Anda di halaman 1dari 31

PERNYATAAN POSISI PRAKTIK TERBAIK PADA KEHAMILAN DENGAN

PENYAKIT GINJAL KRONIS:


KELOMPOK STUDI ITALIA MENGENAI GINJAL DAN KEHAMILAN

PENGANTAR

Pada tahun 1975, sebuah editorial di Lancet yang berjudul Kehamilan dan Penyakit Ginjal,
diawali dengan pernyataan berikut: Anak-anak dari perempuan dengan penyakit ginjal dulu
dilahirkan dengan bahaya atau tanpa bahaya sama sekali — tanpa bahaya sama sekali jika
dokter mereka memiliki cara. Makalah ini meninjau kembali bukti suram sebelumnya,
dengan kemungkinan kecil hasil positif untuk anak-anak yang ibunya memulai kehamilan
dengan kadar nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 60 mg / dl dan dengan hipertensi.
Terlepas dari beberapa laporan negatif, penulis memberi ruang untuk data baru yang lebih
positif dan menyimpulkan pembehasan saran untuk diberikan kepada wanita dengan
penyakit ginjal kronis (CKD) yang berencana hamil. Kesimpulannya masih berlaku di era
pemberdayaan pasien kami: wanita harus diberitahu bahwa ada risiko yang cukup besar
bagi bayinya dan risiko kecil untuk dirinya sendiri, namun larangan dogmatis tidak
dibenarkan hari ini. Sebaliknya, dokter obstetri dan dokter umum harus mematahkan palka
dan bersiap untuk keluar dari badai bersama dengan mereka yang bertekad untuk berlayar.

Ada sejumlah masalah yang timbul pada tahun 1975, terutama peran hipertensi dan
proteinuria, keparahan CKD dan adanya penyakit tertentu seperti systemic lupus
erythematosus (SLE) atau autosomal dominant polycystic kidney disease (ADPKD), masih
menjadi bahan diskusi. Namun, konteksnya telah berubah selama beberapa dekade karena
beberapa alasan termasuk kemajuan dalam perawatan fetomaternal, dengan ekspansi
progresif dari zona viabilitas janin menjadi 22-24 minggu. Pemberdayaan progresif pasien
dengan penyakit kronis telah mengubah sikap dari proteksi paternalistik ibu menjadi pilihan
bersama. Sementara itu, hasil kehamilan yang hampir tidak terduga pada dialisis telah
menyoroti potensi kehamilan bahkan pada CKD stadium akhir.
Definisi CKD, menggantikan istilah 'insufisiensi ginjal' dengan konsep yang lebih luas
dibanding 'penyakit ginjal kronis’, menetapkan tahap untuk mengakui tingginya prevalensi
CKD dalam kehamilan.

Dalam konteks ini, Kelompok Studi Ginjal dan Kehamilan dari Italian Society of
Nephrology melakukan tinjauan praktik terbaik saat ini, yang bertujuan untuk
menggabungkan bukti yang tersedia dengan diskusi mendalam tentang pengalaman
bersama dan pertanyaan terbuka.

KEDOKTERAN BERBASIS BUKTI DAN KEHAMILAN DENGAN CKD:


TILIKAN METODOLOGIS

Bukti pada kehamilan dengan CKD berbagi beberapa masalah metodologis dengan
kehamilan dengan dialisis dan lebih umum, dengan kehamilan dengan penyakit langka
dan/atau heterogen.

CKD adalah etiket yang mengumpulkan banyak penyakit berbeda yang dapat memengaruhi
kehamilan secara berbeda. Nefropati imunologi berisiko menyebabkan flare selama dan
setelah kehamilan. Pielonefritis dan malformasi ginjal memiliki risiko peningkatan infeksi
saluran kemih. ADPKD menyajikan masalah etika yang kompleks mengenai konseling
pranatal. Nefropati diabetik adalah satu-satunya penyakit ginjal yang terkait dengan risiko
malformasi non-ginjal yang lebih tinggi. Kurangnya definisi bersama menghambat
sebagian pengumpulan data untuk tinjauan sistematis, yang menjadi sebuah masalah yang
harus dipertimbangkan selama analisis kritis dari hasilnya.

Penyakit ginjal, tingkat kerusakan ginjal, hipertensi, dan proteinuria merupakan faktor-
faktor yang telah dikenali dalam patogenesis hasil buruk terkait kehamilan. Interaksi faktor-
faktor tersebut merupakan hal yang kompleks dan sejauh ini belum sepenuhnya dipahami.

Masalah utama yang ada adalah penilaian fungsi ginjal dalam kehamilan, karena tidak ada
rumus yang divalidasi dan hiperfiltrasi fisiologis dapat mengubah penilaian CKD.
Sulit untuk melakukan uji coba kontrol acak (RCT) dalam kehamilan dan seringkali uji ini
tidak layak secara etis. Oleh karena itu, pemahaman kita tentang hasil kehamilan pada
pasien CKD terutama bergantung pada penelitian observasional, yang kualitasnya tidak
selalu lebih rendah dibandingkan dengan RCT. Sebagai konsekuensi dari kekurangan
“fisiologis” RCT dan kurangnya studi observasional berskala besar, kami akan
menguraikan rekomendasi tingkat rendah. Kami akan menyertakan beberapa saran yang
tidak dinilai, yang kontribusinya seharusnya tidak diremehkan.

Strategi penelitian pernyataan posisi saat ini didasarkan suatu pembaruan, yaitu pada Juni
2014, pada tinjauan sistematis sebelumnya untuk CKD dan kehamilan, kami merujuk
pembaca pada rincian tentang strategi pencarian dan pada modalitas pemilihan artikel.
Heterogenitas literatur dan tingginya jumlah penyakit ginjal mendorong kami untuk
berfokus pada fitur umum dan pada bentuk utama CKD, menyoroti kebutuhan untuk
penelitian di masa mendatang. Kelompok Studi Italia tentang Ginjal dan Kehamilan telah
membahas masalah kehamilan dengan dialisis. Pernyataan posisi lebih lanjut akan
menangani kehamilan pada pasien transplantasi ginjal.

PASIEN CKD MANA YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN MENGALAMI


"PENINGKATAN RISIKO" UNTUK PROGNOSIS YANG MERUGIKAN
TERKAIT KEHAMILAN?

1. Semua pasien CKD harus dipertimbangkan mengalami peningkatan risiko untuk


hasil yang berhubungan dengan kehamilan yang buruk dan ditindaklanjuti dengan
tepat (saran yang kuat, bukti membentuk laporan yang relatif besar dari beberapa
situasi).
2. Risiko hasil buruk yang berhubungan dengan kehamilan meningkatkan insidensi
dan keparahan serta perburukan CKD. Tindak lanjut harus diintensifkan pada pasien
dengan CKD berat (saran kuat, bukti dari beberapa laporan dalam situasi yang
berbeda, stadium CKD dan/atau penyakit yang berbeda).
3. Proteinuria, hipertensi, diabetes tipe 1, dan penyakit imunologi dikaitkan dengan
peningkatan risiko. Tindak lanjut harus ditingkatkan (saran yang kuat, bukti dari
beberapa laporan dalam berbagai situasi).

Seperti yang sudah disebutkan, definisi penyakit ginjal telah berubah seiring waktu dan
definisi CKD saat ini, yang mencakup semua pasien dengan tanda-tanda penyakit ginjal
terlepas dari fungsi ginjal, berasal dari awal milenium baru. Akibatnya, sebagian besar
penelitian yang lebih tua mengamati CKD stadium lanjut dan sedikit yang membandingkan
CKD stadium awal dan lanjut dalam situasi yang sama.

Risiko terjadinya hasil buruk yang terkait dengan kehamilan meningkat mulai dari CKD
stadium awal. Studi berskala besar dan meta-analisis menunjukkan bahwa risiko semakin
meningkat seiring dengan memburuknya fungsi ginjal, hingga dialisis.

Efek dari CKD, bahkan dengan fungsi ginjal yang normal, dikonfirmasi oleh peningkatan
hasil merugikan yang signifikan pada ibu-janin, termasuk preeklampsia (PE), hipertensi
yang diinduksi kehamilan dan persalinan prematur, dalam tiga kohort besar pasien yang
hamil setelah donasi ginjal. Tidak dijelaskan alasan mengapa wanita dengan satu ginjal
(atau bekas luka ginjal, remisi glomerulonefritis, dll) dengan fungsi ginjal normal, tanpa
proteinuria atau hipertensi harus mengalami risiko yang lebih tinggi untuk hasil kehamilan
yang terkait.

Dalam konteks tersebut, kelompok kerja menunjukkan bahwa semua pasien CKD harus
dipertimbangkan pada peningkatan risiko untuk kejadian buruk terkait kehamilan dan harus
dipantau, bila memungkinkan, oleh tim multidisiplin termasuk staf nefrologi dan obstetri.
Karena risiko meningkat seiring dengan memburuknya fungsi ginjal, tindak lanjut harus
diintensifkan pada CKD berat (lihat rekomendasi lebih lanjut). Untuk penanganan pasien
dialisis, silakan lihat pernyataan posisi spesifik.

