Anda di halaman 1dari 4

Kasus:

Seorang ibu muda berusia 23 tahun berinisial NI di Pasuruan, Jawa Timur, kerap
melakukan penyiksaan terhadap anak-anaknya, HR (7 tahun), RA (4 tahun), dan
LF (2,5 tahun). Ketiga bocah malang tersebut dipaksa berhenti sekolah dan
disekap di rumah dalam keadaan terkunci. NI sendiri bekerja sebagai pekerja
serabutan membungkus bawang merah. Suaminya, Toha yang berusia 43 tahun,
lebih sering berada di luar kota. Tak jarang ketika NI sedang dilanda masalah, ia
melampiaskan amarahnya kepada anak-anaknya. Sekali waktu, ia menyulut anak-
anaknya dengan alat penggorengan hingga menderita luka bakar.

Kejadian penyiksaan ini diketahui oleh warga yang kemudian berusaha


menyelamatkan anak-anak tersebut. Beberapa warga bahkan telah melaporkan
kejadian ini ke Polres dan Dinas Sosial setempat. Polres setempat telah melakukan
penyidikan atas kasus ini. Hasilnya, NI tidak ditahan dengan alasan ada rasa
kemanusiaan atas peristiwa ini. NI kemudian dipantau selama 1 tahun dalam
pengawasan Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Anak dan Perempuan, juga
Kepolisian. Selama 1 tahun, NI diwajibkan untuk bertindak baik selayaknya orang
tua. Apabila terjadi perlakuan yang bertentangan dengan hukum, negara berhak
meminta kepada NI untuk mengasuh ketiga anak tersebut.

Apa yang dilakukan NI bertentangan dengan apa yang tercantum dalam Pasal 13
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dirubah menjadi UU No.
35 tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Isi Pasal 13 adalah sebagai berikut:

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak
lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. penelantaran;

1
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. ketidakadilan; dan

f. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Sedangkan larangan atas tindakan kekerasan diatur dalam Pasal 76C UU No. 35
tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,


menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan
terhadap Anak.

Dan ketentuan sanksi dan pidananya diatur dalam Pasal 80 UU No. 35 tahun 2014
tentang Perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat,
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).

2
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

Rumusan Masalah:

1. Apa faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak yang lahir dari
pernikahan dini?
2. Apa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan terhadap anak
yang lahir dari pernikahan dini?

Solusi:

1. Berdasarkan kasus NI, menurut saya ada 2 faktor yang menyebabkan


terjadinya kekerasan terhadap anak. Faktor yang pertama, adalah kesulitan
ekonomi yang dihadapi oleh NI. Pekerjaan yang dilakukan dengan
pemasukan yang tidak seberapa turut mempengaruhi kondisi diri NI,
ditambah lagi dengan keharusan mengasuh ketiga anak sendiri tanpa
bantuan dari suami. Faktor yang kedua, adalah karena terjadinya
pernikahan dini itu sendiri. Usia anak pertama NI adalah 7 tahun, yang
berarti NI melahirkan anak pertamanya pada usia 16 tahun. Pernikahan
bisa jadi terjadi saat NI masih berusia 15 tahun. Belum siapnya mental NI
untuk menjadi ibu menurut saya menjadi faktor yang sangat berpengaruh
dalam terjadinya kekerasan.

2. Menurut saya, setelah melihat kedua faktor penyebab terjadinya


kekerasan, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan. Yang pertama, yakni
memperbaharui regulasi / aturan yang berkaitan dengan usia minimal
pernikahan. Karena, dengan betul-betul mempertimbangkan usia dan
perkembangan diri seseorang untuk menikah, tentu pernikahan akan
dilakukan oleh mereka yang siap secara usia maupun mental, yang tentu

3
saja akan mengurangi kekerasan terhadap anak, karena mental orang tua
memang telah siap. Yang kedua, perlunya ada kesadaran bagi orang tua,
masyarakat, dan siapa saja bahwa perilaku terhadap anak turut
mempengaruhi tumbuh kembang anak. Yang terakhir, adanya kepekaan
masyarakat tatkala melihat atau mencurigai tindakan kekerasan kepada
anak. Melakukan pelaporan ke Dinas Sosial atau lembaga terkait juga
dapat dilakukan apabila merasa tidak berkapasitas untuk melakukan
sendiri pencegahan atau penyelamatan kepada anak korban kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai