Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan penyakit kronik pada saluran pernapasan yang

penting dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius diberbagai

negara. Penyakit ini dapat timbul pada semua usia dan rata – rata paling

banyak terjadi pada anak – anak. Asma dapat bersifat ringan dan tidak

menggangu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan menggagngu

aktifitas.

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai

dengan mengi berulang, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran

napas. Ada berbagai faktor pencetus dari terjadinya asma antara lain alergen,

latihan yang berlebihan, polusi udara, infeksi pernapasan, masalah hidung dan

sinus, sensitif tehadap makanan atau pun obat, penyakit reflux

gastroesophageal, dan faktor psikologis. Penggolongan asma sendiri

tergantung pada derajat penyakit (aspek kronis) dan derajat serangan (aspek

akut) (Pengganis, 2008).


Serangan asma terjadi apabila terpajan alergen sebagai pencetus.

Pajanan alergen tersebut menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema

dan hipersekresi saluran napas dengan hasil akhir berupa obstruksi saluran

napas bawah sehingga terjadi gangguan ventilasi berupa kesulitan napas pada

saat ekspirasi (Liansyah, 2014).


Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh

belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat

1
pada anak - anak baik di negara maju maupun negara sedang berkembang.

(GINA, 2005).
Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia,

prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar

6,5% pada usia sekolah menengah pertama (Yunita, 2011).


Patogenesis asma berkembang dengan pesat pada awal tahun 60-an,

bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an

berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain

inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis

tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai

upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. (Supriyatno, 2005).


Menurut Supriyatno (2005) Penatalaksana asma dibagi menjadi 2

kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan asma (eksaserbasi akut) atau

aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek kronis). Pada asma episodik

sering dan asma persisten, selain penanganan pada saat serangan, diperlukan

obat pengendali (controller) yang diberikan sebagai pencegahan terhadap

serangan asma.
Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus,

patogenesis dan tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan dianosis

dan tretment. Sehingga diharapkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak

dan keluarganya serta mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang besar.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai

oleh inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan

2
sumbatan saluran napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan

yang sesuai (Depkes, 2007).


GINA (2005) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis

saluran nafasdengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan

limfosit T. Padaorang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode

mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada

malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan

penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak

sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.

Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas

terhadap berbagai rangsangan.

Asma secara klinis pratik adalah gejala batuk dan atau mengi berulang,

terutama pada malam hari (nocturnal), reversible ( dapat sembuh spontan atau

dengan pengobatan) dan biasanya terdapat atopi pada pasien atau keluarganya

(Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2015).

Menurut Pengganis (2008) asma merupakan penyakit inflamasi kronis


saluran napas yang ditandai dengan mengi berulang, batuk, dan sesak di dada
akibat penyumbatan saluran napas dengan berbagai faktor pencetus.
2.2 Epidemiologi

Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia,

prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar

6,5% pada usia sekolah menengah pertama (Yunita, 2011).

Menurut Baratawidjaja et al (2006) di Indonesia, prevalensi asma

belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14

3
tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on

Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma

sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil

survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,

Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)

menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar

antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%.

Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah

kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko

Secara umum faktor terjadinya asma dibagi menjadi 2 kelompok

yaitu,faktor genetik (faktor host) dan faktor lingkungan. Faktor genetik

(faktor host) meliputi alergi atau atopi, hiperreaktivitas, jenis klamin, ras.

Faktor lingkungan meliputi alergen di dalam ruangan (tungau,debu,bulu, dll),

alergen diluar ruangan (Tepung sari bunga, Jamur (fungi, molds, yeasts).

Bahan di lingkungan kerja (Asap rokok, Perokok aktif, Perokok pasif, Polusi

udara, Exercise dan hiperventilasi, Perubahan cuaca), obat-obatan, serta

ekspresi emosi yang berlebihan (Depkes, 2009).

Menurut Purnomo (2008) berdasarkan penyebabnya asma dibagi

menjadi 2 yaitu :

1. Asma ekstrinsik:

4
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan

karena reaksi alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh

apa-apa terhadap orang yang sehat.

2. Asma intrinsik:

Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang

berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kodisi

lingkungan yang buruk seperti klembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas

olahraga yang berlebihan.

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

2.4.1 Patogenesis

Patogenesis asma berkembang dengan pesat pada awal tahun 60-an,

bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an

berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain

inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis

tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga

berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya

pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan

pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi

sehingga obat antiinflamasi dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada

asma yang sangat ringan (Supriyatno, 2005).

Pada dua dekade yang lalu, penyakit asma dianggap merupakan

penyakit yang disebabkan karena adanya penyempitan bronkus saja, sehingga

terapi utama pada saat itu adalah suatu bronkodilator, seperti beta agonis dan

5
golongan metil santin saja. Namun, para ahli mengemukakan konsep baru

yang kemudian digunakan hingga kini, yaitu bahwa asma merupakan

penyakit inflamasi pada saluran nafas, yang ditandai dengan

bronkokonstriksi, inflamasi, dan respon yang berlebihan terhadap rangsangan

(hyperresponsiveness). Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks

antara sel-sel inflamasi, mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran napas.