Kesimpulan ini sebagian besar didasarkan pada bukti yang tersebar dan menggarisbawahi
kebutuhan akan studi lebih lanjut dalam kohort berskala besar pasien CKD. Studi semacam
itu sangat didorong oleh kelompok studi.
APA LUARAN BURUK UTAMA YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEHAMILAN PADA PASIEN CKD?

1. Risiko kematian ibu rendah dan jarang diperhitungkan. Risiko tersebut terutama
didekripsikan dalam penyakit imunologi aktif atau dalam eksaserbasi, terutama pada
lupus eritematosus (saran yang kuat, bukti yang tersebar).
2. Risiko perburukan fungsi ginjal, pengembangkan hipertensi dan pengembangkan
atau peningkatan proteinuria seiring dengan stadium CKD (saran moderat, bukti
yang tersebar).
3. Risiko janin, terutama yang terkait dengan prematuritas (saran yang kuat, bukti
yang tersebar).
4. Kematian perinatal dapat meningkat pada penyakit tertentu (SLE, penyakit sistem
imunologi, dan nefropati diabetik) (saran yang kuat, bukti yang tersebar).
5. Malformasi tidak meningkat pada pasien CKD, dengan kemungkinan pengecualian
untuk nefropati diabetik (saran yang kuat, banyak bukti dari berbagai sumber pada
CKD non-diabetik, satu artikel hanya melaporkan peningkatan malformasi pada
nefropati diabetik).
6. Risiko peningkatan hasil fetomaternal yang buruk pada kehamilan kembar (saran
moderat, satu seri besar saja).

Hasil terkait kehamilan dengan CKD mungkin terkait dengan ibu dan janin. Ibu berisiko
mengalami kematian dan progresivitas CKD, termasuk juga peningkatan proteinuria,
gangguan kontrol atau timbulnya hipertensi, yang dapat menetap setelah melahirkan. Risiko
untuk bayi baru lahir adalah kematian perinatal, malformasi, prematur, defisiensi
intelektual, dan penyakit di masa dewasa.

Kematian ibu dilaporkan sebagai risiko yang sangat rendah atau tidak dapat dihitung,
setidaknya di negara-negara Barat, di mana angka kematian ibu sudah rendah di awal.
Menurut sebagian besar seri dan tinjauan sistematis, kematian ibu hampir secara eksklusif
dilaporkan pada pasien dengan penyakit sistemik imunologi, utamanya SLE, juga karena
fakta bahwa SLE merupakan penyakit imunologi sistemik yang paling umum dalam
kehamilan.

Risiko memburuknya fungsi ginjal dapat meningkat seiring peningkatan stadium CKD.
Entitasnya telah dihitung secara berbeda, dari sekitar 20 menjadi lebih dari 80%. Namun,
tinjauan sistematis baru-baru ini tidak menemukan risiko penurunan fungsi ginjal yang
lebih tinggi pada pasien CKD yang hamil versus pasien CKD stadium 1-3 tanpa kehamilan.

Peningkatan proteinuria sering terjadi. Hal tersebut itu lebih sering pada pasien yang sudah
mengalami proteinuria pada awal kehamilan dan mungkin lebih tinggi pada nefropati
diabetik. Namun, definisi dari '‘peningkatan yang relevan’ dalam proteinuria cukup sulit
dipahamidan prevalensi yang dilaporkan berkisar dari 20 hingga hampir 100% kasus.

Risiko prematuritas (didefinisikan sebagai kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu),


persalinan prematur dini (sebelum usia kehamilan 34 minggu) dan kelahiran sangat
prematur (sebelum usia kehamilan 28 minggu) meningkat pada kehamilan CKD dan sekali
lagi, risiko kelahiran prematur juga tingkat prematuritas, meningkat di seluruh stadium
CKD.

Prematuritas membawa beberapa risiko jangka pendek dan jangka panjang untuk bayi:
kematian perinatal, retinopati, masalah neurologis (akhirnya terkait dengan perdarahan
otak), dan kemungkinan peningkatan hipertensi jangka panjang, CKD dan penyakit
kardiovaskular. Fase terakhir pembentukan dan pematangan glomerulus terjadi pada
kehamilan lanjut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada korelasi yang antara
prematuritas, berat lahir rendah, jumlah nefron yang rendah, dan perkembangan penyakit
ginjal di masa dewasa.

Anak-anak dari ibu yang mengalami diabetes dan penyakit sistemik-imunologi memiliki
risiko kematian perinatal yang lebih tinggi, juga ketika lahir aterm atau preterm lanjut.
Risiko ini tampaknya lebih terkait dengan penyakit spesifik daripada tingkat gangguan
fungsi ginjal. Tidak ada bukti bahwa anak-anak dari ibu CKD non-diabetes memiliki risiko
malformasi yang lebih tinggi, selain malformasi saluran kemih, termasuk refluks vesiko-
ureter, dan kondisi terkait, yang diketahui memiliki latar belakang genetik, meskipun sejauh
ini hanya sebagian yang dipahami.

Satu studi baru-baru ini, dalam seri berskala besar, sebaliknya menunjukkan bahwa adanya
nefropati meningkatkan risiko malformasi pada anak-anak dari ibu yang mengalami
diabetes. Beberapa malformasi telah dilaporkan, dengan rasio kemungkinan sebesar 2–3
dibandingkan dengan ibu tanpa nefropati.

Menurut satu seri kasus dan beberapa laporan kasus, kehamilan multipel mungkin memiliki
risiko prognosis yang merugikan yang lebih tinggi. Hal ini harus diingat, khususnya dalam
kasus assisted reproduction techniques (ART).

Sangat sedikit penelitian yang secara khusus ditujukan pada status kesehatan anak dari yang
menderita CKD. Peneltian tersebut menganalisis berbagai aspek kesehatan, dari fungsi
ginjal hingga kesejahteraan psikologis. Dalam batas-batas bukti yang tersebar, tampak
bahwa sebagian besar anak-anak dari ibu CKD mampu mencapai tujuan perkembangan
normal, pada setiap tingkat gangguan fungsi ginjal.

Menurut Kelompok Studi, dibutuhan studi lebih lanjut dengan fokus pada hasil jangka
panjang klinis dan psikologis anak-anak dari ibu-ibu yang menderita CKD.

INDIKASI DAN TUJUAN UNTUK TINDAK LANJUT

1. Tujuan utama tindak lanjut adalah identifikasi dini dan pengobatan komplikasi,
termasuk hipertensi, anemia, gangguan koagulasi, dan perencanaan persalinan yang
tepat waktu (rekomendasi kuat, bukti tidak langsung).
2. Tindak lanjut harus diintensifkan pada pasien CKD sehubungan dengan kehamilan
normal (rekomendasi kuat, bukti tidak langsung).
3. Tindak lanjut harus ditingkatkan seiring dengan peningkatan stadium CKD dan
sesuai dengan adanya faktor risiko lain, seperti hipertensi, proteinuria dan penyakit
sistemik (rekomendasi kuat, bukti tidak langsung).
4. Tindak lanjut harus mencakup setidaknya satu kunjungan nefrologi dengan
pemeriksaan darah dan tes kemih setiap 4–6 minggu pada kehamilan hipertensi non
proteinurik, kehamilan dengan CKD stadium 1 tanpa hipertensi, dan harus
ditingkatkan menjadi mingguan pada pasien hipertensi dengan proteinuria yang
tinggi atau pada CKD stadium 4–5 (rekomendasi kuat, bukti tidak langsung).
5. Tidak ada rumus yang divalidasi untuk perhitungan laju filtrasi glomerulus (LFG)
pada kehamilan dengan CKD, sehingga LFG harus dinilai melaluo pengumpulan
urin 24 jam (rekomendasi kuat, berdasarkan LFG pada kehamilan normal dan PE).
6. Ekskresi protein 24 jam lebih dipilih untuk kuantifikasi proteinuria (rekomendasi
kuat, bukti tidak langsung).
7. Dua kali urinalisis bulanan dan mingguan dan kultur urin dapat diindikasikan dalam
pencegahan infeksi saluran kemih (ISK) dan untuk deteksi dini proteinuria
(rekomendasi kuat, bukti terbatas pada satu RCT).

Kehamilan bukanlah penyakit atau komplikasi penyakit. Namun, kondisi ini dapat
menimbulkan komplikasi oleh karena adanya penyakit ibu. Oleh karena itu, tidak ada
'perawatan' spesifik untuk kehamilan dengan CKD dan sebaliknya, beberapa terapi yang
digunakan dalam CKD di luar kehamilan merupakan kontraindikasi pada kehamilan (Tabel
1, 2, 3, 4). Akibatnya, tujuan utama dari tindak lanjut adalah identifikasi dini dan
pengobatan komplikasi potensial, termasuk hipertensi, proteinuria, anemia, gangguan
koagulasi, dan eksaserbasi penyakit sistemik.

