Anda di halaman 1dari 11

KAJIAN KEBIJAKAN PENGANGKUTAN HASIL HUTAN KAYU BUDIDAYA

YANG BERASAL DARI HUTAN HAK DI KABUPATEN BANYUMAS

KUMALA DEWI

Tugas Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Lingkungan


Program Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Jenderal Soedirman

Abstrak

Deregulasi mengenai pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yang berasal dari hutan hak
merupakan hasil evaluasi kebijakan Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan
Hak. Penatausahaan kayu rakyat dalam pelaksanaannya masih belum mampu menjamin
kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat atas hasil hutan secara
optimal. Tujuan kajian kebijakan pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak
ini adalah menggali pengertian, substansi dan efektivitas pelaksanaan PermenLHK Nomor
P. 85/MenLHK/Setjen/Kum.1/11/2016. Metode analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif. Hasil kajian menunjukkan pelaksanaan PermenLHK Nomor P.
85/MenLHK/Setjen/Kum.1/11/2016 masih memiliki persoalan baik di tingkat isi dan
substansinya maupun di tingkat pelaksanaannya di lapangan karena masih banyak petani
yang menggunakan pola lama yaitu dengan menggunakan dokumen berupa surat keterangan
dari Kepala Desa bahkan masih ada petani yang tidak menggunakan dokumen angkutan
apapun dalam pengangkutan kayunya.

Kata kunci : pengangkutan hasil hutan kayu, hutan hak, dokumen angkutan

PENDAHULUAN

Kabupaten Banyumas memiliki luas hutan rakyat 8.470 Ha. Penurunan luas hutan
rakyat dari tahun ke tahun menjadi salah satu permasalahan yang cukup serius dalam sektor
kehutanan. Luas hutan rakyat mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Luas
hutan rakyat menurun dari 10.237 Ha pada tahun 2007 menjadi 9.579 Ha pada tahun 2008
(BPS, 2010).
Tabel 1. Produksi Kayu Bulat dan Kayu Olahan Tahun 2004 - 2008
No Tahun Kayu Bulat (m3) Kayu Olahan (m3)
1 2004 204.361,10 195.321,44
2 2005 98.192,07 223.486,16
3 2006 155.957,27 244.034,75
4 2007 80.438,89 217.463,94
5 2008 77.854,43 2.070.513,96
Sumber : Dinpertanbunhut Kab. Banyumas, 2009

Kayu rakyat adalah hasil hutan yang diperoleh dari lahan/tanah hak milik, maka
pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan sepenuhnya menjadi hak pemilik tanah.
Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dalam kelestarian hutan dan
melindungi kelancaran peredarannya. Dalam proses pembangunan harus dapat memenuhi

1
kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasinya (Rosyadi, 2017), maka Pemerintah
menerbitkan Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimana pada pasal 36
ayat (1) berbunyi pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan, sesuai dengan fungsinya, merupakan landasan hukum yang menjadi kebijakan
pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak.
Kemudian terbitlah Peraturan – peraturan pemerintah lain yang mengatur
ketentuan pelaksanaan peredaran atau pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari
hutan hak seperti Permenhut No. P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan
Hak, Permenhut No. P.18/Menhut-II/2005 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan
Menteri Kehutanan No. 126/Ks-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan, Permenhut No.
P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk
Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang Berasal Dari Hutan Hak jo. Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.62/Menhut-II/2006, dan sebagainya. Intinya, kebijakan pemerintah
mengeluarkan produk-produk hukum bertujuan untuk melindungi hak – hak masyarakat atas
hasil hutan yang merupakan haknya dalam pengangkutannya, untuk membedakan dengan
hasil hutan yang berasal dari hutan negara, kemudahan dalam pelayanan peredaran, serta
mendorong semangat pembangunan kehutanan berbasis penguasaan dan pengangkutan hasil
hutan kayu yang berasal dari hutan hak, serta menjamin ketertiban peredaran hasil hutan
kayu dari hutan hak, serta ketersedian data dan informasi.
Intervensi pemerintah menurut literatur merupakan jawaban klasik terhadap
problem eksternalitas negatif yang terjadi akibat pemanfaatan sumberdaya yang berkarakter
milik bersama (common pool) (Pattberg. 2006). Sebagian besar literatur menunjukkan
bahwa implementasi kebijakan lingkungan di negara-negara berkembang berujung dengan
kegagalan. Berbagai kendala dibalik kegagalan kebijakan lingkungan bersumber dari
dukungan politik yang rendah, ketersediaan anggaran yang tidak mencukupi, kapasitas
birokrasi yang tidak memadai serta kerjasama dan koordinasi yang lemah di tingkat lokal
(Rosyadi, 2012). Lebih lanjut, Fauziyah (2012) menyatakan implementasi kebijakan masih
menghadapi berbagai kendala karena adanya faktor komunikasi, sikap pelaksana, kondisi
lingkungan, sumberdaya, dan kejelasan isi kebijakan.
Hingga saat ini penatausahaan kayu rakyat dalam pelaksanaannya masih belum
mampu menjamin kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat atas hasil
hutan secara optimal, walaupun pemerintah khususnya kementerian kehutanan telah
mengeluarkan peraturan-peraturan serta berulangkali melakukan revisi akibat
permasalahan-permasalahan yang timbul dari kebijakan-kebijakan sebelumnya. Persoalan
yang sering muncul dalam pelaksanaan penatausahaan dan pemasaran kayu rakyat (Syahadat
dan Sianturi, 2006) antara lain :

