Anda di halaman 1dari 4

Kegiatan praktikum yang selanjutnya adalah induksi kalus dari eksplan batang hasil

kultur Hormon auksin 2,4-D merupakan golongan auksin sintesis yang mempunyai sifat
stabil, karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan
pada proses sterilisasi. Penambahan 2,4-D dalam media akan merangsang pembelahan dan
pembesaran sel pada eksplan sehingga memacu jaringan biji buncis. Media penginduksi kalus
yang digunakan adalah NP yang diberi penambahan hormon 2,4 D. pembentukan dan
pertumbuhan kalus serta meningkatkan senyawa kimia alami flavonoid.

Kalus merupakan sekumpulan sel-sel yang tumbuh tanpa mengalami diferensiasi. Jika
mengacu pada sifat totipotensi, maka kalus dapat membentuk individu baru. Kalus
merupakan suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah
diri secara terus menerus (Dodds & Roberts, 1983).. Menurut Hartmann (2002). Sel-sel
penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan sel-sel
lain. Dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di
dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Kalus dapat
diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan
kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Jenis tanaman yang menghasilkan kalus,
meliputi dikotil berdaun lebar, monokotil, gymnospermae, pakis dan moss. Bagian tanaman
seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah
untuk dediferensiasi dan menghasilkan kalus.
Eksplan adalah jaringan tanaman yang digunakan sebagai bahan tanam di dalam botol.
Eksplan dipilih dari jaringan yang masih muda karena jaringan tersebut tersusun atas sel-sel
yang masih muda dan selalu membelah, sehingga nantinya diharapkan bisa menghasilkan
tanaman yang sempurna sebagai eksplan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Pengambilan
eksplan dilakukan pada bagian tanaman yang banyak mengandung jaringan meristem. Pada
jaringan meristem akan terjadi pertambahan volume sel, diferensiasi sel, dan penambahan
jumlah sel. Pengambilan eksplan dari jaringan dewasa, dalam waktu lama tidak akan
terbentuk kalus karena kemampuan untuk membentuk jaringan tidak ada (Sandra, 2013).
Eksplan yang digunakan dalam praktikum ini berasal dari bagian hipokotil kecambah
buncis yang pada praktikum sebelumnya biji buncis tersebut dikecambahkan secara in-vitro.
Keuntungan dari eksplan yang dikecambahkan secara in-vitro diantaranya adalah kondisi
eksplan yang dihasilkan steril, selain itu pada umumnya semua bagian dari kecambah
menunjukkan responsifitas yang tinggi untuk diinduksi menjadi kalus karena sifatnya yang
masih meristematik. Indrianto (2003) menyatakan bahwa eksplan terbaik untuk induksi kalus
adalah jaringan dari bagian-bagian semai (seedling) yang dikecambahkan secara invitro.
Penelitian Kamada et al., (1993) menunjukkan jaringan di sekitar meristem pucuk kecambah
wortel, merupakan daerah yang banyak membentuk embrio somatik setelah diberi perlakuan
stres, bagian ini menurut Li et al., (1999) merupakan daerah yang kaya auksin.
Organ bagian batang buncis dipotong sepanjang kurang lebih 1 cm, kemudian
ditanam kedalam media. Potongan ini diusahakan akurat sesuai dengan ukuran dengan tujuan
mengantisipasi kegagalan in-vitro karena dalam beberapa kasus ukuran eksplan yang tidak
sesuai dapat mempengaruhi pertumbuhannya saat in-vitro. Zulkarnain (2009) menyatakan
bahwa ukuran eksplan dapat mempengaruhi repon hidup dari eksplan itu sendiri sehingga
akan berpengaruh pada keberhasilan kultur in vitro. Ukuran eksplan yang kecil akan
mempengaruhi fungsi fisiologis eksplan. Hal ini mungkin meng-akibatkan eksplan tidak
mampu bertahan lama. Ukuran eksplan yang terlalu kecil, memiliki kandungan senyawa
metabolit yang tidak mencukupi untuk mengimbangi zat pengatur tumbuh yang diberikan
pada media sehingga hanya mampu beradaptasi dan memberikan respon pembengkakan saja
dan pada akhirnya eksplan mengalami kematian.