Dengan tidak adanya RCT, Kelompok Studi menyarankan untuk mengintensifkan tindak
lanjut pada pasien CKD dibandingkan dengan kehamilan normal, meningkatkan frekuensi
kunjungan bersama seiring peningkatan stadium CKD, dan sesuai dengan adanya
hipertensi, proteinuria, dan penyakit sistemik. Diagram alur menyoroti frekuensi minimal
yang disarankan untuk kontrol (Gambar 1, 2, 3).

Penilaian fungsi ginjal pada kehamilan merupakan hal yang sulit, karena hiperfiltrasi dan
peningkatan volume plasma dan distribusi volume. Sampai saat ini, tidak ada rumus yang
divalidasi untuk perhitungan LFG pada kehamilan dengan CKD dan lebih baik untuk
menilai ekskresi kreatinin dalam urin 24 jam, setidaknya pada pasien yang dilatih untuk
mengikuti indikasi. Hal ini juga memungkinkan penilaian proteinuria yang tepat.

Kelompok Studi menyarankan persyaratan berupa minimal satu kunjungan nefrologi


dengan tes darah dan urin setiap 4-6 minggu pada kehamilan CKD non proteinuria, CKD
stadium 1 non hipertensi, meningkat menjadi mingguan pada pasien dengan berbagai
kombinasi proteinuria, hipertensi atau CKD stadium 4-5. Pasien yang berisiko mengalami
ISK berulang, eksaserbasi imunologik atau dengan glomerulonefritis dalam remisi harus
mengontrol urinalisis untuk proteinuria dan/atau kultur urin setiap 1-2 minggu, untuk
segera mengidentifikasi ISK dan/atau proteinuria (Gambar 1, 2, 3).

DIAGNOSIS BANDING ANTARA CKD DAN PREEKLAMPSIA

1. Diagnosis banding antara PE dan CKD, serta definisi superimposed PE pada CKD
tidak memungkinkan pada dasar klinis (rekomendasi kuat, bukti terbatas).
2. PE asal plasenta biasanya berhubungan dengan gangguan aliran Doppler utero-
plasental (rekomendasi kuat, bukti yang tersebar).
3. PE dan CKD dapat dibedakan dengan cara pola angiogenik-antiangiogenic (soluble
Fms-like tyrosine kinase 1 [s-Flt-1], placental growth factor [PIGF]) (rekomendasi
menengah, bukti yang tersebar).
4. Biopsi ginjal tidak dianjurkan dalam kehamilan, baik untuk definisi penyakit ginjal
atau untuk diagnosis banding antara PE dan CKD, karena risiko komplikasi berat
(rekomendasi kuat, tinjauan sistematis dari bukti yang tersebar).

Definisi luas dari PE mencakup dua subjek yang mengalami dampak ringan, yang
situasinya kompatibel dengan persalinan cukup bulan / aterm "sesuai untuk usia
kehamilan", serta pasien yang terkena penyakit yang sangat berbahaya dan mematikan
dengan "kecil untuk usia kehamilan" (SGA) dan risiko komplikasi jangka panjang.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk sub-klasifikasi PE, menurut tingkat keparahan, usia
kehamilan, onset kejadian dan asal patofisiologi. Lebih lanjut lagi, PE dapat dimasukkan
dalam rangkaian penyakit, dari hipertensi yang diinduksi kehamilan hingga sindrom
HELLP (dinamakan demikian karena ada tiga ciri: hemolisis / haemolysis, peningkatan
enzim hati / elevated liver enzymes, dan kadar trombosit yang rendah / low platelet levels).

Definisi klasik PE menyatakan bahwa hal tersebut adalah kondisi reversibel yang ditandai
oleh hubungan hipertensi dan proteinuria (di atas 300 mg / hari), terjadi setelah minggu ke-
20 kehamilan pada wanita hamil yang sebelumnya normotensif non proteinurik. Proteinuria
dan hipertensi harus hilang dalam 1–3 bulan setelah melahirkan. Meskipun demikian,
beberapa penulisbaru-baru ini menyarankan pasien PE berikut setidaknya 6 bulan setelah
melahirkan, untuk "mengubah pemikiran publik (dan klinisi) bahwa kehamilan berlangsung
bukan 9 bulan, melainkan 15 bulan". Ide ini adalah cara yang baik untuk membuat kita
mempertimbangkan pentingnya perawatan pasca-melahirkan terutama untuk wanita dengan
PE. Dengan cara ini kita dapat mendeteksi hipertensi atau masalah ginjal yang sedang
berlangsung. Hubungan dengan penyakit ginjal telah digarisbawahi oleh beberapa penulis,
dan sangat penting untuk diagnosis banding PE.

Pergeseran paradigma terjadi ketika pedoman American College of Obstetricians and


Gynecologists (ACOG) menyatakan bahwa PE dapat didiagnosis tanpa adanya proteinuria,
mendasarkan diagnosis pada hipertensi onset baru disertai dengan setidaknya salah satu
dari berikut: peningkatan kreatinin serum, hitung trombosit yang rendah, atau kadar enzim
hati yang tinggi, edema paru atau gejala saraf pusat, sekali lagi menggarisbawahi
pentingnya ada gangguan ginjal dalam konteks ini. Terlepas dari definisi tersebut,
setidaknya ada tiga kondisi di mana diagnosis banding antara PE dan CKD hampir tidak
mungkin: ketika tidak tersedia data sebelum 20 minggu kehamilan, ketika CKD kambuh
dalam kehamilan, ketika penyakit ginjal berkembang dalam kehamilan. Menurut
pandangan patofisiologi yang tersebar luas, defek plasenta berada pada dasar PE. Dengan
demikian, analisis aliran utero-plasenta dapat membantu membedakan PE (gangguan aliran,
dan pertumbuhan terhambat) dari CKD (aliran darah dan pertumbuhan normal). Beberapa
biomarker klinis dan biokimia PE telah disarankan dan dapat mendukung diagnosis
banding antara PE dan CKD. Rasio antara sFlt-1, reseptor untuk faktor pertumbuhan
endotel vaskular (VEGF) dan PIGF dianggap sebagai salah satu prediktor PE yang paling
menjanjikan yang dapat mendukung diagnosis banding antara PE dan CKD yang,
setidaknya pada stadium awal, ditandai dengan plasentasi yang normal.

Biopsi ginjal tidak dianjurkan pada kehamilan, berdasarkan tinjauan sistematis yang
menyoroti risiko komplikasi perdarahan yang parah. Namun, pada awal kehamilan, pro dan
kontra diagnosis versus terapi empiris harus dinilai secara individual, khususnya pada kasus
dengan gangguan fungsi ginjal progresif. Pada kehamilan lanjut, keuntungan dari manuver
invasif dibandingkan dengan persalinan prematur harus dipertimbangkan. Biopsi ginjal
harus dilakukan pada pasien dengan proteinuria persisten (3-6 bulan setelah melahirkan
dengan waktu tergantung juga pada parameter ginjal lainnya) tanpa diagnosis penyakit
ginjal. Pasien-pasien ini sayangnya sering hilang dari tindak lanjut, sehingga membatasi
potensi keuntungan kehamilan sebagai kesempatan pertama untuk diagnosis CKD yang
berpotensi reversibel.

Oleh karena itu Kelompok Studi mendukung kebutuhan untuk penilaian sistematis fungsi
ginjal pada PE, serta pada kehamilan berikutnya yang disertai sindrom PE atau HELLP.
Karena ketertarikan pada biomarker serum untuk diagnosis banding antara PE dan CKD,
Kelompok Studi menggarisbawahi bahwa hal ini didasarkan pada hasil beberapa penelitian,
sebagian besar dari kelompok yang sama, dan mempertimbangkan organisasi studi
multisenter besar untuk meneliti masalah ini.

MASALAH KHUSUS: HIPERTENSI SEBAGAI KOMPLIKASI CKD DAN


KEHAMILAN

1. Hipertensi arterial adalah komplikasi umum dari kehamilan dengan CKD, dan harus
diidentifikasi dan diobati secara dini (rekomendasi kuat, bukti tidak langsung dari
penelitian observasional yang besar).
2. ‘‘Pengobatan yang berlebihan’’ harus dihindari, karena adanya risiko penurunan
aliran utero-plasenta, dan mendorong terjadinya restriksi pertumbuhan intrauterin
(IUGR) (rekomendasi kuat, bukti dari penelitian observasional yang besar).
3. Pengobatan harus mengikuti pendekatan bertahap, mulai dari obat-obatan dengan
kontraindikasi yang kurang dalam kehamilan (rekomendasi kuat, berdasarkan
tinjauan dan pedoman sistematis).
4. Ketika digunakan untuk efek antiproteinurik dan nefronprotektif, angiotensin-
converting enzyme inhibitor (ACEi) atau angiotensin receptor blocker (ARB) harus
dihentikan pada penilaian pertama dari tes kehamilan positif (rekomendasi kuat
untuk penghentian, memperjelas bukti untuk waktu).

Target nilai tekanan darah secara berkala ditinjau dalam gangguan hipertensi kehamilan,
pengaturan rekomendasi bersama dimaksudkan untuk menghindari koreksi hipertensi yang
berlebihan, untuk risiko yang memengaruhi pertumbuhan janin.

