Anda di halaman 1dari 14

PELANGGARAN REGULASI OLEH PT RIAU ANDALAN PULP AND PAPER

(PT RAPP) DAN ANCAMAN KEHANCURAN EKOLOGIS PROVINSI RIAU

MAKALAH

Oleh :

KUMALA DEWI
NIM. P2A017006

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018
PELANGGARAN REGULASI OLEH PT RIAU ANDALAN PULP AND PAPER
(PT RAPP) DAN ANCAMAN KEHANCURAN EKOLOGIS PROVINSI RIAU
Oleh :
KUMALA DEWI (NIM. P2A017006)
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum dan Kebijakan Lingkungan
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

I. PENDAHULUAN

PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), sebuah perusahaan bubur kertas papan atas yang
berdiri pada tahun 1992, yang sebelum tahun itu bernama Riau Pulp and Paper (RPP). Perusahaan
ini dimiliki Sukanto Tanoto dengan bendera Asia Pacific Resources International Limited
(APRIL). APRIL sendiri adalah salah satu perusahaan yang memimpin pulp and paper di dunia.
Masa awal berdiri, RAPP beroperasi di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau.
PT. Riau Andalan Pulp and Paper dibangun dan dirancang untuk mengusahakan pulp dan
kertas yang berkualitas tinggi, dimana pulp diproduksi secara kimia dengan proses sulfat (kraft).
Sistem kontrol diperusahaan ini telah masuk kedalam sistem ISO yang digunakan sebagai tanda
untuk menentukan kualitas dunia dari suatu produk. Beberapa bahan kimia yang digunakan
dipabrik diantaranya adalah ClO2, Cl2.
Selain itu PT. Riau Andalan Pulp and Paper merupakan perusahan swasta yang berkembang
pesat dan mendapatkan sertifikat ISO 9002 dan ISO 14001. PT. Riau Andalan Pulp and Paper
merupakan perusahaan yang menggunakan teknologi produksi yang canggih yaitu superbatch
administrator digester sistem dan sistem produksi yang telah baik dengan sistem pengontrolan
yang canggih serta manajemen yang telah baik, baik dari segi produksinya maupun pada tingkat
cooperate. (www.aprilasia.com/en/about-us).
PT. Riau Andalan Pulp and Paper yang bergerak dalam bidang usaha produksi pulp (bubur
kertas) dan paper (kertas). PT. Riau Andalan Pulp and Paper memiliki 4 anak perusahaan, yaitu :
1. Riau Fiber, unit bisnis yang bergerak dalam penyediaan bahan baku kayu
2. Riau Pulp, unit bisnis yang bergerak dalam memproduksi pulp (bubur kertas)
3. Riau Andalan Kertas (RAK), unit bisnis yang bergerak dalam memproduksi kertas, dan
4. Riau Prima Energi (RPE), unit bisnis yang bergerak dalam menghasilkan energi listrik.
Riaupulp mendapatkan areal konsesi pertama kalinya, seluas ± 300.000 ha, diperoleh pada
tahun 1993 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.130/Kpts-II/1993. Dalam lampiran
keputusannya, izin HTI tersebar dalam empat kabupaten: Kabupaten Siak, Pelalawan, Kampar,
dan Kuantan Sengingi.
Areal tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan karena didalamnya terdapat
beberapa permasalahan kepemilikan lahan oleh pihak ketiga. Dalam perkembangan selanjutnya,
areal kerja Riaupulp dapat dibedakan dalam 3 (tiga) areal konsesi berdasarkan status perijinannya,
masing-masing :
1. Areal konsesi yang memiliki status SK definitif berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan No. 137/Kpts-II/1997 tanggal 10 Maret 1997 pada areal seluas 159.500 hektar,
2. Areal konsesi berdasarkan Ijin prinsip penambahan areal Surat Menteri Kehutanan No.
1547/Menhut-IV/1996 tanggal 10 Nopember 1996, pada areal seluas 121.000 hektar,
sehingga luas areal PT Riau Andalan Pulp and Paper menjadi 280.500 ha.
3. Areal konsesi yang memiliki status Ijin Prinsip dari Menteri Kehutanan No. 256/Menhut-
VI/2001 tanggal 22 Februari 2001, pada aeal seluas 49.500 hektar.
Sehingga luas total areal konsesi yang dimiliki Riaupulp adalah seluas 330.000 ha yang
tersebar di enam kabupaten: Kabupaten Siak, Pelalawan, Kampar, Kuantan Sengingi, Indragiri
Hulu, dan Bengkalis. Bahkan menurut Nusantara News (24 Oktober 2017), PT RAPP menguasai
sampai 480.000 ha lahan di Riau.
Tahun 2004, Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan Nomor SK.356/MENHUT-II/2004
tanggal 1 Oktober 2004, tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 130/Kpts-
II/1993 tanggal 27 Pebruari 1993 Jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 137/Kpts-II/1997
tanggal 10 Maret 1997 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri di Propinsi
Riau Kepada Riaupulp, dimana luas areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri PT Riaupulp
telah diubah menjadi ± 235.140 hektar. Riaupulp mendapatkan tambahan areal ± 75.640 hektar
di Pelalawan (Sektor Pelalawan). Disamping areal tersebut, Riaupulp juga memiliki areal kerja
lain yang dikelola dalam pola kerjasama (Joint Venture/Joint Operatian) seluas 379.213 ha, dan
pola Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang luasnya mencapai 20.318 ha.
Bahan baku proses pembuatan pulp Pabrik Riau Pulp adalah kayu yang berasal dari kayu
tanaman akasia yang bernama Acasia mangium dan Acasia crasicarpa dan Pinus silvetris. Kayu
yang digunakan perusahaan pada umumnya kayu keras (hard wood), sedangkan kayu lunak (soft
wood) digunakan dalam jumlah sedikit. Bahan baku untuk proses pembuatan kertas adalah pulp,
yaitu pulp serat pendek (hardwood) dan pulp serat panjang (softwood). Menurut catatan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan panen akasia ke pabrik RAPP mencapai 8,77 juta
m3 per 30 September 2017. Selain itu, perusahaan masih punya sisa stok panen sebesar 5 juta m3
di sejumlah unit perusahaan, terutama di Estate Pelalawan yang mencapai 3,4 juta m3 (CNN
Indonesia, 23 Oktober 2017).
PT RAPP telah memiliki 2 (dua) pabrik kertas berkapasitas 3500 ton per hari, atau 850.000
ton per tahun. Dalam pemberitaan resminya, PT RAPP mengumumkan akan menjadi produsen
kertas terbesar kedua di dunia dengan terselesaikannya pembangunan pabrik kertas ke-3 di
Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan Riau. Dengan adanya pabrik ketiga kapasitas produksi
kertas PT RAPP akan meningkat menjadi 1,1 juta ton per tahun. Angka ini akan menjadikan PT
RAPP sebagai produsen kertas terbesar kedua setelah International Paper asal Amerika Serikat
(Nusantara News, 24 Oktober 2017).
Selama ini PT RAPP memproduksi tiga jenis kertas, yaitu customer roll, cut size, dan folio.
Tiga jenis kertas itu sebagian dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan merk
Paper One, dan sebagian lain diekspor ke 75 negara, antara lain Jepang, Australia, negara-negara
di Asia Pasifik, dan Timur Tengah.

II. PERMASALAHAN

Permasalahan antara PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berawal dari paksaan KLHK mencabut tanaman
akasia milik perusahaan hutan tanam industri PT RAPP di konsesi Estate Pelalawan, Riau pada
bulan Maret 2017. Tanaman akasia yang ditanam anak perusahaan APRIL Group itu dianggap
melanggar aturan karena berada di kawasan gambut landskap Semenanjung Kampar. Perusahaan
diperintahkan untuk mencabut akasia yang telah ditanami pada areal pelanggaran gambut serta
membersihkan biomassa bekas pencabutan tanaman akasia itu. Perusahaan juga diminta
melakukan penimbunan kanal yang baru dibuka. Sanksi akan lebih berat dapat diterapkan jika
ditemukan pelanggaran lainnya. Larangan pembukaan lahan baru dan pembangunan kanal
tercantum dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang dilarang
membuka lahan dan kanal baru di ekosistem gambut dengan fungsi lindung dengan membakar,
dan melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan kerusakan ekosistem gambut.
Menteri LHK membatalkan Rencana Kerja Usaha PT RAPP, berdasarkan telaah Ditjen
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, ditemukan bahwa PT RAPP menambah blok baru untuk
tanaman akasia yang melibatkan areal gambut. Menurut Dirjen Penegakan Hukum LHK, surat
keputusan yang memuat sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, telah diberikan kepada
PT RAPP Estate Pelalawan. Menurut pihak Kementerian LHK yang dikutip dari CNN Indonesia
ditegaskan bahwa pada fase pengajuan RKU, PT RAPP sudah tidak mentaati aturan yang
diberikan oleh Pemerintah, sehingga terbit surat peringatan pertama No S.1198/MENLHK-
SETJEN/ROUM/HPL.1/9/2017 tertanggal 28 September 2017.
Pada tanggal 6 Oktober 2017, untuk kedua kalinya KLHK memberi peringatan kedua kepada
PT RAPP No S.1254/MENLHK-SETJEN/ROUM/HPL.1/10/2017 karena rencana kerja usaha
(RKU) dianggap tidak sesuai dengan aturan tata kelola gambut dengan alasan perusahaan dianggap
tidak mematuhi peraturan gambut baru yakni, memperbaiki rencana kerja 10 tahun yang sejalan
dengan rencana kerja tahunan pada 2017. Surat peringatan kedua dikeluarkan setelah beberapa
kali surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada pimpinan PT RAPP untuk
memenuhi undangan kementerian tidak ditanggapi oleh perusahaan. Bahkan pemerintah
menegaskan bahwa perusahaan secara terang-terangan menolak arahan yang disampaikan oleh
pemerintah.
Setelah terbitnya surat peringatan kedua, KLHK memberikan tenggat waktu penyerahan
revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) PT RAPP pada 30 Oktober 2017. Revisi RKU wajib dilakukan
karena isi RKU tidak memperhatikan pemulihan ekosistem gambut. Bila merujuk pada RKU
tersebut, maka perusahaan masih berencana untuk menanam akasia dan eukaliptus di kawasan
lindung.
Polemik antara KLHK dan PT RAPP berlanjut setelah diterbitkannya Surat Keputusan (SK)
Menteri LHK No. 5322/MenLHK-PHPL/UHP/HPL1/10/2017 tertanggal 16 Oktober 2017 tentang
Pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 173/VI-BPHT/2010 dan Keputusan Menteri
Kehutanan No. SK 93/VI-BUHT/2013 tentang Persetujuan Revisi Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) untuk Jangka Waktu
10 Tahun Periode 2010 - 2019 Atas Nama PT RAPP di Provinsi Riau. Pembatalan itu karena RKU
RAPP dinilai tak lagi sesuai dengan regulasi tata kelola gambut yang diatur berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP No. 57 tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Melalui Siaran Press yang disampaikan secara tertulis oleh PT RAPP tertanggal 23 Oktober
2017, bahwa PT RAPP menerima kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
seperti yang tertera dalam Pasal 45 huruf a Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2014 yang
telah diubah pada PP No. 57 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa izin usaha dan atau kegiatan
untuk memanfaatkan ekosistem gambut pada fungsi lindung ekosistem gambut yang telah terbit
sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku dan sudah beroperasi, dinyatakan tetap berlaku sampai
jangka waktu izin berakhir. Perusahaan juga bersedia melakukan revisi RKUPHHK-HTI namun
dengan permohonan untuk menyelesaikan Lahan Usaha Pengganti (landswap) secara bertahap
dengan kondisi clean dan clear secara layak teknis dan ekonomis di sekitar lahan industri, sebelum
areal tanaman pokok dijadikan kawasan fungsi lindung gambut. Menurut PT RAPP seperti yang
disampaikan dalam Siaran Pressnya, jika tidak tersedia landswap dan perusahaan harus merevisi
RKU, maka areal tanaman pokok dan mitra akan berkurang ± 50% untuk sumber bahan baku
utama perusahaan.
Sejak dibatalkannya RKU pada tanggal 16 Oktober 2017, PT RAPP menghentikan seluruh
operasional HTI. Tanpa adanya payung hukum RKU, dengan sendirinya Rencana Kerja Tahunan
(RKT) tidak berlaku. Dampak pembatalan ini adalah berhentinya seluruh kegiatan di HTI PT
RAPP, meliputi kegiatan pembibitan, penanaman, pemanenan dan pengangkutan diseluruh areal
operasional PT RAPP yang terdapat di 5 Kabupaten di propinsi Riau, yaitu Pelalawan, Kuantan
Sengingi, Siak, Kampar dan Kep. Meranti. Akibatnya produsen bubur kayu dan kertas terbesar
kedua di Indonesia tersebut melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 4.600 orang
karyawan yang berkerja di bagian Pengelolaan HTI. Sementara itu 1.600 orang karyawan yang
bekerja di industri juga terancam di PHK karena merosotnya bahan baku, serta memutus kontrak
dengan mitra dan pemasok yang memiliki karyawan sebanyak 10.000 orang.
Selain itu PT RAPP juga mengklaim telah melakukan investasi mencapai ± Rp 85 triliun
demi mendukung program hilirisasi industri pemerintah (downstream), dan telah melakukan
investasi baru dengan membangun pabrik kertas dan rayon (tekstil) yang mencapai ± Rp 15 triliun,
sehingga total investasi dari hulu sampai ke hilir mencapai ± Rp 100 triliun. Lebih lanjut
disampaikan bahwa perusahaan berorientasi ekspor dan menghasilkan devisa kepada negara
sekitar ± US$ 1,5 milyar atau ± Rp 20 triliun per tahun (Siaran Press APRIL, 23 Oktober 2017).
III. PEMBAHASAN

Lahan gambut memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan mahluk
hidup lain yang berada di atas dan di sekitarnya. Lahan gambut tidak saja berfungsi sebagai
pendukung kehidupan secara langsung (misalnya sebagai sumber ikan air tawar, habitat beraneka
ragam mahluk hidup) melainkan juga memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengendali banjir
dan pengendali iklim global. Kawasan lahan gambut akan sulit dipulihkan kondisinya apabila
mengalami kerusakan. Secara spesifik, lahan gambut memiliki karakteristik yang berbeda
dibanding tutupan hutan alam lainnya. Hutan gambut langsung mengalami kerusakan ketika hutan
di atasnya dibuka, diolah atau dieksploitasi untuk dijadikan tanaman industri, apalagi ditambah
dengan pengusahaan yang intensif melalui kanalisasi dan pengeringan. Dengan demikian, untuk
melestarikan fungsi ekosistem lahan gambut perlu dilakukan pengelolaan secara bijaksana dengan
memperhatikan keseimbangan ekologis bagi kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.
Ada banyak peraturan perundangan yang terkait gambut di Indonesia, walaupun tidak
semuanya terkait secara langsung, namun memiliki implikasi secara tidak langsung. Pada tataran
Undang undang, maka UU No. 5 tahun 1990 akan terkait dengan gambut yang berada pada wilayah
konservasi (taman nasional, cagar alam, dll). Demikian juga UU No. 41 tahun 1999 yang akan
terkait dengan gambut yang berada di dalam kawasan hutan. Pada aspek keruangan, UU No. 27
tahun 2007 akan berimplikasi pada kesatuan hidrologis gambut dan kesesuaiannya dengan tata
ruang. Dari kesemuanya, UU No. 32 tahun 2009 yang paling memiliki kaitan erat dan menjadi
aturan yang memayungi ekosistem gambut.
Sedangkan pada tataran Peraturan Pemerintah, terdapat sedikitnya 8 peraturan pemerintah
yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan gambut. Diawali dengan peraturan
pemerintah (PP) No 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
yang merupakan landasan bagi perlindungan ekosistem. PP No 44 Tahun 2004 dan PP No 45
Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan dan perlindungan hutan yang akan terkait dengan
gambut yang berfungsi lindung dan berada pada kawasan hutan. Selain itu, PP No 27 Tahun 2012
tentang izin lingkungan juga akan terkait dengan pemanfaatan ekosistem gambut yang berada pada
fungsi budidaya. Dalam hal ekosistem gambut berada pada rawa, maka PP No 73 Tahun 2013
tentang Rawa juga menjadi relevan dalam beberapa pengaturannya. Terakhir, tahun 2016
Pemerintah menerbitkan PP No 57 Tahun 2016 yang merupakan perubahan atas PP No 71 Tahun
2014 mengenai perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang secara khusus memberikan
pengaturan terkait gambut.
Pada tataran yang paling rendah, terdapat Keputusan Presiden, Instruksi Presiden dan juga
Peraturan Menteri yang mengatur beberapa hal terkait gambut. Walaupun tingkatannya dalam
hierarki peraturan perundangan di Indonesia berada dibawa Undang undang dan Peraturan
Pemerintah. Namun dalam konteks gambut, pengaturan awal yang terkait secara langsung adalah
Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 dan memberikan pengaturan yang cukup mendasar
terhadap ekosistem gambut, yaitu ketentuan mengenai kedalaman gambut yang perlu dilindungi.
Ketentuan ini pada kemudian hari terus menjadi landasan dalam hal perlindungan gambut.
Keppres juga ternyata memberikan landasan yang sangat kuat untuk pembukaan lahan gambut
sejuta hektar yang kemudian hari disadari menjadi sebuah kesalahan terbesar dalam konteks
kebijakan.
Pada tahun 2007, pemerintah mulai mengembangkan konsep untuk melakukan perbaikan
pada lahan gambut yang rusak. Beberapa penelitian yang terdiri dari ahli menyusun sebuah arahan
pembangunan yang lebih memperhatikan kerentanan lahan gambut tapi juga mencari cara
(pedoman) untuk tetap bisa melakukan pemanfaatan diatas lahan gambut. Dengan pertimbangan
bahwa gambut merupakan ekosistem rentan dan telah mengalami kerusakan yang disebabkan
kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, pemerintah memandang harus dilakukan upaya-upaya
yang intensif dalam perlindungan dan pengelolaannya. Karena itu, Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor: 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dinilai perlu
disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pada tanggal 2 Desember 2016 pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2014 yang mengatur secara lebih rinci terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lahan
gambut. Dijelaskan dalam PP ini, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
Nasional disusun dan ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang, menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sumber daya air, menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perencanaan dan pembangunan nasional dan menteri terkait lainnya.
Artinya pengelolaan lahan gambut merupakan merupakan cakupan kewenangan bersama antara
berbagai sektor sehingga perlindungan dan pengelolaan lahan gambut menjadi jelas posisinya
dalam agenda pembangunan.