Ukuran eksplan juga menentukan keberhasilan kultur jaringan. Eksplan yang
berukuran besar sangat dikhawatirkan banyak mengandung kontaminan, tetapi ukuran
eksplan yang terlalu kecil dianggap kurang efektif karena kemampuan perkembangannya
dalam media sangat lambat. Ukuran eksplan yang paling baik adalah 0,5-1 cm, namun ukuran
ini dapat bervariasi tergantung material tanaman yang dipakai dan jenis tanamannya
(Gunawan, 1995).
Berasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, mula-mula eksplan tampak
mengalami penebalan terutama pada bagian yang luka dan kontak langsung dengan medium
sehingga ukurannya bertambah besar. Penebalan eksplan ini merupakan hasil interaksi yang
sangat kompleks antara eksplan, komposisi medium, zat pengatur tumbuh dan kondisi
lingkungan selama periode inkubasi. Ajijah et al., (2010) mengatakan bahwa pembengkakan
pada eksplan adalah tahap awal pembentukan kalus yang mengindikasikan adanya aktifitas
sel pada eksplan. Respon pembengkakan terjadi karena adanya interaksi antara eksplan
terhadap lingkungan tumbuh dan zat pengatur tumbuh melalui penyerapan nutrisi yang
dilakukan oleh eksplan. Penambahan 2,4-D secara tungal pada penelitian ini sudah mampu
memberikan respon pembengkakan.
Auksin berpengaruh terhadap pembelahan, pembesaran dan pemanjangan sel.
Biasanya auksin diaplikasikan untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ
serta inisiasi akar. Zat pengatur tumbuh 2.4-D merupakan golongan auksin yang sering
digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus embriogenik pada serealia, 2.4-D berperan
dalam memacu hipermethilasi pada DNA, sehingga pembelahan sel selalu dalam fase mitosis,
dengan demikian maka pembentukan kalus menjadi optimal (Meneses et al., 2005).
Awalnya tampak terbentuk kalus pada kedua kedua ujung eksplan yang merupakan
hasil potongan (terlukai oleh scalpel). Dari fakta yang ada, dapat dibuktikan bahwa kalus
merupakan respon tumbuhan saat bagian tubuhnya mengalami luka. Menurut George &
Sherrington (1984) Secara in vivo, kalus umumnya terbentuk dari bekas-bekas luka pada
bagian tumbuhan ataupun akibat stress. Dan biasanya kalus yang terbentuk dari bekas luka
disebut tumor. Selanjutnya, kalus yang terbentuk dapat menutupi seluruh permukaan eksplan,
meskipun tidak semua eksplan tampak serentak membentuk kalus. Hal ini mungkin
disebabkan oleh tingkat responsifitas eksplan terhadap medium kultur yang tidak sama. Dari
hasil pengamatan, kalus yang terbentuk berwarna putih bening sedikit kekuningan dengan
tekstur friable atau remah. Kalus yang dihasilkan berwarna putih kekuningan berbentuk
bulatan-bulatan dan mudah dipisahkan (remah) disebut bersifat embriogenik. Menurut
Peterson and Smith (l991) kalus yang embriogenik adalah yang berwarna putih kuning,
mengkilat dan remah (mudah dipisahkan membentuk fragmen), sedangkan kalus yang non
embriogenik pada umumnya berwarna kuning kecoklatan, agak pucat dan lembek berair
sehingga sulit dipisahkan. Hasil yang sama dari penelitian Capuana dan Debergh (1997)
menunjukkan bahwa kalus yang dihasilkan dari perlakuan 2,4-D mempunyai tekstur remah
dan berwarna kekuningan. Sel-sel kalus tersebut dapat berkembang membentuk embrio
somatik. Shimizu et al., (1997) juga menemukan kalus yang berwarna putih atau kekuningan
dengan tekstur remah merupakan kalus yang kompeten membentuk embrio somatik.