Sel-sel inflamasi utama yang turut berkontribusi pada rangkaian kejadian

pada serangan asma antara lain adalah sel mast, limfosit dan eosinofil,

sedangkan mediator inflamasi utama yang terlibat dalam asma adalah

histamin, faktor kemotaktik eosinofil (eosinofil chemotactic factor) dan

beberapa sitokin yaitu: interleukin (IL)-4, IL-5 dan IL-3 (Triyani, 2010).

Sel-sel inflamasi yang telibat dalam patofisiologi penyakit asma antara

lain:

1. Sel mast

Sel ini sudah lama dikaitkan dengan penyakit asma dan alergi, karena

dapat melepaskan berbagai mediator inflamasi, baik yang sudah tersimpan

atau baru disintesis, yang bertanggung jawab terhadap beberapa tanda asma

dan alergi. Sel mast ini terdapat pada lapisan epitelial maupun sub epitelial

saluran napas. Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen

dengan IgE yang telah melekat pada reseptornya di permukaan sel mast

(Triyani, 2010).

2. Limfosit

6
Peranan limfosit dalam asma semakin banyak mendapat dukungan fakta

antara lain dengan terdapatnya produk-produk limfosit yaitu sitokin pada

biopsi bronkial pasien asma. Selain itu, sel-sel limfosit juga dijumpai pada

cairan bronkoalveolar pasien asma pada reaksi fase lambat (Triyani, 2010).

3. Eosinofil

Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa eosinofil berkontribusi

terhadap patofisiologi penyakit alergi pada saluran nafas. Pada saluran napas

dijumpai adanya kaitan yang erat antara keparahan asma dengan keberadaan

eosinofil di saluran yang terinflamasi, sehingga inflamasi pada asma atau

alergi sering disebut juga inflamasi eosinofilia (Triyani, 2010).

2.4. 2 Patofisiologi

Menurut Tanjung (2003) asma ditandai dengan kontraksi spastic dari

otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Inflamai saluran

napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang

mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran

napas pasien asma menyebabkan hiperreaktivitas bronkus. Pada saat terjadi

hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala

asma.pemicu ini meliputi respon hipersensitifitas tipe 1 yang dimediasi oleh

ig E. Reaksi yang timbul pada asma tipe ini diduga terjadi dengan cara

sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk

membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan

antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen

spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang

7
terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan

bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang

tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada

sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,

diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan

leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari

semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding

bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen

bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan

tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma, diameter

bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena

peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar

bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan

selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi

berat terutama selama ekspirasi.


Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik

dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan

dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat

meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara

ekspirasi dari paru.

Pelepasan -Obstruksi saluran


Mediator: napas
Pencetus:
humoral
-Hiperreaktivitas
Imun respon Histamine
Alergen, cuaca, saluran respirasi
menjadi aktif SRS-A
olah raga, Serotonin -Otot polos respirasi
emosi Kinin -Sekresi Mukus

8
2.5 Klasifikasi Asma

2.5.1 Klasifikasi derajat penyakit asma

Menurutt Hartantyo (1997) dalam konsensus nasional membagi dearajat

asma pada anak menjadi tiga tingkatan yaitu:

1. Asma episodik jarang

2. Asma episodik sering

3. Asma persisten

Dengan masing – masing perbedaan sesuai tabel 2.1 dibawah ini

Tabel 2.1 Klasifikasi derajat penyakit asma pada anak

Parameter Asma episodik Asma episodik Asma persisten


klinis, jarang sering
kebutuhan
obat,dan faal
paru
Frekuensi < 1 kali perbulan > 1 kali perbulan Sering
serangan
Lama Serangan < 1 minggu ≥ 1 minggu Hampir sepanjang
tahun,tidak ada
remisi
Intensitas Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
serangan
Diantara Tanpa gejala Sering gejala Gejala siang dan
serangan malam
Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
aktifitas
Pemeriksaan Normal (tidak Mungkin Tidak pernah
fisik diluar ditemukan terganggu normal
serangan kelainan) (ditemukan
kelainan)
Obat Pengendali Tidak perlu Perlu Perlu
(antiinflamasi)
Uji faal paru PEV/FEV1 > PEV/FEV1 PEV/FEV1 < 60%
(diluar 80% 60 – 80%
Variabilitas 20% –
serangan)
30%

9
Variabilitas faal Variabilitas >15% Variabilitas >30% Variabilitas >50%
paru (bila ada
serangan)

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA, 2006) penggolongan

asma berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:

1. Asma Intermiten (asma jarang)

- Merupakan 75% populasi asma pada anak

- Gejala kurang dari seminggu

- Serangan singkat

- Gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan

- FEV 1 atau PEV > 80%

- PEF atau FEV 1 variabilitas 20% – 30%

2. Asma mild persistent (asma persisten ringan)

- Meruapakan 20% populasi asma

- gejala lebih dari sekali seminggu

- serangan mengganggu aktivitas dan tidur

- gejala pada malam hari > 2 kali sebulan

- FEV 1 atau PEV > 80%

- PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% – 30%

3. Asma moderate persistent (asma persisten sedang)

- Terjadi pada sekitar 5% anak asma

- gejala setiap hari

- serangan mengganggu aktivitas dan tidur

- gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu

10
- FEV 1 tau PEV 60% – 80%

- PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%

4. Asma severe persistent (asma persisten berat)

- gejala setiap hari

- serangan terus menerus

- gejala pada malam hari setiap hari

- terjadi pembatasan aktivitas fisik

- FEV 1 atau PEF = 60%

- PEF atau FEV variabilitas > 30%

2.5.2. Klasifikasi penilaian derajat serangan asma


Menurut Purnomo (2008) Selain berdasarkan derajat penyaki asma

(gejala klinis), asma juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan

yaitu:

1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu

kalimat, bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya

pada akhir ekspirasi,

2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal

kalimat, lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang

ekspirasi dan kadang - kadang terdengar pada saat inspirasi,

3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi

duduk bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan

mengi sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop.

11
4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan, sudah
tidak terdengar mengi dan timbul bradikardi.

Menurut GINA (2006) eksaserbasi atau serangan asma adalah

episode perburukan gejala – gejala asma secara progresif. Gejala gejala yang

dimaksud adalah sesak napas, batuk, mengi, dada terasa tertekan, atau

berbagai kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi disertai

distres pernapasan. Serangan asma ditandai oleh penurunan PEV atau FEV

pengukuran ini merupakan indikator yang lebih daat dipercaya daripada

penilaian berdasarkan gejala. Sebaliknya derajat gejala lebih sensitif untuk

menunjukkan awal terjadinya eksaserbasi karena memberatnya gejala

biasanya mendahului perburukan PEV. Derajat serangan asma bervariasi

mulai dari yang ringan sampai yang mengancam jiwa, perburukan dapat

terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari. Serangan akut biasanya timbul

akibat pejaan tehadap faktor pencetus, sedangakan serangan berupa

perburukan yang bertahap mencerminkan kegagalan pengelolan jangka

panjang penyakit (GINA, 2006). Penilaian derajat serangan asma dapat dilihat

pada tabel 2.2

Tabel 2.2 Pembagian Derajat Serangan Asma

12
Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan
asma. Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami
serangan asma ringan. Sedangkan asma ringan dapat mengalami serangan
asma berat, bahkan serangan asma berat yang mengancam terjadi henti nafas
yang dapat menyebabkan kematian (GINA, 2006).

13
2.6 Gejala Klinis Penyakit Asma Pada Anak

Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada

anak. Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak

napas dada terasa berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari

yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan inhalasi alergen, peningkatan

usaha pernafasan, ditandai dengan retraksi dada, disertai perburukan kondisi

nafas cuping hidung. Kecemasan yang berhubungan dengan ketidak

mampuan mendapat udara yang cukup, serta gejala lainnya yang dapat

tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah.

(Yunita, 2011).

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Penyakit Asma Pada Anak

2.7.1 Diagnosis Penyakit Asma Pada Anak

Penanda utama untuk mendiagnosis adanya penyakit asma antara lain:

mengi pada saat menghirup napas, riwayat batuk yang memburuk pada

malam hari, dada sesak yang terjadi berulang, hambatan pernapasan yang

reversibel secara bervariasi selama siang hari, adanya peningkatan pada saat

olahraga, terbangun malam-malam dengan gejala-gejala batuk. Apabila

seorang klinisi menduga adanya asma pada pasien, maka perlu dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan dugaan. Pemeriksaan tersebut

antara lain didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang (Ikawati, 2006).

1. Riwayat penyakit.

14
Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi

atau rasa berat di dada. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien

maupun keluarganya seperti rinitis alergi, dermatitis atopik membantu

diagnosis asma. Faktor-faktor pencetus serangan perlu diketahui yaitu

meliputi: infeksi virus saluran napas; influenza, pemajanan terhadap

alergen debu rumah, bulu binatang, pemajanan terhadap iritan asap rokok,

kegiatan jasmani, ekspresi emosional (takut, marah), Obatobat aspirin

(penyekat beta, antiinflamasi non-steroid) (Sundaru, 2001).

2. Pemeriksaan fisik

Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari

derajat obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi

dada, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma.

Pada saat praktek jarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis

asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi,

sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis

(Sundaru, 2001).

3. Pemeriksaan penunjang

Selain itu, diagnosis juga dapat ditunjang dengan pemeriksaan darah

terhadap adanya peningkatan kadar IgE (Immunoglobulin E) dan jumlah

eosinofil. Test provokasi bronkus juga perlu dilakukan menggunakan suatu

alergen senyawa kimia (histamin, metakolin) untuk melihat derajat

peningkatan kepekaan bronkus (hiperresponsiveness) (Ikawati, 2006).

