Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan adanya distribusi


yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh.
Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya,
jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya (Latief dkk,
2009).
Gangguan cairan dan elektrolit adalah hal yang sangat sering terjadi
dalam masa perioperatif maupun intraoperatif. Gangguan yang besar terhadap
keseimbangan cairan dan elektrolit dapat secara cepat menimbulkan perubahan
terhadap fungsi kardiovaskular, neurologis, dan neuromuskular (Utama, 2008).
Hampir seluruh pasien yang menjalani prosedur pembedahan
memerlukan akses vena untuk administrasi cairan intravena dan obat-obatan,
serta komponen darah pada beberapa pasien. Seorang ahli anestesi seharusnya
mampu untuk menilai volume intravaskuler dengan ketelitian yang baik untuk
mengkoreksi defisit cairan dan elektrolit dan mengganti kehilangan yang terus
berlangsung. Kesalahan dalam penggantian cairan, elektrolit, maupun transfusi
dapat berakibat fatal yaitu morbiditas atau kematian (Butterworth et al, 2013).
Oleh karena itu, diharapkan laporan kasus ini dapat memberikan informasi
mengenai fisiologi normal cairan, gangguan cairan dan terapi cairannya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cairan Tubuh


Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk
multiseluler seperti manusia atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis
tertentu (Utama, 2008).

2.2 Distribusi Cairan Tubuh


Air merupakan komponen utama dari seluruh cairan yang berada dalam
tubuh. Total air dalam tubuh merepresentasikan kurang-lebih 60% dari berat
badan pada usia dewasa secara umum. Persentase dari air dalam tubuh
sangat bervariasi berdasarkan umur, jenis kelamin, dan adipositas karena
otot mengandung 75% air, sebaliknya jaringan adiposa hanya
mengangandung 10% air. Persentase kandungan air pada fetus sangat tinggi
pada masa awal, namun menurun secara progresif selama masa gestasi
akhir dan 3 sampai 5 tahun pertama kehidupan.
Air dalam tubuh dapat dibagi menjadi dua komponen dasar, yaitu
intraselular dan ekstraselular. Kompartemen tersebut dipisahkan oleh
membran sel yang permiabel terhadap air. Volume cairan ekstraselular lebih
tinggi pada individu-individu muda dan juga pada pria dibandingkan pada
individu dengan usia lanjut dan wanita. Di sisi lain, volume darah berkisar
antara 60 sampai 65 mL/kgBB, dan didistribusikan 15% pada sistem arteri
dan 85% pada sistem vena.
Komponen utama dari cairan ektraselular adalah plasma (30 sampai 35
mL/kgBB) dan cairan interstitial (120 sampai 165 mL/kgBB) sedangkan
komponen lainnya terdiri dari cairan pleura, cairan peritonem, aqueous
humor, keringat, urin, cariar limfe, serta cairan serebrospinal (Latief dkk,
2009; Miller, 2009).

2
Skema 2.1 Distribusi cairan tubuh (Tuck et al, 2011)

2.2.2 Komponen cairan tubuh


Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit
dan non elektrolit.

 Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan
menghantarkan arus listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif
(kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan anion dalam
larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen) (Utama,
2008).
 Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah Natrium (Na+),
sedangkan kation utama dalam cairan intraselular adalah Kalium
(K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh yang
memompa keluar Natrium dan Kalium ini.

 Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler
dan paling berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan.
Kadar natrium plasma: 138-145mEq/liter. Kadar natrium dalam
tubuh 58,5 mEq/kgBB dimana 70% atau 40,5 mEq/kgBB dapat

3
berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180 mEq/liter,
faeces 35 mEq/liter dan keringat 58 mEq/liter. Kebutuhan setiap
hari = 100 mEq (6-15 gram NaCl).
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler
dan interstitial maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh
banyak mengeluarkan natrium (muntah,diare) sedangkan
pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi
disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam
plasma akan diganti dengan air dan natrium dari cairan interstitial.
Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari
dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat
dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi (Utama, 2008).
 Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan
ekstraseluler berperan penting di dalam terapi gangguan
keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh
sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah
sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah kalium yang terikat
dengan protein didalam sel.
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap
hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan
dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine
60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter
(Utama, 2008).

 Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama
susu, 80-90% dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat
urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake, besarnya
tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat
dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium,
dan hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan didalam gigi dan
1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel
(Utama, 2008).

