rasul kepada manusia
membawa ajaran dengan dua jalan, yaitu dengan perintah langsung dari Allah atau
dengan melalui utusan malaikat. Namun ada segolongan orang yang tidak
mengakui dua cara ini. Mereka beranggapan bahwa nabi dan rasul tidak mungkin
mendapatkan wahyu dengan dua jalan tersebut, karena tidak mungkin nabi dan
rasul berhubungan langsung dengan Allah secara jasmani, karena Allah tidak ber-
jism. Seperti halnya juga demikian malaikat berasal dari dunia yang berbeda
dengan manusia sehingga tidak memungkinkan berhubungan langsung secara
jasmani. Meski demikian, mereka pun masih berselisih pendapat diantara mereka.
Ada yang menyatakan bahwa nabi dan rasul diutus dengan ilham dan bukan
dengan wahyu. Al Mawardi kemudia menilai bahwa pendapat ini salah dalam dua
hal.46

Pertama, bahwa sarana pengetahuan tentang tauhid adalah tidak


menggunakan ilham, sehingga bila pengetahuan tentang tauhid melalui ilham itu
salah, maka pengetahuan nabi dengan ilham pun lebih salah. Kedua, ilham adalah
sesuatu yang ghoib dan tidak jelas. Ilham bisa saja diakui oleh orang bodoh
maupun orang yang berilmu. Maka perlu untuk membedakan antara keduanya.
Pembedaan antara keduanya pun pasti perlu tanda-tanda lain selain ilham,

45
Ibid, p. 38-39
46
Ibid, p. 39
sehingga bila diketahui keunggulan antara keduanya, hal tersebut pastilah bukan
ilham, dan bisa dikatakan bahwa ilham bukanlah tanda-tanda kenabian.47

Pendapat lain adalah bahwa Allah memiliki rahasia-rahasia dan ketentuan-


ketentuan yang berlainan dengan hukum alam. Maka barangsiapa yang diberikan
Allah hal tersebut, dia berhak untuk mengaku nabi. Atas pendapat ini, al Mawardi
kembali menyalahkannya dalam dua hal. Pertama, rahasia-rahasia dan ketentuan-
ketentuan Allah ini sulit untuk diketahui atau bahkan mustahil untuk diketahui,
maka bila demikian, bagaimana bisa seseorang mengaku dirinya mendapatkan
hal-hal tersebut. Kedua, bila ia mengaku mendapatkan hal tersebut, itu berarti ia
menjadi nabi karena mendapatkan hal-hal tersebut dan bukan karena Allah, selain
itu, hal tersebut pun akan berlaku pada orang lain. Sehingga bila demikian, ia
menjadi nabi bukan karena penunjukan Allah.48

Pendapat lain adalah bahwa seseorang menjadi nabi karena Allah telah
memberikannya keistimewaan akal sehingga ia bisa sampa pada pengetahuan
segala hal. Keistimewaan ini tidak terjadi pada orang lain, sehingga ia adalah
orang istimewa di antara orang-orang lain. Al Mawardi kemudian menyalahkan
pendapat ini dalam dua hal. Pertama, pendapat ini berimplikasi untuk
membuktikan kebenaran tentang kenabiannya dengan ilmu yang khusus, namun
bila menurut pendapat sebelumnya bahwa keilmuan tersebut tidak terdapat pada
orang lain, maka mustahil bisa dibuktikan bahwa ia adalah nabi karena untuk
membuktikannya orang lain tidak memiliki keilmuan tersebut. Kedua, bila
pembuktian tentang kenabiannya adalah hal yang mustahil, maka ketika ia
menyatakan tentang dirinya rasul, belum tentu bisa diyakini ia adalah rasul, dan
ketika ia menjelaskan tentang Allah maka ia telah berbohong.49