Sebaliknya, target tekanan darah pada kehamilan CKD hipertensi tidak tetap. Hal ini
mungkin baik untuk menghindari koreksi berlebihan, tetapi harus juga diingat bahwa
hiperfiltrasi dan proteinuria, yang secara luas dijelaskan pada pasien CKD hipertensi,
mungkin memiliki efek yang merugikan pada fungsi ginjal.

Dengan mempertimbangkan percobaan Studi Pengendalian Hipertensi Dalam Kehamilan


(CHIPS) baru-baru ini, yang mengungkapkan kesetaraan substansial antara ''tinggi dan
standar'' kontrol tekanan darah pada kehamilan, kelompok kami menyarankan menerapkan
kontrol tekanan darah yang ketat (target 'ideal' 130/80 mmHg, dapat diterima 140/90
mmHg), di bawah pengawasan klinis yang cermat, setidaknya pada pasien dengan
kepatuhan yang baik untuk mengontrol tekanan darah di rumah.

Daftar utama obat anti-hipertensi dilaporkan pada Tabel 1. Tidak ada obat yang dianggap
aman sepenuhnya. Masalah teratogenisitas ACEi dan ARB masih menjadi bahan
perdebatan. Kelompok Studi sangat mendukung penghentian awal ACEi dan ARB pada tes
kehamilan positif pertama (minggu kehamilan ke-6 sampai ke-6) pada pasien CKD
proteinuria, untuk memaksimalkan manfaat kontrol proteinuria, setidaknya pada pasien
yang patuh.
MASALAH KHUSUS: PROTEINURIA DAN DIET RENDAH PROTEIN

1. Asetilsalisilat dosis rendah diindikasikan pada pasien proteinurik (serta pada pasien
dengan CKD, SLE, dan immunoglobulin A nephropathy [IgAN]) (rekomendasi
kuat, berbagai tingkat bukti dalam berbagai penyakit).
2. Albumin infus tidak diindikasikan pada sindrom nefrotik dalam kehamilan, karena
dapat meningkatkan hiperfiltrasi dan menghasilkan kehilangan protein lebih lanjut
(rekomendasi sedang, bukti yang tersebar).
3. Pembatasan protein moderat mungkin membantu dalam mengimbangi hiperfiltrasi
kehamilan dan mungkin aman digunakan pada pasien proteinuria dan pada pasien
dengan CKD tingkat lanjut (rekomendasi sedang, bukti dari satu kelompok saja).

Penggunaan asetilsalisilat dosis rendah untuk pencegahan PE disarankan oleh sejumlah


besar bukti, dalam kasus yang berisiko untuk PE, kategori yang mencakup pasien CKD
(Tabel 4). Waktunya kontroversial. Kebanyakan pedoman menyarankan memulai terapi
setelah trimester pertama, karena risiko perdarahan dalam kasus kematian janin dini.
Meskipun demikian, dari sudut pandang patofisiologi, efek pada plasentasi harus maksimal
ketika aspirin dimulai lebih awal. Oleh karena itu penulis lain menyarankan bahwa
memulai lebih awal mungkin efektif dalam mencegah PE berat dan dini.

Dengan tidak adanya bukti yang jelas mengenai waktu terbaik, Kelompok Studi
menyarankan untuk mengidentifikasi dalam setiap pengaturan kebijakan bersama antara
spesialis obstetri dan nefrolog, dengan mempertimbangkan bahwa pasien kami lebih sering
di pantau dari populasi umum, sehingga berpotensi meminimalkan risiko pendarahan yang
tak terduga.

Tidak ada penelitian yang secara jelas mengidentifikasi manfaat apapun dari infus albumin
dalam CKD dan PE, bahkan jika terapi empiris ini masih menyebar, dengan tujuan
meningkatkan kadar albumin dan mengurangi risiko hipoperfusi plasenta. Oleh karena itu,
Kelompok Studi tidak mendukung penggunaan sistematis infus albumin pada pasien hamil
dengan sindrom nefrotik atau PE, mempertimbangkan risiko potensial dari reaksi yang
merugikan, dan risiko secara paradoks meningkatkan proteinuria dengan meningkatkan
hiperfiltrasi.

Dengan tidak adanya terapi anti-proteinurik spesifik pada kehamilan, dua laporan Italia
yang tidak diacak menunjukkan bahwa pembatasan protein sedang (0,6-0,8 g / kg / hari),
dengan diet vegetarian vegan yang dilengkapi dengan asam amino dan asamketo, layak dan
aman pada pasien hamil dengan CKD. Menariknya, prevalensi bayi kecil usia kehamilan
lebih rendah pada pasien yang sedang diet dibandingkan dengan pasien dengan diet yang
tidak dibatasi. Data yang diperoleh dalam kelompok pasien yang relatif kecil sejalan
dengan laporan tentang keuntungan protein nabati dalam mengurangi perkembangan
penyakit ginjal pada subjek yang tidak hamil, dengan tinjauan sistematis pada pola makan
vegan-vegetarian selama kehamilan, dan dengan posisi American Dietary Association,
dengan ketentuan bahwa B12, zat besi dan vitamin D dikendalikan dan dipasok
berdasarkan kebutuhan.

Kelompok Studi menyarankan mempertimbangkan opsi diet, setidaknya dalam kasus-kasus


di mana hiperfiltrasi (absolut atau relatif terhadap sisa nefron) seharusnya memainkan
peran penting dan sangat menyarankan pengorganisasian studi multisenter pada masalah
ini.

PENYAKIT SPESIFIK: GLOMERULONEFRITIS (PRIMER)

1. Munculnya proteinuria selama trimester ketiga kehamilan membutuhkan diagnosis


banding antara penyakit glomerular dan PE (rekomendasi kuat, bukti yang tersebar).
2. Selama kehamilan, glomerulonefritis dapat muncul untuk pertama kalinya atau
kambuh atau sebagai perburukan penyakit yang diidentifikasi sebelumnya:
diagnosis banding penting untuk penentuan manajemen (rekomendasi kuat, bukti
dari penelitian besar).
3. Proteinuria dan sindrom nefrotik pada kehamilan dapat menunjukkan
glomerulonefropati membran (MGN), nefropati perubahan minimal (MCN), atau
glomerulosklerosis segmental fokal (FSGS) (rekomendasi kuat, bukti dari penelitian
observasional).
4. Pada pasien dengan IgAN, glomerulonefritis paling umum di negara-negara
Mediterania, kehamilan tidak terkait dengan perkembangan penyakit yang lebih
cepat. Risiko perkembangan penyakit setelah melahirkan lebih tinggi dengan GFR \
70 ml / menit / 1,73 m2, hipertensi yang tidak terkontrol, dan proteinuria
(rekomendasi kuat, bukti dari penelitian observasional).
5. Terapi imunosupresif untuk glomerulonefritis primer perlu dievaluasi kembali pada
pasien yang ingin memulai kehamilan.

Banyak wanita muda yang ditemukan mengalami hematuria dan proteinuria pada saat
urinalisis pertama mereka selama kehamilan dan perubahan urin ini sering dianggap
sebagai kehamilan yang terkait dengan diagnosis penyakit glomerulus yang mendasari.

Hematuria mikroskopis sangat umum selama kehamilan, terdeteksi pada sekitar 20%
wanita, dan menghilang pada 75% wanita setelah melahirkan. Follow-up pascapartum
direkomendasikan pada wanita dengan hematuria persisten dan dugaan glomerulonefritis
yang mendasari, setelah menyingkirkan kausa infeksi.

Perkembangan proteinuria selama kehamilan sering dikaitkan dengan PE. Namun, seperti
dibahas sebelumnya, proteinuria atau proteinuria yang terisolasi dengan hematuria mungkin
mencerminkan adanya penyakit ginjal. Bentuk glomerulonefritis primer yang paling umum,
pada usia subur, adalah IgAN, FSGS, MCN, MGN, dan glomerulonefritis membrano-
proliferatif (MPGN). Semua kondisi ini bisa ditemukan dengan proteinuria dan / atau
hematuria, kadang-kadang dengan progresif cepat.

Indikasi biopsi ginjal dibatasi oleh peningkatan risiko pendarahan. Namun, biopsi ginjal
dapat dipertimbangkan, khususnya pada awal kehamilan, jika ada penurunan fungsi ginjal
progresif cepat atau sindrom nefrotik berat.

NEFROPATI IgA

IgAN adalah glomerulonefritis primer yang paling umum di seluruh dunia, paling sering
didiagnosis pada usia subur. Proteinuria dan / atau hipertensi pada kehamilan dilaporkan
pada hingga 55% kasus, prematuritas dalam 30% kasus. Beberapa laporan, termasuk
penelitian multisenter Italia pada lebih dari 200 kehamilan, menunjukkan bahwa kehamilan
tidak meningkatkan perkembangan IgAN, setidaknya pada tahap CKD sebelumnya. Faktor
prognostik yang menguntungkan adalah tekanan darah normal dan GFR sama dengan atau
di atas 70 ml / menit sebelum konsepsi. Proteinuria saat konsepsi dikaitkan dengan
gangguan fungsi ginjal setelah melahirkan, menekankan peran untuk pengurangan sebelum
kehamilan, sehingga mendukung penghentian ACEi dan ARB pada tes kehamilan positif
pertama (lihat paragraf sebelumnya). Dalam kasus perkembangan yang cepat, diagnosis
banding dapat mempertimbangkan PE berat dan penyakit ginjal superimposed (seperti
sindrom uremik hemolitik).

