PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Skema 2.1 Distribusi cairan tubuh (Tuck et al, 2011)
Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan
menghantarkan arus listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif
(kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan anion dalam
larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen) (Utama,
2008).
Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah Natrium (Na+),
sedangkan kation utama dalam cairan intraselular adalah Kalium
(K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh yang
memompa keluar Natrium dan Kalium ini.
Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler
dan paling berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan.
Kadar natrium plasma: 138-145mEq/liter. Kadar natrium dalam
tubuh 58,5 mEq/kgBB dimana 70% atau 40,5 mEq/kgBB dapat
3
berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180 mEq/liter,
faeces 35 mEq/liter dan keringat 58 mEq/liter. Kebutuhan setiap
hari = 100 mEq (6-15 gram NaCl).
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler
dan interstitial maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh
banyak mengeluarkan natrium (muntah,diare) sedangkan
pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi
disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam
plasma akan diganti dengan air dan natrium dari cairan interstitial.
Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari
dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat
dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi (Utama, 2008).
Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan
ekstraseluler berperan penting di dalam terapi gangguan
keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh
sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah
sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah kalium yang terikat
dengan protein didalam sel.
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap
hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan
dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine
60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter
(Utama, 2008).
Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama
susu, 80-90% dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat
urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake, besarnya
tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat
dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium,
dan hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan didalam gigi dan
1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel
(Utama, 2008).
4
Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan.
Kebutuhan untuk pertumbuhan + 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat
urine dan faeces.
Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan
bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah
ion fosfat (PO43-).
Tabel 2.1 Kandungan Elektrolit dalam Cairan Tubuh (Latief dkk, 2009)
(mEg/l) Plasma Cairan Cairan
(mEq/L) Interstitial Intracellular
(mEq/L) (mEq/L)
Kation Na 142 145 15
K 4 4 150
Ca 5 2,5 2
Mg 3 1,5 27
Total 154 152 194
Anion Cl 103 114 1
HCO3 27 30 10
HPO4 2 2 100
SO4 1 1 20
Asam Orgaik 5 5 0
Protein 16 0 63
Total 154 152 194
Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam
cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.
5
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata
sebanyak 2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan
padat dengan kehilangan cairan rata rata 250 ml dari feses, 800-1500 ml
dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari
(insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.
6
B. Faktor-faktor intraoperatif
1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan
hipovolemia preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi
seperti takikardia dan vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal.
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya
kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat
operasi).
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada
luka operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
(Wrobel and Werth, 2010).
C. Faktor-faktor postoperatif
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi.
2. Peningkatan katabolisme jaringan.
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif.
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif (Wrobel and Werth, 2010).
7
2.3.2 Tatalaksana terapi cairan
Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan
kehilangan akut cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan
intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada
keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan
dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau
Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok
hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit (Dobson, 1994).
Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan
tubuh dan nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35
ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan K+ = 1
mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang
hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat
(lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible
water losses. Digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu: (Dobson,
1994).
8
Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium
sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian.
9
mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic
acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat
peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk
resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam
jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga
timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya
oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang
mendapat infus 1 liter NaCl 0,9. Selain itu, pemberian cairan kristaloid
berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra kranial (Butterworth et al, 2013; Wrobel and Werth, 2010;
Gwinnutt, 2011).
a. Cairan hipotonik
Cairan hipotonik osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan
serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum),
sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum.
Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan
sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke
osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju.
Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada
pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik.
Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan
dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps
kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 0,45% dan Dekstrosa 2,5%
(Utama, 2008; Handaya, 2010).
b. Cairan Isotonik
Cairan Isotonik osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya
mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus
berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang
mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan
10
darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan
cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan
hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal
saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) (Utama, 2008; Handaya,
2010).
c. Cairan hipertonik
Cairan hipertonik osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan
serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke
dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak).
Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya
Dextrose 5% + NaCl 0,45% hipertonik, Dextrose 5% + Ringer-Lactate,
Dextrose 5% + NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin (Utama,
2008; Handaya, 2010).
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
11
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh
karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat
terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita
dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar) (Utama, 2008; Wrobel and Werth, 2010; Gwinnutt,
2011).
