Anda di halaman 1dari 55

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Konsepsional Manajemen SDM

Dalam proses aplikasi manajemen SDM ditemukan berbagai

masalah dalam pengorganisasian SDM antara lain; kedisiplinan, motivasi,

moral, promosi, pelatihan, disiplin, upah, dan kesehatan. Oleh karena itu,

berdasarkan konsep tersebut di atas maka satu kesimpulan yang penting

bahwa manajemen SDM adalah sebuah proses yang terus berkembang

sesuai dengan kebutuhan lingkungan zaman yang berarti bahwa manusia

adalah unsur utama dalam membangun organisasi perusahaan yang

sangat vital dalam perspektif manajemen SDM baru (Carneval et al.,,

1990; Noon, 1992). Perbedaan konsep dasar menurut pendekatan

aplikasi manajemen dapat dilihat dari sudut pandang manajemen

personalia dan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), yang

sesungguhnya merupakan pergeseran atau perubahan peran, dalam

model pengelolaan SDM.

MSDM timbul sebagai masalah baru pada tahun 1960 an , sebelum

itu kurang lebih tahun 1990 an , yang mendominasi adalah manajemen

personalia. Antara keduanya jelas terdapat perbedaan didalam ruang

lingkup dan tingkatannya. MSDM mencakup masalah-masalah yang

berkaitan dengan pembinaan, penggunaan dan perlindungan sumber

daya manusia. Sedangkan personalia lebih banyak berkaitan lebih banyak

berkaitan dengan SDM yang berada didalam perusahaan. MSDM


12

sebenarnya merupakan suatu gerakan pengakuan terhadap pentingnya

unsur manusia sebagai sumber daya yang cukup potensial, yang perlu

dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menberikan kontribusi

yang maksimal bagi organisasi dan bagi pengembangan dirinya.

(Gomes,1995:2-3)

1. Konsepsi Manajemen SDM

Manajemen SDM (MSDM) dapat dipahami sebagai proses

(Cushway, 1999:4-5). Human Resource Management (HRM) dengan

definisi;

MSDM sebagai ‘Part of the prosess that helps the

organization achieve its objective’. Pernyataan ini dapat

diterjemahkan sebagai bagian dari proses yang membantu

organisasi mencapai tujuannya.

Sementara itu (Schuler et al.,1992:16) mengartikan MSDM dalam

rumusan sebagai berikut ini:

’Human Resource Management involves the productive use

of people in achieving the organization “s strategic business

objective and satisfaction of individual employee needs.

Pernyataan ini dapat diartikan bahwa MDSM melibatkan pemberdayaan

manusia secara produktif untuk mencapai tujuan strategi bisnis organisasi

dalam rangka pemuasan kebutuhan karyawan


13

Sumber daya manusia atau human resource dalam konteks bisnis

adalah orang yang bekerja dalam suatu organisasi yang sering pula

disebut karyawan atau employee. Manajemen SDM berkaitan dengan

policy dan praktek-praktek yang perlu dilaksanakan oleh manajer

mengenai aspek-aspek SDM dari job management. Memahami MSDM

pada hakikatnya mempelajari disiplin ilmu lain seperti ilmu manajemen,

ilmu psikologi, dan ilmu-ilmu perilaku. Cara sistematis mempelajari MSDM

adalah dimulai dengan memahami definisinya dan kemudian konteksnya.

Tidak ada definisi yang sama tentang MSDM, sebagai perbandingan

dapat dikemukakan berikut ini:

 Mondy et al. (1999:4), mendefinisikan MSDM secara sederhana

yaitu, bagaimana orang-orang dapat dikelola dengan cara yang

terbaik dalam kepentingan organisasi.

 Mathis & Jackson (2000:78), mengemukakan bahwa MSDM

berhubungan dengan system rancangan formal dalam suatu

organisasi untuk menentukan efektivitas dan efisiensi dilihat dari

bakat seseorang untuk mewujudkan sasaran suatu organisasi..

 Bernardin & Russel (1998:20) mendefinisikan Human resource

Management is some extent concerned with any organizational

decision that has an impact on the workforce or the potensial

workforce.

Ketiga definisi tersebut mengemukakan dalam visi, misi, kapasitas

pengalaman praktek, kultur, lingkup organisasi, dan orientasi pandangan


14

yang mungkin berbeda. Konseptual, MSDM berkaitan dengan cara

pengelolaan sumber daya insani dalam organisasi dan lingkungan yang

mempengaruhinya agar mampu memberikan kontribusi secara optimal

bagi pencapaian tujuan organisasi.

Secara skematis, perspektif MSDM dengan pendekatan tersebut

ditunjukkan pada Gambar 2.2, konsep MSDM ini masih menimbulkan

kontroversi mengingat hard approach dianggap sedikit sekali kaitannya

dengan MSDM. Dalam pendekatan ini, karyawan cenderung

diberlakukan sebagai faktor produksi dari pada partner. Pengujian

empiris pendekatan ini adalah penerapan teori-teori manajemen (hard

approach) dan teori-teori behavioral sciences (soft approach) sebagai

upaya mengoptimalkan peran SDM dalam mencapai tujuan

organisasi.

2. Pendekatan Manajemen SDM

Salah satu isu kontemporer dalam manajemen sumberdaya

manusia yang berkembang saat ini adalah konsep pendekatan hard

approach dan soft approach. Dalam pendekatan hard approach

manajemen sumberdaya manusia menekankan pada aspek-aspek

pengaruh ekternal atau lingkungan. Pendekatan soft approach dalam

implementasinya lebih bersifat humanistic dan memfokuskan

perhatian pada aspek-aspek psikologi seperti komitmen, motivasi dan

kepuasan kerja. Theoritical antecedents (teori yang mendahului) dari


15

kedua pendekatan ini dalam (Alwi, 2001:14-15) adalah scientific

management sebagai hard approach dan human relation sebagai soft

apparoach. Orientasi pendekatan keras cenderung bersifat instrumental

dan terfokus pada penggunaan SDM dan bukan pada identifikasi dan

pengembangan SDM sebagaimana pendekatan lunak.

Pengelolaan karyawan berdasarkan pendekatan keras, manajemen

melakukan pengawasan dan pelaksanaan melalui sumber luar seperti,

lingkungan kerja, pengukuran kinerja, upah yang terkait dengan kinerja

dan penilaian staf. Bila manajemen menggunakan pendekatan lunak,

maka fokus dari pengelolaan karyawan tertuju pada sumber internal

seperti, pengembangan komitmen individu, shared values, kepentingan

bersama dan pengawasan sendiri, misalnya melalui quality circle. Kedua

pendekatan itu dihubungkan oleh faktor kultur yang dikembangkan dalam

organisasi. Sesungguhnya, pendekatan apapun yang digunakan dalam

pengelolaan SDM, hasil yang diinginkan adalah, terbentuknya

kemampuan SDM yang dapat diandalkan sebagai sumber keunggulan

kompetitif.

Perspektif pengembangan sumberdaya manusia melalui kedua

pendekatan tersebut di atas, untuk mengantarkan organisasi secara

keseluruhan pada pencapaian tujuan, melalui kinerja atau performance

sumber daya manusia yang optimal, dengan memanfaatkan penerapan

teori-teori manajemen dari sisi hard approach dan teori-teori behavioral

science dari sisi soft approach. Oleh karena itu, kedua pendekatan
16

tersebut menggunakan variabel dan tolak ukur yang berbeda dalam

melihat “ Human “ faktor sebagai resources dalam organisasi, yang

diberdayakan melalui implementasi fungsi-fungsi MSDM dengan

dukungan sumberdaya lainnya.

.Dimensi analisis dan tinjauan pendekatan tersebut di atas

sepenuhnya bertumpu pada pendekatan yang bersifat hard approach,

dengan penekanan pada aspek eksternal dari diri seorang karyawan dan

lebih bersifat pengawasan dan pengarahan, sehingga kurang menyentuh

aspek-aspek yang bersifat physiologies yang lebih mengedepankan

sentuhan manusiawi. Oleh karena itu, konsep MSDM dengan pendekatan

humanism atau humanism approach seyogyanya mendapatkan perhatian

yang sama, agar keterpaduan antara aspek ekternal dan internal bersifat

saling melengkapi untuk mencapai kinerja karyawan yang lebih tinggi dan

menguntungkan organisasi perusahaan.

Sedangkan Cascio dalam (Alwi, 2001:12) mengemukakan

perkembangan MSDM. Peran MSDM pada dasarnya memalui 4 tahap

yaitu

1. Pertama tahap sekitar tahun 1960 an .Pada tahap ini , kegiatan

MSDM ditekankan pada tanggung jawab departemen khusus yang

berfungsi melakukan seleksi calon karyawan , melakukan program

orientasi, mengumpulkan dan menyimpan data personel setiap

karyawan dan sebagainya (File maintenance).


17

2. Kedua adalah tahun 1964 tahap Goverment Accountability dimana

pada tahap ini perhatian dan tanggung jawab pemerintah

khususnya di AS terhadap pekerja besar sekali..

3. Ketiga. Adalah tahun 1970-1980 Organizational Accountability,

pada tahap ini, terjadi peningkatan pada permintaan bagi eksistensi

wanita sebagai angkatan kerja, kaum minoritas, para imigran ,

tenaga kerja tak terdidik dan permintaan akan kualitas kehidupan

kerja, permintaan untuk mengelola perbedaan etnis dalam

angkatan kerja dan kelanjutan training dan retraining.. Tanggung

jawab dalam hal ini terletak ditangan organisasi.

4. Keempat , tahap Strategic Partner tahun 1990 an. .Pada tahap ini,

MSDM berfungsi mendukung tercapainya tujuan strategik

organisasi dengan meletakkan fungsi MSDM dalam fungsi yang

bersifat interdependent dengan fungsi-fungsi lain dalam organisasi,

guna memanfaatkan dan mempertahankan keunggulan kompetitif

perusahaan.