BENTUK GLOMERULONEFRITIS PRIMER LAINNYA

Insiden sindrom nefrotik primer adalah sekitar 3–5 kasus per 100.000 penduduk per tahun
pada anak-anak dan orang dewasa. Meskipun jarang, semua penyebab utama sindrom
nefrotik primer dapat ditemukan dalam kehamilan.

Beberapa penulis saat ini mengklasifikasikan MCN dan FSGS sebagai 'podositopati' karena
kerusakan karakteristik atau disfungsi podosit. Menariknya, penurunan podosit telah
dijelaskan dalam PE. Hal ini mungkin setidaknya sebagian bertanggung jawab atas
perkembangan FSGS yang dilaporkan, meskipun diperdebatkan, setelah PE. FSGS yang
terkait dengan PE ditandai dengan peningkatan ukuran glomerulus, seperti yang diamati
dalam bentuk lain FSGS sekunder seperti obesitas, di mana hiperfiltrasi memainkan peran
sentral.

Sementara steroid adalah terapi pilihan pertama pada FSGS primer, pengobatan jangka
panjang dalam dosis tinggi dapat memiliki efek yang merugikan pada pertumbuhan janin.
Karena enzim plasenta 11b-hydroxysteroid dehydrogenase 2 (11b-HSD2) melindungi janin
dengan menurunkan jalur transplasental prednisolone, obat ini mungkin lebih disukai
daripada betametason atau deksametason. Dalam kasus resistensi steroid, penghambat
calcineurin dapat ditambahkan (Tabel 2).
Nefropati membranosa idiopatik (MN) sering muncul dengan sindrom nefrotik. Hal ini
karena di lebih dari 70% pasien dengan penyakit primer, autoantibodi terhadap fosfolipase
A2 reseptor 1 (PLA2R) dapat dideteksi oleh kit komersial, diagnosis dapat dilakukan tanpa
biopsi ginjal, yang diperlukan setelah kehamilan untuk penentuan stadium. Target kedua,
domain tipe-1 thrombospondin yang mengandung 7A (THSD7A) telah diidentifikasi dalam
kelompok pasien PLA2R-negatif dengan MN, tetapi belum tersedia secara klinis. Dalam
sebuah penelitian yang dipublikasikan pada tahun 1987, yang mencakup 33 kehamilan pada
24 pasien dengan MN, peningkatan kematian janin diamati bersama dengan risiko
memburuknya fungsi ginjal. Prognosis yang suram ini tidak dikonfirmasi dalam kohort
yang lebih baru dari sembilan pasien MN dengan 51 kehamilan. Sementara steroid dan
penghambat calcineurin adalah tonggak pengobatan pada kehamilan, penambahan aspirin
atau heparin berat molekul rendah harus dipertimbangkan, sesuai dengan kondisi klinis.

Beberapa penelitian dan laporan kasus terisolasi mengamati kehamilan pada pasien dengan
MPGN primer, penyakit multifaset saat ini menjalani reklasifikasi. Dalam sebuah studi
yang relatif lama pada 123 kehamilan di 86 pasien dengan bukti biopsi berbagai penyakit
glomerular, diamati insiden komplikasi pada pasien MPGN yang lebih tinggi daripada
MGN diamati. Namun, hasilnya menguntungkan dalam laporan baru-baru ini, termasuk
kasus di mana keputusan nefrologi untuk memulai terapi steroid sebagai pengganti
terminasi kehamilan, dianggap aman hingga mencapai akhir kehamilan.

Sebagai kesimpulan, Kelompok Studi meminta perhatian pada diagnosis banding


glomerulonefritis pada kehamilan dan menggarisbawahi pentingnya kehamilan sebagai
kesempatan pertama untuk diagnosis pada wanita yang tampaknya sehat. Batasan bukti saat
ini dan kebutuhan untuk studi lebih lanjut yang ditargetkan ke nefropati yang berbeda harus
digarisbawahi lebih lanjut.
PENYAKIT SPESIFIK: LUPUS NEPHRITIS SEBAGAI PROTOTIPE PENYAKIT
IMUNOLOGI SISTEMIK

1. Sebelum kehamilan, wanita dengan SLE harus diberitahu secara akurat tentang
risiko kehamilan selama penyakit aktif (rekomendasi kuat, bukti tidak langsung).
2. Hipertensi pulmonal berat, penyakit paru restriktif berat, gagal jantung berat
merupakan kontraindikasi absolut untuk kehamilan (rekomendasi kuat, bukti yang
tersebar).
3. Gangguan fungsi ginjal yang berat (kreatinin serum [sCr] [2,5 mg / dl, CKD
stadium 3–5) menunjukkan kontraindikasi relatif terhadap kehamilan (rekomendasi
sedang, bukti yang tersebar).
4. Pasien harus dalam keadaan remisi setidaknya selama 6 bulan untuk mengurangi
risiko eksaserbasi SLE pada kehamilan (rekomendasi kuat, bukti yang tersebar).
5. Cyclophosphamide, mycophenolate dan leflunomide memiliki potensi
teratogenisitas, dan pasien harus dialihkan secara dini ke obat non teratogenik
(rekomendasi kuat, bukti yang tersebar).
6. Wanita hamil dengan SLE harus diikuti oleh tim multidisiplin, di rumah sakit
perawatan tersier (rekomendasi kuat, bukti tidak langsung).
7. Perubahan perawatan imunosupresif pada kehamilan harus dibatasi pada eksaserbasi
SLE. Pilihan pengobatan harus bersifat individual (rekomendasi kuat, bukti tidak
langsung).
8. Prednisone dianggap aman. Terapi imunoglobulin intravena adalah pengobatan
yang efektif dan aman untuk pasien SLE yang hamil dengan aborsi spontan rekuren,
terutama jika dikaitkan dengan antibodi antiphospholipid (rekomendasi kuat, bukti
dari seri besar).
9. Heparin berat molekul rendah dengan atau tanpa aspirin dosis rendah harus
diberikan pada pasien dengan SLE dan antibodi antiphospholipid pada titer tinggi
atau triple positivity (rekomendasi kuat, bukti dari seri besar dan RCT).
10. Peningkatan dosis glukokortikoid pada saat persalinan untuk mencegah eksaserbasi
pasca salin masih menjadi perdebatan (bukti terbatas).
11. Tindak lanjut harus diintensifkan setelah melahirkan karena eksaserbasi SLE
mungkin lebih sering terjadi dalam 6–12 bulan pertama. Tindak lanjut setelah PE
harus mempertimbangkan komplikasi kardiovaskular jangka panjang (rekomendasi
kuat, bukti dari seri besar).
12. Menyusui diperbolehkan jika prednisone tidak melebihi 20 mg/hari. Azathioprine
dan cyclosporine ditemukan dalam ASI dan laktasi sehingga obat ini tidak
dianjurkan (rekomendasi kuat, bukti dari seri besar).

SLE adalah penyakit autoimun kronis, terutama menyerang wanita muda tanpa pengaruh
pada kesuburan. Kehamilan pada wanita dengan SLE dan pada mereka dengan lupus
nephritis pada khususnya, tetap merupakan situasi berisiko tinggi untuk komplikasi ibu dan
janin. Kurangnya studi prospektif tentang masalah ini membuat rekomendasi berbasis bukti
menjadi sulit. Namun, sejumlah penelitian kohort retrospektif menunjukkan bahwa wanita
dengan remisi SLE yang stabil dan berkepanjangan, fungsi ginjal normal, tekanan darah
normal dan antibodi antiphospholipid negative, memiliki probabilitas tinggi untuk memiliki
hasil janin dan ibu yang positif.

Karena risiko terkait kehamilan sangat tinggi pada eksaserbasi SLE, konseling kontrasepsi
yang efektif adalah sangat penting. Dua RCT besar menunjukkan keamanan kontrasepsi
oral pada pasien SLE dengan penyakit yang tidak aktif atau aktif ringan. Namun, pasien
dengan penyakit aktif berat atau dengan antibodi antiphospholipid tidak boleh diobati
dengan obat-obatan ini.

Evaluasi klinis, biokimia dan imunologi ekstensif, khususnya mengenai profil antigen
nuklir ekstraksi (ENA) dan keberadaan antibodi antiphospholipid diperlukan sebelum
kehamilan, bersama dengan evaluasi ulang yang cermat terhadap perawatan yang sedang
berlangsung.