15
Pemeriksaan penunjang pada diagnosis asma yaitu dilakukan

dengan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium antara lain:

a) Spirometri

Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis

asma adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan

spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup

(inhaler dan nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP 1

(volume ekspirasi paksa detik pertama) atau KVP (kapasitas vital paksa)

sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tetapi respons yang

kurang dari 20% tidak berarti bukan asma, hal tersebut dapat dijumpai pada

pasien yang sudah normal (Sundaru, 2001).

b) Radiography dada

Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua serangan kecuali yang

ringan. Hasil pemeriksaan ini dapat menunjukkan atau memperkuat

diagnosis pneumonia, menyingkirkan komplikasi-komplikasi seperti

misalnya pneumotoraks serta memberikan bukti-bukti keadaan lain yang

bukan namun mirip asma (Triyana, 2010).

c) Pemeriksaan eosinofil total

Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien

asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis

kronik. Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk

menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien

asma (Sundaru, 2001).

d) Analisis gas darah

16
Pemeriksaan analisi gas darah ini hanya dilakukan pada asma yang

berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2

< 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru

mendekati normal sampai normokapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat

berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis

respiratorik (Sundaru, 2001).

Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun. Untuk

anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan fungsi paru sebaiknya

dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter atau

yang lebih lengkap dengan spirometer, uji yang lain dapat melalui provokasi

bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan

dingin, atau dengan NaCl hipertonis. Penggunaan peak flow meter

merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung

diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma, selain itu dapat

juga menggunakan lembar catatan harian sebagai alternatif (Dahlan, 2000).

2.7.1 Diagnosis Banding Penyakit Asma Pada Anak

Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan

asma.Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma

meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan

silent-disease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak

memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengan adanya nyeri tekan local pada

daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit

komorbid yang sering pada asama, sehingga membuat terapi spesifik pada asma

17
tidak diberikan dengan tepat. Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan

mengi dapat terjadi pada keadaan aspirasi, abnormalitas jalan napas congenital,

fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan,mengi

biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan jantung

dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkanoleh

respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak

yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara.

Selainitu, batuk berulang juga dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada

daerahdengan penyebaran tinggi Tuberculosis (Yunita, 2011).

Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak :

-Rinosinusitis

-Refluks gastroesofageal

-Infeksi respiratorik bawah viral berulang

-bronkiolitis

-Displasia bronkopulmoner

-Tuberkulosis

-Intratorakal

-Aspirasi benda asing

2.8 Mekanisme Diagnosis Dan Alur Skoring Asma

2.8.1 Mekanisme Diagnosis Asma


Batuk dan / mengi / wheezing
Riwayat penyakit ,
Pemeriksaan fisik, Uji
tuberkulin

18
Patut diduga Asma: Tida Jelas Asma:
- Episodik dan / kronis - Timbul masa neonatus,
- Nocturnal?Morning drip - gagal tumbuh,
- Musiman - Infeksi kronis,
- Pejaan terhadap pecetus - Muntah/ tersedak,
- Riwayat atopi - Kelainana fokal paru,
pasien/keluarga - Kelainan sistem kardiovaskuler

Pertimbangan Pemeriksaan:
Periksa peak flow meter atau - Foto Ro thorax dan sinus
spirometer untuk menilai - Uji faal paru
- Reversibel (?15%) - Uji respon thd Bronkodilator dan steroid
- Variabilitas (?15%) sistemik 5 hari
- Uji provkasi bronkus
- Uji keringat
- Uji imunologis
- Pemeriksaan Motilitas silia
- Uji pemriksaan refluk Ge
Berikan Tidak
Bronkodilator Berhasil

Berhasil Mendukung diagnosis


Tidak mendukung diagnsis lain
Diagnosis kerja: lain
Asma

Diagnosis pengobatan penyakit lain


Berikan Obat anti asma;
bila tidak berhasil nilai
ulang diagnosis dan Pertimbangan asma disertai
ketaatan berobat
penyakit lain Bukan Asma
Gambar 2.1 Mekanisme Diagnosis Asma
Sumber:Buku Pedoman Diagnosa dan Terapai / SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. 2015. UNAIR.
Surabaya

2.8.1 Alur Skoring Pernapasan

Tabbel 2.3 Alur Skoring Pernapasan

0 1 2

19
Sianosis (-) Sedang Nyata

Aktifitas otot –otot (-) Sedang Jelek


pernapasan tambahan
Pertukaran udara Baik Sedang Koma

Keadaan mental Normal Depresi/gelisah Koma

Pulsus paradoksus < 10 10 – 40 >40


(Torr)
PaO2 (Torr) 70 - 100 ≤70 pada udara ≤70 pada
kamar 40% O2
PaCO2 (Torr) <40 40 - 65 >65