Kebutuhan organisasi dalam hubungan dengan karyawan adalah

peningkatan efektivitas organisasi dengan dukungan SDM yang tersedia

berupa kualitas keahlian, pengetahuan, komitmen dan kemampuan.

Sedangkan Kebutuhan karyawan adalah tingkat kepuasan atau apa saja

yang diterima dari organisasi seperti upah, gaji, pengakuan atas prestasi,

perlindiungan dan kesejahteraan , sebagai akibat dari kontribusi yang

diberikan mereka terhadap organisasi.


18

Dalam pengelolaan SDM (Panggabean, 2001: 18-19), keberhasilan

organisasi dipengaruhi oleh karakteristik organisasi, karakteristik individu,

karakteristik karyawan, sikap dan perilaku karyawan secara langsung dan

tidak langsung. 1. Karakteristik individu , yang terdiri dari atas jenis

kelamin, tingkat pendidikan, umur masa kerja dan jumlah tanggungan dan

posisi. 2. Karakteristik organisasi meliputi meliputi kompleksitas,

formalisasi, dan sentralisasi. 3 Karakteristik pekerjaan terdiri atas

keragaman tugas, identitas tugas, keberartian tugas, otonomi dan umpan

balik.

Sikap dan Perilaku dikemukakan (Robbins, 2006:32) dalam output

yang dihasilkan manusia sebagai kepuasan kerja, produktivitas,

komitmen, turnover dan absensi. Sikap ini dinyatakan dalam variabel

dependen dan merupakan variabel yang menunjukkan hubungan kinerja.

Sedangkan variabel independen terdiri dari 3 level yaitu individu,

kelompok dan organisasi. Variabel individu yaitu persepsi, motivasi dan

pembelajaran, variabel kelompok yaitu komunikasi, kepemimpinan dan

kekuasaan sedangkan variabel organisasi lebih ke rancangan pekerjaan

dan praktik sumber daya manusia serta budaya organisasi.

Sejalan dengan pemikiran tersebut di atas, maka evolusi pemikiran

baru dalam bidang MSDM hadir untuk memberikan jawaban atas

keterbatasan paradigma tradisional. Schuler dan Hauber (1993)

menjelaskan beberapa aspek pergeseran sumberdaya manusia yang

meliputi: (1). Sifat dasar fungsi SDM (2). Penciptaan strategi dan
19

kebijakan, (3). Organisasi departemen SDM, dapat merubah status divisi

personalia yang bersifat fully administrative menjadi divisi SDM yang lebih

strategis. Hal ini berarti bahwa departemen SDM memiliki peran strategis

dalam menentukan masa depan organisasi, melalui orientasi fungsional

yang didasarkan pada pengembangan kreatifitas, fleksibilitas dan

manajemen proaktif atau coordination .

Dengan demikian Paradigma MSDM baru berintikan optimalisasi

proses komunikasi yang bersifat dua arah dan perencanaan yang

berangkat dari bawah ke atas (bottom–up). Merupakan transformasi peran

yang menuntut kemampuan, cara kerja, cara pikir dan peran baru dari

sumberdaya manusia. Nilai untuk mengelola SDM lebih menantang lagi

dengan konteks yang kompleks dan berubah. Untuk hampir semua

organisasi, lingkungan yang kompetitif tidak lagi domestik, melainkan

global.(Schuler dan Jackson, 1996:33). Oleh karena itu, untuk dapat

melakukan repositioning dengan baik maka organisasi perlu

mempersiapkan SDM yang handal, melalui aspek prilaku dan kompetensi

SDM. Repositioning perilaku SDM berkaitan dengan peningkatan inisiatif

kerja dalam arti budaya kerja yang baik, sedangkan repositioning

kompetensi SDM berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM termasuk

fasilitas yang dibutuhkan, agar terjadi pergeseran paradigma SDM sesuai

dengan konsep command to coordination yang diperlukan dan sesuai

dengan perkembangan zaman.


20

3. Pengembangan Manajemen SDM

Manajemen sumber daya manusia merupakan bidang strategis dari

organisasi yang merupakan pengembangan atau perluasan dari

pandangan tradisional yang mengelola orang-orang secara efektif, untuk

itu diperlukan pemahaman tentang prilaku manusia serta kemampuan

pengelolanya demi perusahaan atau organisasi. SDM dapat memberikan

kontribusi optimal terhadap perusahaan melalui keterlibatan SDM (Golden

& Ranunanjam, 1985). Untuk menghindari kontradisi tersebut, menarik

untuk disimak apa yang dikemukan oleh Keenoy dan Anthony (1997)

dalam Alwi (2001:8), bahwa mempelajari MSDM bisa dilihat dari

persepsi; people management, personnel management, dan strategic

management. Ketiga aspek tersebut dalam MSDM dipandang secara

perspektif integral, pembahasan aspek pengelolaan SDM tanpa

menghadapkan terminologi MSDM dengan manajemen personalia

secara kontras dan MSDM merupakan modernisasi dari pengertian

manajemen personalia.

Di Indonesia, manajemen personalia pada mulanya memang

lebih dikenal dibandingkan dengan MSDM. Tetapi bagi para pakar

manajemen di AS konsep MSDM telah menigunakan lebih dari lima

puluh tahun sebagai alternatif manajemen personalia (Noon, 1992).

Sampai pada tahun 1980-an kedua terminologi tersebut selalu

digunakan secara bergantian sehingga sering menimbulkan kerancuan

pengertian. Pada dasarnya MSDM merupakan modernisasi dari


21

manajemen personalia sehingga dikatakan MSDM merupakan

pendekatan baru terhadap manajemen personalia yang berbeda

secara signifikan dengan pengertian manajemen personalia yang

dianggap tradisional (Price, 1997).

B. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar pekerja

yang dapat mempengaruhi dalam berkerja meliputi pengaturan

penerangan, pengontrolan suara gaduh, pengaturan kebersihan tempat

kerja dan pengaturan keamanan tempat kerja (Sukanto dan Indriyo,

2000).
Nitisemito (2000) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai segala
sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi
dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan”.

Menurut Sedarmayati (2001) lingkungan kerja adalah keseluruhan

alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana

seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik

sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok.

Dari paparan tadi dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja

adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja yang

mempengaruhi tugas- tugas yang di bebankan, namun secara umum

pengertian lingkungan kerja adalah merupakan lingkungan dimana para

karyawan tersebut melaksanakan tugas dan pekerjaannya.

Lingkungan Kerja adalah faktor-faktor di luar manusia baik fisik

maupun non fisik dalam suatu organisasi. Faktor fisik ini mencakup
22

peralatan kerja, suhu tempat kerja, kesesakan dan kepadatan, kebisingan,

luas ruang kerja sedangkan non fisik mencakup hubungan kerja yang

terbentuk di instansi antara atasan dan bawahan serta antara sesama

karyawan (Sihombing, 2004).

Lingkungan kerja adalah tempat di mana pegawai melakukan

aktivitas setiap harinya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa

aman dan memungkinkan pegawai untuk dapat bekerja optimal.

Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosional pegawai. Jika pegawai

menyenangi lingkungan kerja di mana dia bekerja, maka pegawai tersebut

akan betah di tempat kerjanya, melakukan aktivitasnya sehingga waktu

kerja dipergunakan secara efektif. Produktivitas akan tinggi dan otomatis

prestasi kerja pegawai juga tinggi. Lingkungan kerja itu mencakup

hubungan kerja antara bawahan dan atasan serta lingkungan fisik tempat

pegawai bekerja.
Menurut Sarwoto (1991) dan Sedarmayanti (2001) menyatakan
bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2, yaitu :

1. Lingkungan kerja fisik (physical working environment)

Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan yang berbentuk

fisik yang terdapat disekitar tempat kerja yang dapat

mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun tidal

langsung.
2. Lingkungan kerja non fisik (Non - Phisical Warking

Environment) Lingkungan kerja non fisik adalah semua

keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja

baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama


23

rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan

(Sedarmayanti, 2001).

Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni

1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan

(Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya)

2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut

lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya:

temperatur, kelembaban, sirkulasi udara,

kebersihan, pencahayaan, kebisingan, musik getaran mekanis,

bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.

Untuk dapat memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap

karyawan, maka langkah pertama adalah harus mempelajari manusia,

baik mengenai fisik dan tingkah lakunya, kemudian digunakan sebagai

dasar memikirkan lingkungan fisik yang sesuai.

Sedangkan lingkungan non fisik berdasarkan pada pendapat As’ad

(1997) merupakan suasana lingkungan kerja yang tercipta dari hubungan

antara karyawan dengan lingkungan fisik pekerjaan yang dihadapi

karyawan.

Lingkungan non fisik merupakan kelompok lingkungan kerja yang

tidak bisa diabaikan. Menurut Alex Nitisemito (2000) Perusahaan

hendaknya dapat mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama

antara tingkat atasan, bawahan maupun yang memiliki status jabatan


24

yang sama di perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah

suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik, dan pengendalian diri.

Sentoso (2001) menyatakan bahwa manajemen perusahaan

hendaknya membangun suatu iklim dan suasana kerja yang bisa

membangkitkan rasa kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama.

Pihak manajemen perusahaan juga hendaknya mampu mendorong

inisiatif dan kreativitas. Kondisi seperti inilah yang selanjutnya

menciptakan antusiasme untuk bersatu dalam organisasi perusahaan

untuk mencapai tujuan.

Motivasi kerja pegawai akan terdorong dari lingkungan kerja. Jika

lingkungan kerja mendukung maka akan timbul keinginan pegawai untuk

melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Keinginan ini kemudian akan

menimbulkan persepsi pegawai dan kreativitas pegawai yang diwujudkan

dalam bentuk tindakan. Persepsi pegawai juga dipengaruhi oleh faktor

insentif yang diberikan oleh instansi.