Cyclophosphamide harus ditarik setidaknya 3 bulan sebelum kehamilan dan mycophenolate


bergeser ke azathioprine, seperti yang direkomendasikan oleh European Medicine Agency
(EMA) dalam peringatan 23/10/2015. Pergeseran dari mycophenolate ke azathioprine harus
dilakukan setidaknya 6 minggu sebelum kehamilan untuk meminimalkan risiko eksaserbasi
SLE karena perubahan terapi ini. Pasien harus memulai kehamilan dengan dosis terendah
dari obat yang diizinkan. Berat lahir kecil dan prematuritas dikaitkan dengan
glukokortikoid dosis tinggi, azathioprine, dan inhibitor kalsineurin. Hydroxychloroquine
mengurangi tingkat prematuritas, retriksi pertumbuhan intrauterin dan risiko anti-SSA / Ro-
antibodi berulang terkait manifestasi jantung pada kehamilan SLE. Untuk alasan ini, maka
agen tersebut tidak boleh dihentikan sebelum kehamilan. Imunoglobulin dosis tinggi
dilaporkan aman dan efektif pada SLE flare. Terapi imunoglobulin intravena adalah
pengobatan yang efektif dan aman untuk pasien SLE yang hamil dengan aborsi spontan
rekuren, terutama jika dikaitkan dengan antibodi antifosfolipid.

Masih diperdebatkan apakah preeklampsia dapat dicegah dengan aspirin dosis rendah.
Tetapi bukti saat ini mendukung penggunaannya pada populasi berisiko tinggi. Heparin
berat molekul rendah dengan atau tanpa aspirin dosis rendah harus ditambahkan ke pasien
dengan SLE dan antibodi antiphospholipid pada titer tinggi atau triple positif.

Dalam kehamilan, tindak lanjut multidisiplin yang ketat diindikasikan (Gambar 1, 2, 3, 4).

Komplikasi maternal relatif umum: reaktivasi lupus nephritis selama kehamilan dilaporkan
berkisar antara 15 hingga 30% dalam penelitian yang dipublikasikan dalam dua dekade
terakhir. Eksaserbasi berat dengan gangguan fungsi ginjal jarang terjadi, terhitung dari
tidak ada hingga 12% dari semua kasus. Risiko PE adalah 3-5 kali lebih tinggi pada pasien
SLE dibandingkan pada wanita sehat. Data epidemiologi yang substansial mengungkapkan
bahwa riwayat PE meningkatkan risiko kardiovaskular jangka panjang sebanyak dua
hingga empat kali. Sebuah meta analisis terbaru pada 1000 kehamilan pada pasien dengan
lupus nephritis menunjukkan bahwa hipertensi arteri berkembang pada 16,3% kehamilan.

Hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan merupakan predisposisi hipertensi kronis,


serangan jantung prematur, stroke, dan komplikasi ginjal.

Sebelumnya lupus nephritis dan lupus aktif saat pembuahan adalah prediktor terpenting
dari semua komplikasi ibu. Kehadiran antibodi antifosfolipid dengan titer tinggi merupakan
predisposisi hipertensi arteri, PE, dan mikroangiopati trombotik selama kehamilan. Seperti
telah disebutkan sebelumnya, gangguan fungsi ginjal dan hipertensi arteri pada saat
pembuahan merupakan prediktor dari hasil ibu yang buruk dengan penyakit ginjal apapun
yang mendasari.

Fetal loss termasuk aborsi spontan, kelahiran mati dan kematian neonatal, dan berdasarkan
tinjauan sistematis 37 studi pasien lupus nephritis, mereka diperkirakan terjadi, masing-
masing, di sekitar 16, 3.6, dan 2,5% dari kehamilan. Selanjutnya, berdasarkan tinjauan
literatur baru-baru ini, tingkat kehilangan janin pada kehamilan SLE menurun secara
signifikan dari rata-rata 43% pada tahun 1960-1965 menjadi 17% pada tahun 2000-2003
tetapi masih lebih tinggi daripada pada populasi umum.

Dengan pengurangan progresif dari kehilangan janin, persentase kehamilan yang berakhir
pada kelahiran prematur telah meningkat secara progresif, mungkin sebagai akibat kelainan
imunologi dan vaskular yang terkait dengan SLE. Pada lupus nephritis, sekitar sepertiga
anak dilahirkan prematur.

Neonatal lupus dan blok jantung kongenital adalah komplikasi yang sangat jarang,
dilaporkan kurang dari 2% kehamilan dan berhubungan dengan antibodi SSA atau SSB
positif.

Beberapa prediktor hasil janin telah diidentifikasi: aktivitas tinggi SLE pada trimester
pertama dan kedua menyebabkan peningkatan tiga kali lipat pada kehilangan kehamilan.
Nefritis lupus aktif pada saat pembuahan dan hipertensi muncul sebagai faktor prediktif
untuk hasil janin yang merugikan dalam pengalaman penulis kami yang lain.

Seperti telah disebutkan, LFG kurang dari 40 ml/menit/1.73 m2 dan proteinuria lebih dari 1
g/d sebelum konsepsi adalah prediktor kuat dari hasil janin yang buruk apa pun penyakit
ginjal yang mendasari. Sebuah tinjauan yang relatif lama dari 10 penelitian terhadap 554
wanita dengan SLE menemukan bahwa fetal loss berkisar antara 39 hingga 59% pada
pasien dengan antibodi antiphospholipid dibandingkan 18% pada mereka dengan antibodi
antiphospholipid negatif.
Secara keseluruhan, seperti digarisbawahi di atas, riwayat nefritis, nefritis aktif atau SLE
aktif pada saat pembuahan adalah prediktor terkuat dari hasil buruk janin dan ibu. Untuk
alasan ini, prasyarat untuk keberhasilan kehamilan pada pasien dengan lupus nephritis
adalah perencanaan kehamilan selama periode diam penyakit.

Oleh karena itu, kelompok studi merekomendasikan untuk memberikan perhatian khusus
pada konseling pra-kehamilan dan untuk tindak lanjut multidisipliner yang ketat di Pusat
khusus, dalam kehamilan pada pasien dengan SLE nephropathy.

PENYAKIT SPESIFIK: VASKULITIS

1. Kehamilan pada wanita yang terkena vaskulitis jarang terjadi. Kehadiran penyakit
aktif atau penyakit yang didiagnosis pada kehamilan dikaitkan dengan risiko yang
lebih tinggi dari hasil yang berhubungan dengan kehamilan yang merugikan
(rekomendasi kuat, bukti yang tersebar).
2. Tindak lanjut yang ketat dan multidisipliner harus direncanakan di Pusat Perawatan
tersier untuk mengidentifikasi strategi terapeutik terbaik yang dipersonalisasi dan
keseimbangan terbaik antara terminasi kehamilan, risiko persalinan dini dan risiko
ibu (rekomendasi kuat, bukti tidak langsung).
3. Kehamilan sangat jarang terjadi pada wanita yang terkena vaskulitis sistemik.
Alasan utamanya adalah, kecuali untuk penyakit Takayasu, usia puncak biasanya
lebih dari 40 tahun. Keterlibatan multiorgan biasanya menghambat beberapa pasien
di usia subur untuk melakukan perencanaan kehamilan. Selanjutnya, obat
imunosupresif yang paling sering digunakan, terutama siklofosfamid, kontraindikasi
kehamilan dan dapat menyebabkan menopause dini dan sterilitas. Namun, dengan
diagnosis dan perawatan baru, kehamilan pada pasien ini mungkin akan meningkat.

Karena kelangkaan kehamilan, data pada manajemen klinis dan hasil ibu dan janin
didasarkan pada beberapa seri, dari pusat rujukan yang berpengalaman, dan pada laporan
kasus. Dalam batas-batas ini, beberapa poin penting untuk penilaian risiko dapat
diidentifikasi. Berkaitan dengan aktivitas penyakit pada saat pembuahan, tiga situasi
mungkin: kehamilan direncanakan secara elektif dalam remisi dan dilakukan di bawah
pengawasan multidisiplin yang ketat, kehamilan yang tidak direncanakan pada pasien yang
menjalani pengobatan, vaskulitis sistemik de novo atau relaps selama kehamilan.

Kehamilan pada pasien yang menderita vaskulitis dalam remisi, menjalani tindak lanjut
multidisiplin yang direncanakan dilaporkan memiliki hasil ibu dan janin yang baik, asalkan
pengobatan dimonitor secara ketat, untuk menghindari kekambuhan. Sebagian besar kasus
yang dipublikasikan termasuk dalam kategori ini (biasanya penyakit yang lebih ringan dan
sering terlokalisasi). Namun, beberapa penulis menguraikan risiko spesifik, terutama pada
minggu-minggu terakhir kehamilan, termasuk gagal jantung, asma atau stenosis subglotis
yang dekompensasi.

Risiko fetomaternal lebih tinggi pada pasien yang hamil dalam fase penyakit aktif, yang
kambuh atau yang mengalami vaskulitis de novo selama kehamilan. Dalam kondisi ini,
komplikasi ibu dan janin yang tidak menyenangkan telah dilaporkan. Di antara komplikasi
yang mengancam jiwa, perdarahan paru, glomerulonefritis progresif cepat, polineuritis dan
miokarditis telah dijelaskan.

Dalam kondisi keterlibatan ginjal dan hipertensi, diagnosis banding antara vaskulitis dan
PE mungkin sulit dilakukan. Apa pun penyebabnya, hipertensi dan gangguan ginjal dapat
bertahan setelah melahirkan.