Sumber: Buku Pedoman Diagnosa dan Terapai / SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. 2015.
Universitas Airlangga.Surabaya

Skor :
0 – 4 : Tidak ada bahaya
5 – 6 : Akan terjadi gagal napas  Siapkan unit gawat darurat
≥ 7 : Gagal napas

2.9 Penatalaksanaan Asma Pada Anak

GINA membagi tatalaksana serangan asma menjadi dua, yaitu

tatalaksana dirumah dan di Rumah sakit. Tatalaksana dirumah dilakukan oleh

pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh

pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur dan

mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan dirumah,

disebutkan bahwa terapi awal adalah inhalasi β-agonis kerja cepat sebanyak 2

kali dengan selang waktu 20 menit. Bila belum ada perbaikan, segara mencari

pertolongan ke dokter atau sarana kesehatan.

2.9.1 Tatatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat

20
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan ke Unit Gawat

Darurat (UGD) langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi

diatas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Pada pedoman GINA (2002),

ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow

meter) merupakan bagian integral dalam penilaian tatalaksana serangan asma,

bukan hanya evaluasi klinis. Namun, di Indonesia penggunaan alat tersebut

belum memasyarakat.Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian β2-

agonis kerja cepat dengan penambahan garam fisiologis secara nebulisasi.

Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada

pemberian ketiga, dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal

ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis, yaitu untuk penentuan derajat

serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan

dengan cepat dan jelas.

Jika munurut penilaian awal pasien datang jelas keadaan serangan

berat,langsung diberikan nebulisasi β-agonis dikombinasi dengan

antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan

asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu

respon yang kurang baik terhadap nubulisasi β-agonis. Pasien seperti ini

cukup dinebulisasi satu kali, kemudian secepatnya dirawat agar dapat

diberikan obat intravena serta diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.

(GINA, 2002).

a. Serangan asma ringan

21
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respon yang

baik (complete respon), berarti derajat serangannya ringan. Pasien

diobservasi selama 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan, pasien dapat

dipulangkan. Pasien dibekali obat β-agonis (hirupan atau oral) yang

diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus,

dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian

dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 untuk re-

evaluasi tatalaksana. Selain itu, jika sebelum serangan pasien sudah

mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga re-evaluasi

dilakukan diklinik rawat jalan. Namun, jika setelah observasi 2 jam gejala

timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma sedang (IDAI,

2008).

b. Serangan asma sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali pasien hanya

menunjukkam respon parsial (incomplete response), kemungkinan derajat

serangannya sedang. Untuk itu, derajat serangan harus dinilai ulang sesuai

pedoman. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, inhalasi

langsung dengan β2-agonis dan ipratropium bromide (antikolinergik),

pasien perlu diobservasi dan ditangani diruang rawat sehari (RRS). Pada

serangan asma sedang, diberikan kortikosteroid sistemik (oral)

metilprednision dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari. (IDAI,

2008).

c. Serangan asma berat

22
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak

menunjukkan respon (poor response), yaitu gejala dengan tanda serangan

masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), pasien harus dirawat diruang

inap. Bila pasien diduga serangan asma berat, maka langsung diberikan

nebulisasi dengan β2-agonis dan anti kolinergik. Oksigen 2-4L/menit

diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Kemudian dipasang jalur

parenteral dan dilakukan foto toraks. Sedangan bila pasien menunjukkan

gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat di

ruang rawat intensif. Pada pasien dengan serangan berat dan ancaman

henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi

komplikasi pneumotoraks dan atau pneumomediastinum (IDAI, 2008) .

2.9.2 Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari


Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan. Setelah di UGD

menjalani nebulisasi 2 kali dalam satu jam dengan respons parsial, di RRS

diteruskan pemberian nebulisasi β-agonis + antikolinergik bila perlu setiap 2

jam. Kemudian diberikan steroid sistemik oral (metilprednisolon, prednison,

atau triamsinolon). Pemberian kortikosteroid dilanjutkan sampai 3-5 hari. Jika

dalam 8-12 jam keadaan klinis tetap baik, pasien dipulangkan dan dibekali

obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/IGD. Bila

dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, pasien dialih rawat ke ruang rawat

inap dengan tatalaksana serangan asma berat (IDAI, 2008).

2.9.3 Tatalaksana di Ruang Rawat Inap

23
Dalam buku IDAI (2008) tatalaksana asma di ruang rawat inap
terdiri dari:
• Pemberian oksigen diteruskan

• Jika ada dehidrasi dan asidosis, atasi dehidrasi dengan pemberian cairan

intravena dan lakukan koreksi terhadap asidosis.

• Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam dengan dosis 0,5-1

mg/kgBB/hari

• Nebulisasi β2-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2

jam, jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak

pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.

• Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut :

o Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya,

diberikan aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8

mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis

sebanyak 20ml, diberikan dalam 20-30 menit.

o Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang

dari 4 jam), dosis yang diberikan adalah setengah dosis

inisial.

o Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan

dipertahankan sebesar 10-20µg/ml;

o Empat jam kemudian diberikan aminofilin dosis rumatan

sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.