4
Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan.
Kebutuhan untuk pertumbuhan + 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat
urine dan faeces.

 Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan
bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah
ion fosfat (PO43-).

Tabel 2.1 Kandungan Elektrolit dalam Cairan Tubuh (Latief dkk, 2009)
(mEg/l) Plasma Cairan Cairan
(mEq/L) Interstitial Intracellular
(mEq/L) (mEq/L)
Kation Na 142 145 15
K 4 4 150
Ca 5 2,5 2
Mg 3 1,5 27
Total 154 152 194
Anion Cl 103 114 1
HCO3 27 30 10
HPO4 2 2 100
SO4 1 1 20
Asam Orgaik 5 5 0
Protein 16 0 63
Total 154 152 194

 Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam
cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

2.2.3 Asupan dan ekskresi cairan dan elektrolit fisiologis


Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat
berubah oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau
pun oleh adanya cedera pada paru-paru, kulit atau traktus
gastrointestinal.

5
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata
sebanyak 2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan
padat dengan kehilangan cairan rata rata 250 ml dari feses, 800-1500 ml
dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari
(insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.

2.2.4 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan


Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan
hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-
faktor preoperatif, intraoperatif dan postoperatif (Wrobel and Werth,
2010).
A. Faktor-faktor preoperatif
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat
diperburuk oleh stres akibat operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker
intravena dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin
yang tidak normal karena efek diuresis osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi
eksresi air dan elektrolit.
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan
air dan elekrolit dari traktus gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat
kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat
meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan
abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari
anestesi (Wrobel and Werth, 2010).

6
B. Faktor-faktor intraoperatif
1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan
hipovolemia preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi
seperti takikardia dan vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal.
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya
kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat
operasi).
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada
luka operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
(Wrobel and Werth, 2010).

C. Faktor-faktor postoperatif
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi.
2. Peningkatan katabolisme jaringan.
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif.
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif (Wrobel and Werth, 2010).

2.3 Terapi Cairan


Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan
tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit)
atau koloid (plasma ekspander) secara intravena.

2.3.1 Tujuan Terapi Cairan


Terapi cairan berfungsi untuk tujuan:
1. Mengganti kekurangan air dan elektrolit.
2. Untuk mengatasi syok.
3. Untuk mengatasi kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan. Terapi cairan preoperatif meliputi tindakan terapi yang
dilakukan pada masa pra-bedah, selama pembedahan dan pasca
bedah. Pada penderita yang menjalani operasi, baik karena
penyakitnya itu sendiri atau karena adanya trauma pembedahan,
terjadi perubahan-perubahan fisiologi (Muhiman dkk, 2004).

7
2.3.2 Tatalaksana terapi cairan
 Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan
kehilangan akut cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan
intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada
keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan
dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau
Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok
hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit (Dobson, 1994).

 Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan
tubuh dan nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35
ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan K+ = 1
mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang
hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat
(lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible
water losses. Digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu: (Dobson,
1994).

Table 2.3 Rumus Holiday Segar


Berat Badan (kg) mL/kgBB/jam mL/kgBB/hari
10kg pertama 4 100
10kg kedua 2 50
kg berikutnya 1 20

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan


kandungan karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat
saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung karbohidrat adalah larutan
KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's dextrose, dll. Sedangkan
larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose
5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi
ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu
diperhatikan karena seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau
kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya.

8
Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium
sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian.

 Terapi Cairan Intravena


Infus cairan intravena (intravenous fluids drip) adalah pemberian
sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam
pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan
atau zat-zat makanan dari tubuh (Handaya, 2010).
Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan
pemberian cairan infus adalah:
1. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah).
2. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah).
3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur
(paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).
4. Kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi (karena Heat stroke,
demam dan diare).
5. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan
cairan tubuh dan komponen darah) (Handaya, 2010).

