Secara historis rumusan- rumusan Pancasila dapat dibedakan dalam tiga kelompok
(Bakry, 1998: 20) :
a. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai
dasar negara Republik Indonesia, termasuk Piagam Djakarta.
b. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan
Proklamasi Kemerdekaan.
c. Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku
kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Masa Pengusulan
Dalam sidang Teiku Gikoi (Parlemen Jepang) pada tanggal 7 September 1944,
perdana menteri Jepang Jendral Kuniaki Koisi, atas nama pemerintah Jepang
mengeluarkan janji kemerdekaan Indonesia yang akan diberikan pada tanggal 24 Agustus
1945, sebagai janji politik. Sebagai realisasi janji ini, pada tanggal 1 Maret 1945 Jepang
mengumumkan akan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Badan ini baru terbentuk pada
tanggal 29 April 1945.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada
tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa),
dengan susunan sebagai berikut Ketua Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat, ketua muda
Ichibangase Yosio (anggota luar biasa, bangsa Jepang), Ketua Muda R. Panji Soeroso
(merangkap Tata Usaha), sedangkan anggotanya berjumlah 60 orang tidak termasuk
ketua dan ketua muda.
Adanya badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat mempersiapkan
kemerdekaannya secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi
sebagai negara yang merdeka. Oleh karena itu, peristiwa ini dijadikan sebagai suatu
tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama pada
tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua pada tanggal 10 Juli
sampai dengan 17 Juli 1945.
Masa Sidang Pertama BPUPKI
Pada sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin mengemukakan usul
yang disampaikan dalam pidatonya yang berjudul asas dan dasar negara Kebangsaan
Indonesia di hadapan sidang lengkap BPUPKI. Beliau mengusulkan dasar negara bagi
Indonesia Merdeka yang akan dibentuk meliputi Peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri
Ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Selain usulan dalam bentuk pidato, usulan M. Yamin juga disampaikan dalam
bentuk tertulis tentang lima asas dasar negara dalam rancangan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia yang berbeda rumusan kata-kata dan sistematikanya
dengan isi pidatonya. Rumusannya yang tertulis adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia,
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan perihal yang pada dasarnya bukan
dasar negara merdeka, akan tetapi tentang paham negaranya yaitu negara yang berpaham
integralistik. Soepomo mengusulkan tentang dasar pemikiran negara nasional bersatu
yang akan didirikan harus berdasarkan atas pemikiran integralistik tersebut yang sesuai
dengan struktur sosial Indonesia sebagai ciptaan budaya bangsa Indonesia yaitu: struktur
kerohanian dengan cita-cita untuk persatuan hidup, persatuan kawulo gusti, persatuan
dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan
pemimpin-pemimpinnya.
Syarat mutlak bagi adanya negara menurut Soepomo adalah adanya daerah,
rakyat, dan pemerintahan. Mengenai dasar dari negara Indonesia yang akan didirikan,
ada tiga persoalan yaitu:
1. Persatuan negara, negara serikat, persekutuan negara,
2. Hubungan antara negara dan agama,
3. Republik atau monarchie.
Pada hari berikutnya, tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno juga mengusulkan lima
dasar bagi negara Indonesia yang disampaikan melalui pidatonya mengenai Dasar
Indonesia merdeka. Lima dasar itu atas petunjuk seseorang ahli bahasa yaitu Mr. M.
Yamin. Lima dasar yang diajukan Bung Karno ialah Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau perikemanusiaa, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial,
Ketuhanan yang berkebudayaan. Lima rumusan tersebut menurutnya dapat diringkas
menjadi tiga rumusan yang diberi nama Tri-Sila yaitu dasar pertama, kebangsaan dan
perikemanusiaan (nasionalisme dan internasionalisme) diringkas menjadi satu diberi
nama sosio-nasionalisme. Dasar kedua, demokrasi dan kesejahteraan diringkas menjadi
menjadi satu dan biberi nama sosio-demokrasi. Sedangkan dasar yang ketiga, ketuhanan
yang berkebudayaan yang menghormati satu sama lain disingkat menjadi ketuhanan.
Setelah selesai masa sidang pertama, dengan usulan dasar negara baik dari M.
Yamin dan Soekarno, dan paham negara integralistik dari Soepomo maka untuk
menampung perumusan-perumusan yang bersifat perorangan, dibentuklah panitia kecil
penyelidik usul-usul yang terddiri atas Sembilan orang yang diketuai oleh Soekarno,
yang kemudian disebut dengan panitia Sembilan.
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan
pembukaan Hukum Dasar, yang oleh Mr. M. Yamin dinamakan Jakarta Charter atau
Piagam Jakarta. Di dalam rancangan pembukaan alinea keempat terdapat rumusan
Pancasila yang tata urutannya tersusun secara sistematis:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat rumusan teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang pertama berbunyi “Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaannya”. Kalimat ini merupakan cetusan hati nurani bangsa Indonesia yang
diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat disebut sebagai
declaration of Indonesian Independence.
Masa Sidang Kedua BPUPKI
Masa sidang kedua BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli
1945, merupakan masa sidang penentuan perumusan dasar negara yang akan merdeka
sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini
ditambah enam orang anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945
menerima hasil panitia kecil atau panitia Sembilan yang disebut dengan piagam Jakarta.
Disamping menerima hasil rumusan Panitia Sembilan dibentuk juga panitia-panitia
Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum
Dasar yaitu:
a. Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota yang
berjumlah 19 orang,
b. Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23
orang,
c. Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Moh. Hatta bersama 23 orang anggota.
Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945,
maka lima dasar yang diberi nama Pancasila tetap tercantum di dalamnya. Hanya saja
sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas prakarsa Drs. Moh. Hatta. Rumusan
Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai rumusan kelima dalam sejarah
perumusan Pancasila, dan merupakan rumusan pertama yang diakui sebagai dasar filsafat
negara secara formal.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan suatu asas kerohanian yang
meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai,
norma serta kaidah baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik
yang tertulis atau UUD, maupun yang tidak tertulis atau konvensi. Oleh karena itu,
kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini memiliki kekuatan yang mengikat secara
hukum. Seluruh bangsa Indonesia tak terkecuali dengan demikian wajib mengamalkan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Indonesia, ia tercantum dalam
ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan lebih lanjut di dalam
pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya
dikonkrietisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945 maupun dalam hukum positif lainnya.
Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini lebih lanjut dapat dirinci
sebagai berikut: Pertama; Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala
sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia. Kedua; Pancasila sebagai dasar
negara meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Ketiga; Pancasila sebagai dasar
negara mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara Indonesia. Keempat;
Pancasila sebagai dasar negara mengandung norma yang mengharuskan UUD
mengandung isi yang mewajibkan pemerintah maupun para penyelenggara negara untuk
memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang
luhur.
Kedudukan pancasila sebagai idiologi Negara dan falsafah bangsa yang pernah
dikeramatkan dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada
akhir dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api pancasila
sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang diawali oleh
kahendak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung pada persatuan dan
kesatuan. Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan yang
terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan sebuah
revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim, neokolonialisme) serta ikut menata
dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas bangsa dan penghisapan manusia dengan
manusia.
Orde lama berlangsung dari tahun 1959-1966. Pada masa itu berlaku demokrasi
terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno
meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitu
demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai
dengan makna yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana
demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertetu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering
terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan
dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan
pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang
seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan
sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin memburuk puncak
dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI yang sangat
membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI
memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969
(Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya
keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintah. Lahirnya
Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang
terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil
dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini.
Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di segala bidang. Era
pembangunan, era penuh kestabilan, menimbulkan romantisme dari banyak kalangan.
Diera Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari
keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin
menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan; Pancasila
begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat tidak
memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan
“menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat
politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman nilai-nilai
Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat
Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup
baik, dan budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai
tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan
berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu
organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan
Pancasila sebagai asas utamanya.
Romantisme Pelaksanaan P4
Di era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai
Pancasila, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi penataran
P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945, Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang berkaitan
dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme. Kebijakan tersebut disosialisaikan
pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah termasuk penataran P4 untuk siswa
baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang lalu
dilanjutkan di perguruan tinggi hingga di wilayah kerja. Pelaksanaannya dilakukan
secara menyeluruh melalui Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode indoktrinasi.
Visi Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen.
Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD
1945 menjadi semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol
perilaku masyarakat. Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau
hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya dianggap salah kalau
bertentangan dengan kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda
pendapat dengan negara dalam prakteknya malah dengan mudahnya dikriminalisasi.
Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa sejalan dengan
fakta yang terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan pemerintah. Akibatnya, bukan
nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan
yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai
nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata,
sehingga banyak masyarakat pun tidak menerima adanya penataran yang tidak dibarengi
dengan perbuatan pemerintah yang benar-benar pro-rakyat.
Pancasila yang Begitu Diagung-Agungkan
Pada era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila. Secara
pribadi, Soeharto sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai keberadaan
Pancasila, yang kesemuanya memberikan penilaian setinggi-tingginya terhadap
Pancasila. Ketika Soeharto memberikan pidato dalam Peringatan Hari Lahirnya
Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan Pancasila sebagai suatu force yang
dikemas dalam berbagai frase bernada angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato
tersebut, Soeharto menyatakan Pancasila sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber
tertib sosial” dan “sumber tertib seluruh perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib
negara” dan “sumber tertib hukum”. Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda
tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto menyatakan, “Pancasila janganlah hendaknya hanya
dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat dikatakan tidak ada yang lebih
kuat maknanya selain Pancasila di Indonesia, pada saat itu, dan dalam era Orde Baru.
Demokrasi Pancasila: Wajah Semu Era Orde Baru
Di dalam P4, melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) No. II/MPR/1978 (sudah
dicabut), adalah 36 butir Pancasila sebagai ciri-ciri manusia Pancasilais. Pemerintah
Orde Baru mengharapkan melalui 36 butir Pancasila, yang serta merta “wajib
hukumnya” untuk dihafal, akan terbentuk suatu tatanan rakyat Indonesia yang
mempraktikkan kesemuanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lalu terciptalah
negara Indonesia yang adil dan makmur, di segala bidang. Akan tetapi, justru
penghafalan itu yang menjadi bumerangnya. Cita-cita yang terkembang melalui P4
hanya keluar dari mulut saja, tanpa ada pengamalan yang berarti untuk setiap butir yang
terkandung di dalamnya, meskipun tidak terjadi secara general.
DAFTAR PUSTAKA
Ubaedillah A & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Icce.
Darmodiharjo, Darji. 1982. Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta: Aries Lima
Tim Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2005. Pendidikan Pancasila.
Winatapura, Udin. S, dkk. 2008. Buku Materi dan Pembelajaran Pkn SD. Jakarta: Universitas
Terbuka