24
• Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam,

sampai dengan 24 jam. Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian

per oral.

• Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan

dibekali obat β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam

selama 24-48 jam untuk re-evaluasi tatalaksana.

2.10 Kriteria Rawat di Ruang Intensif


Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah menunjukkan tanda

ancaman henti napas. Langsung dirawat di ruang rawat intensif (ICU) (Gina,

2002). Kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah sebagai

berikut;

• Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan

atau perburukan serangan asma yang cepat.

• Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas,

atau hilangnya kesadaran.

• Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap.

• Ancaman henti napas; hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi

oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan atau PaCO2>45 mmHG, walaupun

tentu saja gagalnapas dapat terjadi pada kadar PaCO2 yang lebih tinggi

atau lebih rendah).

Pasien dengan serangan berat yang terindikasi menggunakan ventilasi

mekanis adalah sebagai berikut:

- Pulsus paradoks yang cepat meningkat

25
- Penurunan pulsus paradoks pada pasien yang kelelahan (exhausted)

- Perburukan status mental (letargi/agitasi)

- Aritmia jantung atau henti jantung

- Henti napas

- Tidak bisa bicara

- Asidosis laktat yang tidak bisa membaik

- Diaforensis pada posisi berbaring

- Silent chest walaupun sudah terjadi usaha napas yang hebat

Sedangkan indikasi relatif:

- Hipoksemia (PaO2<60 mmHg) tidak membaik dengan oksigen 100%,

serta

- PaCO2 > 60 mmHg dan meningkat lebih dari 5 mmhg/jam.

2.11 Alur Tatatalaksana Serangan Asma pada anak

26
Gambar 2.2. Alur Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak
Sumber:Global Initiative for Asthma (GINA), 2002. Global Srategy for Asthma
Management and Prevention.Nasional Institute Of Health.

27
2.12 Terapi Medikamentosa

Dalam buku IDAI (2008) terdapat bebrapa pembagian terapi untuk

penyakit asma diantranya:

2.12. 1 Bronkodilator

Beta Adrenergik Kerja Pendek (short acting)

Beta adrenergik agonis merupakan terapi fundamental dan obat

pilihan pada serangan asma. Stimulasi terhadap reseptor-reseptor beta

adrenergik memnyebabkan perubahan ATP menjadi cycle-AMP sehingga

timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya

bronkodilatasi. Efek lain yang juga terjadi, seperti peningkatan klirens

mukosilier, penurunan permeabilitas vaskular, dan berkurangnya pelepasan

mediator dari sel mast. Reseptor β1 terutama terdapat di jantung

sedangkan reseptor β2 berada di epitel jalan napas, otot pernapasan,

alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, serta hepar

dan pankreas. Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan β2-

agonis selektif (IDAI, 2008).

• Epinefrin/Adrenalin

Contoh obat yang merupakan beta adrenergik kerja pendek adalah

epinefrin/adrenalin. Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau inhalasi

aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan epineferin

1:1000 (1mg/ml), dengan dosis 0,01 ml/kgBB (maksimum 0,3ml), dapat

diberikan sebanyak 3 kali, dengan selang waktu 20 menit. Mulai kerja

28
efeknya 2-3 jam. Inhalasi racemic ephineprine 2,25% aerosol dapat

diberikan dengan nebuliser.

Epineferin akan menimbulkan stimulasi pada reseptor β1,β2 dan α,

sehingga akan menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah,

palpitasi, takiaritmia, tremor, efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan

menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS (IDAI,2008).

• β2 –agonis selektif

Obat yang sering dipakai adalah salbutanol, terbutalin, dan

fenoterol. Dosis terbutalin oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali, diberikan

setiap 6 jam; fenoterol 0,1 mg/kgBB/kali, setiap 6 jam. Pemberian secara

oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak

dicapai dalam 2-4 jam, dan lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian secara

inhalasi memiliki mula (onset) kerja yang lebih cepat(1menit), efek puncak

dicapai dalam 10 menit, dan lama kerjanya 4-6 jam. Pemberian subkutan

tidak memberi efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada nebulisasi,

sehingga cara ini tidak dianjurkan jika ada alat nebulisasi. Dosis

salbutamol adalah 10-20 mcg/kg/kali sedangkan dosis terbutalin subkutan

adalah 5-10 mcg/kg/kali (IDAI,2008).

Salbutamol dapat diberikan melalui nebuliser dengan dosis 0,1-

0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kali), dengan interval 20 menit, atau

nebulisasi secara kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis

maksimum 15mg/jam). Pasien yang tidak responsif dengan pemberian 2

kali inhalasi ( MDI dan spacer) atau nebuliser dikatagorikan sebagai “non-

29
responder” dan pada inhalasi ke 3, dapat ditambahkan ipratropium

bromida. Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1

nebulisasi (IDAI, 2008).