2
1. Harga kayu ditingkat petani rendah karena biasanya petani menjual kayu tersebut ke
pengepul atas dasar kebutuhan dana yang mendesak meskipun umur pohon belum
masak tebang (tebang butuh);
2. Permasalahan yang timbul dalam penatausahaan hasil hutan (PUHH) di era otonomi
daerah, kebijakan penatausahaan hasil hutan tersebut tidak memiliki petunjuk teknis
maupun petunjuk pelaksanaannya sehingga dalam pelaksanaannya antar daerah
Kabupaten/Kota dapat berbeda. Khusus untuk kayu rakyat masih diperlukan tata
usaha kayu dengan mekanisme yang sederhana dan bebas biaya.
3. Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh petugas kehutanan terhadap peredaran
kayu rakyat ketika kayu yang berasal dari satu daerah sampai di tempat tujuan kayu,
atau ketika kayu dari luar daerah masuk ke daerah tujuan kayu di Kabupaten/Kota.
Dengan demikian, perumusan masalah yang dapat ditarik dari kajian ini adalah apakah
implementasi PermenLHK Nomor P. 85/MenLHK/Setjen/Kum.1/11/2016 efektif digunakan
untuk mengatasi permasalahan – permasalahan tersebut diatas. Berdasarkan rumusan
masalah tersebut, kajian ini bertujuan untuk menggali pengertian, substansi, perbedaan
aturan main dan efektivitas pelaksanaan PermenLHK Nomor P.
85/MenLHK/Setjen/Kum.1/11/2016 di Kabupaten Banyumas.
Kajian ini menggunakan metode analisis deskriptif yang menguraikan
sejauhmana pelaksanaan pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak yaitu
dengan cara mengkaji isi PermenLHK Nomor P. 85/MenLHK/Setjen/Kum.1/11/2016.
Metode analisis isi (content analysis) adalah satu teknik analisis terhadap beberapa sumber
informasi termasuk bahan cetak (buku, artikel, novel, koran dan majalah) dan bahan non
cetak (Irawan, 2007).

PEMBAHASAN

1. Pengertian, Tujuan dan Sasaran PermenLHK Nomor P.


85/MenLHK/Setjen/Kum.1/11/2016
Peraturan MenLHK No. P.85/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 tentang
Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Budidaya yang Berasal dari Hutan Hak merupakan
perbaikan dari peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.5/MenhutII/2007 tentang Penetapan Jenis-Jenis Kayu yang Berasal dari Hutan Hak di
Provinsi Sumatera Utara yang Pengangkutannya Menggunakan Surat Keterangan Asal
Usul (SKAU), dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.21/MenLHK-II/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak.
Beberapa hal yang menjadi evaluasi kebijakan antara lain adanya penyalahgunaan SKAU,