Manfaat lingkungan kerja adalah menciptakan gairah kerja,

sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang

diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah

pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan

diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang

ditentukan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan

tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat

juangnya akan tinggi (Arep, 2003).


25

Lingkungan kerja adalah kekuatan yang mendorong semangat

yang ada di dalam maupun di luar dirinya baik itu yang berupa reward

maupun punishment sehingga Herberg dalam Luthans (2003) menyatakan

bahwa pada manusia terdapat enam faktor pemuas. 1). prestasi kerja

yang diraih (achievement). 2). Pengakuan orang lain (recognition). 3).

tanggung jawab (responsibility). 4). peluang untuk maju (advancement).

5). kepuasan kerja itu sendiri (the work itself). 6). dan pengembangan karir

(the possibility of growth). Sedangkan faktor pemeliharaan (maintenance

factor). Yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic lingkungan kerja

yang meliputi: 1). Kondisi Kerja; 2). Keamanan dan keselamatan kerja; 3).

Kondisi kerja; 4). Status; 5). Prosedur perusahaan; 6). Mutu dari supervise

tekhnis dari hubungan antara teman sejawat, atasan, dan bawahan.

Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik,

sehingga dicapai suatu hasil yang optimal, apabila diantaranya ditunjang

oleh suatu kondisi lingkungan yang sesuai. Suatu kondisi lingkungan

dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan

kegiatannya secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Ketidaksesuaian

lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama.

Lebih jauh lagi, Keadaan lingkungan yang kurang baik dapat menuntut

tenaga dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya

rancangan sistem kerja yang efisien. Banyak faktor yang mempengaruhi

terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja.

Menurut Budianto (1997), lingkungan mempunyai pengaruh yang

tinggi terhadap perilaku seseorang. Sebagai gambaran yang menunjukkan


26

bahwa lingkungan yang baik akan membawa dampak yang baik terhadap

individu. Kondisi lingkungan yang baik akan membawa dampak yang baik

terhadap individu, demikian juga bila kondisi lingkungan buruk maka akan

buruk pula dampaknya terhadap individu. Maka individu yang berkerja di

tempat yang lingkungannya keras akan berpengaruh kuat terhadap

kesehatan fisik dan mental individu.


Lingkungan kerja non fisik merupakan keadaan lingkungan tempat

kerja karyawan yang berupa suasana kerja yang harmonis dimana terjadi

hubungan atau komunikasi antara bawahan dengan atasan (hubungan

vertikal) serta hubungan antar sesama karyawan (hubungan horisontal).

Dengan adanya suasana kerja dan komunikasi yang harmonis, maka

karyawan akan merasa betah di tempat kerja sehingga pekerjaan yang

dilakukan dapat terlaksana dengan baik, efisien dan efektif.

Terciptanya suasana kerja dan komunikasi yang baik tergantung

pada penyusunan organisasi perusahaan secara benar seperti yang

dikemukakan oleh Sarwoto (1991) bahwa : “Suasana kerja yang baik

dihasilkan terutama dalam organisasi yang tersusun secara baik,

organisasi yang tidak tersusun secara baik banyak menimbulkan suasana

kerja yang kurang baik juga”. Bila tumbuh masalah mengenai

penyeleasian pekerjaan misalnya, maka dalam kondisi hubungan kerja

yang baik seperti ini, semua problema tentu akan lebih mudah

dipecahkan secara kekeluargaan.


27

Penerapan hubungan kerja yang baik antar karyawan akan terlihat

pada suasana kerja yang :

1. Tidak terdapat konflik antar karyawan

2. Setiap karyawan bersemangat dan bergairah dalam

menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya

3. Setiap masalah dapat diselesaikan dengan penuh kekeluargaan

4. Pelaksanaan pekerjaan di liputi oleh suasana santai dan

keakraban,bukan suasana yang mencekam penuh ancaman.

5. Adanya saling menghargai dan percaya antar karyawan.

Hubungan kerja yang berhasil dibina antara bawahan dengan atasan

akan memperlihatkan suasana antara lain :

1. Para karyawan betul-betul menghormati, menghargai

kepemimpinan atasannya.

2. Atasan dianggap sebagai rekan sekerja yang seluruh

kebijaksanaannya perlu didukung, bukan seorang majikan yang

menakutkan.

3. Adanya perhatian yang besar dari atasan terhadap masalah

bawahan untuk mencari jalan pemecahannya.

4. Adanya usaha atasan untuk memperlihatkan ketauladanan kerja

bagi para bawahan.

5. Para bawahan selalu merasa termotivasi untuk bekerja karena

adanya penghargaan atas prestasi yang mereka dapatkan. Oleh

karena itu suatu hubungan kerja antar bawahan dengan


28

atasan tercermin dalam lingkungan kerja fisik dan non fisik yang diberikan

kepada karyawan secara baik dan benar.

Variabel lingkungan kerja diukur berdasarkan teori Stoner dan

Freeman (1989) indikator-indikatornya adalah lingkungan fisik dan

lingkungan sosial. Setiap kantor mempunyai persyaratan lingkungan fisik.

Yang harus pula diperhatikan dan diatur sebaik-baiknya oleh setiap

manajer perkantoran yang modern. Kondisi fisik pekerjaan pada penelitian

ini adalah: Suhu dan kelembaban udara; penerangan/cahaya; kebisingan;

warna dinding dan lantai; kesehatan dankeamanan kerja; keselamatan

kerja. Lingkungan kerja ini dikenal juga sebagai lingkungan fisiologi dan

mempengaruhi kerja produktivitasnya, disamping pengaruh dari faktor

ukuran jasmaniah, faktor neurologik serta faktor otot.

Lingkungan sosial pekerjaan dapat dilihat dari lingkungan kerja

terdekat yang meliputi tindakan dan sikap rekan maupun pimpinan serta

“iklim” yang mereka ciptakan. Kebanyakan orang menginginkan

persahabatan dari rekan sekerja yang sesuai dengan nilai dan norma

rekan kerjanya. Pimpinan suatu perusahaan sangat mempengaruhi

motivasi dan prestasi kerja pegawai dengan suri tauladan dan instruksi,

melalui imbalan dan sanksi yang berkisar dari pujian dan promosi sampai

dengan kritik, penurunan pangkat dan pemecatan.Kultur organisasi,

norma, nilai dan keyakinan bersama anggotanya dapat menurunkan atau

meningkatkan prestasi kerja individu. Pegawai yang kepribadian tidak

cocok dengan kultur oganisasi tidak akan sama besar motivasinya. Di


29

samping itu jenis kultur tertentu mungkin lebih berhasil memotivasi

pegawai dari pada kultur lainnya.

C. Konsepsi Budaya Organisasi


Sebutan yang sering digunakan untuk budaya organisasi atau

organizational culture yakni budaya perusahaan atau budaya korporat

atau corporate culture, kesemuanya itu memiliki makna dan maksud yang

sama. Masalahnya budaya organisasi yang seperti apa yang harus

dibangun dalam organisasi agar dapat meningkatkan kinerja karyawan.

Dengan kata lain, budaya organisasi yang dapat mengarahkan perilaku

karyawan untuk meningkatkan komitmen atau loyalitas karyawan terhadap

organisasi sehingga mampu meningkatkan kinerja karyawan. Budaya

organisasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni budaya organisasi

yang kuat dan budaya organisasi yang lemah. Budaya organisasi yang

kuat akan memiliki dampak positif terhadap organisasi di masa yang akan

datang, sebaliknya budaya organisasi yang lemah akan memilki dampak

negatif bagi perusahaan. Dampak positif dari budaya organisasi yang kuat

antara lain dapat mengarahkan perilaku karyawan sesuai dengan tujuan

organisasi melalui pencapaian visi dan misi organisasi tersebut.

1. Pengertian Budaya Organisasi

Teoritikus budaya organisasi, Edgar H. Schein 1985 (dalam

Wirawan, 2007:8), mendefinisikan budaya organisasi sebagai

“...a pattern of basic assumptions-invented, discovered, or


developed by a given group as it learns to cope with its
30

problems of external adaptation and internal integration- that


has worked well enough to be considered valid and therefore,
to be taught to new members as the corrected way to
perceive, think, and feel in relation to those problem.”

Schwartz dan Davis (1981 dalam dalam Wirawan, 2007:8), mendefinisikan

budaya organisasi sebagai

“a pattern of beliefs and expectations shared by the


organization’s members. These beliefs and expectations
produce norms that powerfully shape the behavior of
individuals and groups in the organization.”

Schwartz dan Davis menegaskan apapun budaya organisasi adalah yang

bukan iklim organisasi (Danison, 1996) budaya organisasi menunjukkan

struktur dalam organisasi yang berakar pada nilai-nilai, kepercayaan, dan

asumsi yang dikembangkan dan dipegang teguh oleh anggota organisasi

dalam melakukan tugas dan perannya

Davis dan Newstrom (1985:60) mengemukakan bahwa


“organizational culture is the set of assumptions, beliefs,
values, and norms that is shared among its members”.
Lebih lanjut. Schermerhorn et al. (1991:340) mengemukakan
bahwa “organizational culture is the system of shared beliefs
and values that develops within an organization and guides
the behavior of its members”.

Ndraha (1999:81) mengemukakan bahwa: “budaya organisasi sebagai

input terdiri dari pendiri organisasi, pemilik organisasi, sumber daya

manusia, pihak yang berkepentingan, dan masyarakat”.

Berdasarkan pendapat itu dapat disimpulkan bahwa pengertian

budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan,

nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan


31

pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi

masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Tujuan penerapan

budaya organisasi adalah agar seluruh individu dalam perusahaan atau

organisasi mematuhi dan berpedoman pada system nilai keyakinan dan

norma-norma yang berlaku dalam perusahaan atau organisasi tersebut.