a. Pelanggaran PT RAPP Menurut UU No 32 Tahun 2009


Pada alih fungsi lahan gambut salah satu yang harus diperhatikan ialah mengenai
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini wajib dilakukan oleh setiap perusahaan
yang memanfaatkannya, agar kerusakan lingkungan hidup dapat diminimalisir. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan
salah satu peraturan yang memuat aturan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan usaha.
Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dikenal istilah Good Enviromental
Governance atau prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang baik. Keterbukaan dan peran serta
masyarakat merupakan asas yang esensial dalam pengelolaan lingkungan yang baik, terutama
didalam prosedur administratif perizinan lingkungan, sebagai instrumen pencegahan pencemaran
lingkungan. Didalam Undang- undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup Pasal 2 menjelaskan tentang asas-asas yaitu meliputi : asas tanggung jawab
negara; kelestarian dan keberlanjutan; keserasian dan keseimbangan; keterpaduan; manfaat;
kehati-hatian; keadilan; ekoregion; keanekaragaman hayati; pencemar membayar; partisipatif;
kearifan lokal; tata kelola pemerintahan yang baik; dan otonomi daerah.
Menurut UUPLH, PT RAPP melanggar asas kelestarian dan keberlanjutan dan asas keadilan.
Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan menurut UUPPLH adalah “bahwa
setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap
sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan
memperbaiki kualitas lingkungan hidup.” Sedangkan yang dimaksud dengan asas keadilan adalah
“bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.”
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa
tujuan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk “menjamin terpenuhinya
keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan”, dan “mewujudkan pembangunan
berkelanjutan”.
Kerusakan lahan gambut akibat kegiatan produksi PT RAPP menyebabkan hilangnya
kenekaragaman hayati yang ada, dan kerusakan lahan, akibatnya lahan yang rusak sangat sulit
untuk dipulihkan. Proses pemulihan lahan gambut memerlukan waktu yang lama. Menurut
Andriesse, 1988, kecepatan pembentukan gambut untuk hutan primer hanya 3 mm/tahun. Dengan
pembentukan 3 mm/tahun, lahan gambut tidak dapat dinikmati generasi kedepan sehingga
bertentangan dengan azas pembangunan berkelanjutan.
Tujuan kebijakan lingkungan hidup adalah menghasilkan kualitas lingkungan sedemikian
rupa sehingga terbentuk lingkungan yang sehat untuk manusia, tumbuhan, hewan dan benda yang
dapat berfungsi bagi kehidupan bersama. Titik tolak kebijakan tersebut dinyatakan dalam sejumlah
asas yang merupakan dasar kebijakan hukum lingkungan (general principles of environmental
policy), yaitu :
1) Penanggulangan pada Sumbernya (abatement at the source)
Asas penanggulangan pada sumbernya (abatement at the source) antara lain dengan
mengembangkan kebijakan pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga dan tingkat
sumber sampah lainnya, kebijakan sistem pengawasan industri, kebijakan konservasi dan
penyeimbangan supply-demand dalam penggelolaan hutan, mencabut kebijakan perizinan
tambang di kawasan hutan, mencabut kebijksanaan alih fungsi hutan untuk perkebunan di
kawasan perbatasan serta kebijaksanaan pengembangan industri berbasis pertanian
ekologis.
2) Sarana Terbaik yang Praktis (best practicable means)
Asas penerapan sarana praktis yang terbaik atau sarana teknis yang terbaik, antara lain
melalui pengembangan kebijaksanaan industri bersih, kebijaksanaan insensif bagi
pengadaan alat pengelola limbah dan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan industri kecil.
3) Prinsip Pencemar Membayar (Polutter pays principle)
Prinsip pencemar membayar (polutter pays principle) melalui pengembangan
kebijaksanaan pemberian insensif pajak pemasukan alat pengelola limbah bagi industri
yang taat lingkungan, insensif lain bagi pengembangan yang melakukan daur ulang
(reused, recycling).
4) Prinsip Cegat Tangkal (stand still principle)
Prinsip cegat tangkal (stand still principle) dengan melakukan pengembangan sistem
pengawasan impor bahan berbahaya dan beracun (B3), kebijaksanaan pengelolaan hutan
dan Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis masyarakat.
5) Prinsip Perbedaan Regional (principle of regional differentiation)
Prinsip perbedaan regional dengan mengembangkan kebijaksanaan insensif berupa subsidi
dari wilayah pemanfaat (hilir) kepada wilayah pengelola (hulu), secara konsisten,
partisipatif dan berbasis pada keadilan lingkungan (eco justice).
6) Beban Pembuktian Terbalik
Beban pembuktian umumnya ada pada pundak penuntut umum, karena adanya sifat
kekhususan yang mendesak maka beban pembuktian tidak lagi terletak pada penuntut
umum tetapi pada terdakwa. Menurut Hermin Hadianti Koeswadji asas beban pembuktian
terbalik sangat erat kaitannya dengan tanggung jawab negara moderen terhadap warga
negara.
Dalam kasus PT RAPP, prinsip yang paling mungkin digunakan adalah prinsip cegah
tangkal (Stand Still Principles), karena prinsip ini menghendaki agar kerusakan lingkungan hidup
dalam daerah yang telah tercemar tidak boleh tambah cemar. Melihat kerusakan ekosistem lahan
gambut yang ditimbulkan oleh PT RAPP, pemerintah mendesak perusahaan untuk memasukkan
rencana pemulihan ekosistem gambut kedalam RKU. Pembangkangan yang dilakukan merupakan
bukti bahwa perusahaan tidak serius dalam memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan akibat
kegiatan perusahaan. Oleh karena itu hal yang dilakukan oleh KLHK adalah pembatalan RKU PT
RAPP. Bahkan dapat pula KLHK menolak izin permohonan kegiatan karena kualitas lingkungan
sudah demikian jelek sehingga tidak boleh ada beban tambahan dengan aktivitas baru yang
dilakukan oleh PT RAPP.
Upaya penegakan Hukum Lingkungan yang diterapkan Pemerintah kepada kegiatan
dan/atau usaha yang ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Penegakan hukum tersebut
diterapkan melalui sanksi administratif seperti yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
terdiri dari : terguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan
izin lingkungan.

