Resistensi parasit terhadap obat adalah kemampuan parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gcjala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standar maupun dosis yang lebih tinggi, yang masih dapat ditolerir oleh pemakai obat. Selama ini masalah resistensi pada umumnya dihubungkan dengan Plasmodium falciparum, sedangkan terhadap Plasmodium viva juga sudah mulai banyak dibicarakan. Di Indonesia, semua propinsi telah melaporkan adanya kasus resisten El falcipanlnz terhadap obat anti malaria klorokuin. Tes resistensi dapat dilakukan dengan cara in-vivo dan in-vitro (mikro atau makro tes). Kelebihan cara in-vivo adalah dapat menentukan tingkat atau derajat resistensi, sedangkan cara in-vitro dapat dilakukan terhadap beberapa jenis obat dalam saat yang bersamaan. Obat antimalaria yang telah diteliti adalah : 1. Klorokuin Dari hasil penelitian resistensi in-vitro P. Falciparum terhadap klorokuin ditemukan di Jawa Tengah, Nusa Tenggara Tirnur, Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Daerah Khusus Ibukota, dan Kalimantan Timur. Dan dari penelitian resistensi in-vivo, ditemukan di lrian Jaya, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Tengah. 2. Sulfadoksin-Pirimetamin Dari penelitian resistensi in-vitro ditemukan di Lampung (Lampung Tengah dan Lampung Selatan), Jawa Tengah (Batang), Sumatera Utara (P.Nias), Aceh (Sabang), Jawa Tengah (Jepara.), Sulawesi Selatan (Mamuju), Jawa Tengah (Pekandangan) dan Kaliantan Timur (Balikpapan). Dan dari penelitian resistensi in-vivo, ditemukan di Jawa Tengah (Batang) dan Sulawesi Selatan (Mamuju). 3. Amodiakuin Dari hasil penelitian resistensi in-vitro P. Falciparum terhadap amodiakuin ditemukan di Kalimatan Timur (Balikpapan). Dan dari hasil penelitian resistensi in-vivo, ditemukan di Jakarta (Kep. Seribu). 4. Meflokuin Dari hasil penelitian resistensi in-vitro P. Falciparum terhadap meflokuin ditemukan di Jawa Tengah, Irian Jaya, dan Kalimantan Timur. Dan dari penelitian resistensi in-vivo, tidak ditemukan adanya kasus resisten di Kalimantan Timur dan Aceh. 5. Halofantrin Dari hasil penelitian resistensi in-vivo P. Falciparum terhadap halofantrin ditemukan di Kalimatan Timur (Balikpapan). 3.2. Mekanisme Resistensi Obat Antimalaria 1. Klorokuin (Chloroquine / CQ) Dikatakan resistensi parasit terhadap CQ pada manusia, disebabkan adanya penurunan akumulasi obat pada pencernaan parasit di vakuola, terutama karena pH di kompartemennya berubah menjadi asam. Resistensi P. falciparum terhadap CQ terjadi secara spontan. Resistensi P. falciparum terhadap CQ bersifat multigenik karena mutasi terjadi pada gen yang mengkode plasmodium falciparum chloroquine resistant transporter (pfcrt) transporter pertama dan plasmodium falciparum multidrug resistant (pfmdr-1) transporter kedua. Sejumlah laporan penelitian terbaru memprediksi bahwa resistensi parasit terhadap CQ terjadi karena adanya peningkatan pada pfcrt dan pfmdr-1. Pfmdr-1 merupakan kontributor utama parasit menjadi resisten terhadap CQ (5). 2. Meflokuin Resistensi P. falciparum terhadap meflokuin dan terkait dengan amplifikasi (yaitu duplikasi) pada Pfmdr yang mengkode pompa glikoprotein- p (Pgh) dan membutuhkan energi. Faktor genetik yang beragam mempunyai konsekuensi terhadap berkurangnya konsentrasi intraseluler dari kuinolin. Dengan demikian pemberian antimalaria kuinolin dapat mempengaruhi penurunan kemampuan dari parasit untuk mendetoksifikasi yang dikeluarkan oleh hemoglobin. 3. Obat-obat yang Mengganggu Jalur Folat Parasit Resistensi P. falciparum dan P. vivax, terhadap antifolat (pyrimethamin dan cylcloguanil) dihasilkan dari akusisi sekuensial mutasi pada gen dihydrofolate reduktase (dhfr). Mutasi juga menyebabkan terjadinya penurunan terhadap kerentanan. Resistensi parasit terhadap sulfonamida dan sulfone yang dikombinasikan dengan antifolate menghasilkan mutasi akuisisi sekuensial pada gen dihydropteroate synthase (dhps) yang mengkode enzim sinthase dihidropteroate. Reaksi yang ditimbulkan dari obat golongan antifolate sangat luas sehingga dapat mengganggu sintesa DNA melalui deplesi pada tetrahydrofolate dan merupakan kofaktor yang penting pada jalur folat. Ada dua jalur penting yang terkait, yaitu sebagai kompetitif inhibitor pada enzim dihydrofolate reduktase (DHFR). Kelompok tersebut antara lain pyrimethamine dan biguanides proguanil serta chlorproguanil (keduanya dibutuhkan pada biotransformasi untuk triazines cycloguanil dan chlorcycloguanil pada enzim DHFR sebagai kompetitif inhibitor dari enzim dihydropteroate synthase (DHPS) menjadi enzim yang utama pada jalur folat.