3
pemilik hutan rakyat belum mandiri, adanya pihak lain yang memanfaatkan
ketidakmampuan masyarakat, serta peran penyuluh kehutanan yang belum dioptimalkan.
Pengertian pemanfaatan hasil hutan kayu budidaya yang berasal dari hutan hak
adalah kegiatan yang meliputi penetapan jenis, pengukuran volume/berat dan
penghitungan jumlah oleh pemilik hutan hak. Pengaturan pengangkutan hasil hutan kayu
budidaya yang berasal dari hutan hak dimaksudkan untuk melindungi hak privat dan
memberikan kepastian hukum dalam pemilikan, penguasaan dan pengangkutan hasil hutan
kayu yang berasal dari hutan hak.
Adapun tujuan pengaturan pengangkutan hasil hutan kayu dalam peraturan ini
adalah untuk menjamin ketertiban peredaran hasil hutan kayu dari hutan hak serta
ketersediaan data dan informasi.
Sedangkan sasaran ditetapkannya peraturan PermenLHK No 85/Menlhk/2016 ini
adalah meningkatkan produktivitas dan kemandirian ekonomi rakyat melalui Nota
Angkutan yang diterbitkan secara self assessment, adanya penegasan sanksi, pengendalian
pada Tempat Pengumpulan Kayu (TPK) serta peningkatan peran Penyuluh Kehutanan.

2. Substansi PermenLHK Nomor P. 85/MenLHK/Setjen/Kum.1/11/2016


Dasar diterbitkannya regulasi ini karena diperlukan aturan yang memberikan
kemudahan bagi pemilik hutan hak / rakyat melalui penerapan self assessment dalam
penerbitan dokumen angkutan dengan disertai penegakan hukum yang jelas. Beberapa hal
subtansial dalam peraturan ini yaitu perlindungan hak privat dan penjaminan ketertiban
peredaran hasil hutan kayu dari hutan hak.
a. Dokumen Hak Atas Tanah
Pasal 1 ayat (3) mengenai hak atas tanah berpotensi menimbulkan konflik
di lapangan. Pasal tersebut berbunyi hak atas tanah adalah hak yang diakui oleh
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan UU No. 5 Tahun
1960 tentang Pokok-pokok Agraria, sertifikat tanah yang sah di mata hukum adalah
Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), dan Sertifikat
Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS). Petani keberatan dengan pasal ini karena masih
banyak hutan hak yang belum memiliki sertifikat. Petani menganggap bahwa Girik,
Petok, Letter C, SPPT adalah bukti penguasaan atas tanah. Anggapan ini perlu
diluruskan karena Girik Petok, Letter S dan SPPT hanya merujuk pada sebuah surat
pertanahan yang menunjukkan penguasaan lahan untuk keperluan pembayaran pajak.
- Girik
Girik bukan seperti sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah, melainkan
hanya merujuk pada sebuah surat pertanahan yang menunjukkan penguasaan
lahan untuk keperluan perpajakan. Didalam surat ini dapat ditemui nomor, luas

4
tanah, serta pemilik hak atas tanah karena jual-beli atau warisan. Kepemilikan
tanah dengan surat girik ini sendiri harus ditunjang dengan bukti lain yaitu
kepemilikan Akta Jual beli atau surat waris.
- Petok
Surat Petok hanya dianggap sebagai alat bukti pembayaran pajak tanah oleh
sang pengguna tanah. Jadi, surat ini sangat lemah jika difungsikan sebagai surat
kepemilikan atas tanah. Akibat dari masih banyaknya masyarakat yang tidak
tahu dengan adanya perubahan peraturan tersebut, surat Petok kerap menjadi
bukti yang menimbulkan permasalahan dalam jual-beli tanah.
- Letter C
Letter C merupakan tanda bukti kepemilikan atas tanah oleh seseorang yang
berada di kantor desa/kelurahan. Letter C yang berbentuk buku ini sendiri
fungsinya adalah sebagai catatan penarikan pajak dan keterangan mengenai
identitas tanah pada zaman kolonial. Namun pada masa kini, Letter C masih
kerap digunakan sebagai identitas kepemilikan tanah dan menjadi bukti
transaksi jual beli tanah. Data-data tanah yang berada dalam Letter C ini sendiri
disebut-sebut kurang lengkap karena pemeriksaan dan pengukuran
tanahnya selalu dilakukan dengan asal-asalan.
- SPPT
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah Surat Keputusan Kepala
KPP mengenai pajak terutang yang harus dibayar dalam 1 (satu) tahun pajak.
SPPT ini juga sering digunakan sebagai identitas kepemilikan tanah dan
menjadi bukti transaksi jual beli tanah.
Dengan demikian pasal 1 ayat (2) ini menimbulkan permasalahan baru bagi
pemerintah untuk membuatkan sertifikat bagi pemilik hutan hak.

b. Jenis Dokumen untuk Transportasi Kayu


Tata cara pengangkutan hasil hutan kayu dari hutan hak diatur dalam pasal
4 sampai dengan pasal 8. Dalam tata cara pengangkutan maka harus disertai Nota
Angkutan dan Nota Angkutan Lanjutan. Pemilik hutan hak yang memiliki kewajiban
untuk mengeluarkan Nota Angkutan, sedangkan Nota Angkutan Lanjutan yang
mengeluarkan adalah TPKRT (Tempat Pengumpulan Kayu Rakyat Terdaftar). Kedua
nota tersebut harus disertai dengan bukti atas tanah lokasi penebangan berupa sertifikat
atau bukti lain yang diakui KementrianAgraria dan Tata Ruang/BPN, misalnya salinan
letter C yang dikeluarkan Kepala Desa. Dalam penerbitan dan pengadaan Nota
Angkutan dilakukan oleh pemilik hutan hak yang berlaku sebagai DKP (Deklarasi
Keseuaian Pemasok). Sedangkan penerbitan dan pengadaan Nota Angkutan Lanjutan
oleh GANISPHPL PKB (Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Poduksi Lestari Pengujian

5
Kayu Bulat) yang bekerja di TPKRT. Pengadaan blanko Nota Angkutan dan Nota
Angkutan Lanjutan hasil hutan kayu budidaya yang berasal dari hutan hak dapat
dilakukan dengan fotocopy dan pengisiannya dapat dilakukan dengan tulisan tangan.

c. Ketersediaan GANISPHPL PKB


Dihimpun dari Jateng Online tanggal 12 Februari 2017, pengusaha kayu di
Indonesia yang berada dibawah naungan Indonesia Barecore Association (IbcA)
merasa keberatan dengan PermenLHK yang saat ini diberlakukan, khususnya pada
pasal 6 soal ketentuan penerbitan Nota Angkutan Lanjutan dari TPKRT oleh tenaga
teknis (GANIS) PHPL PKB, karena tidak semua pengusaha atau perusahaan (TPKRT)
memiliki ganis. Menurut pasal 1 bahwa GANISPHPL PKB harus memiliki
kompetensi dalam kegiatan pengukuran dan pengujian kayu bulat, kayu bulat
mewah/indah, bilet, pacakan yang berbentuk kayu bulat. Untuk memiliki kompetensi
tersebut seorang GANISPHPL PKB harus mempunyai kualifikasi khusus dan
mengikuti diklat. Padahal jumlah GANISPHPL PKB dengan kompetensi tersebut
sangat terbatas.
Berdasarkan Permenhut Nomor P.54/Menhut-II/2014 tentang Kompetensi
dan Sertifikasi Tenaga Teknis dan Pengawas Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan
Lestari Pasal 4 ayat (5) bahwa seorang GANISPHPL PKB mempunyai tugas :
- Melakukan pengukuran dan pengujian kayu bulat sesuai dengan metode yang
dipersyaratkan;
- Melakukan pengukuran dan pengujian kayu bulat sesuai dengan peralatan
pengukuran dan pengujian yang dipersyaratkan;
- Melakukan penatausahaan hasil hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
- Membuat laporan yang menguraikan secara jelas tentang pekerjaan tersebut.
Pasal 6 ayat (2) Permenhut P.54/Menhut-II/2014 bahwa GANISPHPL PKB
dapat diangkat dan diterbitkan kartu setelah lulus mengikuti diklat GANISPHPL PKB
dan atau melalui Uji Kompetensi dibidang GANISPHPL PKB bagi perusahaan yang
mempunyai tenaga terampil/ahli tetapi belum pernah mengikuti diklat. Dengan
demikian menjadi pekerjaan bagi pemerintah untuk mengadakan diklat – diklat dan
atau uji kompetensi bagi calon GANISPHPL PKB agar dapat melaksanakan tugasnya.

d. Peran Penyuluh
Dalam hal peningkatan kapasitas pemilik hutan hak, maka masyarakat
pemilik hutan hak berhak mendapat pendampingan dari penyuluh kehutanan. Dalam
hal ini maka Dinas terkait di tingkat provinsi memberikan pembekalan kepada
penyuluh kehutanan dalam perihal pendampingan tersebut. Namun peraturan ini tidak
menyebutkan teknis pendampingan peningkatan kapasitas pemilik hutan hak.