2.3.3 Jenis-Jenis Cairan


1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler
(CES = ECF). Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4
kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan
koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh
cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling
banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis
dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat
yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme
di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering
digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat

9
mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic
acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat
peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk
resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam
jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga
timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya
oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang
mendapat infus 1 liter NaCl 0,9. Selain itu, pemberian cairan kristaloid
berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra kranial (Butterworth et al, 2013; Wrobel and Werth, 2010;
Gwinnutt, 2011).
a. Cairan hipotonik
Cairan hipotonik osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan
serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum),
sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum.
Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan
sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke
osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju.
Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada
pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik.
Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan
dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps
kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 0,45% dan Dekstrosa 2,5%
(Utama, 2008; Handaya, 2010).
b. Cairan Isotonik
Cairan Isotonik osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya
mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus
berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang
mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan

10
darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan
cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan
hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal
saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) (Utama, 2008; Handaya,
2010).
c. Cairan hipertonik
Cairan hipertonik osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan
serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke
dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak).
Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya
Dextrose 5% + NaCl 0,45% hipertonik, Dextrose 5% + Ringer-Lactate,
Dextrose 5% + NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin (Utama,
2008; Handaya, 2010).

Tabel 2.4 Komposisi cairan kristaloid (Butterworth et al, 2013)

2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan

11
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh
karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat
terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita
dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar) (Utama, 2008; Wrobel and Werth, 2010; Gwinnutt,
2011).
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta
60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus
lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%)
juga mengandung alfa globulin dan beta globulin (Utama, 2008;
Wrobel and Werth, 2010; Gwinnutt, 2011).
b. Koloid sintetis
1. Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000
dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000
diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang
tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan
volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran
40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat
sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas)
darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang
dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor
VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu
cross match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan
gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang
dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit)
terlebih dahulu (Utama, 2008; Wrobel and Werth, 2010; Gwinnutt,
2011).
2. Hydroxyethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 –
1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan

12
tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada
orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari
dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar
serum amilase (walau jarang). Low molecullar weight
Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang
diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya
sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch
dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat
(Utama, 2008; Wrobel and Werth, 2010; Gwinnutt, 2011).
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan
berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen
binatang (Utama, 2008; Wrobel and Werth, 2010; Gwinnutt, 2011).
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
1. modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell).
2. Urea linked gelatin.
3. Oxypoly gelatin

Tabel 2.5 Keuntungan dan kerugian cairan kristaloid dan koloid (Utama, 2008)
Nama Kristaloid Koloid
Keuntungan  Tidak mahal  Mempertahankan cairan
 Aliran urin lancar intravaskular lebih baik (1/3
(meningkatkan volume cairan bertahan selama 24
intravaskular) jam)
 Pilihan cairan pertama  Meningkatkan tekanan
untuk resusitasi onkotik plasma
perdarahan dan trauma  Membutuhkan volume yang
lebih sedikit
 Mengurangi kejadian edema
perifer
 Dapat menurunkan tekanan
intrakranial

13
Kerugian  Mengencerkan tekanan  Mahal
osmotik koloid  Menginduksi koagulopati
 Menginduksi edema (dextran & helastarch)
perifer  Jika terdapat kerusakan
 Insidensi terjadinya kapiler, dapat berpotensi
edema pulmonal lebih terjadi perpindahan cairan ke
tinggi interstitial
 Membutuhkan volume yg  Mengencerkan faktor
lebih besar pembekuan dan trombosit
 Efeknya sementara  Berpotensi menghambat
tubulus renalis dan sel
retikuloendotelial di hepar
 Kemungkinan adanya reaksi
anafilaksis (dextran)

2.3.4 Terapi Cairan Perioperatif


Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi
pegangan dalam pemberian cairan perioperatif, yaitu
 Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 30-35
ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan K+ = 1
mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang
hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat
kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water
losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih
banyak dibandingkan elektrolit) (Utama, 2008).
 Defisit cairan dan elektrolit pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama
pada penderita bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan
abnormal yang seringkali menyertai penyakit bedahnya (perdarahan,
muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita
dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat
hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan
cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum dilakukan pembedahan
(Utama, 2008).