3.3. Kombinasi dosis tetap artesunat-amodiakuin untuk pengobatan Malaria
plasmodium falciparum di India
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan terapi
kombinasi berbasis artemisinin (ACT) sebagai pengobatan untuk Plasmodium falciparum dan banyak negara endemik malaria menggunakannya. India telah beralih ke ACT dan National Vektor Borne Disease Control Program merekomendasikan penggunaan artesunat + sulphadoxine-pyrimethamine (AS + SP) untuk pengobatan malaria falciparum. Percobaan acak yang dilakukan di dua tempat di India dari Januari 2007 hingga Januari 2008. Penelitian dilakukan pada pasien berusia enam bulan hingga 60 tahun, dengan berat lebih dari 5 kg dan memiliki infeksi P. falciparum. Pasien dengan tanda malaria berat, kondisi demam karena penyakit selain malaria, penyakit berat yang diketahui, riwayat hipersensitif terhadap obat-obatan, tes kehamilan positif atau wanita menyusui, riwayat pengobatan anti malaria dalam 15 hari terakhir dikeluarkan. Pada saat pengobatan ASAQ diberikan satu kali sehari secara oral pada hari ke -0, 1 dan 2 dari studi menurut kelompok usia. Dua kekuatan kombinasi yang berbeda dirumuskan; pediatrik / kekuatan lebih rendah (AS: 25 mg / AQ: 67,5 mg) dan dewasa / kekuatan lebih tinggi (AS: 100 mg / AQ: 270 mg). Anak-anak dalam kelompok usia enam hingga 11 bulan diberi satu tablet berkekuatan lebih rendah, satu sampai lima tahun, dua tablet kekuatan lebih rendah, enam hingga 13 tahun satu tablet kekuatan yang lebih tinggi dan mereka yang lebih tua dari 14 tahun diberi dua tablet kekuatan yang lebih tinggi. Tablet AQ (153 mg base) diberikan secara oral, sekali sehari selama tiga hari. Jumlah tablet diputuskan berdasarkan usia dan berat badan dengan dosis dewasa adalah empat tablet pada hari ke 0, 1 dan tiga tablet pada hari ke-2. Titik akhir utama dari penelitian ini adalah tingkat penyembuhan PCR yang dikoreksi berdasarkan respon klinis dan parasitologis yang adekuat, yang didefinisikan sebagai tidak adanya parasitemia, terlepas dari suhu tubuh pasien, dengan pasien tidak memenuhi kriteria kegagalan pengobatan dini atau terlambat. Pada saat analisis laboratorium sampel darah dikumpulkan dengan metode fingerpick untuk penilaian parasitologi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi dosis tetap ASAQ berkhasiat untuk pengobatan malaria falciparum di India. Tingkat penyembuhan terkoreksi PCR adalah 97,47% (95% CI 94,2 - 99,2%) dan 88,3% (95% CI 80,0 - 94,0%) di ASAQ dan AQ masing- masing. Tingkat penyembuhan adalah serupa pada kelompok usia yang berbeda. Studi ini juga mendukung peran AQ sebagai mitra yang cocok di ASAQ. Kombinasi dosis tetap ASAQ terbukti menjadi pengobatan yang manjur dan aman untuk malaria falciparum di kedua daerah penelitian. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa obat mitra, AQ efektif di daerah penelitian, membuatnya menjadi pasangan artesunat yang cocok.