6
Berkenaan dengan itu penyuluh kehutanan pada hakikatnya memiliki
tanggung jawab dan tupoksi penyuluh kehutanan untuk mensosialisasikan peraturan
dari pemerintah termasuk kementrian terkait dengan pemberdayaan, peningkatan
partisipasi, peran serta, dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pembangunan
kehutanan termasuk hutan hak / rakyat. Setelah sosialisasi dilakukan maka penyuluh
kehutanan dapat melakukan pendampingan dan fasilitasi pada masyarakat dalam
pembangunan kehutanan. Maka dari itu sosialisasi dan pendampingan peredaran kayu
rakyat juga tetap menjadi tanggung jawab dan tupoksi penyuluh kehutanan.Selain itu,
penyuluh juga dapat melakukan pendampingan berupa cara pengisian nota angkutan
kepada pemiik hutan hak.

e. Sanksi Pidana
Pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yang berasal dari hutan hak yang
tidak dilengkapi dengan Nota Angkutan dan atau Nota Angkutan Lanjutan dikenakan
sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penerbit Nota
Angkutan dan atau Nota Angkutan Lanjutan yang terbukti menerbitkan Nota
Angkutan dan atau Nota Angkutan Lanjutan untuk kayu yang disebutkan dalam Pasal
5, dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penerbit Nota Angkutan hasil hutan kayu budidaya yang berasal dari hutan
hak yang tidak dapat membuktikan dokumen hak atas tanah lokasi penebangan berupa
sertifikat tanah atau bukti penguasaan lain yang diakui Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/BPN, dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
TPKRT atau industri primer atau penerima kayu yang terbukti menerima
kayu dengan dokumen Nota Angkutan dan atau Nota Angkutan Lanjutan hasil hutan
kayu budidaya yang berasal dari hutan hak yang tidak sesuai dengan ketentuan
Peraturan Menteri ini, dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. TPKRT atau industri primer yang tidak menyampaikan copy
Nota Angkutan dan/atau Nota Angkutan Lanjutan kepada Kepala Dinas Provinsi dan
Kepala Balai, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Pasal 10).
Penyuluh kehutanan juga dapat menjelaskan bahwa ketertiban peredaran
kayu rakyat tersebut dapat mencegah pencampuran antara kayu bersertifikat dan kayu
yang berasal dari illegal logging.

7
3. Kinerja Implementasi PermenLHK Nomor P.
85/MenLHK/Setjen/Kum.1/11/2016
Kebijakan adalah perwujudan peran dan tugas pemerintah dalam suatu negara
untuk mengatur dan menata kehidupan masyarakat dan bangsa menuju suatu keadaan yang
diinginkan bersama. Dalam upaya menciptakan kondisi pemanfaatan hasil hutan kayu
budidaya dari hutan hak yang dapat dipertanggungjawabkan diperlukan suatu mekanisme
yang rasional dalam hal penatausahaan dan pemasarannya sehingga kedua kegiatan
tersebut dapat dilaksanakan di lapangan sekaligus memenuhi persyaratan legalisasi
kepemilikan hasil hutan tersebut.
Deregulasi mengenai pemanfaatan hasil hutan kayu budidaya dari hutan hak dari
PermenLHK tentang Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Budidaya yang Berasal dari Hutan
Hak yang merupakan hasil evaluasi dari PermenLHK P.21/MenLHK-II/2015 tentang
Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak, tidak lebih baik dari pelaksanaan
kebijakan sebelumnya. Beberapa klausul yang terdapat didalam peraturan tersebut
berpotensi menimbulkan permasalahan baru di daerah/di lapangan.
Kebijakan mengenai pengangkutan hasil hutan kayu budidaya dari hutan hak belum
sepenuhnya diketahui oleh masyarakat. Dalam proses pengangkutannya petani masih
menggunakan pola lama yaitu dengan menggunakan dokumen berupa surat keterangan dari
Kepala Desa. Sedangkan menurut PemenLHK P.85/MenLHK-II/2016 bahwa
pengangkutan hasil hutan kayu budidaya dari hutan hak wajib dilengkapi nota angkutan,
yang merupakan dokumen resmi yang diterbitkan oleh pemilik hutan hak yang menyertai
pengangkutan kayu hasil budidaya dari hutan hak. Yang lebih memprihatinkan, dari hasil
wawancara dengan beberapa petani di Kecamatan Patikraja bahkan responden tidak
menggunakan dokumen apapun dalam pemanfaatan hasil hutan kayunya. Mereka tidak
mengetahui bahwa dalam pemanfaatan hasil hutan kayu harus memiliki dokumen –
dokumen yang dipenuhi sebagai syarat sahnya pengangkutan hasil hutan kayu budidaya
yang berasal dari hutan hak.
Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat menjadi penyebab ketidaktahuan
masyarakat mengenai kebijakan ini, sehingga adanya kebijakan ini belum memberikan
manfaat yang nyata secara ekonomi bagi petani. Jika dimaknai secara mendalam pada pasal
1 ayat 2 bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi hak privat dan memberikan
kepastian hukum dalam pemilikan, penguasaan dan pengangkutan hasil hutan kayu yang
berasal dari hutan hak, maka sebenarnya masyarakat pemilik hutan hak dapat memperoleh
keuntungan karena dokumen nota angkutan yang diterbitkan sendiri oleh pemilik hutan
hak adalah dokumen resmi yang berlaku diseluruh wilayah Indonesia, yang berarti
penjualan hasil hutan kayu dari hutan hak dapat dijual ke seluruh wilayah Indonesia

