Anda di halaman 1dari 16

a.

Pancasila Era Pra Kemerdekaan

Menurut Sunoto (1984) melalui kajian filsafat Pancasila, menyatakan bahwa


unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara formal
Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945,
namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur
Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan merdeka. Sejarah bangsa
Indonesia memberikan bukti yang dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan,
bahasa, kesenian, kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya. (Sunoto, 1984:
1). Dengan rinci Sunoto menunjukkan fakta historis, diantaranya adalah:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa : bahwa di Indonesia tidak pernah ada putus-putusnya
orang percaya kepada Tuhan.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab : bahwa bangsa Indonesia terkenal ramah tamah,
sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia.
c. Persatuan Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya guyub, rukun,
bersatu, dan kekeluargaan.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan : bahwa unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam
masyarakat kita.
e. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dalam
menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat social dan berlaku adil terhadap
sesama.

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, ditetapkan pada tanggal 18


Agustus 1945 sebagai dasar negara, maka nilai-nilai kehidupan berbangsa, bernegara dan
berpemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila, namun pada
kenyataannya, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila telah dipraktekkan oleh nenek
moyang bangsa Indonesia dan kita praktekkan hingga sekarang. Hal ini berarti bahwa
semua nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah ada dalam kehidupan rakyat
Indonesia sejak zaman nenek moyang.
Teori Nilai Budaya
Bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila telah ada dan dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari sejak bangsa Indonesia itu ada. Keberadaan Pancasila masih belum
terumuskan secara sistematis seperti sekarang yang dapat kita lihat. Pancasila pada masa
tersebut identik dengan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa Indonesia sebagai nilai
budaya. Nilai budaya merupakan pedoman hidup bersama yang tidak tertulis dan
merupakan kesepakatan bersama yang diikuti secara suka rela.
Nilai budaya merupakan suatu upaya untuk menjawab persoalan-persoalan yang
cukup vital dalam kehidupan manusia. Nilai budaya merupakan cara manusia menjawab
baik secara pribadi atau masyarakat terhadap masalah-masalah yang mendasar di dalam
hidupnya. Nilai tersebut merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdiri dari konsepsi-
konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-
hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. (Koentjaraningrat, 1974: 32).
Nilai budaya akan mempengaruhi pandangan hidup, sistem normatif moral dan
seterusnya hingga akhirnya pengaruh itu sampai pada hasil tindakan manusia.
Nilai budaya dengan masing-masing orientasinya akan mempengaruhi pandangan
hidup. Pandangan hidup adalah sesuatu yang dipakai oleh masyarakat dalam menentukan
nilai kehidupan. Pandangan hidup sebenarnya meliputi bagaimana masyarakat
memandang aspek hubungan dalam hidup dan kehidupan yakni hubungan manusia
dengan yang transenden, hubungan dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan
sesama makhluk lain. Dalam bahasa Notonagoro dikenal istilah-istilah kedudukan kodrat,
susunan kodrat, sifat kodrat manusia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia
mempunyai tiga kecenderungan mendasar yaitu theo-genetis, bio-genetis, dan sosio-
genetis.
A.T. Soegito (1999: 32) dengan mengutip beberapa sumber bacaan menjelaskan
bahwa mengenal diri sendiri berarti mengetahui apa yang dapat dilakukannya, dan tak
seorang pun akan tahu apa yang dapat dilakukannya sebelum dia mencoba, satu-satunya
petunjuk yang dapat ditemukan untuk mengetahui sesuatu yang dapat dilakukan manusia
adalah dengan mengetahui kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh manusia yang
terdahulu. Oleh karena itu, nilai sejarah terletak pada kenyataan bahwa ia mengajarkan
apa yang telah dilakukan oleh manusia dan dengan demikian apa sesungguhnya manusia.
Tanpa mengetahui sejarah, seseorang tidak dapat memperoleh pengertian kualitatif dari
gejala-gejala sosial yang ada. Secara rinci Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa fungsi
pengajaran sejarah nasional Indonesia meliputi :
1. Membangkitkan perhatian serta minat kepada sejarah tanah air
2. Mendapatkan inspirasi dari cerita sejarah
3. Memupuk alam pikiran ke arah kesadaran sejarah
4. Memberi pola pikiran ke arah kesadaran sejarah
5. Mengembangkan pikiran penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terkait dengan
Pancasila, Dardji Darmodihardjo mengajukan kesimpulan bahwa nilai-nilai Pancasila
telah menjiwai tonggak-tonggak sejarah nasional Indonesia yaitu :
1. Cita- cita luhur bangsa Indonesia yang diperjuangkan untuk menjadi kenyataan.
2. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut berlangsung berabad-abad, bertahap dan
menggunakan cara yang bermacam-macam.
3. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi sejarah
perjuangan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh pancasila.
4. Pembukaan UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945.
5. Empat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 paham negara persatuan, negara
bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, negara
berdasarkan kedaulatan rakyat, negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
6. Pasal-pasal UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari pokok-pokok yang
terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yang berjiwakan Pancasila.
7. Maka penafsiran sila-sila pancasila harus bersumber, berpedoman dan berdasar
kepada Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. (Dardji Darmodihardjo, 1978: 40).