Sebagai perbandingan, berikut adalah beberapa definisi dari

beberapa pakar pada awal-awal dekade 1990-an. Ouchi (1981)

mendefinisikan budaya organisasi sebagai:

“a set of symbols, ceremonies, and myths that communicate


the underlying values and beliefs of that organization to its
employees (seperangkat simbol, upacara, dan mitos yang
mengkomunikasikan landasan nilai-nilai dan keyakinan-
keyakinan dari organisasi kepada para karyawannya)”.

Menurut Deal & Kennedy (1982) budaya organisasi ialah: “the way we do

thing around here (cara kita melakukan sesuatu di sini) Peters &

Waterman (1982) mendefinisikan budaya organisasi sebagai “a dominant

and coherent set of shared values conveyed by such symbolic means as

stories, myths, legends, slogans, anecdotes, and fairly tales

Definisi-definisi tersebut di atas tampaknya berlaku bagi semua jenis

organisasi apa pun. Baik organisasi yang disebut korporat (perusahaan)

maupun non-korporat. Menurut Miller (1984) definisi tersebut sudah tidak

sesuai dengan dunia korporat dalam era globalisasi yang kompetitif

sekarang ini. Maka ia memberi definisi budaya korporat sebagai berikut:

“a set of primary values system consisting of eight principles,


32

namely of purpose, of consensus, of excellence, of


performance, of empiricism, of unity, of intimacy, and of
integrity, as norms or guidance for the corpotate members in
their behaviors and solve the corporate problems

Semua korporat tentu menggunakan nilai-nilai ini, tetapi belum tentu

menyadari dan menggunakannya sebagai budaya organisasi untuk

mencapai tujuan korporat. Korporat-korporat di Amerika yang secara

sadar membudayakan sekurang-kurangnya delapan nilai-nilai primer ini,

Menurut Miller dan teman-temannya adalah korporat-korporat yang

inovatif, produktif, dan efektif. Ouchi (198I), menggunakan 7 nilai untuk

mengukur dan membandingkan antara budaya korporat Jepang dan

korporat Amerika: (1) komitmen pada karyawan, (2) evaluasi terhadap

karyawan, (3) karir, (4) kontrol, (5) pembuatan keputusan, (6)

tanggungjawab, dan (7) perhatian pada manusia. Hopstede (1980)

menggunakan 4 nilai untuk membedakan budaya antar suatu bangsa

dengan bangsa lain, yaitu: (1) jarak kekuasaan, (2) individualisme vs,

kolektivisme, (3) maskulin vs. feminin, dan (4) penolakan terhadap

ketidak-pastian.

2. Budaya Organisasi Kompetitif

Budaya organisasi memuat sistem nilai yang dianut dan dihayati

bersama oleh seluruh anggota organisasi. Budaya organisasi terbentuk

oleh beberapa unsur, yakni falsafah para pendiri organisasi, tujuan

organisasi serta nilai-nilai maupun norma yang dianut segenap anggota

organisasi dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut.


33

Nilai dan norma yang dianut dan diterapkan dalam kegiatan organisasi

itulah yang membentuk identitas organisasi dan membedakannya dengan

organisasi lain. Nilai dan norma tersebut mencakup: tujuan utama

organisasi, cara-cara yang dipilih untuk mencapai tujuan tersebut,

tanggung jawab dan peran yang diberikan pada setiap anggota

organisasi, pola perilaku yang diharapkan atau disyaratkan dalam

memainkan peran masing-masing, peraturan dan prinsip yang ditetapkan

untuk mempertahankan identitas dan integritas organisasi

Organisasi memelihara budaya dengan dua cara, yaitu proses

seleksi dan proses sosialisasi. Dengan melalui proses seleksi yang tepat

dan sistematis, diharapkan akan mendapatkan karyawan yang memiliki

kesamaan nilai atau mendekati, dengan demikian dapat menghindari

terjadinya konflik atau pertentangan dalam organisasi akibat perbedaan

nilai antara karyawan dengan organisasi tempat mereka bekerja. Proses

seleksi dimaksudkan untuk memelihara budaya organisasi yang pada

akhirnya akan berpengaruh pada karakteristik individu dalam organisasi.

Menuntut Robbins ada tujuh karakteristik utama budaya organisasi, yakni:

1. Innovasi dan pengambilan resiko. Sebuah karakteristik budaya

organisasi yang mendorong para pekerja untuk menjadi lebih

innovatif dan berani mengambil resiko.

2. Perhatian pada detail adalah sebuah karakteristik budaya organisasi

yang mengharapkan para anggotanya menunjukkan ketelitian,

analisa dan penelitian pada hal-hal secara mendetail.


34

3. Orientasi hasil adalah sebuah karakteristik budaya organisasi yang

berfokus pada hasil atau outcomes daripada teknis atau proses yang

biasa dipakai untuk mencapai semua outcomes

4. Orientasi pada manusia adalah sebuah karakteristik budaya

organisasi dimana pengambilan keputusan managemen dengan

mempertimbangkan bahwa outcomes dipengaruhi orang-orang

dalam organisasi.

5. Orientasi pada tim adalah sebuah karakteristik budaya organisasi

dimana aktivitas-aktivitas pekerjaan diorganisir melalui tim-tim

daripada individu-individu.

6. Aggresif adalah sebuah karakteritik budaya organisasi yang

mendorong anggota-anggotanya agar lebih agresif dan kompetitif.

7. Stabilitas adalah sebuah karakteritik budaya organisasi yang

menekankan pada kondisi-kondisi yang sudah stabil atau tetap

memelihara status quo.

Agar budaya organisasi berpengaruh kepada perilaku karyawan

maka perusahaan harus membangun budaya korporat yang kuat. Budaya

kuat merupakan budaya yang nilai-nilai intinya dipegang secara intensif

dan dianut bersama-sama secara meluas, budaya kuat mempunyai

dampak yang lebih besar pada perilaku karyawan dan lebih langsung

pengaruhnya kepada tingkat keluarnya karyawan.

Menurut Syarwani et al. (2001) dalam Rachmawati (2004:123),

budaya perusahaan yang unggul akan menciptakan perusahaan yang


35

sehat. Budaya perusahaan menjadi salah satu alat kunci atau penyebab

tumbuhnya perusahaan atau organisasi yang sehat. Budaya perusahaan

menjadi strategi, materi yang akan mengubah sikap dan perilaku, serta

sebagai sarana untuk mencapai efisiensi dan penyesuaian dengan

tuntutan zaman yang senatiasa berubah. Perubahan paradigma dan

permanfaatan budaya perusahaan adalah salah satu solusi dalam

menghadapi tantangan zaman yang kian komplek. Budaya perusahaan

dikembangkan sedemikian rupa, sehingga mampu menjadi pemersatu

dan pemicu gerak langkah anggota organisasi. Nilai-nilai yang tidak

mendukung tujuan organisasi di.buang, sementara nilai-nilai yang

mendukung tujuan organisasi dijadikan andalan daya saing.

3. Tingkatan Analisis Budaya Organisasi

Ada tiga tingkatan dalam menganalisis budaya organisasi, yaitu:

Pertama, budaya organisasi yang tampak (observable culture). Kedua,

nilai-nilai yang dikontribusikan (shared values) dan ketiga, asumsi-asumsi

umum(common assumptions). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh

Schermerhorn et al. (1991:341) bahwa: “Three levels of analysis in

studying organizational culture: observable culture, shared values and

common assumptions”.

Schein (1985:9) lebih rinci menjelaskan tiga tingkatan analisis

budaya organisasi (budaya perusahaan), tingkat pertama dari analisis

budaya organisasi adalah fakta-fakta seni, ciptaan-ciptaan, teknologi, seni


36

dan bentuk-bentuk perilaku yang tampak serta dapat didengar. Adapun

tingkat analisis kedua adalah kesadaran terhadap nilai-nilai yang berlaku

dan tingkat analisis ketiganya adalah asumsi-asumsi dasar, hubungan

dengan lingkungan, kenyataan dan kebenaran, aktivitas manusia serta

hubungan manusia. Selanjutnya, dikemukakan bahwa tingkat pertama

analisis budaya organisasi tersebut tampak dan sering diuraikan,

sedangkan pada tingkat analisis keduanya merupakan tingkat kesadaran

yang mendalam dan pada tingkat ketiga analisis diperkirakan

kebenarannya, tidak tampak dan berkembang cepat.

Berdasarkan pendapat John R.Schermerhorn, James G. Hunt,

Richard N. Osborn dan Edgar H. Schein tersebut dapat dikemukakan

bahwa tingkat analisis budaya organisasi adalah: Pada tingkat pertama

analisis budaya organisasi yang tampak sebagai hasil sejarah yang khas,

upacara-upacara yang dilakukan ataupun ritual atas keberhasilan

organisasi. Pada tingkat kedua analisis nilai-nilai yang dikontribusikan

atau nilai-nilai yang dianut antara lain prioritas layanan kepada konsumen,

sedangkan pada tingkat ketiga analisis asumsi-asumsi umum antara lain

keberhasilan pengelolaan koperasi terukur pada tingkat efesiensi dan

peningkatan kesejahteraan (peningkatan pendapatan dan kepuasan

pelayanan yang dirasakan oleh individu dalam organisasi).

4. Terbentuknya Budaya Organisasi


37

Proses Terbentuknya Budaya Organisasi dan Implikasinya pada

Kepuasan dan Kinerja Robbins (2003:721). Budaya organisasi sebagai

sebuah sistem pemaknaan bersama, dibentuk oleh anggota-anggotanya

yang membedakan sebuah organisasi dengan organisasi lainnya.