8
sehingga petani dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi untuk menambah
pendapatan mereka.
PermenLHK No P.85/MenLHK-II/2016 memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada pemilik hutan hak untuk memanfaatkan hasil hutan kayunya. Dalam memanfaatkan
hasil hutan kayu budidaya yang berasal dari hutan hak, masyarakat pemilik hutan hak
melakukan penetapan jenis, pengukuran volume/berat dan penghitungan jumlah untuk
mengisi nota angkutan. Terlebih lagi masyarakat pemilik hutan hak juga diberikan
keleluasaan untuk mengolah kayu bulat hasil budidaya yang berasal dari hutan hak menjadi
kayu olahan rakyat di tempat penebangan.
Kurangnya sosialisasi dari pemerintah juga terlihat dari masih banyaknya
masyarakat petani hutan hak yang menjual kayunya ke pihak ketiga, dalam hal ini
tengkulak. Misalnya di Desa Pegalongan Kecamatan Patikraja, petani masih menggunakan
sistem “tebas” oleh tengkulak, sehingga petani hutan hak tidak mengetahui volume kayu
yang dijual, bahkan ketidaktahuan petani untuk melengkapi dokumen – dokumen dalam
penjualan hasil hutan kayunya dimanfaatkan oleh para tengkulak dengan membuat sendiri
nota angkutan dan bahkan membeli hasil hutan tersebut dibawah harga pasar yang
merugikan petani.

4. Faktor yang Mempengaruhi


a. Ketersediaan Sumberdaya
Sumberdaya merupakan salah satu faktor penting agar implementasi
kebijakan dapat berjalan dengan baik, tanpa sumberdaya kebijakan hanya tinggal
diatas kertas dokumen saja. Sumberdaya yang dimaksud dapat berupa sumberdaya
manusia, sumberdaya finansial maupun sumberdaya peralatan.
Sumberdaya manusia dalam hal ini penyuluh yang tidak memadai jumlah dan
kemampuannya dapat menyebabkan kebijakan tidak berjalan sempurna. Di Kabupaten
Banyumas jumlah penyuluh saat ini berjumlah 15 orang dari 27 Kecamatan, sehingga
1 orang tenaga Penyuluh Kehutanan dapat mempunyai 2 wilayah kerja. Dalam hal ini,
kekurangan jumlah penyuluh dapat mengurangi efektivitas implementasi kebijakan
karena tidak dapat melaksanakan sosialisasi dan pendampingan dengan baik. Dalam
kegiatan pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yang berasal dari hutan hak tidak
adanya pengawasan dari pemerintah. Penyuluh Kehutanan hanya sebagai pendamping
bukan pengawas.
Sumber daya finansial jelas merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Tidak adanya dukungan finansial dari pemerintah provinsi dan pemerintah
daerah menyebabkan pelaksanaan kebijakan kurang efektif. Dalam kegiatan
penyuluhan, penyuluh kehutanan membutuhkan fasilitas untuk sosialisasi kebijakan.
Sebenarnya untuk saat ini, dukungan finansial bisa diperoleh dari Desa karena desa

9
memiliki APBDes yang cukup untuk bisa mendukung kebijakan ini. Seperti halnya
kegiatan – kegiatan Keluarga Berencana yang mendapat alokasi dana dari Dana Desa.