Secara historis rumusan- rumusan Pancasila dapat dibedakan dalam tiga kelompok
(Bakry, 1998: 20) :
a. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai
dasar negara Republik Indonesia, termasuk Piagam Djakarta.
b. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan
Proklamasi Kemerdekaan.
c. Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku
kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Masa Pengusulan
Dalam sidang Teiku Gikoi (Parlemen Jepang) pada tanggal 7 September 1944,
perdana menteri Jepang Jendral Kuniaki Koisi, atas nama pemerintah Jepang
mengeluarkan janji kemerdekaan Indonesia yang akan diberikan pada tanggal 24 Agustus
1945, sebagai janji politik. Sebagai realisasi janji ini, pada tanggal 1 Maret 1945 Jepang
mengumumkan akan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Badan ini baru terbentuk pada
tanggal 29 April 1945.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada
tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa),
dengan susunan sebagai berikut Ketua Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat, ketua muda
Ichibangase Yosio (anggota luar biasa, bangsa Jepang), Ketua Muda R. Panji Soeroso
(merangkap Tata Usaha), sedangkan anggotanya berjumlah 60 orang tidak termasuk
ketua dan ketua muda.
Adanya badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat mempersiapkan
kemerdekaannya secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi
sebagai negara yang merdeka. Oleh karena itu, peristiwa ini dijadikan sebagai suatu
tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama pada
tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua pada tanggal 10 Juli
sampai dengan 17 Juli 1945.
Masa Sidang Pertama BPUPKI
Pada sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin mengemukakan usul
yang disampaikan dalam pidatonya yang berjudul asas dan dasar negara Kebangsaan
Indonesia di hadapan sidang lengkap BPUPKI. Beliau mengusulkan dasar negara bagi
Indonesia Merdeka yang akan dibentuk meliputi Peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri
Ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Selain usulan dalam bentuk pidato, usulan M. Yamin juga disampaikan dalam
bentuk tertulis tentang lima asas dasar negara dalam rancangan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia yang berbeda rumusan kata-kata dan sistematikanya
dengan isi pidatonya. Rumusannya yang tertulis adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia,
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan perihal yang pada dasarnya bukan
dasar negara merdeka, akan tetapi tentang paham negaranya yaitu negara yang berpaham
integralistik. Soepomo mengusulkan tentang dasar pemikiran negara nasional bersatu
yang akan didirikan harus berdasarkan atas pemikiran integralistik tersebut yang sesuai
dengan struktur sosial Indonesia sebagai ciptaan budaya bangsa Indonesia yaitu: struktur
kerohanian dengan cita-cita untuk persatuan hidup, persatuan kawulo gusti, persatuan
dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan
pemimpin-pemimpinnya.
Syarat mutlak bagi adanya negara menurut Soepomo adalah adanya daerah,
rakyat, dan pemerintahan. Mengenai dasar dari negara Indonesia yang akan didirikan,
ada tiga persoalan yaitu:
1. Persatuan negara, negara serikat, persekutuan negara,
2. Hubungan antara negara dan agama,
3. Republik atau monarchie.