Menuntut Robbins karakteristik utama budaya organisasi, yakni: (1);

Innovasi dan pengambilan resiko, (2). perhatian pada detail, (3). orientasi

pada (hasil, manusia, dan tim), (4). aggresif, dan (7) stabilitas. Agar

budaya organisasi berpengaruh kepada perilaku karyawan maka

perusahaan harus membangun budaya korporat yang kuat. Budaya kuat

merupakan budaya yang nilai-nilai intinya dipegang secara intensif dan

dianut bersama-sama secara meluas, budaya kuat mempunyai dampak

yang lebih besar pada perilaku karyawan dan lebih langsung pengaruhnya

kepada tingkat keluarnya karyawan.

5. Sosialisasi Budaya Organisasi

Fred Luthans (1998:559) mengemukakan tahapan proses

sosialisasi budaya organisasi adalah:

“Selection of entry-level personnel, placement on the job, job


mastery, measuring and rewarding performance, adherence
to important values, reinforcing the stories and folkove,
recognition and promotion”.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat diuraikan proses sosialisasi budaya

organisasi kepada karyawan:


38

 Seleksi terhadap Calon Karyawan

 Penempatan Karyawan

 Pendalaman Bidang Pekerjaan

 Pengukuran Kinerja dan Pemberian Penghargaan

 Penanaman Kesetiaan kepada Nilai-nilai Utama Organisasi

 Memperluas Informasi/Cerita/Berita tentang Budaya Organisasi

 Pengakuan dan Promosi Karyawan

Proses sosialisasi budaya organisasi tersebut akan efektif jika

memperhatikan kefektifan sosialisasi persiapan, sosialisasi akomodasi

dan sosialisasi manajemen peran. Hal ini sebagaimana pendapat Gibson

et. al. (1990:563) yang menyatakan bahwa proses sosialisasi budaya

organisasi yang efektif harus mencakup “effective anticipatory

socialization, effective accomodation socialization, and effective role

management socialization”.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dikemukakan

bahwa tahap pertama dari sosialisasi persiapan harus efektif, yaitu

mencakup program perekrutan, seleksi dan penempatan. Artinya, calon

karyawan harus benar-benar memahami fakta keadaan organisasi yang

akan dimasukinya, diseleksi berdasarkan kualifikasi persyaratan yang

ditentukan dan penempatan kerja karyawan didasarkan pada bidang

keahlian dan kemampuannya. Tahap kedua adalah sosialisasi akomodasi

harus efektif yang mencakup merancang program orientasi kerja sebaik-


39

baiknya, menyusun program pelatihan kerja dan penyuluhan kerja sesuai

dengan kebutuhannya, pemberian informasi hasil kerja, memberikan

pekerjaan yang menantang sesuai dengan jabatannya dan melaksanakan

pengawasan kerja serta pembinaan karier secara kontinyu. Selanjutnya

tahap ketiga, sosialisasi manajemen peran yang efektif yaitu pimpinan dan

manajer harus berperan aktif melakukan pencegahan, pendektesian,

pemecahan dan penanggulangan jika konflik kerja terjadi, sekalipun

konflik tersebut bermanfaat positif jika bersifat fungsional bagi organisasi.

6. Fungsi Budaya Organisasi


Fungsi budaya organisasi dapat membantu mengatasi masalah

adaptasi eksternal dan integrasi koperasi. Hal ini sesuai dengan pendapat

Schermerhorn dan James (1991:344) bahwa:”The culture of an

organization can help it deal with problems of both external adaption and

internal integration”. Permasalahan yang berhubungan dengan adaptasi

eksternal dapat dilakukan melalui pengembangan pemahaman tentang

strategi dan misi koperasi, tujuan utama organisasi dan pengukuran

kinerja. Sedangkan permasalahan yang berhubungan dengan integrasi

internal dapat dilakukan antara lain komunikasi, criteria karyawan,

penentuan standar bagi insentif(rewards) dan sanksi (punishment) serta

melakukan pengawasan (pengendalian) internal organisasi.”

D. Kepuasan Kerja
40

Brayfield & Harold (1951) adalah orang pertama yang memberikan

pemahaman tentang konsep kepuasan kerja. Mereka beranggapan bahwa

kepuasan kerja dapat diduga dari sikap seseorang terhadap

pekerjaannya. Pada dasarnya, kepuasan kerja tergantung kepada apa

yang diinginkan seseorang dari pekerjaannya dan apa yang mereka

peroleh. Orang yang paling tidak merasa puas adalah mereka yang

mempunyai keinginan paling banyak, namun mendapat yang paling

sedikit. Sedangkan yang paling merasa puas adalah orang yang

menginginkan banyak dan mendapatkannya. Hal yang senada bahwa

kepuasan adalah fungsi dari tingkat keserasian antara apa yang

diharapkan dengan apa yang dapat diperoleh, atau antara kebutuhan dan

penghargaan (Locke, 1997) .

Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang,

yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima

pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima

(Robbins, 2003;78). Greenberg dan Baron(2003:148) mendeskripsikan

kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individual

terhdap pekerjaan mereka. Sementara itu Vecchio (1995:124)

menyatakan kepuasan kerja sebagai pemikiran, perasaan, dan

kecenderungan tindakan seseorang yang merupakan sikap seseorang

terhadap pekerjaan.

Pandangan senada dikemukan Gibson (2000: 16) yang menyatakan

kepuasan kerja sebagai sikap yang dimiliki pekerja tentang pekerjaan


41

mereka. Hal tersebut merupakan hasil dari pesepsi mereka tentang

pekerjaan., Kepuasan kerja merupakan respon affektif atau emosional

terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang (Kreitner dan Kinicki, 2001:

224). Definisi ini menunjukkan bahwa job satisfaction bukan merupakan

konsep tunggal. Seseorang dapat relatif puas dengan salah satu aspek

pekerjaan dan tidak puas dengan satu atau lebih aspek lainnya.

Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang menbuat

sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaannya daripada lainnya. Teori

ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap

kepuasan kerja. Diantara teori kepuasan kerja adalah Two –factor theory

dan value theory. Two faktor Theory merupakan teori kepuasan kerja yang

menganjurkan bahwa satisfaction dan dissatisfaction merupakan bagian

dari kelompok variable yang berbeda, yaitu motivators dan hygiene

factors. Pada teori ini dissatisfaction dihubungkan dengan kondisi di

sekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja, pengupahan dan keamanan,

kualitas pengawasan, dan hubungan dengan orang lain). Dan bukan

dengan pekerjaan itu sendiri.

Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang tekait dengan

pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat

pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan

untuk pengembangan diri. Sedangkan Value Theory mengatakan

kepuasan kerja terjadi pada tingkatan di mana hasil pekerjaan individu

diterima sesuai diharapkan. Kunci menuju kepuasan dalam pendekatan


42

ini adalah aspek pekerjaan yang dimiliki dan diinginkan seseorang.

Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan orang. Implikasi

teori ini mengundang perhatian pada aspek pekerjaan yang perlu diubah

untuk mendapatkan kepuasan kerja dan secara khusus teori ini

menganjurkan bahwa aspek tersebut tidak harus berlaku sama untuk

semua orang.

Hubungan antara kepuasan kerja dengan vaiabel lain dapat bersifat

positif atau negatif.. Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa manajer

dapat mempengaruhi dengan significant variabel lainnya dengan

meningkatkan kepuasan kerja (Kreitner dan Kinicki, 2001:226).

Kontroversi terbesar dalam penelitian organisasi adalah hubungan

kepuasan dan prestasi kerja atau kinerja. Pendapat lainnya, menyatakan

bahwa kepuasan kerja mempengaruhi prestasi kerja lebih tinggi,

sedangkan prestasi kerja mempengaruhi kepuasan. Korelasi antara

kepuasan kerja dengan variabel lainya dikemukakan oleh (Kreitner dan

kinicki, 2001:227) . Motivasi dan kepuasan kerja mempunyai hubungan

yang positif tetapi kekuatannya moderate,, demikian pula kepuasan kerja

dan kinerja sedangkan kommitmen dan kepuasan kerja mempunyai

hubungan positif dan angat kuat.

Sementara Gibson (2000:110) secara jelas menggambarkan adanya

hubungan timbal balik antara kinerja dan kepuasan.. Sementra itu Vecchio

(1995:135) cenderung mengikuti pandangan bahwa kinerja secara tidak

langsung menyebabkan kepuasan. Variable-variabel penentu kepuasan


43

kerja dapat dikelompokkan ke dalam tiga (3) kelompok, yaitu karakteristik

pekerjaan, karakteristik organisasi, dan karakteristik individu. Karakteristik

pekerjaan terdiri atas keanekaragaman keterampilan, identitas tugas,

keberartian tugas, otonomi, dan umpan balik pekerjaan.

Menurut Hackman dan Oldham (1976) karakteristik pekerjaan

mempengaruhi tingkat motivasi, kinerja karyawan, kepuasan kerja, tingkat

absensi, dan tingkat perputaran kerja. Karakteristik organisasi mencakup

skala usaha, kompleksitas, formalisasi, sentralisasi, jumlah anggota

kelompok, anggaran anggota kelompok, lamanya beroperasi, usia

kelompok kerja, dan kepemimpinan. Sedangkan karakteristik individu

terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, masa kerja, status

perkawinan, dan jumlah tanggungan. Dari ketiga kelompok itu yang paling

sering diamati adalah karakterirtik pekerjaan. Namun berbeda peneliti,

berbeda pula pendapatnya mengenai unsur-unsur karakteristik pekerjaan

yang mempengaruhi kepuasan kerja seperti role ambiguity, role conflict,

task identity, dan task significance; skill variety or complexity (Hackman

dan Oldham, 1975 ).