Strategi terapi harus individual. Pasien harus diperlakukan secara agresif dalam kasus
eksaserbasi atau penyakit aktif. Terminasi kehamilan atau induksi persalinan harus
dipertimbangkan dalam kasus ini. Asam acetylsalicylic dosis rendah dapat diindikasikan
untuk pencegahan PE. Steroid intravena (iv) dosis tinggi, pertukaran plasma,
imunoglobulin dosis tinggi, dan azathioprine dapat memungkinkan kelanjutan kehamilan
dalam upaya untuk menemukan keseimbangan antara risiko ibu dan janin. Untuk masalah
terapeutik lebih lanjut, silakan merujuk ke Tabel 1, 2, 3 dan 4.

Mengakui pengalaman langka tentang masalah ini, Kelompok Studi sangat menganjurkan
bahwa pasien dengan vaskulitis sistemik harus dirujuk ke pusat perawatan tersier untuk
menjalani tindak lanjut yang ketat, pribadi, dan multidisiplin.
PENYAKIT SPESIFIK: NEFROPATI DIABETIK

1. Nefropati diabetik dikaitkan dengan risiko kematian perinatal yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penyebab utama CKD lainnya (bukti dari beberapa penelitian
tentang diabetes, tidak ada perbandingan spesifik dengan penyebab lain dari CKD).
2. Mungkin ada insiden malformasi yang lebih tinggi pada nefropati diabetik
dibandingkan dengan diabetes per se, di mana peningkatan malformasi telah
dilaporkan (rekomendasi penting, satu penelitian besar hanya melaporkan risiko
malformasi yang lebih tinggi pada nefropati diabetik).
3. Proteinuria mungkin meningkat tajam pada wanita hamil dengan nefropati diabetik,
membuat diagnosis banding dengan PE sangat sulit (rekomendasi kuat, data
tersebar).
4. Konseling prenatal adalah dasar untuk mengurangi risiko terkait dengan kontrol
glikemik yang buruk dan untuk mengoptimalkan tindak lanjut multidisiplin
(malformasi, prematuritas, besar untuk bayi usia kehamilan).

Bukti mengenai nefropati diabetik pada kehamilan terbatas. Dalam tinjauan sistematis baru-
baru ini, dari tiga puluh empat makalah yang diambil, hanya dua yang dilaporkan pada
lebih dari 100 pasien, sementara sebagian besar penelitian menggambarkan kurang dari 50
kasus. Ketika nefropati diabetik secara luas didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda
penyakit ginjal termasuk mikroalbuminuria, prevalensinya berkisar dari 5 hingga lebih dari
25% pada wanita hamil diabetes tipe 1.

Selama kehamilan, diabetes per se telah dikaitkan dengan berbagai komplikasi, termasuk
malformasi, gangguan pertumbuhan janin, lahir mati, kematian dini dan kelahiran prematur
sementara kejadian PE telah dilaporkan meningkat secara signifikan, bahkan jika hal ini
selalu dalam batas-batas definisi non-univokal dari istilah ini.

Hasil maternal tersebar luas dan mungkin mencerminkan beberapa faktor: kurangnya
definisi univokal nefropati diabetik, CDK dan PE, peningkatan usia ibu dari waktu ke
waktu, tujuan penelitian yang berbeda, pemilihan pasien dan pengaturan beberapa
penelitian, ukuran sampel kecil, pusat tunggal dan perawatan.
Sementara risiko tinggi prematuritas, bayi kecil usia kehamilan, atau restriksi pertumbuhan
intrauterin juga terjadi pada gangguan ginjal lainnya dan meningkat seiring dengan
perkembangan penyakit ginjal, kelahiran mati atau kematian janin terjadi hanya pada SLE,
dan diabetes yang menimbulkan risiko kerusakan mikrovaskuler. Risiko juga hadir pada
pasien diabetes tanpa nefropati terbuka, tetapi tampaknya meningkat dalam pengaturan
nefropati diabetik. Menariknya, bahkan jika pada periode terakhir, risiko lahir mati dan
kematian janin berkurang sehubungan dengan tahun '80 -an (dari lebih dari 10 menjadi
sekitar 5%), pengurangan jauh lebih rendah daripada yang diamati dalam kasus ini,
misalnya, dari ibu yang menjalani dialisis, yang telah menurun 25% setiap dekade sejak
tahun 80-an, meskipun dimulai dari tingkat yang jauh lebih tinggi.

Hanya satu makalah baru-baru ini secara khusus melaporkan malformasi pada nefropati
diabetik, yang digambarkan sebagai peningkatan dibandingkan dengan pasien diabetes
tanpa nefropati. Data-data ini diperoleh dalam kelompok besar dan sedang menunggu
konfirmasi lebih lanjut, oleh karena itu catatan peringatan harus dibuat pada konseling.

Mengakui perlunya penelitian lebih lanjut dalam bidang ini, Kelompok Studi menyarankan
tindak lanjut multidisiplin yang ketat, dengan memperhatikan faktor-faktor penyerta,
seperti hipertensi dan diabetes, yang selanjutnya dapat meningkatkan komplikasi terkait
kehamilan, dan menyarankan tindak lanjut yang ketat juga setelah melahirkan, khususnya
pada pasien yang mengalami proteinuria dan hipertensi berat (diberi label PE) selama
kehamilan.

PENYAKIT SPESIFIK: PENYAKIT GINJAL POLIKISTIK AUTOSOMAL-


DOMINAN (ADPKD)

1. Pasien ADPKD mungkin memiliki risiko pielonefritis lebih tinggi pada kehamilan
dan harus dikontrol secara ketat untuk kultur urin positif (saran moderat, bukti yang
tersebar).
2. Pasien ADPKD mungkin berisiko lebih tinggi untuk mengalami PE, juga ketika
kehamilan dimulai dengan tekanan darah normal dan tanpa proteinuria (saran
moderat, bukti yang tersebar).
3. Kelompok Studi tidak mendukung kebijakan persalinan caesar sistematis pada
pasien ADPKD (saran moderat, bukti yang tersebar).
4. Meskipun mengakui ketertarikan pada seleksi genetik pra-implantasi, sebagai alat
potensial dalam PKD resesif autosomal, tidak ada pengalaman pada ADPKD dan
masalah yang terkait dengan prosedur fertilisasi yang dibantu harus ditimbang
dengan hati-hati (saran moderat, sedikit bukti).

Bukti pada ADPKD dalam kehamilan terbatas, dan seri terbesar yang baru-baru ini
diterbitkan meliputi 54 pasien saja. Sesuai dengan pengamatan yang lebih tua, bukti saat ini
menunjukkan bahwa gangguan hipertensi kehamilan, termasuk PE, lebih sering terjadi pada
pasien ADPKD. Persalinan preterm dan ISK juga ditemukan meningkat, tetapi hubungan
antara mereka tidak sepenuhnya diklarifikasi.

Prinsip lama bahwa wanita dengan ADPKD harus melahirkan melalui operasi caesar
karena risiko perdarahan intrakistik, karena tekanan perut yang meningkat pada saat
melahirkan, tidak didukung oleh bukti saat ini, juga mempertimbangkan risiko intervensi
bedah dan kateter kemih. Namun, beberapa kasus juga baru-baru ini dilaporkan, dan
pendapat Kelompok Studi adalah bahwa risiko perdarahan intrakistik harus
dipertimbangkan. Oleh karena itu, kami menyarankan pemantauan ultrasonografi,
khususnya pada kista terbesar, juga pada pasien yang tidak bergejala, setidaknya dalam
jarak dekat dan segera setelah melahirkan.

Grup saat ini tidak mendukung pilihan prosedur pemilihan implantasi, mengingat tingkat
komplikasi yang tidak dapat diabaikan; pendekatan semacam itu baru-baru ini didiskusikan
untuk penyakit ginjal polikistik autosomal resesif. Terlepas dari tingkat keparahan penyakit
ginjal yang lebih tinggi, hal ini juga kontroversial.
PENYAKIT SPESIFIK: PIELONEFRITIS KRONIS, SKAR GINJAL DAN
PENYAKIT BERISIKO UNTUK INFEKSI SALURAN KEMIH BAGIAN ATAS
DALAM KEHAMILAN (TERMASUK BATU GINJAL)

1. Bakteriuria asimptomatik, sistitis akut dan pielonefritis akut telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko aborsi, kelahiran prematur, berat lahir rendah, dan kematian
perinatal. Hipertensi gestasional dan PE juga meningkat (risiko relatif [RR] hingga
5) (saran kuat, dari studi observasional besar).
2. Karena bakteriuria asimtomatik yang tidak diobati tetap ada pada 60-85% kasus dan
berkembang menjadi sistitis akut atau pielonefritis pada hingga 40% pasien, semua
kasus harus diobati (saran yang kuat, dari studi observasional besar dan RCT).
3. Terapi antibiotik memungkinkan sterilisasi kultur urin pada 90% pasien dan
mengurangi insidensi pielonefritis akut sebesar 70–80%, menurunkan insidensI
berat lahir rendah dan kelahiran prematur (saran kuat, dari penelitian observasional
besar dan RCT).
4. Perawatan optimal untuk bakteriuria asimtomatik, sistitis akut, dan pielonefritis akut
belum sepenuhnya ditentukan. Perawatan empiris harus disesuaikan dengan situasi
spesifik dan mempertimbangkan pola resistensi lokal (saran kuat, dari studi
observasional besar dan RCT).