14
Tabel 2.6 Pengganti defisit prabedah (Utama, 2008)
Usia Jumlah Kebutuhan
(ml/Kg/Jam)

Dewasa 1,5 – 2
Anak 2–4
Bayi 4–6
Neonatus 3

2.3.5 Terapi Cairan Intraoperatif


a. Perdarahan dan penggantian kehilangan darah
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari:
1. Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap
darah (suction pump).
2. Kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan. Kasa
yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung ± 10 ml darah,
sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap
darah ± 10-100 ml.
Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya
bisa ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak)
dan keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan
pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang (serial).
Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio
plasma terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan
penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan
pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup,
meja operasi dan lantai kamar bedah (Butterworth et al, 2013).
Kehilangan darah idealnya dapat digantikan dengan cairan
kristaloid atau koloid untuk mempertahankan normovolemia, hingga
bahaya dari anemia melebihi risiko transfusi. Pada kondisi selain trauma
masif, Ringer Laktat atau Plasmalyte dapat diberikan 3-4 kali dari volume
darah yang hilang, atau cairan koloid dengan rasio 1:1, hingga ambang
batas untuk dilakukannya transfusi tercapai. Batas pasti untuk melakukan
transfusi bervariasi tergantung kondisi medis pasien dan prosedur
operasi. Volume kehilangan darah yang diperlukan agar hematokrit
mencapai 30% dapat dihitung sebagai berikut: (Butterworth et al, 2013)

15
1. Hitung EBV (Estimate Blood Volume)
- neonatus prematur : 95 mL/kgBB
- neonatus aterm : 85 mL/kgBB
- bayi : 80 mL/kgBB
- dewasa pria : 75 mL/kgBB
- dewasa wanita : 65 mL/kgBB
2. Hitung perkiraan RBCV (red blood cell volume) dari hematokrit
preoperatif
RBCVpreop = EBV x Hctpreop
3. Hitung perkiraan RBCV saat hematokrit menjadi 30%
RBCV30% = EBV x 30%
4. Hitung RBCV lost saat hematokrit menjadi 30%
RBCVlost = RBCVpreop – RBCV30%
5. ABL (Allowable Blood Loss) = 3 x RBCVlost
Pertimbangan untuk memulai transfusi dilakukan saat volume
kehilangan darah melebihi dari nilai ABL ini. Transfusi satu unit RBC akan
meningkatkan hemoglobin 1 g/dL atau hematokrit 2-3% pada dewasa.
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang
lebih menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya
evaporasi dan translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat
penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan
luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan
atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi
secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.
Penggantian cairan tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu:
(Butterworth et al, 2013).
 0-2 ml/kg untuk bedah dengan trauma jaringan minimal, misal:
herniorrhaphy
 2-4 ml/kg untuk bedah dengan trauma jaringan sedang, misal:
cholecystectomy
 4-8 ml/kg untuk bedah dengan trauma jaringan berat, misal:
bowel resection

16
2.3.6 Terapi Cairan Postoperatif
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
a. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan
kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam
keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama
pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya
pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme
dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan
aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air dan
natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu
pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan
trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150
mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan
dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin
harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca
bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam
isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat
minum dan makan (Utama, 2008).
b. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
 Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15%
setiap kenaikan 1°C suhu tubuh.
 Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung
atau muntah.
 Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui
trakeostomi dan humidifikasi (Utama, 2008).
c. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang
dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk
memperbaiki daya angkut oksigen (Utama, 2008).
d. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan
terapi cairan tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan
secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis,
tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas,
suhu tubuh dan warna kulit (Utama, 2008).

17

Anda mungkin juga menyukai

  • Hipertensi JNC 8
    Hipertensi JNC 8
    Dokumen6 halaman
    Hipertensi JNC 8
    Berthy Al Mungiza
    Belum ada peringkat
  • RANGKUMAN OSCE by Ichun
    RANGKUMAN OSCE by Ichun
    Dokumen45 halaman
    RANGKUMAN OSCE by Ichun
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • Dermatitis
    Dermatitis
    Dokumen49 halaman
    Dermatitis
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • BAB I Dan II
    BAB I Dan II
    Dokumen17 halaman
    BAB I Dan II
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • Case 2 HF
    Case 2 HF
    Dokumen15 halaman
    Case 2 HF
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • BOF 3 Posisi
    BOF 3 Posisi
    Dokumen1 halaman
    BOF 3 Posisi
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • MR Paru
    MR Paru
    Dokumen18 halaman
    MR Paru
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • Presetasi Rehab
    Presetasi Rehab
    Dokumen27 halaman
    Presetasi Rehab
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • RM Summary 1
    RM Summary 1
    Dokumen4 halaman
    RM Summary 1
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen6 halaman
    Bab 1
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • MR Paru
    MR Paru
    Dokumen18 halaman
    MR Paru
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • JUDUL
    JUDUL
    Dokumen2 halaman
    JUDUL
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • Stemi Novluk 2
    Stemi Novluk 2
    Dokumen11 halaman
    Stemi Novluk 2
    Nova Anita
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Nova Anita
    Belum ada peringkat