Anda di halaman 1dari 2

“Ooosu. Namaku Shinban. Lengkapnya Jidoumi Shinban. Aneh, ya? Namaku?

Kata orang sih namaku


aneh. Tidak usah bermunafik ria, jujur saja padaku. Toh takkan ada yang peduli dengan komentar
kalian.

Ketika kalian membaca ini, mungkin aku sekarang sedang menyibukkan diri di luar sana dengan
kegiatan mengusik makhluk halus. Ah, pasti kalian berpikir kalau pekerjaanku juga sama anehnya
dengan namaku. Kali ini kubunuh kalian, kalau kalian berpikir begitu. Bukannya aku ingin sombong
dengan pekerjaan anehku, tapi aku ini orang penting.

Yah, aku hanya manusia biasa yang tinggal di kota biasa. Aku juga menjalani kehidupan seperti
layaknya orang normal. Di siang hari aku bekerja, belanja, memasak untuk keluarga, dan di malam
hari aku mengusik mereka, para makhluk halus. Jika kalian membayangkan makhluk halus yang aku
bicarakan dari tadi dengan zat mirip manusia yang tembus pandang dan melayang-layang ke sana
kemari—gentayangan tidak jelas dekat sumur—maka sayang sekali, harus kumusnahkan bayangan
imajinatif yang mainstream itu. Kalau perlu, kubakar dengan kepalanya sekalian.

Makhluk halus. Ya, mereka seperti kedengarannya. Mereka halus, tapi mereka tidak tembus
pandang. Karena mereka adalah makhluk setinggi satu hingga tiga meter berbulu putih—yang mana
bulu putihnya lebih halus daripada bulu ketiak siapapun. Ah. Bulu ketiak tidak halus. Oke, aku tahu.
Tapi setidaknya bulu-bulu mereka memang lebih pantas diburu ketimbang bulu ketiak Presiden
Amerika. Rumor beredar, bulu ketiak—maksudku, bulu makhluk halus ini jika dijual harganya
mampu membeli satu negara lengkap dengan perangkat perang dan penduduknya. Harga yang
fantastis dan terkesan mengada-ada alias lebay ini bukan hadir karena kelembutan bulunya.
Melainkan unsur hara yang terkandung di dalam bulu-bulu itu. Unsur-unsur hara ini dihasilkan oleh
kelenjar minyak makhluk tersebut. Ada yang bilang, unsur hara yang tak terdapat dalam barisan
periodik unsur kimia ini jika dicampur dengan bahan kimia yang lain, akan mampu menciptakan akhir
dunia. Ah, mou. Terlalu mendokusei untuk menjelaskan ini itu, pokoknya makhluk halus ini harganya
mahal dan banyak orang memperebutkannya.

Nama makhluk itu adalah—Crux. Nama ilmiahnya, Ilbania montea. Orang-orang memanggilnya
‘Crux’. Mungkin biar keren.

Secara personal, aku cenderung tidak peduli dengan harga mentereng yang dikabarkan orang-orang
mengenai makhluk itu. Bukannya aku bersikap ‘sok-tokoh-utama-jadi-harus-beda’ disini, tapi aku
punya ketertarikan sendiri dengan makhluk buas itu. Karena meski dirumorkan setinggi tiga meter
dan penuh bulu, tapi kenyataan yang aku tahu, beberapa di antara mereka... tidak berbulu. Malah,
berbentuk sama dengan manusia! Inilah yang selalu aku ingin tahu. Kenapa bentuk mereka bisa
bervariasi dan tidak tetap? Mereka seperti memiliki spesies sendiri-sendiri. Dan...”

“Huh?”

Shin menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk mengetik, di depan laptop kesayangannya—
yang entah kenapa ia namai ‘Bunchou’ itu. “Kau menulis blog tentang cerita khayalan lagi?” Shin
menengokkan kepalanya, mengangkat kacamatanya ringan, hingga kacanya tampak berkilat. Ia lihat
dari balik kacamatanya yang tebal itu, seorang gadis dengan rambut kelam hitam panjang dan
matanya yang berkedip penasaran. “Ne? Ikagami-kun?”

Shin mendengus, ia menghempaskan pandangannya ke layar laptopnya kembali. “Yagakami desu.”


Katanya cepat, menampik namanya. “Yagakami Shintarou. Berapa kali aku harus mengingatkanmu,
Masayori Kou-san?”
Gadis itu kelihatan berbinar, duduk di depannya dengan senyum lebar. “Ah! Kau ingat namaku!
Sugoi! Padahal kita baru berkenalan pagi ini!”

Tatapan Shin berubah malas, ia menyangga pipinya di depan laptopnya, ia menggaruk kepala
belakangnya. “Kou-chan, berhenti bersikap sok baru kenal denganku,” menghentikan kalimatnya
sejenak, lalu mulai lagi. “Bagaimana mungkin kita yang sudah saling kenal selama tujuh tahun, dan
kau masih saja salah menulis atau memanggil namaku.”

Kou menggoyangkan kakinya, pura-pura tidak dengar. Ia sudah tak lagi berani menatap teman satu
SD-nya itu.

Shin menyerah, ia menarik nafas panjang, dan menghembuskannya seolah ia benar-benar lelah
dengan hal-hal seperti ini. Saat ia hendak akan memulai ketikannya kembali, Kou mulai lagi.

“Tapi... Shin-kun akhir-akhir ini tak ada waktu main denganku. Kau terus menulis hal-hal seperti itu.
Apa kau tidak bosan?”

Shin melemaskan pundaknya. Tak jadi menulis, lagi. “Kou-chan,” katanya dengan nada enggan,
“Jangan mulai lagi,” menengokkan kepala ke belakang, menatap sebentar jam dinding, lalu menatap
Kou lagi. Kali ini dengan tatapan sungguh-sungguh. “Pulanglah, sudah sore. Aku ada urusan di
ruangan klub dulu.”

Tak butuh waktu lama untuk Kou menampik lurus, “Tidak maaauu!” ia mengepalkan kedua
tangannya atas meja Shin, menggembungkan pipinya. “Aku mau pulang bareng Shin-kun!”

Shin menepuk dahinya. Ia memang sudah menduga jawaban seperti itu.

Anda mungkin juga menyukai