Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidaksadar pernah kita alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat. Definisi Penyimpangan Sosial; James W. Van Der Zanden; Penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi. Robert M. Z. Lawang; Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang. Lemert (1951); Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk: 1. Penyimpangan Primer (Primary Deviation)Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat. 2. Penyimpangan Sekunder (secondary deviation) Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat B. Faktor Penyimpangan/masalah Sosial; Menurut James W. Van Der Zanden; faktor-faktor penyimpangan sosial adalah sebagai berikut: Longgar/tidaknya nilai dan norma. Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai sosial suatu masyarakat Menurut Soerjono Soekanto Penyimpangan/masalah sosial adalah suatu ketidak sesuaian antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur- unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat. Penyimpangan/masalah social dapat terjadi di dasarkan pada pengertian kebudayaan bahwa pada dasarnya kebudayaan selu bergerak (di namis) Semua kebudayaan mempunyai dinamika atau gerak. Gerak kebudayaan adalah gerak manusia yang hidup di dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan tadi. Gerak manusia terjadi sebab dia mengadakan hubungan-hubungan dengan manusia lainnya. Artinya, karena terjadinya hubungan anta rkelompok manusia di dalam masyarakat.
C. Peluang yang Memunculkan Motif Penyimpangan Sosial
Pada intinya, tingkat kejahatan di suatu negara berbanding lurus dengan kondisi ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hukumnya. Khusus untuk kejahatan seperti perampokan dan pencurian, menurut sosiolog Budi Radjab, faktor ekonomi memegang peranan dominan sebagai motivasinya. Gambarannya, faktor ekonomi menyumbangkan enam puluh persen motif perampokan. Selebihnya, menurut dia, adalah motif-motif yang berbeda pada setiap orang, termasuk membuktikan diri sebagai orang yang jago dalam kejahatan.Selain motif, hal yang perlu digaris bawahi adalah adanya peluang yang bisa mendukung atau menghambat motif calon perampok. Peluang tersebut tercipta lantaran kondisi masyarakat berupa ketimpangan sosial dan ekonomi. Kecenderungan masyarakat yang semakin individualistis, menurut dia, bukanlah faktor dominan."Coba lihat di negara-negara Eropa, Amerika, atau Singapura. Mereka" cenderung individualistis tetapi tingkat kejahatan rendah. Kalaupun ada perampokan, lebih pada kejahatan yang tidak berpola. Dengan kata lain, itu accident atau kebetulan. Kasus perampokan tidak berpola, ditandai dengan mudah ditangkapnya pelaku. Biasanya kejahatan semacam itu terjadi di negara-negara dengan ketimpangan sosial dan ekonomi yang tidak terlalu tinggi. Sebaliknya, perampokan berpola lebih banyak terjadi di negara atau daerah dengan ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebar. Keadaan itulah yang memberi ruang bagi tumbuhnya motif-motif perampokan.Kasus perampokan beruntun di kabupaten/kota, bisa dijadikan salah satu indikator kondisi masyarakatnya. "Akan tetapi, harus bisa ditentukan dahulu kejahatan itu berpola atau tidak. Polisi pasti bisa memastikannya," kata Budi Radjab.Jika memang berpola, bisa disimpulkan peluang melakukan kejahatan di Indonesia sudah begitu lebar. Pemicunya tidak hanya ketimpangan sosial dan ekonomi. "Kelengahan kepolisian dan sistem penjara selama ini juga turut memberikan peluang kejahatan," katanya.Di Indonesia, keterbatasan jumlah penjara menyebabkan dicampurnya para penjahat dari kelas teri hingga kelas kakap. "Pencuri kaus dengan pencuri uang triliunan rupiah ditempatkan dalam satu sel. Itu peluang untuk belajar,"ujar Budi. Hal tersebut berbeda dengan di Eropa dan Amerika yang membuat pengate-gorian penjara untuk setiap tingkat kejahatan perihal sistem penjara seperti itu dibenarkan pakar hukum dan kriminologi Yes-mil Anwar. Oleh karena itu, terlepas dari terpola atau tidak, dia memprediksi pelaku perampokan .adalah pemain lama yang notabene adalah residivis. "Penjara adalah sekolah kejahatan paling bagus. Memang ada pembinaan, tetapi pada kenyataannya para pembinanya justru menjadi kacung yang dibina," katanya.Hasilnya, ketika keluar dari penjara, para penjahat di Indonesia cenderung akan lebih pandai dari sebelumnya. Mereka pun cenderung membentuk jaringan baru selepas dari tahanan.Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum, baik di penjara maupun di luar penjara, membuat residivis semakin leluasa bertindak. Terlebih, saat terjadi perampokan di Jawa Barat tersebut, kepolisian tengah sibuk mengurus masalah internal. Kasus perampokan,meskipun terjadi di daerah yang berbeda, memungkinkan dua sampai tiga kelompok yang sama melakukan perampokan di tempat berbeda. Setiap kelompok pun, bisa jadi, saling mengenal. "Akan tetapi, ini bukan organized crime (kejahatan terorganisasi) oleh satu jaringan," ujarnya. Proses yang terjadi secara beruntun, menurut dia, karena kejahatan itu adalah "penyakit menular". Dengan lingkungan yang mendukung, seperti lengahnya kepolisian, penyakit itu tumbuh subur. "Kejahatan itu bisa dipelajari. Ketika ada kelompok yang dengan mudah bisa mengelabui polisi, modusnya akan segera dipelajari oleh kelompok lain. Polisi seharusnya lebih profesional. Patroli pun diperketat. Jangan hanya ketika kapoldanya mau lewat," tuturnya