Pielonefritis kronis sekarang dikenal sebagai istilah payung yang mencakup banyak kondisi
peradangan kronis bahkan tanpa adanya riwayat infeksi ginjal yang jelas. Apapun
penyebabnya, skar ginjal, diidentifikasi oleh teknik pencitraan, medefinisikan kondisi
tersebut. Risiko bakteriuria secara signifikan lebih tinggi pada wanita dengan riwayat ISK
pada masa kanak-kanak dan remaja, dengan adanya skar ginjal atau tidak. Insiden
bakteriuria asimtomatik diperkirakan 2-7% dari seluruh kehamilan (lebih umum pada
wanita diabetes: 8-14%), pielonefritis akut terjadi pada 1-2% kehamilan berisiko rendah.

Kehamilan dapat mempredisposisi terjadinya ISK untuk beberapa alasan: hidroureter


fisiologis kehamilan, akibat hipotonia yang dipicu progesteron dan penurunan aktivitas
peristaltik dan kompresi uterus gravid, glikosuria yang diinduksi kehamilan dan
aminoaciduria dapat memfasilitasi kolonisasi bakteri, perubahan sistem kekebalan tubuh,
termasuk mengurangi respon terhadap nitrit oksida (NO) dan reseptor Tolllike 4 (TLR4).

Dalam merencanakan surveilans klinis, beberapa faktor risiko harus dipertimbangkan:


riwayat ISK, diabetes, status sosial ekonomi rendah, usia yang lebih tua, anemia sel sabit,
kelainan urologi, aktivitas seksual, dan multiparitas.

Bakteriuria asimtomatik telah dikaitkan dengan peningkatan risiko aborsi, kelahiran


prematur, berat lahir rendah dan kematian perinatal, sehingga mengarah pada praktik
urinalisis dan kultur urin berulang saat ini pada semua kehamilan.

Hubungan antara bakteriuria asimtomatik, berat lahir rendah dan kelahiran prematur masih
sulit dipahami. Sitokin pro-inflamasi dapat memulai persalinan, sementara mikroorganisme
dapat menghasilkan asam arakidonat, fosfolipase A2 dan prostaglandin yang meningkatkan
pelunakan serviks, yang merangsang kontraksi uterus dan persalinan prematur. Jika tidak
diobati, bakteriuria menetap di 60-85% kasus, berlanjut ke sistitis atau pielonefritis pada
hingga 40% pasien, dan meningkatkan risiko PE. Terapi antibiotik memungkinkan
sterilisasi kultur urin pada 90% pasien dan mengurangi risiko pielonefritis akut, bersama
dengan bayi berat lahir rendah dan kelahiran prematur.

Protokol terapeutik masih kontroversial: terapi dosis tunggal dalam 3 hari digunakan
dengan sukses dalam beberapa penelitian. Keuntungannya adalah kepatuhan yang lebih
baik, paparan yang lebih rendah untuk janin, efek samping yang lebih sedikit, biaya yang
lebih rendah. Kerugiannya adalah tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Atas dasar ini,
Kelompok Studi mendukung standar program antibiotik 6-7 hari sampai data lebih lanjut
tersedia. Tindak lanjut membutuhkan setidaknya kultur urin bulanan dan dalam kasus
persistensi, terapi supresif harus dipertimbangkan. Untuk obat yang paling umum
digunakan, lihat Tabel 3.

Sistitis akut sering tanpa gejala; sebaliknya, pielonefritis akut biasanya muncul dengan
nyeri panggul perut atau panggul, dan demam tinggi; komplikasi berat, termasuk syok
septik, gangguan pernapasan dan gagal ginjal akut dilaporkan pada 2–25% kasus. Karena
Escherichia coli terlibat dalam sekitar 80% kasus dan kuman Gram negatif lainnya di kasus
lainnya, pengobatan empiris harus dimulai sejak dini atas dasar pola resistensi lokal dan
intoleransi ibu yang akhirnya terjadi (Tabel 3). Preeklamsia dan kelahiran prematur
dilaporkan meningkat setelah ISK pada kehamilan, bahkan tanpa adanya infeksi aktif saat
persalinan.

BATU GINJAL

1. Batu ginjal jarang terjadi pada kehamilan, tetapi mereka terkait dengan beberapa
hasil kehamilan yang berhubungan negatif, termasuk PE dan kelahiran prematur
(saran kuat, bukti dari penelitian observasional).
2. Dalam batas-batas pandangan uretra yang langka, USG harus menjadi modalitas
pencitraan pertama, sementara magnetic resonance imaging (MRI) dan computed
tomography (CT) scan (trimester II dan III) harus dibatasi pada kasus tertentu (saran
yang kuat, tersebar) bukti).
3. Sementara sebagian besar batu dapat lewat secara spontan, ureteroskopi relatif aman
dalam kasus kebutuhan, seri kecil menyarankan mempertimbangkan juga pilihan
laser holmium (saran yang kuat, seri besar untuk uteroskopi, kecil untuk laser
holmium).

Nefrolitiasis jarang terjadi pada kehamilan (1: 1500-3000), meskipun ada beberapa faktor
predisposisi, termasuk stasis urin, hiperkalsiuria dan peningkatan pH urin, peningkatan
ekskresi asam urat, natrium dan oksalat, di luar proporsi dengan ekskresi sitrat dan
magnesium. Kalsium dan fosfat adalah komponen batu ginjal yang paling sering dalam
kehamilan (hingga 75%).

Kolik ginjal lebih sering terjadi pada trimester kedua dan ketiga, gross hematuria dapat
terjadi pada sekitar sepertiga dari kasus. Ultrasonografi memungkinkan visualisasi terbatas
pada batu ureter. Jet ureter dapat membedakan antara hidroureter fisiologis dan obstruksi
lengkap. Studi Doppler dan indeks resistivitas dapat membantu dalam diagnosis, sementara
ultrasonografi transvaginal dapat menyoroti batu ke ureter distal. Dalam kasus tertentu,
MRI mungkin diperlukan.
Dalam kebanyakan kasus, pelebaran saluran kemih mendukung emisi batu dan hanya terapi
simtomatik, berdasarkan hidrasi dan analgesia yang diperlukan. Stent uretra, nefrostomi
perkutan atau ureteroskopi dapat digunakan pada kasus tertentu, serta litotripsi laser
holmium, menurut seri pasien kecil.

Stent ginjal telah dikaitkan dengan peningkatan proteinuria untuk dipertimbangkan dalam
diagnosis banding dengan PE. Hubungan dengan nefrokalsinosis harus diingat untuk
memungkinkan diagnosis gangguan metabolisme yang mendasari.

Dalam pandangan di atas, dengan mempertimbangkan juga hubungan yang mungkin antara
kolik ginjal, ketuban pecah dini, pregnancy loss, dan PE, Kelompok Studi menunjukkan
tindak lanjut multidisiplin yang ketat dan terapi yang dipersonalisasi untuk semua pasien
dengan ISK berulang atau batu ginjal.

NEFROPATI REFLUKS

1. Pasien dengan nefropati refluks berisiko lebih tinggi untuk mengalami infeksi
saluran kemih bahkan setelah koreksi refluks.
2. Nefropati refluks menunjukkan pola keturunan yang kompleks dan anak-anak dari
ibu yang terkena harus diskrining sebelum dan sesudah lahir untuk UT dan / atau
malformasi urinari.

Pentingnya koreksi yang sering pada nefropati refluks telah menurun dalam kehamilan dan
sebagian besar studi yang berkaitan dengan kondisi ini relatif telah usang. Sementara
pengawasan untuk komplikasi infeksi harus mengikuti rekomendasi ketat yang telah
disebutkan dalam kasus ISK berulang, penyakit ini menunjukkan pola herediter yang
kompleks dan anak-anak dari ibu yang terkena harus diskrining untuk ISK dan/atau
malformasi urin sebelum dan sesudah kelahiran.
KOMENTAR TERAKHIR

Insidensi CKD dalam kehamilan semakin sering dijumpai dan pasien dengan penyakit
kronis, termasuk CKD, semakin berkeinginan besar untuk hamil. Karena perubahan dalam
terapi dan penentuan sikap oleh pasien serta dalam definisi CKD dan PE, bukti yang
mendasari konseling dan tindak lanjut sering kali tersebar dan terpecah-pecah. Kurangnya
'kepastian' ini harus diingat saat konseling, dan sangat mendukung pilihan bersama dalam
konteks perawatan multidisipliner. Ahli nefrologi klinis harus terus memperbaharui bidang
yang baru ini dan Kelompok Studi mendukung pembentukan program pendidikan dan
penelitian multisenter.

Anda mungkin juga menyukai