b. Kerjasama dan Koordinasi Berbagai Pihak


Pihak – pihak yang berperan penting terhadap kebijakan pengangkutan hasil
hutan kayu budidaya yang berasal dari hutan hak antara lain Dinas Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Balai Pengelolaan Hutan Wilayah VI,
Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, Kelompok Tani, Tempat Pengumpulan Kayu
(TPK), Pelaku Usaha, dan Aparat Penegak Hukum. Kerjasama dan koordinasi pihak –
pihak tersebut tidak berjalan dengan baik, artinya sosialisasi tidak dilakukan secara
holistik. Antara pihak satu dengan pihak lainnya juga tidak memahami adanya
kebijakan mengenai pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yang berasal dari hutan
hak. Aparat penegak hukum tidak dapat memberikan sanksi ketika ada pelanggaran
apabila tidak mengetahui adanya peraturan ini.

c. Komunikasi Kebijakan
Ketidaktahuan masyarakat petani hutan hak mengenai nota angkutan
mencerminkan tidak efektifnya proses komunikasi kebijakan. Ketidaktahuan ini
karena kurangnya informasi dan kegiatan penyuluhan yang dilakukan petugas.
Kendala dari kegiatan penyuluhan yang dilakukan petugas karena terkendala
pendanaan yang disediakan pemerintah untuk mendukung sosialisasi Permenhut ini
sangat terbatas. Informasi yang diperoleh bahwa petugas sendiri juga tidak mendapat
sosialisasi dari Dinas yang menaunginya, kurangnya dukungan dana dari pemerintah
provinsi dan kabupaten. Dalam hal ini adanya jalur komunikasi kebijakan yang
terputus dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dengan Pemerintah Provinsi yang menyebabkan implementasi kinerja
kebijakan mengenai pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yang berasal dari hutan
hak tidak berjalan dengan baik.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Deregulasi mengenai pemanfaatan hasil hutan kayu budidaya dari hutan hak dari
PermenLHK Nomor P.85/MenLHK/Setjen/Kum.1/11/2016 tentang Pengangkutan Hasil
Hutan Kayu Budidaya yang Berasal dari Hutan Hak yang merupakan hasil evaluasi dari
PermenLHK Nomor P.21/MenLHK-II/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang
Berasal dari Hutan Hak, tidak lebih baik dari pelaksanaan kebijakan sebelumnya. Beberapa
klausul yang terdapat didalam peraturan tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan
baru di Kabupaten Banyumas.

10
Dalam implementasinya di lapangan, kebijakan ini belum efektif dan belum
memberikan keuntungan bagi masyarakat pemilik hutan hak dalam usaha meningkatkan
pendapatan ekonomi mereka. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Ketersediaan Sumberdaya
b. Komunikasi Kebijakan
c. Kerjasama dan Koordinasi Berbagai Pihak

REFERENSI

Anonim. ______Pengertian Hutan Rakyat. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2017


Anonim.-_____. Ketentuan Pengangkutan Kayu Hutan Hak. Diakses pada tanggal 23 Oktober
2017
Anonim._____III.MetodePenelitian.KULIAH/MAKALAH%20KEBIJAKAN%20&%20H
UKUM%20LINGKUNGAN/Chapter%20III-V.pdf
Anonim. 2010. Banyumas Dalam Angka Tahun 2010. BPS Kabupaten Banyumas
Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta
Rosyadi, Slamet. 2012. Implementasi Kebijakan Lingkungan di Negara Berkembang. Bahan
Kuliah Hukum dan Kebijakan Lingkungan, Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto
Syahadat, Epi & Sabarudi. 2014. Kajian Kebijakan Penatausahaan Kayu Yang Berasal Dari
Hutan Hak. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 11 No. 2, Agustus 2014 :
129 – 144
Syahadat, Epi._____ Kajian Pedoman Penatausahaan Hasil Hutan di Hutan Rakyat Sebagai
Dasar Acuan Pemanfaatan Hutan Rakyat. Forda-mof
Jatengonline. ______Permenlhk P.85/Menlhk-II/2017 Beratkan Pengusaha Kayu. Diakses
pada tanggal 24 Oktober 2017
Fauziyah, Eva. 2010. Analisis Kelembagaan dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat Pola
Agroforestry. Prosiding. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Pattberg, Philipp, 2006. Private Governance and the South: Lessons from Global Forest
Politics. Third World Quarterly, London,

11

Anda mungkin juga menyukai