Efek samping beta2-agonis antara lain adalah tremor otot skeletal,

sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi. Selain itu, dapat terjadi

ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi akibat adanya peningkatan perfusi

ke paru yang ventilasinya kurang. Hal ini akan menimbulkan hipoksemia

dan dapat terjadi hipokalemia. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan

pemantauan kadar kalium darah dan pemeriksaan elektrokardiografi (IDAI

2008).

Methyl Xanthine (Teofilin kerja cepat)

Efek bronkodilatasi mythil xathine setara dengan beta2-agonis

inhalasi, tetapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas

keamanannya sempit, obat ini sebaiknya diberikan untuk serangan asma

berat dengan pemberian kombinasi beta2-agonis dan antikolinergik serta

steroid tidak/kurang memberikan respons. Konsentrasi obat di darah harus

dijaga sekitar 10-20 mcg/ml agar tetap memiliki efek terapi.

Dosis aminofilin intravena jika pasien belum mendapat aminofilin

sebelumnya adalah dosis awal sebesar 6-8mg/kgBB dilarutkan dalam 20

ml dektrosa 5% atau garam fisiologis, diberikan dalam 20-30 menit. Jika

pasien sudah mendapat aminofilin kurang dari 12 jam sebelumnya, dosis

yang diberikan setengahnya. Selanjutnya, aminofilin diberikan dengan

dosis rumatan, yaitu 0,5-1 mg/kgBB/jam. Dosis maksimal aminofilin

30
adalah 16-20 mg/kgBB/hari apabila tidak dapat mengukur konsentrasi

plasma teofilin ( IDAI, 2008).

Karena farmakokinetk teofilin dipengaruhi oleh usia pasien, dosis

awal aminofilin berbeda-beda sesuai dengan usia:

o 1-6 bulan: 0,5 mg/kgBB/jam

o 6-11 bulan: 1 mg/kgBB/jam

o 1-9 tahun: 1,2-1,5 mg/kgBB/jam

o Usia > 10 tahun: 0,9 mg/kgBB/jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Pada

konsentrasi obat yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi, dan

aritmia. Secara teori, selain sebagai bronkodilator, keunggulan teofilin

pada serangan asma adalah dapat merangsang pusat respiratorik dan

meningkatkan kontraktilitas otot-otot respiratorik (IDAI, 2008).

2.12.2 Antikolinergik

• Ipratropium Bromida

Pemberian kombinasi nebulisasi beta2-agonis dan antikolinergik

(ipratropium bromida) menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik

daripada jika masing-masing obat diberikan secara sendiri-sendiri.

Kombinasi ini sebaiknya diberikan jika 1 kali nebulisasi beta2-agonis tidak

atau kurang memberikan respons. Sebaiknya pemberian kombinasi ini

dilakukan lebih dahulu sebelum pemberian mythil xanthine. Dosis

dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga

diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai berikut: untuk usia

31
>6 tahun 8-20 tetes; usia <6 tahun 4-10 tetes. Efek sampingnya adalah

kekeringan (minimal) atau rasa tidak enak dimulut (dosis oral 0,6-8 mg/k

pada orang dewasa); secara umum, tidak ada efek samping yang berarti

(IDAI, 2008).

2.12.3 Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan

serangan asma dan pemberiannya merupakan bagian tatalaksana serangan

asma, kecuali pada serangan ringan. Kortikosteroid sistemik terutam

diberikan pada keadaan sebagai berikut:

o Terapi inisial inhalasi beta2-agonis kerja cepat gagal mencapai

perbaikan yang cukup lama

o Serangan asma tetap terjadi meskipun pasien telah menggunakan

kortikosteroid hirupan sebagao controller

o Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat

sebelumnya.

Pemberian kortikosteroid dapat mencegah progresivitas asma,

mencegah perlunya rawat inap di rumah sakit, mengurangi gejala,

memperbaiki fungsi paru, serta memperbaiki respons bronkodilatasi yang

timbul oleh beta2-agonis. Preparat oral yang dipakai adalah

prednison,prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis1-2 mg/kgBB/hari

diberikan 2-3 kali sehari selama 3-5 hari (IDAI, 2008).

Metil-prednisolon merupakan pilihan utama karena memiliki

kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek anti inflamasi

32
yang lebih besar, serta efek mineralokotikosteroid yang minimal. Dosis

metil-prednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB, diberikan setiap

4-6 jam. Hidrokortison IV diberikan dengan dosis 4 mg/kgBB setiap 4-6

jam. Deksametason diberikan secara bolus intravena, dengan dosis 0,5-1

mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6-8 jam (IDAI,

2008).

Pemakaian steroid inhalasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk

serangan asma sehingga tidak dianjurkan. Nebulisasi steroid dapat

diberikan untuk serangan berat, tetapi diperlukan dosis sangat tinggi, yaitu

1600 mcg (meskipun belum banyak keputusan yang mendukung). Pada

pasien yang intoleran terhadap prednison oral, dapat diberikan inhalasi

steroid dosis tinggi (efektivitasnya sama) (IDAI,2008).