D. Perilaku menyimpang sebagai hasil proses sosialisasi nilai-nilai sub
kebudayaan menyimpang Dalam proses sosialisasi, seseorang mungkin dipengaruhi oleh nilai-nilai subkebudayaan yang menyimpang, sehingga terbentuklah perilaku menyimpang. Contoh : seorang anak dibesarkan pada lingkungan yang menganggap perbuatan minum-minuman keras, pelacuran, dan perkelahian sebagai hal yang biasa, maka anak tersebut akan melakukan perbuatan menyimpang yang serupa. Menurut ukuran masyarakat luas, perbuatan anak tersebut jelas bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, maka perbuatan anak tersebut dapat dikategorikan menyimpang. Perilaku menyimpang tersebut banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Perilaku menyimpang dapat disebabkan oleh anomi. Secara sederhana anomi diartikan sebagai suatu keadaan di masyarakat tanpa norma. Konsep anomi yang dikemukakan oleh Emilie Durkheim adalah keadaan yang kontras antara pengaruh subkebudayaan dengan kenyataan sehari-hari dalam masyarakat. Seakan-akan tidak mempunyai aturan-aturan untuk ditaati bersama. Keadaannya menjadi chaos atau kekacauan yang sulit diatasi. Padahal cukup banyak aturan-aturan yang telah disepakati bersama dalam masyarakat yang disebut konformitas. Jika aturan ini dilanggar disebut deviasi. Apabila pelanggaran sudah dianggap biasa, karena toleransinya pengawasan sosial, penyimpangan itu akhirnya menjadi konformitas. Contoh: perbuatan menyuap penjaga lembaga pemasyarakatan Menurut Robert K. Merton keadaan anomi dapat menyebabkan penyimpangansosial. Dikatakan bahwa dalam proses sosialisasi individu-individu belajar mengenal tujuan-tujuan penting dalam kebudayaan dan juga mempelajari cara-cara yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan budaya tersebut. Anomi terjadi karena adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara untuk mencapai tujuan budaya tersebut. Menurut Merton, ada lima tipologi tingkah laku individu untuk menghadapi hal tersebut yaitu konformitas, inovasilitualisme, pengasingan diri, dan pem- berontakan.
E. Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyimpangan Sosial
Penyimpangan sosial adalah satu tindakan yang melanggar nilai dan norma social sebagai akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna yang dijalani individu baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat pada umumnya. Keberhasilan suatu proses sosialisasi bagi individu, yaitu dengan ditunjangnya peranan orang dewasa (orang tua, guru, dan tokoh masyarakat), situasi, media sosialisasi, dan sarana prasarana penunjang lainnya. a. Peranan Orang Dewasa Orang dewasa yang tidak berhasil dalam menyediakan akomodasi yang baik untuk kelancaran proses sosalisasi bagi generasi muda, dapat berpengaruh negative pada pembentukan kepribadian seseorang, yakni perilaku yang menyimpang dalam interaksi sosial. Seperti adanya larangan merokok untuk anak atau siswa, akan tetapi yang melarangnya yaitu orang tua atau guru, setiap harinya merokok, dan tentu saja larangan tersebut dianggap tidak adil bagi si anak tersebut, sebagai akibatnya larangan tersebut dilanggarnya. Upaya peranan orang dewasa dalam pencegahan dan pengendalian penyimpangan dapat dilakukan dengan cara mendidik, mengajak, memberi contoh, dan bahkan memaksa melalui bentuk teguran, pendidikan, ajaran agama, hukuman. b. Peranan Situasi Lingkungan Situasi lingkungan yang dimaksud adalah situasi lingkungan keluarga, teman sepermainan, sekolah, lingkungan kerja, dan media massa. Dalam situasi lingkungan apabila individu tidak memperoleh kesempatan untuk melakukan proses sosialisasi secara efektif dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan nilai dan norma tersebut, maka cenderung individu tidak melakukan proses sosialisasi yang tidak sempurna. Akhirnya mengarahkan ke bentuk perilaku yang menyimpang. Misalnya, seorang anak yang dikekang dan selalu diberlakukan secara tidak adil maka lambat laun si anak tersebut akan melakukan tindakan yang negatif terhadap lingkungannya. c. Peranan Kesempatan Sosialisasi Bila individu tersebut cenderung tidak mempunyai kesempatan dalam melakukan sosialisasi secara sempurna, baik di keluarga, masyarakat maupun lingkungan sekolah maka individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan masyarakat dan lingkungannya. Misalnya, anak yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali maka ia tidak akan mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, ataupun nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Proses sosialisasi berjalan tidak sempurna karena materi informasi dan media sosialisasi yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan, selain itu juga dapat mengakibatkan konflik pribadi pada diri seorang anak.