b. Pelanggaran PT RAPP Menurut PP No 57 Tahun 2016


Terkait dikeluarkannya PP No 57 Tahun 2016 merupakan ujian bagi pemerintah atas
keseriusannya dalam menangani lahan gambut. Menurut data Jaringan Kerja Penyelamat Hutan
Riau (Jikalahari) perusahaan-perusahaan yang diduga sebagai pelaku dibalik rusaknya hutan atau
deforestasi di Riau, salah satu korporasi penyumbang deforestasi terbesar adalah PT. RAPP
dengan luasan sekitar 29.330.36 Ha (Salim Nasir, 2017).
Beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh PT RAPP menurut data yang dihimpun dari
Jikalahari antara lain ditemukannya kanal di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.
Padahal dalam Pasal 23 ayat 2 dan 3 PP No 57 Tahun 2016 menyatakan bahwa ekosistem gambut
dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila memenuhi kriteria baku kerusakan muka air
tanah di lahan gambut lebih dari 0,4 meter dibawah permukaan gambut pada titik penataan. Di
Pulau Padang, pembangunan kanal yang panjang dan lebar dilakukan oleh perusahaan untuk
memudahkan transportasi pengiriman bibit dan pengeluaran kayu hutan alam, hal itu
menyebabkan rusaknya lahan secara permanen (Salim Nazir, 2017).
Aturan lain yang dilanggar oleh anak perusahaan APRIL Group ini adalah surat edaran
S.494/MENLHK-PHPL/2015 tentang larangan pembukaan lahan gambut. Surat instruksi Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan MLHK S.495/2015 tentang Instruksi Pengelolaan Lahan
Gambut juga diabaikan oleh perusahaan. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya adanya
pembukaan di lahan gambut oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Dalam instruksi itu tegas diatur
larangan membuka lahan (land clearing) bagi penanam baru, meski dalam area yang sudah
memiliki izin konsesi serta dilarang melakukan aktivitas penanaman di lahan dan hutan yang
terbakar sebab sedang dalam proses penegakan hukum dan pemulihan.
Atas dasar pelanggaran tersebut dan diabaikannya surat peringatan dari KLHK untuk
mengubah RKU maka langkah pemerintah untuk menindak tegas perusahaan yang melanggar
hukum adalah tindakan yang tepat. Hal ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam
mendukung program untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan melindungi lahan gambut.
Sanksi yang dikeluarkan oleh pemerintah sesuai dengan PP No 57 Tahun 2016 adalah sebagai
berikut :
a. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem
Gambut yang melanggar ketentuan dikenai sanksi administratif berupa paksaan
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (3).
b. Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan
Ekosistem Gambut tidak melaksanakan paksaan pemerintah, Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa pembekuan izin lingkungan.
c. Dan dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan
Ekosistem Gambut tidak memenuhi ketentuan dalam pembekuan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud, Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota memberikan sanksi
administratif berupa pencabutan izin lingkungan.
Dalam kaitan dengan pengelolaan ekosistem gambut, menurut PP 57 tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, masih mengatur tinggi muka air (TMA) tanah
tidak lebih dari 40 cm pada fungsi budidaya. Salah satu tujuan pengaturan TMA ini adalah untuk
menjaga kelembaban gambut, sehingga tidak rawan terhadap kebakaran. Para pemegang izin
IUPHHK-HTI pulp dan kertas dalam hal ini PT RAPP, seyogyanya memperhatikan regulasi ini,
untuk menghindari bahaya kebakaran dan bencana kabut asap yang sewaktu-waktu dapat terjadi
akibat kesalahan pengelolaan tata air/hidrologi gambut. Permasalahan dalam pengelolaan KPH,
seperti illegal logging, kebakaran dan perambahan hutan, merupakan permasalahan yang jamak
dihadapi oleh KPH (Ditjen Planologi Kehutanan, 2014). Dampak deforestasi dan degradasi hutan
(khususnya rawa gambut) terhadap meningkatnya resiko bencana kebakaran hutan dan lahan, telah
disadari oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau.