2.12.4 Obat-obat lain

Selain obat-obat diatas, beberapa obat yang tercantum dibawah ini

sering digunakan pada serangan asma (IDAI,2008).

Magnesium sulfat

Pemberian magnesium sulfat dianjurkan sebagai terapis pada

serangan asma berat. Obat ini juga bekerja sebagai penghambat kanal

kalsium, memiliki efek sedatif, mengurangi pelepsan asetilkolin pada

ujung-ujung saraf, dan menstabilkan sel mast.

Dosis MgSO4 adalah 25-50 mg/kgBB IV, diberikan selama 1 jam.

Kadar magnesium serum sebaiknya diperiksa setiap 6 jam, infus

magnesium harus ditritasi untuk menjagaa kadar didalam darah tetap

33
sebesar 3,5-4,5 meq/dl. Efek samping obat ini adalah kelemahan otot,

penurunan refleks tendon dalam, hipotensi, takikardia, mual, muntah,

flushing kulit, disritmia jantung.

Mukolitik

Pemberian mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat

dilakukan, tetapi harus hati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak

optimal. Mukolitik inhalasi tidak mempunyai efek yang signifikan, tetapi

harus berhati-hati pada serangan asma berat. Inhalasi obat mukolitik tidak

menunjukkan kegunaan dalam menangani serangan asma, pada serangan

asma berat bahkan bisa memperberat batuk dan menghambat aliran napas.

Antibiotik

Penggunaan antibiotik pada asma tidak disarankan karena

pencetusnya sebagian besar bukan dari bakteri.

Obat sedasi

Pemberian obat sedasi pada asma tidak dianjurkan karena dapat

menekan pernapasan.

Antihistamin

Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena efeknya

tidak mengguntungkan, bahkan dapat memperburuk keadaan karena dapat

memperkental sputum.

34
2.13 Terapi Sportif

2.13.1 Oksigen

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat, pada bayi dan

anak kecil, saturasi oksigen sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry.

Sturasi oksigen sebaiknya dipertahnkan sekitar 95% pada bayi dan anak

kecil (IDAI,2008).

2.13.2 Campuran helium dan oksigen

Inhalasi helioks (80% helium dan oksigen 20% oksigen) selama 15

menit sebagai tambahan pada pemberian oksigen (dengan kanula hidung),

bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metil prednisolon IV, secara

bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow, dan

mengurangi sesak, cara ini juga bisa mencegah kebutuhan ventilasi

mekanik pada beberapa pasien. Campuran helium dan oksigen dapat

mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen

lebih mudah mencapai alveoli (IDAI,2008).

2.13.3 Terapi cairan

Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat, hal ini

disebabkan oleh kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible

water lost, takipnea, serta akibat efek diuretik teofilin. Pemberian cairan

harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari hidrasi berlebihan;

pada asma berat terjadi peningkatan sekresi ADH yang memudahkan

terjadinya retensi cairan serta terdapat tekanan negatif yang tinggi dari

tekanan pleura pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema

35
paru. Biasanya, jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan

rumatan (IDAI, 2008).

2.14. Prognosis, Kompliksai dan Pencegahan Asma pada Anak

2.14.1 Prognosis

Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis

lebihbaik, kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya

riwayatdermatitis atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik,

akanmemberikan kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma

sampaiusia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya

berat dansukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya

mulaimenderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus

diobati dan jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri.

Komplikasi pada asmaterutama infeksi dan dapat pula mengakibatkan

kematian (Suyono, 2006).

2.14.2 Komplikasi

Menurut Suyono (2006) komplikasi yang dapat terjadi pada pasien

dengan asma adalah pneumotoraks, atelektasis, gagal nafas , dan

bronkhitis.

2.14.3 Pencegahan

Pencegahan yang utama pada pasien asma adalah dengan

menghindari faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya rangsangan

terhadap saluran respiratorik (Suyono,2006).

36
BAB III

KESIMPULAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai

dengan mengi berulang, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran

napas. Ada berbagai faktor pencetus dari terjadinya asma antara lain, polusi

udara, infeksi pernapasan, masalah hidung dan sinus, sensitif tehadap

makanan, ataupun alergen.

Pajanan alergen tersebut menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi,

edema dan hipersekresi saluran napas dengan hasil akhir berupa obstruksi

saluran napas bawah sehingga terjadi gangguan ventilasi berupa kesulitan

napas pada saat ekspirasi. Penggolongan asma sendiri tergantung pada derajat

penyakit dan derajat serangan asma sendiri.

Penatalaksanaan asma sendiri mencakup edukasi terhadp keluarga atau

pasien tentang penyakit asma dan penghindaran terhadap faktor pencetus,

serta terapi medikamentosa yang terbagi menjadi 2 yaitu pereda (reliever) dan

pengendali (controller). Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok besar

yaitu pada saat serangan dan diluar serangan.

37

Anda mungkin juga menyukai