Pada hari berikutnya, tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno juga mengusulkan lima
dasar bagi negara Indonesia yang disampaikan melalui pidatonya mengenai Dasar
Indonesia merdeka. Lima dasar itu atas petunjuk seseorang ahli bahasa yaitu Mr. M.
Yamin. Lima dasar yang diajukan Bung Karno ialah Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau perikemanusiaa, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial,
Ketuhanan yang berkebudayaan. Lima rumusan tersebut menurutnya dapat diringkas
menjadi tiga rumusan yang diberi nama Tri-Sila yaitu dasar pertama, kebangsaan dan
perikemanusiaan (nasionalisme dan internasionalisme) diringkas menjadi satu diberi
nama sosio-nasionalisme. Dasar kedua, demokrasi dan kesejahteraan diringkas menjadi
menjadi satu dan biberi nama sosio-demokrasi. Sedangkan dasar yang ketiga, ketuhanan
yang berkebudayaan yang menghormati satu sama lain disingkat menjadi ketuhanan.
Setelah selesai masa sidang pertama, dengan usulan dasar negara baik dari M.
Yamin dan Soekarno, dan paham negara integralistik dari Soepomo maka untuk
menampung perumusan-perumusan yang bersifat perorangan, dibentuklah panitia kecil
penyelidik usul-usul yang terddiri atas Sembilan orang yang diketuai oleh Soekarno,
yang kemudian disebut dengan panitia Sembilan.
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan
pembukaan Hukum Dasar, yang oleh Mr. M. Yamin dinamakan Jakarta Charter atau
Piagam Jakarta. Di dalam rancangan pembukaan alinea keempat terdapat rumusan
Pancasila yang tata urutannya tersusun secara sistematis:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat rumusan teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang pertama berbunyi “Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaannya”. Kalimat ini merupakan cetusan hati nurani bangsa Indonesia yang
diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat disebut sebagai
declaration of Indonesian Independence.
Masa Sidang Kedua BPUPKI
Masa sidang kedua BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli
1945, merupakan masa sidang penentuan perumusan dasar negara yang akan merdeka
sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini
ditambah enam orang anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945
menerima hasil panitia kecil atau panitia Sembilan yang disebut dengan piagam Jakarta.
Disamping menerima hasil rumusan Panitia Sembilan dibentuk juga panitia-panitia
Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum
Dasar yaitu:
a. Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota yang
berjumlah 19 orang,
b. Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23
orang,
c. Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Moh. Hatta bersama 23 orang anggota.

Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil.


Perancang Hukum Dasar yang dipimpin oleh Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam
rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah menyelesaikan tugasnya menyusun
Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya pada tanggal 14 Juli 1945 sidang BPUPKI
mengesahkan naskah rumusan panitia Sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai
Rancangan Pembukaan Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh
Rancangan Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga memuat
Piagam Jakarta sebagai pembukaan.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, hanya merupakan sidang
penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia secara
resmi. Dengan berakhirnya sidang ini maka selesailah tugas badan tersebut, yang
hasilnya akan dijadikan dasar bagi negara Indonesia yang akan dibentuk sesuai dengan
janji Jepang. Sampai akhir sidang BPUPKI ini rumusan Pancasila dalam sejarah
perumusannya ada empat macam:
a. Rumusan pertama Pancasila adalah usul dari Muh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945,
yaitu usul pribadi dalam bentuk pidato,
b. Rumusan kedua Pancasila adalah usul Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yakni usul
pribadi dalam bentuk tertulis,
c. Rumusan ketiga Pancasila usul bung Karno tanggal 1 Juni 1945, usul pribadi dengan
nama Pancasila,
d. Rumusan keempat Pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, hasil
kesepakatan bersama pertama kali.
Meskipun Pancasila secara formal belum menjadi dasar negara Indonesia, namun
unsur-unsur sila-sila Pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia telah menjadi dorongan
perjuangan bangsa Indonesia pada masa silam. Pada saat proklamasi, semua kekuatan
dari berbagai lapisan masyarakat bersatu dan siap mempertahankan serta mengisi
kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah revolusi Pancasila.
Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 18 Agustus
1945, diadakan sidang pleno PPKI untuk membahas Naskah Rancangan Hukum Dasar
yang akan ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar (1945). Tugas PPKI semula hanya
memeriksa hasi sidang BPUPKI, kemudian anggotanya disempurnakan. Penambahan
keanggotaan ini menyempurnakan kedudukan dan fungsi yang sangat penting sebagai
wakil bangsa Indonesia dalam membentuk negara Republik Indonesia setelah Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945
berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan
menetapkan (Kaelan, 1993: 43-45) :
a. Piagam Jakarta yang telah diterima sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar
oleh BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan
sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
b. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945
setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia.
c. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yaitu Ir. Soekarno sebagai
Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden.
d. Menetapkan berdirinya Komite Nasional sebagai Badan Musyawarah darurat.

Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945,
maka lima dasar yang diberi nama Pancasila tetap tercantum di dalamnya. Hanya saja
sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas prakarsa Drs. Moh. Hatta. Rumusan
Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai rumusan kelima dalam sejarah
perumusan Pancasila, dan merupakan rumusan pertama yang diakui sebagai dasar filsafat
negara secara formal.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan suatu asas kerohanian yang
meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai,
norma serta kaidah baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik
yang tertulis atau UUD, maupun yang tidak tertulis atau konvensi. Oleh karena itu,
kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini memiliki kekuatan yang mengikat secara
hukum. Seluruh bangsa Indonesia tak terkecuali dengan demikian wajib mengamalkan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Indonesia, ia tercantum dalam
ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan lebih lanjut di dalam
pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya
dikonkrietisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945 maupun dalam hukum positif lainnya.
Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini lebih lanjut dapat dirinci
sebagai berikut: Pertama; Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala
sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia. Kedua; Pancasila sebagai dasar
negara meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Ketiga; Pancasila sebagai dasar
negara mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara Indonesia. Keempat;
Pancasila sebagai dasar negara mengandung norma yang mengharuskan UUD
mengandung isi yang mewajibkan pemerintah maupun para penyelenggara negara untuk
memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang
luhur.

B. Pancasila Era Kemerdekaan


Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, Pancasila
mengalami banyak perkembangan. Sesaat setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945,
Pancasila melewati masa-masa percobaan demokrasi. Pada waktu itu, Indonesia masuk
ke dalam era percobaan demokrasi multi-partai dengan sistem kabinet parlementer.
Partai-partai politik pada masa itu tumbuh sangat subur, dan proses politik yang ada
cenderung selalu berhasil dalam mengusung kelima sila sebagai dasar negara (Somantri,
2006). Pancasila pada masa ini mengalami masa kejayaannya. Selanjutnya, pada akhir
tahun 1959, Pancasila melewati masa kelamnya dimana Presiden Soekarno menerapkan
sistem demokrasi terpimpin. Pada masa itu, presiden dalam rangka tetap memegang
kendali politik terhadap berbagai kekuatan mencoba untuk memerankan politik integrasi
paternalistik (Somantri, 2006). Pada akhirnya, sistem ini seakan mengkhianati nilai-nilai
yang ada dalam Pancasila itu sendiri, salah satunya adalah sila permusyawaratan.
Kemudian, pada 1965 terjadi sebuah peristiwa bersejarah di Indonesia dimana partai
komunis berusaha melakukan pemberontakan. Pada 11 Maret 1965, Presiden Soekarno
memberikan wewenang kepada Jenderal Suharto atas Indonesia. Ini merupakan era awal
orde baru dimana kemudian Pancasila mengalami mistifikasi. Pancasila pada masa itu
menjadi kaku dan mutlak pemaknaannya. Pancasila pada masa pemerintahan presiden
Soeharto kemudia menjadi core-values (Somantri, 2006), yang pada akhirnya kembali
menodai nilai-nilai dasar yang sesungguhnya terkandung dalam Pancasila itu sendiri.
Pada 1998, pemerintahan presiden Suharto berakhir dan Pancasila kemudian masuk ke
dalam era baru yaitu era demokrasi, hingga hari ini.