DeSantis dan Durst (1999) mengemukakan bahwa kepuasan kerja

dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam

4 kelompok, yaitu : monetary - non monetary, karakteristik pekerjaan,

karakteristik kerja, dan karakteristik individu. Karakteristik pekerjaan

berbeda dengan karakteristik kerja karena berkaitan dengan pekerjaan itu

sendiri di mana ia berkaitan dengan cara bagaimana karyawan menilai


44

tugas-tugas yang ada dalam pekerjaannya. Sedangkan karakteristik kerja

yang juga disebut dengan the nature of environment adalah faktor-faktor

yang diduga dapat membantu atau menghalangi karyawan dalam

pelaksanaan tugas-tugasnya.

Sejak itu, berbagai penelitian dilakukan, namun belum ada yang

mendukung. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan disebut faktor

intrinsik. Sedangkan faktor-faktor yang berakitan dengan lingkungan

pekerjaan disebut faktor ekstrinsik. Lebih lanjut, faktor intrinsik maupun

faktor ektrinsik merupakan penyebab kepuasan kerja maupun

ketidakpuasan kerja, namun yang paling kuat pengaruhnya adalah faktor

intrinsik.

Goodman (1974) menyimpulkan bahwa kepuasan kerja, khususnya

terhadap gaji yang diterima selain dipengaruhi oleh besarnya gaji yang

diterima, juga dipengaruhi oleh adanya keadilan dalam cara bagaimana

gaji ditentukan. Kedua konsep ini juga perlu digunakan untuk menentukan

kebijaksanaan lainnya di tempat kerja. Oleh karena itu, kedua konsep

keadilan ini juga dikenal sebagai keadilan organisasi atau keadilan di

tempat kerja (Greenberg, 1986), seperti keadilan dalam seleksi, penilaian

prestasi, pemberian fasilitas dan tunjangan, pemberian insentif, penentuan

peserta pelatihan, dan promosi.

Sikap kerja, termasuk kepuasan kerja, dapat mempengaruhi perilaku

karyawan. Namun, konsep-konsep dari sikap itu sendiri juga saling

berhubungan, antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi


45

(Vandenberg dan Caries, 1992), kepuasan kerja dengan turnover (Mobley,

1982) dan kepuasan kerja dengan keinginan untuk pindah kerja.

Selanjutnya Kreitner dan Kinicki (2003:273) mendiskusikan hubungannya

dengan motivasi, keterlibatan pekerjaan, komitmen organisasi, kepuasan

hidup, dan prestasi kerja.

Ada konsekwensi ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan

ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka.

Sebuah kerangka teoritis (Robbins dan Judge. 2007:111) kerangka keluar-

pengaruh-kesetiaan-pengabaian-sangat bermanfaat dalam memahami

konsukuensi dari ketidakpuasan. Respon-respons tersebut didefinisikan

sebagai berikut.

1. Keluar (Exit) adalah perilaku yang ditujukan untuk meninggalkan

organisasi termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri.

2. Aspirasi (Voice) adalah secara aktif dan konstruktif berusaha

memperbaiki kondisi termasuk menyarankan perbaikan,

mendiskusiskan masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk

aktivitas serikat kerja.

3. Kesetiaan (Loyalty) adalah secara pasif tapi optimistis menunggu

membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika

berhadapan dengan kecaman eksternal dan memercayai organisasi

dan manajemennya untuk melakukan hal yang besar.

4. Pengabaian (Neglect) adalah secara pasif membiarkan kondisi

menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan


46

yang terus-menerus kurangnya usaha, dan meningkatnya angka

kesalahan.

Dari tinjauan beberapa penelitian menunjukkan ditemukan bahwa

organisasi yang mempunyai karyawan yang lebih puas cenderung lebih

efektif bila dibandingkan organisasi yang menpunyai karyawan yang

kurang puas.

E. Komitmen Kerja
47

E. Komitmen Kerja
Komitmen menjadi sangat penting pada masa ini karena semakin

banyak perusahaan memindahkan proses pengambilan keputusan ke

level bawah dari hirarki organisasi. Hal ini menyebabkan proses

pengawasan performansi menjadi sulit dilakukan secara langsung. Kinerja

dapat dijamin dengan sistem insentif dan sanksi, tetapi tidak untuk jangka

panjang. Apa yang lebih baik daripada manajer yang memiliki pegawai

yang mempunyai kemauan dan kesadaran untuk melakukan yang terbaik

bagi perusahaan. Komitmen merupakan sebuah sikap yang berkembang

dari sebuah proses identifikasi diri yang terjadi ketika seseorang

mengalami atau berpikir tentang sesuatu. Komitmen mempunyai tiga

dimensi: komitmen terhadap pekerjaan, team atau rekan kerja, dan

organisasi secara keseluruhan (Fink, 1992:8)

Kinerja seorang pegawai dipengaruhi oleh komitmen mereka,

reward system, proses penilaian kinerja, praktek manajemen di organisasi

tersebut, dan budaya atau organizational culture. Praktek manajemen

yang bagus menghasilkan; reward system yang efektif dan komitmen

pegawai

1. Reward system yang efektif menghasilkan; komitmen pegawai

yang lebih baik dan kinerja yang lebih baik

2. Komitmen pegawai menghasilkan kinerja yang bahkan lebih

baik lagi
48

Hubungan ini bukan merupakan hubungan linear satu arah, melainkan

hubungan timbal balik. Kinerja pegawai merupakan hasil utama yang

dipengaruhi oleh beberapa faktor, dan hasilnya mempengaruhi beberapa

faktor tersebut.

1. Praktek Manajemen
Seiring organisasi bergerak dari struktur hirarki ke struktur jaringan,

kebutuhan akan komitmen pegawai terhadap pekerjaan, team, dan

organisasi semakin meningkat. Kontrol harus berubah, dari sistem dan

pengawasan, menjadi self and social control, dengan demikian komitmen

pegawai semakin dibutuhkan. Iklim organisasi yang kondusif mendukung

pertumbuhan komitmen pegawai

2. Reward Systems

Reward systems dimaksudkan untuk: menarik dan mempertahankan

pegawai, menjamin kinerja efektif minimal, mendorong kinerja lebih dari

efektif minimal, mendorong inisiatif dan kreativitas, dan meningkatkan

kolaborasi. Banyak macam reward system, beberapa nyata dan spesifik

seperti: upah dan tunjangan; beberapa spesifik namun intangible seperti

promosi, perubahan jabatan; beberapa bahkan bersifat psikologis dan

sosial seperti: apresiasi dari atasan atau dari rekan kerja; dan ada juga

yang berkembang dari kepuasan dan pengembangan diri. Reward dapat

dibagi dalam enam kelompok: (1) ketaatan terhadap peraturan organisasi,

(2) general system reward, (3) individual reward berdasarkan kinerja, (4)
49

kepuasan sosial dari hubungan interpersonal, (5) kepuasan intrinsik dari

pekerjaan atau kinerja, (6) internalisasi nilai dari tujuan organisasi.

Ketaatan terhadap organisasi hanya mampu menarik dan

mempertahankan pegawai, dan memperoleh kinerja efektif minimal.

General system reward mampu menjamin kinerja efektif minimal, tetapi

jarang sekali mampu memberikan kinerja yang lebih. Individual rewards

mampu memberikan kinerja yang lebih dari efektif minimal dan bahkan

sampai pada kreativitas dan inisiatif, tetapi tidak mampu mendorong

kolaborasi. Kepuasan sosial mampu memberikan paling tidak kinerja

efektif minimal. Pencapaian lebih jauh dapat terjadi pada organisasi

dengan standar kinerja tim yang tinggi. Kepuasan intrinsik dapat

memenuhi semua tujuan kecuali kolaborasi. Sedangkan internalisasi nilai

dapat memenuhi semua tujuan yang diinginkan;

1. Untuk menumbuhkan komitmen terhadap pekerjaan, general dan

individual reward diperlukan, sedangkan kepuasan intrinsik perlu

dan cukup untuk memenuhi tujuan ini.

2. Untuk menumbuhkan komitmen terhadap tim atau rekan kerja,

general reward dan kepuasan sosial perlu diberikan. Individual

reward tidak boleh terlalu ditekankan karena akan berpengaruh

buruk. Diperlukan penekanan pada ketergantungan aktivitas,

sebagai bagian dari kepuasan intrinsik.

3. Untuk menumbuhkan komitmen terhadap organisasi diperlukan

general, individual, social, dan intrinsic rewards. Internalisasi nilai-


50

nilai organisasi diperlukan dan biasanya cukup untuk memenuhi

tujuan ini.

3. Komitmen Pegawai

Proses penilaian kinerja yang mengacu pada kemampuan individu

pegawai, menekankan pada pengembangan, dan self-management,

menumbuhkan komitmen pada pekerjaan. Proses penilaian kinerja yang

mengacu pada kontribusi individu terhadap kerja tim, menumbuhkan

komitmen terhadap team atau rekan kerja. Proses penilaian kinerja yang

mengacu pada kontribusi individu terhadap pencapaian tujuan organisasi,

menumbuhkan komitmen pada organisas

. Komitmen organisasi dapat didefinisikan dengan dua cara yang

amat berbeda, yaitu; Menurut (Mowday et al., 1979:) komitmen adalah

kuatnya pengenalan dan keterlibatan seseorang dalam suatu

organisasi tertentu. Di lain pihak, Becker (1960:) menggambarkan

komitmen sebagai kecenderungan untuk terikat dalam garis kegiatan

konsisten karena menganggap adanya biaya pelaksanaan kegiatan

yang lain saat berhenti bekerja. Steers (1977) mengemukakan model

Antecedent and outcomes of organizational commitment bahwa

kharakteristik individu seperti pendidikan dan kharakteristik pekerjaan

seperti task identitiy, optional interaction, feedback, serta pengalaman

kerja juga perilaku kelompok mempengaruhi komitmen organisasi

yang akhirnya akan mempengaruhi kinerja.