c. Ancaman Kelestarian Ekosistem Provinsi Riau


Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang paling rawan terhadap kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia. Provinsi Riau memiliki pengaruh yang besar terhadap terjadinya polusi
asap yang melintas batas negara, di mana pada umumnya kebakaran tersebut berada di lahan
gambut (Nurhayati dkk, 2010). Luas lahan gambut di Provinsi Riau sekitar 3,89 juta hektar dari
6,49 juta hektar total luas lahan gambut di pulau Sumatera. Saat ini diperkirakan lahan gambut
yang telah terdegradasi sekitar 2.313.561 hektar atau 59,54% dari total luas lahan gambut di
Provinsi Riau. Sisanya sekitar 1.037.020 hektar dari lahan tersebut dimanfaatkan untuk budidaya
tananam seperti kelapa sawit, tanaman pangan dan hortikultura (Wahyunto dkk, 2013). Mengacu
kepada potensi luas lahan gambut di Provinsi Riau jika tidak dikelola dengan baik maka akan
mudah terbakar dan berdampak pada pelepasan karbon ke udara sehingga meningkatkan efek gas
rumah kaca.
Kawasan Semenanjung Kampar merupakan salah satu hamparan hutan rawa gambut terluas
yang berada di Provinsi Riau. Semenanjung Kampar memiliki ekosistem hutan gambut berada di
antara 2 (dua) sungai besar, yaitu Sungai Siak dan Sungai Kampar. Hampir seluruh areal di
Semenanjung Kampar merupakan lahan gambut dengan tiga kubah gambut besar (peat dome)
sebagai daerah intinya dengan kedalaman gambut tergolong dalam hingga sangat dalam dan
beberapa kubah gambut kecil (Qomar dan Jaya, 2010). Tutupan hutan rawa gambut di
Semenanjung Kampar pada tahun 1982 mencapai 97% dari luas total areal 702.129 hektar. Pada
tahun 2005 luas tutupan hutan yang ada hanya mencapai 63% atau telah terjadi deforestasi sebesar
34% dalam kurun waktu 23 tahun (1982-2005) dari luas keseluruhan kawasan Semenanjung
Kampar atau sekitar 260.348 hektar (Rifardi, 2008).
Kawasan Semenanjung Kampar telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah
satu bagian dari area kunci bagi keanekaragaman hayati hutan rawa gambut (Anonim, 2007), dan
area penting bagi habitat burung di Pulau Sumatera (Anonim, 2003). Eksistensi hutan gambut
Semenanjung Kampar sangat penting dalam melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati,
demikian juga dalam mempertahankan fungsi hidrologis dan penjaga stabilitas iklim mikro dan
makro serta sebagai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global dunia (Anonim, 2010). Namun
demikian tekanan penggunaan lahan di Semenanjung Kampar oleh berbagai kepentingan telah
mengakibatkan semakin menurunkan luasan kawasan berhutan.
Keberadaan ekosistem hutan rawa gambut Semenanjung Kampar mendapatkan tekanan
yang cukup berat dan perubahan luasan secara signifikan (Rifardi, 2008; Qomar dan Jaya, 2010).
Pembukaan hutan dan lahan gambut untuk pertanian, hutan tanaman industri dan perkebunan yang
disertai dengan pembuatan kanal secara besar - besaran serta tidak terkendali diperkirakan akan
merubah pola hidrologi secara ekstrim (Siegel dkk, 1995). Apabila perubahan pola hidrologi terus
berlanjut maka diperkirakan akan berdampak pada percepatan proses oksidasi dan dekomposisi,
khususnya pada kubah gambut (Noor, 2010). Gambut yang mengalami pengeringan berlebihan
hingga merusak sifat koloid gambut sehingga menjadi bahan yang mudah terbakar dan
meningkatkan resiko kebakaran hutan dan lahan (Hooijer dkk, 2006).
Bila kondisi saat ini (eksisting) terus dibiarkan maka jelas akan mempengaruhi keberlanjutan
ekosistem hutan rawa gambut di Semenanjung Kampar. Kondisi eksisting menyebabkan ekosistem
hutan rawa gambut Semenanjung Kampar menjadi salah satu fokus dalam penyelamatan
keanekaragaman hayati yang saat ini sedang mengalami ancaman kemerosotan akibat degradasi
dan deforestasi di Provinsi Riau. Oleh karena itu perlu adanya evaluasi untuk mengetahui tingkat
keberlanjutannya berdasarkan pendekatan multidimensi agar dapat menentukan langkah yang
tepat untuk menjamin keberlanjutan pada masa yang akan datang.