C. Pancasila Era Orde Lama

Kedudukan pancasila sebagai idiologi Negara dan falsafah bangsa yang pernah
dikeramatkan dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada
akhir dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api pancasila
sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang diawali oleh
kahendak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung pada persatuan dan
kesatuan. Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan yang
terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan sebuah
revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim, neokolonialisme) serta ikut menata
dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas bangsa dan penghisapan manusia dengan
manusia.
Orde lama berlangsung dari tahun 1959-1966. Pada masa itu berlaku demokrasi
terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno
meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitu
demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai
dengan makna yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana
demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertetu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering
terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan
dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan
pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang
seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan
sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin memburuk puncak
dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI yang sangat
membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI
memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969
(Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya
keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintah. Lahirnya
Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.

D. Pancasila Era Orde Baru

Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang
terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil
dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini.
Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di segala bidang. Era
pembangunan, era penuh kestabilan, menimbulkan romantisme dari banyak kalangan.
Diera Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari
keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin
menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan; Pancasila
begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat tidak
memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan
“menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat
politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman nilai-nilai
Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat
Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup
baik, dan budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai
tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan
berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu
organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan
Pancasila sebagai asas utamanya.
Romantisme Pelaksanaan P4
Di era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai
Pancasila, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi penataran
P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945, Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang berkaitan
dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme. Kebijakan tersebut disosialisaikan
pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah termasuk penataran P4 untuk siswa
baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang lalu
dilanjutkan di perguruan tinggi hingga di wilayah kerja. Pelaksanaannya dilakukan
secara menyeluruh melalui Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode indoktrinasi.
Visi Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen.
Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD
1945 menjadi semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol
perilaku masyarakat. Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau
hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya dianggap salah kalau
bertentangan dengan kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda
pendapat dengan negara dalam prakteknya malah dengan mudahnya dikriminalisasi.
Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa sejalan dengan
fakta yang terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan pemerintah. Akibatnya, bukan
nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan
yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai
nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata,
sehingga banyak masyarakat pun tidak menerima adanya penataran yang tidak dibarengi
dengan perbuatan pemerintah yang benar-benar pro-rakyat.
Pancasila yang Begitu Diagung-Agungkan
Pada era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila. Secara
pribadi, Soeharto sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai keberadaan
Pancasila, yang kesemuanya memberikan penilaian setinggi-tingginya terhadap
Pancasila. Ketika Soeharto memberikan pidato dalam Peringatan Hari Lahirnya
Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan Pancasila sebagai suatu force yang
dikemas dalam berbagai frase bernada angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato
tersebut, Soeharto menyatakan Pancasila sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber
tertib sosial” dan “sumber tertib seluruh perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib
negara” dan “sumber tertib hukum”. Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda
tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto menyatakan, “Pancasila janganlah hendaknya hanya
dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat dikatakan tidak ada yang lebih
kuat maknanya selain Pancasila di Indonesia, pada saat itu, dan dalam era Orde Baru.
Demokrasi Pancasila: Wajah Semu Era Orde Baru
Di dalam P4, melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) No. II/MPR/1978 (sudah
dicabut), adalah 36 butir Pancasila sebagai ciri-ciri manusia Pancasilais. Pemerintah
Orde Baru mengharapkan melalui 36 butir Pancasila, yang serta merta “wajib
hukumnya” untuk dihafal, akan terbentuk suatu tatanan rakyat Indonesia yang
mempraktikkan kesemuanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lalu terciptalah
negara Indonesia yang adil dan makmur, di segala bidang. Akan tetapi, justru
penghafalan itu yang menjadi bumerangnya. Cita-cita yang terkembang melalui P4
hanya keluar dari mulut saja, tanpa ada pengamalan yang berarti untuk setiap butir yang
terkandung di dalamnya, meskipun tidak terjadi secara general.