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta
60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus
lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%)
juga mengandung alfa globulin dan beta globulin (Utama, 2008;
Wrobel and Werth, 2010; Gwinnutt, 2011).
b. Koloid sintetis
1. Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000
dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000
diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang
tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan
volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran
40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat
sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas)
darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang
dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor
VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu
cross match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan
gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang
dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit)
terlebih dahulu (Utama, 2008; Wrobel and Werth, 2010; Gwinnutt,
2011).
2. Hydroxyethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 –
1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan
12
tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada
orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari
dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar
serum amilase (walau jarang). Low molecullar weight
Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang
diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya
sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch
dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat
(Utama, 2008; Wrobel and Werth, 2010; Gwinnutt, 2011).
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan
berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen
binatang (Utama, 2008; Wrobel and Werth, 2010; Gwinnutt, 2011).
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
1. modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell).
2. Urea linked gelatin.
3. Oxypoly gelatin
Tabel 2.5 Keuntungan dan kerugian cairan kristaloid dan koloid (Utama, 2008)
Nama Kristaloid Koloid
Keuntungan Tidak mahal Mempertahankan cairan
Aliran urin lancar intravaskular lebih baik (1/3
(meningkatkan volume cairan bertahan selama 24
intravaskular) jam)
Pilihan cairan pertama Meningkatkan tekanan
untuk resusitasi onkotik plasma
perdarahan dan trauma Membutuhkan volume yang
lebih sedikit
Mengurangi kejadian edema
perifer
Dapat menurunkan tekanan
intrakranial
13
Kerugian Mengencerkan tekanan Mahal
osmotik koloid Menginduksi koagulopati
Menginduksi edema (dextran & helastarch)
perifer Jika terdapat kerusakan
Insidensi terjadinya kapiler, dapat berpotensi
edema pulmonal lebih terjadi perpindahan cairan ke
tinggi interstitial
Membutuhkan volume yg Mengencerkan faktor
lebih besar pembekuan dan trombosit
Efeknya sementara Berpotensi menghambat
tubulus renalis dan sel
retikuloendotelial di hepar
Kemungkinan adanya reaksi
anafilaksis (dextran)
14
Tabel 2.6 Pengganti defisit prabedah (Utama, 2008)
Usia Jumlah Kebutuhan
(ml/Kg/Jam)
Dewasa 1,5 – 2
Anak 2–4
Bayi 4–6
Neonatus 3
15
1. Hitung EBV (Estimate Blood Volume)
- neonatus prematur : 95 mL/kgBB
- neonatus aterm : 85 mL/kgBB
- bayi : 80 mL/kgBB
- dewasa pria : 75 mL/kgBB
- dewasa wanita : 65 mL/kgBB
2. Hitung perkiraan RBCV (red blood cell volume) dari hematokrit
preoperatif
RBCVpreop = EBV x Hctpreop
3. Hitung perkiraan RBCV saat hematokrit menjadi 30%
RBCV30% = EBV x 30%
4. Hitung RBCV lost saat hematokrit menjadi 30%
RBCVlost = RBCVpreop – RBCV30%
5. ABL (Allowable Blood Loss) = 3 x RBCVlost
Pertimbangan untuk memulai transfusi dilakukan saat volume
kehilangan darah melebihi dari nilai ABL ini. Transfusi satu unit RBC akan
meningkatkan hemoglobin 1 g/dL atau hematokrit 2-3% pada dewasa.
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang
lebih menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya
evaporasi dan translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat
penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan
luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan
atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi
secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.
Penggantian cairan tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu:
(Butterworth et al, 2013).
0-2 ml/kg untuk bedah dengan trauma jaringan minimal, misal:
herniorrhaphy
2-4 ml/kg untuk bedah dengan trauma jaringan sedang, misal:
cholecystectomy
4-8 ml/kg untuk bedah dengan trauma jaringan berat, misal:
bowel resection
16
2.3.6 Terapi Cairan Postoperatif
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
a. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan
kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam
keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama
pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya
pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme
dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan
aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air dan
natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu
pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan
trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150
mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan
dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin
harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca
bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam
isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat
minum dan makan (Utama, 2008).
b. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15%
setiap kenaikan 1°C suhu tubuh.
Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung
atau muntah.
Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui
trakeostomi dan humidifikasi (Utama, 2008).
c. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang
dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk
memperbaiki daya angkut oksigen (Utama, 2008).
d. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan
terapi cairan tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan
secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis,
tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas,
suhu tubuh dan warna kulit (Utama, 2008).
17