Selain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa seseorang menjadi nabi
karena dalam dirinya terdapat cahaya yang murni dan meningkat dengan anugerah
cahaya ilahi. Cahaya inilah yang kemudian mengangkat nabi dari alam manusia

47
Ibid
48
Ibid, p. 40
49
Ibid
menuju alam ilahiah. Hal ini pun dianggap al Mawardi salah dalam dua hal.
Pertama, mereka yang menyatakan adanya anugerah cahaya ilahi ini memaksakan
alasan dengan sesuatu yang sangat sulit untuk diketahui. Kedua, bahwa orang
yang berpendapat dengan alasan ini, talah menyatakan adanya jalinan anatara
manusia dengan seseuatu yang hanya terdapat pada Dzat Allah. Padahal, sifat
Allah yang tidak menyerupai makhluknya tidak memungkinkan adanya jalinan
ini. Sehingga dengan demikian, pendapat ini tidak bisa diterima karena telah
menyalahi kaidah aqidah.50

Setelah menjelaskan titik kesalahan para penolak kenabian di atas, al


Mawardi kemudian menjelaskan jawabannya tentang mereka yang menolak
kenabian dengan dasar adanya kontak langsung yang bersifat jasmani antara
manusia dengan Allah atau malaikat. Pertama, al Mawardi menjelaskan bahwa
kontak fisik tidak harus berupa fisik yang sebenarnya sebagaimana Allah dengan
manusia. Kontak tersebut bisa saja berupa kontak fisik yang sifatnya bisa
diketahui oleh manusia, seperti kasus nabi musa yang menerima wahyu dengan
tanda adanya api dan suara. Kedua, Allah bisa saja menjadikan perantara suara
atau segala sesuatu yang itu bisa ditangkap oleh manusia dan tidak harus kontak
secara fisik jasmani.51

Kemudian bagi mereka yang menolak kenabian dengan perantara malaikat


atas dasar bahwa alam malaikat berbeda dengan manusia sehingga tidak
memungkinkan malaikat turun ke alam manusia. Al Mawardi menegaskan bahwa
hal tersebut tidak mustahil terjadi, karena malaikat bisa saja berubah wujud seperti
halnya para pencetus teori emanasi yang memungkinkan akal beremanasi dan
berubah menjadi makhluk yang jasmani. Kedua, perubahan tersebut juga terjadi
pada benda-benda alami seperti perubahan air menjadi udara, atau perubahan air
menjadi es (benda padat), atau perubahan udara menjadi air dengan beragam
factor. Jika hal ini tidak mustahil untuk terjadi, maka Allah lebih bisa menjadikan

50
Ibid
51
Ibid, p. 40-41
hal tersebut, karena Allah yang menentukan dan menjadikan ketentuan-ketentuan
tersebut. Seingga alasan ketidak mungkinan ini menjadi tidak bisa diterima.52

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kenabian merupakan hal


yang sangat penting bagi kehidupan manusia, oleh karena itu adanya nabi
merupakan hal yang niscaya, bahwa sebagian ulama menyatakan kebutuhan
manusia terhadap nabi sebagaimana kebutuhan mereka terhadap udara dan air. Al
Mawardi menyatakan bahwa kenabian merupakan bentuk kasih sayang Allah
kepada manusia, karena manusia adalah makhluk lemah yang tidak bisa
menguasai segala hal dikehidupannya. Ia membutuhkan pembimbing yang akan
menuntun dan mengajarkan mereka segala hal yang berkenaan dengan tuntunan-
tuntunan dalam rangka mewujudkan kesempurnaan dan kebahagiaan mereka.
Oleh karena itu, al Mawardi pun mengungkapkan bahwa nabi dan rasul sudah
pasti ada dan tidak bisa dibantah keberadaannya.