E. Pancasila Era Reformasi


Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai
dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara
Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap
yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka
berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai
landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap perbuatan
baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus berdasarkan hukum, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam pengembangan hukum,
Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan
tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak
bertentangan dengan sila-sila pancasila.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti
bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di
implementasikan sebagai berikut :
a. Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup keadilan politik, agama, dan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
b. Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam pengambilan keputusan.
c. Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan
konsep mempertahankan kesatuan.
d. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
e. Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang
Maha Esa.
Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian
bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam
kehidupan nyata.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan
mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana
pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat
majemuk. Oleh karena itu smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945
yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas, karena
kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang memperkuat
persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka
paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah
meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan
dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.
Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan
filsafat ilmu (philosophy of science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila
sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek
ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu
pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk
mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang
secara utuh, dalam dimensinya sebagai proses menggambarkan suatu aktivitas warga
masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi,
eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan
kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud
karya-karya ilmiah beserta aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik.
Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya
dijadikan metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan
ilmu pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang
dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri. Aksilogis, yaitu
bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan efek
pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan Pancasila dan
secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai
dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara
Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap
yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh
PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang
naiknya sejarah bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan
perkembangan Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu :
1. Tahap 1945 – 1968 Sebagai Tahap Politis
Dimana orientasi pengembangan Pancasila diarahkan kepada Nation and Character
Building. Hal ini sebagai perwujudan keinginan bangsa Indonesia untuk survival dari
berbagai tantangan yang muncul baik dalam maupun luar negeri, sehingga atmosfir
politik sebagai panglima sangat dominan. Pancasila sebagai Dasar Negara misalnya
menurut Notonagoro dan Driarkara. Kedua ilmuwan tersebut menyatakan bahwa
Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan bahkan Pancasila merupakan suatu paham atau aliran filsafat
Indonesia, dan ditegaskan bahwa Pancasila merupakan rumusan ilmiah filsafati
tentang manusia dan realitas, sehingga Pancasila tidak lagi dijadikan alternatif
melainkan menjadi suatu imperatif dan suatu philosophical concensus dengan
komitmen transenden sebagai tali pengikat kesatuan dan persatuan dalam
menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan
Notonagoro menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan staatfundamental
Norm yang tidak dapat diubah secara hukum oleh siapapun. Sebagai akibat dari
keberhasilan mengatasi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar negeri,
masa ini ditandai oleh kebijakan nasional yaitu menempatkan Pancasila sebagai asas
tunggal.
2. Tahap 1969 – 1994 Sebagai Tahap Pembangunan Ekonomi
Yaitu upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program ekonomi. Orientasi
pengembangan Pancasila diarahkan pada bidang ekonomi, akibatnya cenderung
menjadikan ekonomi sebagai ideologi. Pada tahap ini pembangunan ekonomi
menunjukkan keberhasilan secara spektakuler, walaupun bersamaan dengan itu
muncul gejala ketidakmerataan dalam pembagian hasil pembangunan. Kesenjangan
sosial merupakan fenomena yang dilematis dengan program penataran P4 yang
selama itu dilaksanakan oleh pemerintah. keadaan ini semakin memprihatinkan
setelah terjadinya gejala KKN dan Kronisme yang bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila. Bersamaan dengan itu perkembangan perpolitikan dunia, setelah hancurnya
negara-negara komunis, lahirnya tiga raksasa kapitalisme dunia yaitu Amerika
Serikat, Eropa dan Jepang. Oleh karena itu Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya
dihantui oleh supersifnya komunisme melainkan juga harus berhadapan dengan
gelombang aneksasinya kapitalisme, disamping menhadapi tantangan baru yaitu KKN
dan kronisme.
3. Tahap 1995 – 2020 Sebagai Tahap Repositioning Pancasila
Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat,
mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh
penjuru dunia, khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi yang
sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak semua segi
kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya untuk menjadi Pancasila
sebagai dasar negara dalam kerangka mempertahankan jatidiri bangsa dan persatuan
dan kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan nasional yang tidak
menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi
Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna
Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945,
dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.

Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan


sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,
suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”.
Idealitasnya bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar
utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk
membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan
secara prospektif.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah
selesai dan dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir
baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang, dengan
demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta
fungsional sebagai penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara.
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi
dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit
politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai
pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang
kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya karena rejim Orde
Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya
bangsa ini, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan
yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

DAFTAR PUSTAKA
Ubaedillah A & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Icce.

UIN Jakarta, 2003

Darmodiharjo, Darji. 1982. Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta: Aries Lima

Tim Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2005. Pendidikan Pancasila.

Jakarta: Universitas Terbuka

Winatapura, Udin. S, dkk. 2008. Buku Materi dan Pembelajaran Pkn SD. Jakarta: Universitas

Terbuka

Anda mungkin juga menyukai