51

Meyer dan Allen (1984:) menggunakan istilah affective

commitment untuk pendapat pertama dan continuance commitment

untuk pendapat yang kedua. Karyawan dengan affective commitment

tinggi tetap tinggal dengan organisasi karena mereka mengenal

organisasi dan terikat untuk tetap menjadi anggota organisasi guna

pencapaian tujuan organisasi. Mereka yang memiliki continuance

commitment yang tinggi tetap tinggal dalam organisasi karena mereka

butuh uang pensiun, fasilitas, dan senioritas atau mereka harus

membayar biaya karena pindah kerja, bukan karena adanya hubungan

affective yang menyenangkan dengan organisasi.

Lebih lanjut, Allen dan Meyer (1993) mendifinisikan komitmen

organisasi sebagai sebuah konsep yang memiliki tiga dimensi, yaitu

affective, normative, dan Continuance commitment.

Affective commitment adalah tingkat seberapa jauh seorang

karyawan secara emosi terikat, mengenal, dan terlibat dalam

organisasi. Continuance commitment adalah suatu penilaian terhadap

biaya yang terkait dengan meninggalkan organisasi. Normative

commitment merujuk kepada tingkat seberapa jauh seseorang secara

psychological terikat untuk menjadi karyawan dari sebuah organisasi

yang didasarkan kepada perasaan seperti kesetiaan, kehangatan,

pemilikan, kebanggaan, kesenangan, kebahagian, dll.

Secara khusus, karyawan yang memiliki affective commitment

yang tinggi tetap tinggal karena mereka menginginkannya. Mereka


52

yang memiliki normative atau moral commitment tetap tinggal karena

mereka merasa seharusnya melakukannya demikian, dan mereka

yang memiliki continuance commitment yang tinggi tetap tinggal

karena mereka merasa memerlukannya. Perbedaan motif tersebut

disebabkan oleh perbedaan faktor penentu dan mengakibatkan

perbedaan konsekuensi.

F. Motivasi Kerja

Untuk mempermudah pemahaman motivasi kerja, di bawah ini

dikemukakan pengertian motif, motivasi dan motivasi kerja. Sperling

(1987:183) mengemukakan bahwa;

"Motive is defined as a tendency to activity, started by a drive

and ended by an adjustment. The adjustment is said to satisfy

the motive".

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa motif

merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu

dipenuhi agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap

lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan

pegawai agar mampu mencapai tujuan dari motifnya. Motivasi dapat pula

dikatakan sebagai energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri. Hal

ini dikemukan oleh. Baron, (1983:123). Dalam hubungannya dengan

lingkungan kerja, Ernest (1985:268) mengemukakan bahwa

"Work motivation is defined as conditions which influence the


53

arousal, direction, and maintenance of behaviors relevant in

work settings".

Berbagai studi tentang motivasi kerja telah dilakukan dan

menghasilkan berbagai macam teori tentang motivasi kerja. Secara

garis besar ada empat pendekatan. Pendekatan pertama dimulai

sejak dikembangkan teori motivasi kerja pada tahun 1900 yang

dimulai oleh para tokoh scientific management seperti Frederick W.

Taylor, Frank Gilberth dan Henry L. Grano mengusulkan model wage

incentive untuk memotivasi para pekerja, kemudian human relation

movement, dan selanjutnya content models dari Maslow, Herzberg,

dan Alderfer (Luthans, 2005:279).

Secara garis besar teori motivasi kerja dapat dibedakan dalam

2 model, yaitu content models dan process models. Tekanan content

models terletak pada upaya-upaya untuk mengidentifikasikan tentang

apa yang memotivasi seseorang untuk bekerja. Process models lebih

menonjolkan bagaimana proses motivasi tersebut bisa terjad.

a). Teori Motivasi: Content Models

Para tokoh content models antara lain Abraham Maslow, Clayton

Aldefer, Frederick Herzberg, Douglas McGregor, dan McClelland

(Luthans, 1998: 170). Uraian berikut menjelaskan teori motivasi

Maslow dan Herzberg tersebut secara berikut ini.

a. Teori Kebutuhan Maslow (Maslow's Hierarchy Needs)


54

Maslow adalah peletak dasar teori motivasi klasik dan paling

terkenal diantara penganut content model lainnya. Menurut

Luthans (1998:170) "Abraham Maslow, in a classic paper,

outlined the elements of overall theory of motivation".

Menurutnya manusia memiliki lima kelompok kebutuhan yang

tersusun dalam suatu hirarki, dan berawal dari yang paling

mendasar;

1. Kebutuhan fisiologis (physiological needs) sandang,

pangan, papan, kesehatan, biologis, dan kebutuhan ragawi

lainnya.

2. Kebutuhan rasa aman (safety needs) antara lain

keselamatan, keamanan, kemerdekaan dan perlindungan

terhadap kerugian fisik dan emosional.

3. Kebutuhan sosial (love needs), love disini tidak dimaknai

cinta saja yang dikawatirkan ada pendistorsian arti,

sehingga level ini lebih tepat dimaknai "belongingness" atau

"social". Kebutuhan ini mencakup rasa kasih sayang,

merasa dimiliki, merasa diterima dengan baik, rasa

persahabatan.

4. Kebutuhan penghargaan (esteem needs), pengertian ini

mencakup faktor rasa hormat internal, misalnya: harga diri,

otonomi, dan prestasi; dan juga faktor rasa hormat


55

ekstemal, seperti: status sosial, pengakuan, dan perhatian.

5. Kebutuhan aktualisasi din (set actualization) adanya

dorongan untuk melaksanakan mengembangkan potensi

yang dimiliki secara maksimal.

b. Teori Dua Faktor Motivasi Herzberg (Herzberg's Two-


Factor Theory of Herzberg Motivation).

Hubungan seorang individu pada pekerjaannya memperlihatkan

suatu hubungan dasar dan sikapnya terhadap kerja sangat

menentukan sukses atau kegagalan individu yang

bersangkutan. Teori ini menawarkan 12 faktor yang

mempengaruhi sikap pekerjaan, jawaban responden ketika

mereka merasa senang dengan pekerjaannya secara signifikan

berbeda dengan jawaban yang diberikan ketika mereka merasa

tidak senang. Karakteristik-karakteristik tertentu cenderung

secara konsisten dikaitkan dengan kepuasan kerja yang disebut

dengan job-context factors dan lainnya pada ketidakpuasan

kerja yang disebut dengan satisfiers’ atau motivators.

Hygiene factors adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi,

apabila tidak bisa, menimbulkan ketidak-puasan pegawai.

Faktor-faktor tersebut meliputi faktor-faktor ektrinsik, yaitu: (1)

kebijaksanaan perusahaan dan administrasi, (2) supervisi, (3)

kondisi kerja, (4) hubungan antar pribadi, (5) gaji, dan (6)
56

keamanan kerja. Motivator factors adalah faktor-faktor yang

apabila dipenuhi menimbulkan kepuasan kerja dan motivasi.

Faktor-faktor intrinsik tersebut meliputi: (1) prestasi, (2)

pengakuan, (3) pertumbuhan, (4) kerja itu sendiri, (5) kemajuan,

dan (6) tanggung-jawab.

Perlu dicatat, bahwa menurut Herzberg kepuasan dan

ketidak-puasan bukanlah dua titik ekstrim dari satu kontinum,

tetapi merupakan dua hal yang independen lainnya.

b). Teori Motivasi Process Models

Uraian berikut akan menjelaskan teori motivasi dengan process

model secara singkat. Kelompok ini terdiri dari dua teori motivasi,

yakn: (a) teori ekspektansi dan (b) teori keadilan.

Teori Pengharapan (Expectancy Theory)

Ide dasar yang melandasi teori ekspektansi adalah keyakinan

bahwa motivasi ditentukan oleh hasil-hasil yang diharapkan

oleh seseorang untuk dicapai sebagai buah dari tindakan-

tindakan mereka.

Menurut Robbins (2002:173) "Essentially, expectancy


theory argues that the strength of a tendency to act in a certain
way depends on the strength of an expectation that the act will
be followed by a given outcome, and on the attractiveness of
57

that outcome to the individual".


Ada tiga unsur penting yang ikut menentukan pencapaian
hasil yang disarankan teori ini, yaitu: (1) effort-performance
linkage, (2) performance-reward linkage, dan (3) reward
personal goal linkage (attractiveness). Reward personal goal
linkage adalah derajad keyakinan individu tentang sejauhmana
ganjaran yang diterima mampu memenuhi tujuan atau
kebutuhan pribadi. Teori Vroom ini dibangun dengan dasar
beberapa sebagai berikut:
(1) Tingkah laku ditentukan oleh berbagai motivasi pada setiap

individu dalam lingkungan tertentu.

(2) Setiap orang membuat keputusan secara sadar tentang

tingkah lakunya.

(3) Masing-masing individu mempunyai kebutuhan, keinginan

dan tujuan yang berbeda-beda, dan karenanya masing-

masing orang memperoleh kepuasan yang berbeda

terhadap hasil/pengharapan tertentu.

(4) Masing-masing individu membuat keputusan dari berbagai

pilihan tingkah laku tergantung pada harapan yang

diinginkan, dalam arti sejauh mana suatu tingkah laku itu

diyakini akan memberikan hasil yang diharapkan.

Teori Keadilan (Equity Theory)

Menurut teori keadilan, individu-individu membandingkan

masukan dan keluaran pekerjaan mereka dengan masukan dan


58

keluaran orang lain dan kemudian berespon untuk

menghapuskan ketidak-adilan.

Menurut J Stacy Adam yang dikutip oleh Robbins (2002:


170):

"Equity theory says that employees perceive what


they get from a job situation (outcomes) in relation to
what into it (inputs), and them compare their input-
outcomes ratio with the input-outcomes ratio of
relevant others. If they perceive their ratio to be equal
to the relevant others with whom they compare
themselves, a state of equity is said to exist. They feel
their situation is fair, that justice prevails. If the ratio
are unequal, in equity exists, that is, the employee
tend to view themselves as underrewarded or
overrewarded. When inequities occur, employees will
attempt to correct them”.