Sel yang mempunyai kemampuan menjadi embriogenik sangat tergantung pada
tingkat awal diferensiasi sel serta kondisi lingkungan yang mendukungnya terutama interaksi
kandungan hormon endogen dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh eksogen yang diberikan
sehingga konsentrasi zat pengatur tumbuh di dalam sel berubah. Perubahan konsentrasi
tersebut merupakan triggering factor atau faktor pemicu yang dapat mempengaruhi ekspresi
gen dalam menentukan embriogenesis somatik. Ciri fisik ini merupakan ciri umum kalus
yang bersifat embriogenik, yakni kalus yang dapat berkembang menjadi embrio somatik jika
di sub kultur pada medium baru yang sesuai. Perubahan warna juga diduga karena adanya
sintesis senyawa fenolik akibat adanya cekaman berupa pelukaan pada jaringan. Pernyataan
tersebut diperkuat oleh Verpoorte et al. (1993), bahwa terjadinya pencokelatan pada jaringan
adalah karena aksi polifenol oksidase dan tirosinase yang disintesis akibat dari oksidasi
jaringan ketika terluka.
Berikutnya adalah praktikum menginduksi tunas secara in-vitro. Adapun eksplan yang
digunakan berasal dari eksplan yang sama saat menginduksi kalus yakni eksplan batang
tanaman buncis. Tunas yang diinduksi ini muncul ketika eksplan ditanam pada media NP
dengan penambahan zat pengatur tumbuh berupa BAP. Menurut Wattimena (1987) Benzyl
Amino Purine (BAP) adalah zat pengatur tumbuh sitokinin yang dapat mendorong
pembelahan sel pada tumbuhan. Sitokinin dihasilkan pada jaringan aktif pada akar, embrio
dan buah. Selanjutnya akan diproduksi di akar yang akan diangkut oleh xilem menuju sel-sel
pada batang. BAP ini mempengaruhi segala proses fisiologis didalam tanaman, selain itu
BAP berpengaruh dalam perkembangan embrio, menghambat proses penghancuran butir-bitir
klorofil pada daun-daun yang terlepas pada tanaman, serta memperlambat proses senescence
pada daun, buah dan organ-organ lainnya.
ZPT yang ditambahkan ke dalam media kultur jaringan berfungsi untuk mengatur
pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Rasio antara ZPT dari luar dengan hormon yang
diproduksi tanaman (endogen) akan menentukan arah perkembangan kultur dan tipe
pembentukan organnya. Penambahan ZPT dari luar tersebut akan mengubah level ZPT
endogen, dengan demikian level baru ZPT akan menjadi faktor pemicu untuk proses
pertumbuhan dan morfogenesis eksplan (Gunawan, 1988). Hal ini dapat menjelaskan bahwa
penambahan sitokinin (BAP) pada media dalam praktikum ini dapat memacu induksi tunas.
Menurut Rahardjo (1989) Sitokinin adalah hormon yang berpengaruh terhadap fisiologis
tanaman. Sitokinin berhubungan dengan pembelahan sel, modifikasi apikal dominan dan
pembentukan tunas. Dalam kultur jaringan, sitokinin sangat berperan dalam diferensiasi kalus
menjadi bakal tunas. Pembelahan sel pada jaringan yang ditumbuhkan pada media buatan
juga dipengaruhi oleh sitokinin.
Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa induksi tunas yang tumbuh
berwarna kecoklatan dan ada beberapa titik berwarna hijau. Berdasarkan jurnal penelitian
terdahulu tampak ada perubahan warna dari kuning atau coklat menjadi kehijauan dan
kemudian membentuk spot atau nodul-nodul berwarna hijau bakal tunas. Menurut George
(l993) Adanya pembentukan tunas ditandai antara lain terjadinya perubahan warna dari
kecoklatan atau dari kuning menjadi putih kekuningan selanjutnya menjadi kehijauan,
perubahan warna tersebut merupakan tanda adanya morphogenesis (George, l993).

Anda mungkin juga menyukai