Al Mawardi juga memberikan penjelasan mengenai kritikan terhadap


pengingkar kenabian. Al Mawardi menggolongkan para pengingkar kenabian
dalam tiga golongan, yaitu para ateis yang tidak meyakini adanya Allah SWT,
kemudian para golongan brahmana atau pendeta yang meyakini bahwa nabi
hanyalah Adam a. s sebagai manusia pertama sekaligus bapak manusia dan yang
terakhir adalah para filosof yang meyakini bahwa akal manusia sudah cukup
untuk mendapatkan kebenaran dengan hanya berdasarkan pada akal mereka saja.
Selain mereka ada juga golongan yang mengingkari diutusnya nabi dan rasul atas
mandat langsung dari Allah SWT atau melalui perantara malaikat.

Al Mawardi memberikan jawaban dengan lugas dan logis dalam bukunya


A’laamu an Nubuwwah. Jawaban al Mawardi ini sekaligus menandakan

52
Ibid, p. 41
argumentasi kenabian al Mawardi sangat akademis dan masuk akal dan tidak
terlepas dari dasar al Qur’an.

Bibliography

AlFayruz Abaady, 2005,al-Qomuus al-Muhith, ed: Maktabu Tahqiq at Turats fi


Mu’assasati ar Risaalah; Muhamad Na’im al Qorsusi, (Beirut-Libanon,
Mu’assasatu ar Risaalah li at Thiba’ah wa an Nasyr, 1426), cetakan
kedelapan

Al Farabi,Abu Nashr,1998,as Siyaasah al Madaniyyah, (Beirut, al Mathba’ah al


Kathulikiyyah)

Al Fauzan, Shaikh Saleh Ibn Fauzan, We Believe in All Prophets and Messengers,
translator: Shawana A. Aziz, (Qur’an Sunnah Educational Program,
www.qsep.com)

Al Mawardi, Abu Hasan, 1986,Adabu ad Dunya wa ad Diin, (Dar Maktabatu al


Hayat)

____________________, Ahkam as Sulthoniyyah, (Beirut-Libanon, Dar al Kutub


al ‘Ilmiyyah, t.t)

_____________________, 1409,A’lamu an Nubuwwah, (Beirut, Dar al Maktabah


al Hilal), cetakan pertama

_____________________, Tafsir al Mawardi : an Naktu wa al ‘Uyuun, ed: as


Sayyid ibn ‘Abdi al Maqshud ibn ‘Abdi ar Rahim, (Beirut, Dar al Kutub al
‘Ilmiyyah, t.t), vol: IV

‘Abdul Bari,Farjullahi, 2006,an Nubuwwat Baina al Iman wa al Inkar, (Kairo,


Dar al Aafaq al ‘Arabiyyah), cetakan pertama

‘Abd al Jabbar, Al Qodhi, 1998,Ushulu al Khomsah, ed: Dr. Faishal Badir ‘Aun,
(Kwait, Lajnatu at Ta’lif wa at Ta’riib wa an Nasyr Bi Jami’ati al Kwait),
cetakan pertama
Djazuli,A., M.A, 2003,Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam
Rambu-Rambu Syari’ah, edisi revisi, (Jakarta, Prenada Media), cetakan
pertama

Ibnu Manzhur, 1414,Lisan al ‘Arab, (Beirut, Dar Shodir,), vol: 15

Ibnu Taimiyyah, 2000, an Nubuwwat, ed: ‘Abd al ‘Aziz ibn Sholeh ath
Thawiyyan, (Riyadh: Adhwaa’u as Salaf, 1420), vol: I

Isik, Husein Hilmi, 2010,Ithbat an Nubuwwa: The Proof of Propethood, (Istanbul-


Turkey, Hakikat Kitabevi), nineteenth edition

Syaraf, Dr. Muhammad Jalal, 1990,Nasy’atu al Fikri as Siyasi fi al Islam, (Beirut,


Dar Nahdhoti al ‘Arabiyyah), cetakan kedua

Zar,Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, 2009, (Jakarta, PT Raja


Grafindo Persada), cet. I

Anda mungkin juga menyukai