IV. PENUTUP
Dalam mendukung program pemerintah melindungi dan mengelola ekosistem gambut dari
kehilangan keanekaragaman hayati, degradasi dan deforestasi yang lebih luas, diperlukan upaya
rekomendasi yang bersifat multidimensi antara lain :
1. Menciptakan rencana aksi gambut koheren yang dibangun berdasarkan seluruh rencana
kerja pemerintah yang sudah ada dengan fokus kepada solusi pertanahan yang
terintegrasi melibatkan seluruh unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan swasta;
2. Menegakkan moratorium dan memastikan bahwa kegiatan yang mendukung pabrik
kertas dan lainnya dibangun di lahan bernilai karbon rendah;
3. Mengkaji ulang konsesi yang telah diberikan, memberantas ilegalitas, kagagalan
memenuhi aturan pengelolaan lahan gambut, sampai mencabut ijin konsesi yang terbukti
terus menerus melanggar peraturan;
4. Menciptakan daftar publik nasional segala jenis konsesi termasuk penebangan hutan
selektif, kelapa sawit, kertas dan batubara dan mempublikasikannya dalam satu peta;
5. Membangun sistem pengawasan deforestasi nasional yang independen, transparan, serta
memastikan pengawasan dan penegakkan hukum yang efektif dengan memberdayakan
masyarakat lokal serta pemangku kepentingan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003. Important Bird Areas in Asia: Key Sites for Conservation. Birdlife
International (Birdlife Conservation Series No. 13). Cambridge

Anonim. 2006. Strategi dan Rencana Tindak Lanjut Nasional Pengelolaan Lahan Gambut
Berkelanjutan. Kelompok Kerja Pengelolaan Lahan Gambut Nasional. Jakarta

Anonim, 2007. Priority Sites for Conservation in Sumatra: Key Biodiversity Area.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2010. Strategi Pengelolaan Ekosistem Rawa Gambut. Untuk Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca (GRK) dalam Rangka Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim.
Seminar dan Lokakarya Revitalisasi dan Penguatan Jejaring Kerjasama Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru

Anonim. 2017. KLHK Peringatkan RAPP karena Rencana Kerja Langgar Aturan.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171010191421-92-247497/klhk-
peringatkan-rapp-karena-rencana-kerja-langgar-aturan. Diakses tanggal 1
Februari 2018

Darmawan Budi, Siregar Ikhwan Yusni, Sukendi, Zahrah Siti. 2016. Pengelolaan Keberlanjutan
Ekosistem Hutan Rawa Gambut Terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan
di Semenanjung Kampar, Sumatera. J. Manusia dan Lingkungan, Vol. 23 No
2, Juli 2016 : 195-2005

Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S., 2006. Peat-CO2, Assessment of CO2
Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943

Lestari, Mutuagung PT. 2006. Ringkasan Publik Sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman
Lestari (PHTL) PT Riau Andalan Pulp and Paper Kabupaten Kuantan
Singingi, Pelalawan, Kampar dan Kabupaten Siak Provinsi Riau.
Cimanggis, Jakarta

Nurhayati, A.D., Aryanti, E., dan Saharjo, B.H., 2010. Kandungan Emisi Gas Rumah Kaca
pada Kebakaran Hutan Rawa Gambut di Pelalawan Riau. J.Ilmu Pertanian
Indonesia, 15(2) : 78-82

Noor, M., 2010. Lahan Gambut. Pengembangan, Konservasi, dan Perubahan Iklim. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta

Pemerintah Republik Indonesia, 1999. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta

Pemerintah Republik Indonesia. UU No 27 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Jakarta

Pemerintah Republik Indonesia. UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup. Jakarta

Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah


Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lahan
Gambut. Jakarta
Qomar, N., dan Jaya, Y.V., 2010. Deforestasi dan Penggunaan Lahan Lansekap Semenanjung
Kampar, Riau. Seminar dan Lokakarya Revitalisasi dan Penguatan Jejaring
Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Pekanbaru 19-20 November
2010.

Rainer, Michael. 2017. RAPP Ikuti Peraturan dan Perundangan Yang Berlaku. Mohon
Kepastian Hukum Berinvestasi. APRIL Siaran Press.
http://www.aprilasia.com/id/images/pdf_files/APRIL-SIARAN-PERS-23-
Oktober-2017. Diakses pada tanggal 31 Januari 2018

Rifardi, 2008. Degradasi Ekologi Sumberdaya Hutan dan Lahan (Studi Kasus Hutan Rawa
Gambut Semenanjung Kampar Propinsi Riau). Jurnal Bumi Lestari,
8(2):145-154

Salim, Nazir M. 2017. Mereka Yang Dikalahkan : Perampasan Tanah dan Resistensi
Masyarakat di Pulau Padang. STPN Press. Yogyakarta

Siegel, D.I, Reeve, A.S., Glaser, P.H., dan Romanowicz, E.A., 1995. Climate-Driver Flushing
of Pore Water in Peatlands. Nature 374 : 531-533

Wahyunto, Ritung, S.,Nugroho, K., Sulaiman, Y., Hikmarullah., Tafakresnanto, C., Suparto, dan
Sukarman, 2013. Peta Arahan lahan Gambut Terdegradasi di Pulau
Sumatera Skala 1:250.000. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Bogor. 27 hal

Anda mungkin juga menyukai