Beberapa penelitian terdahulu mendukung teori tersebut.

Bila karyawan mempersepsikan suatu ketidak-adilan, maka

mereka meramalkan untuk mengambil salah satu dari enam

tindakan berikut ini:

(1). mengubah masukan mereka (misal, tidak mengeluarkan

banyak upaya),

(2). mengubah keluaran mereka (misal, pekerja yang dibayar

berdasarkan jumlah output yang dihasilkan, mereka akan

berusaha meningkatkannya),

(3). mendistorsikan persepsi mengenai diri (misal, "Saya

berpendapat bahwa saya berkeria pada level sedang,

tetapi sekarang saya menyadari bahwa saya bekerja

terlalu keras daripada semua karyawan di sini".)


59

(4). mendistorsikan persepsi mengenai orang lain.

(5). memilih acuan yang berlainan (misal, mungkin gaji saya

tidak sebaik gaji saudara saya, tetapi saya melakukan jauh

lebih baik dari pada ayah saya ketika la seusia saya).

(6). meninggalkan pekeriaan (berhenti bekerja)

G. Kinerja
Kinerja berasal dari kata Job Performance atau actual performance.

Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan

kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan

tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan

(ability) dan motivasi (motivation). Kajian empiris tentang kinerja secara

komprehensif dapat telusuri dari serentatan studi berikut. Kreitner dan

Kinicki (2003:302) mengatakan;

the person doing the assesment must: be in a position to


observe the behavior and performance of the individual of
interest; be knowlegeable about the dimensions or features
of performance; have an understanding of the scale format
and the instrument itself; and must be motivated to do a
conscientious job of rating.

Kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk

melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan

tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. (Rivai dan


60

Basri, 2005:15). Penilaian kinerja adalah tentang kinerja dan akuntabilitas.

Dalam dunia yang bersaing secara global, perusahaan-perusahaan

menurut kinerja yang tinggi. Seiring dengan itu, karyawan-karyawan

membutuhkan umpan balik atas kinerja mereka sebagai pedoman

perilakunya di masa depan. Penilaian kinerja pada prinsipnya mencakup

baik aspek kualitatif maupun kuantitatif dari pelaksanaan pekerjaan.

Penilaian kinerja merupakan salah satu fungsi mendasar personalia;

kadang-kadang disebut juga dengan telaah kinerja, penilaian karyawan,

evaluasi kinerja, evaluasi karyawan, atau penentuan peringkat personalia.

Semua istilah tersebut berkenaan dengan proses yang sama (Shimamora,

1999: 416). Cushway (1999: 94) melihat kinerja sebagai nilai bagaimana

seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah

ditentukan. Menurut Rivai (2004: 309) mengemukakan kinerja adalah

perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja

yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam

perusahaan”. Menurut Mathis,. dan Jackson (2002: 78) “menyatakan

bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak

dilakukan karyawan”.

1. Faktor Kinerja Individu


Menurut Donnelly et. al. (1994:16), kinerja individu dipengaruhi oleh

faktor-faktor; (a). Harapan imbalan, (b). Dorongan, (c). Kemampuan


61

kebutuhan dan sifat, (d). Persepsi terhadap tugas, (e). Imbalan ekternal

dan internal, (f). Persepsi terhadap imbalan dan kepuasan kerja. Hal ini

mereprsentasikan bahwa kinerja ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu :

(1). Kemampuan, (2). Keinginan dan (3). lingkungan. Penelitian lainnya

tentang kinerja SDM dilihat dari perspektif budaya organisasi dan

pemberdayaan karyawan menunjukkan bahwa budaya organisasi dan

pemberdayaan karyawan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

kinerja karyawan. Budaya perusahaan bukanlah sekedar membedakan

pola kerja organisasi akan tetapi budaya perusahaan juga memiliki suatu

nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi anggota organisasi dalam

menjalankan tugasnya sebagai karyawan. Bahkan budaya organisasi dan

pemberdayaan karyawan mengandung norma-norma yang diyakini

membentuk pengendalian prilaku yang terukur, sehingga proses

selanjutnya akan menuju pada penciptaan komitmen kebersamaan dan

kepuasan kerja dengan loyalitas sebagai sikap kerja.

Kajian empiris tentang kinerja secara komprehensif dapat telusuri

dari serentatan studi berikut. Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja

secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan

dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang

diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2004: 67). Kemudian menurut

Sulistiyani (2003: 223), kinerja seseorang merupakan kombinasi dari

kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil

kerjanya”. Hasibuan (2003:34) mengemukakan “kinerja adalah suatu hasil


62

kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang

dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman

dan kesungguhan serta waktu”. Cushway (1994:94) melihat kinerja

sebagai nilai bagaimana seseorang telah bekerja dibandingkan dengan

target yang telah ditentukan. Menurut Rivai dan Basri. (2005: 309)

mengemukakan kinerja adalah perilaku yang nyata yang ditampilkan

setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai

dengan perannya dalam perusahaan”. Menurut Mathis dan Jackson

(2002: 78) “menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang

dilakukan atau tidak dilakukan karyawan”.

Whitmore (1997: 104) “kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi

yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu

pameran umum keterampilan”. Kinerja merupakan suatu kondisi yang

harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk

mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan

visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui

dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Mink (1993:

76) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja

yang tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya: (a)

berorientasi pada prestasi, (b) memiliki percaya diri, (c) berpengendalian

diri, (d) kompetensi. Mathis. dan. Jackson (2002: 82) menyimpulkan

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja individu tenaga kerja,

yaitu: (1) kemampuan mereka, (2) motivasi, (3) dukungan yang diterima,
63

(4) keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan, dan (5) hubungan

mereka dengan organisasi. Berdasarkan pengertian tersebut, kinerja

merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja individu maupun

kelompok dalam suatu aktifitas tertentu yang diakibatkan oleh

kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar

serta keinginan untuk berprestasi. Perubahan kemampuan pengetahuan,

ketrampilan dan sikap yang positif akan berakibat terhadap kinerja (Fitz,

1998:188-189).

H. Penelitian Terdahulu

1. Lok dan Crawford (2004:76) meneliti tentang hubungan gaya

kepemimpinan dengan kepuasan kerja dan budaya organisasi, dengan

perbandingan sampel antara Hongkong dan Australia. Diteniukwi

adanya. hubungan yang signifikan antara gaya inovatif dan gaya

supportif dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Scdangkan

gaya birokrasi tidak ada hubungan yang signifikan. Holdneack

(1993:89) penelitiannya menganalisis hubungan antara gaya

kepemimpinan dengan karakteristik pekerjaan. Gaya supportif dan gaya

direktif mempunyai hubungan signifikan dengan karakteristik pekerjaan

seperti vada"'i ketrampilan, idcntitas tugas, arti tugas, otonomi, umpan

batik dari pekerjaan dan dari agen, dan memotivasi potensi mencetak

(prestasi).
64

2. Holdnack, et al (1993), meneliti gaya kepemimpinan pada rumah sakit

dan shift kerja. Penelitian menggunakan sampel 256 perawat,

analisis data yaitu analisis of variance (ANOVA) dengan

perbandingan tiga rumah sakit. Hasil penelitian adanya hubungan

signifikan antara gaya kepemimpinan dengan kepuasan kerja yaitu

kepuasan gaji, supervise, promosi, dan rekan kerja.


3. Ostroff (1992), penclitiannya menganalisis hubungan antara

kepuasan kerja, sikap pegawai (komitmen. penyesuaian dan

siresspsychologis) dan kinerjaorganisasi. Penelitian ini dilakukan

terhadap 13.808 pengajar di 298 sekolahmenengah di Negara

Amerika dan Kanada. flasil pmielitiwmya mendukung adanya

hubungan antara kepuasan kerja, sikap pekeija dengan kinerja

organisasi.
4. Alimuddin (2002:13) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh

gaya kepemimpinan (instruksi, konsultasi, partisipasi dan delegasi)

terhadap kinerja pegawai. Hipotesis yang diajukan ialah: ada

pengaruli gaya kepemimpinan (instruksi, konsultasi, partisipasi, dan

delegasi) terhadap kinerja pegawai; Hasil analisis data menunjukkan:

terdapat pengaruh gaya kepemimpinan (instruksi, konsultasi, pailisipasi

dan delegasi) terhadap kinerja pegawai.


5. Abdul Kadir (2005:59) mengadakan penelitian pada 34 distributor obat

yang ada di Malang. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 155

responder melalui teknik purposive sampling. Variabel yang digunakan

adalah keadilan organisasi, budaya organisasi, kepuasan gaji,


65

komitmen organisasi sebagai variabel bebas dan kinerja pegawai

sebagai variabel terikat. Hasil yang diperoleh organisasi, budaya

organisasi, kepuasan gaji, komitmen organisasi mempunyai pengaruh

positif terhadap kinerja pegawai.


6. Menon (2002:40) meneliti tentang persepsi dari para calon guru dan

guru aktif menyangkut efektivitas kepemimpinan sekolah dasar di

Cyprus, yang berisl perbedaan persepsi dari para calon guru dan guru

aktif tentang kepemimpinan Kepala Sekolah.

Scarnati (2002:128) penelitian tentang pengamatan bawahan atau

pegawai terhadap segala sesuatu yang dilaikukan dan dilakukan

pemimpin pengaruhi pada organisasi, serta memberikan panduan,

teknik, dan contoh tentang praktek terbaik yang berhasil membentuk

persepsi kepemimpinan.

Menon (1987:59) menemukankan teori-teori tentang kepemimpinan

karismatik dalam organisasi telah banyak menulis dan meneliti tentang

kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan adalah proses untuk

mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa

yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif,

serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kelompok untuk

mencapai tujuan bersama.

Anda mungkin juga menyukai