Anda di halaman 1dari 4

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Penelitian Obat Antimalaria


Resistensi parasit terhadap obat adalah kemampuan parasit untuk terus
hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gcjala penyakit
meskipun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standar
maupun dosis yang lebih tinggi, yang masih dapat ditolerir oleh pemakai obat.
Selama ini masalah resistensi pada umumnya dihubungkan dengan Plasmodium
falciparum, sedangkan terhadap Plasmodium viva juga sudah mulai banyak
dibicarakan. Di Indonesia, semua propinsi telah melaporkan adanya kasus resisten
El falcipanlnz terhadap obat anti malaria klorokuin. Tes resistensi dapat dilakukan
dengan cara in-vivo dan in-vitro (mikro atau makro tes). Kelebihan cara in-vivo
adalah dapat menentukan tingkat atau derajat resistensi, sedangkan cara in-vitro
dapat dilakukan terhadap beberapa jenis obat dalam saat yang bersamaan. Obat
antimalaria yang telah diteliti adalah :
1. Klorokuin
Dari hasil penelitian resistensi in-vitro P. Falciparum terhadap
klorokuin ditemukan di Jawa Tengah, Nusa Tenggara Tirnur, Sumatera
Utara, Aceh, Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Daerah Khusus
Ibukota, dan Kalimantan Timur. Dan dari penelitian resistensi in-vivo,
ditemukan di lrian Jaya, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara
Timur, dan Jawa Tengah.
2. Sulfadoksin-Pirimetamin
Dari penelitian resistensi in-vitro ditemukan di Lampung
(Lampung Tengah dan Lampung Selatan), Jawa Tengah (Batang),
Sumatera Utara (P.Nias), Aceh (Sabang), Jawa Tengah (Jepara.), Sulawesi
Selatan (Mamuju), Jawa Tengah (Pekandangan) dan Kaliantan Timur
(Balikpapan). Dan dari penelitian resistensi in-vivo, ditemukan di Jawa
Tengah (Batang) dan Sulawesi Selatan (Mamuju).
3. Amodiakuin
Dari hasil penelitian resistensi in-vitro P. Falciparum terhadap
amodiakuin ditemukan di Kalimatan Timur (Balikpapan). Dan dari hasil
penelitian resistensi in-vivo, ditemukan di Jakarta (Kep. Seribu).
4. Meflokuin
Dari hasil penelitian resistensi in-vitro P. Falciparum terhadap
meflokuin ditemukan di Jawa Tengah, Irian Jaya, dan Kalimantan Timur.
Dan dari penelitian resistensi in-vivo, tidak ditemukan adanya kasus
resisten di Kalimantan Timur dan Aceh.
5. Halofantrin
Dari hasil penelitian resistensi in-vivo P. Falciparum terhadap halofantrin
ditemukan di Kalimatan Timur (Balikpapan).
3.2. Mekanisme Resistensi Obat Antimalaria
1. Klorokuin (Chloroquine / CQ)
Dikatakan resistensi parasit terhadap CQ pada manusia, disebabkan
adanya penurunan akumulasi obat pada pencernaan parasit di vakuola,
terutama karena pH di kompartemennya berubah menjadi asam. Resistensi P.
falciparum terhadap CQ terjadi secara spontan. Resistensi P. falciparum
terhadap CQ bersifat multigenik karena mutasi terjadi pada gen yang
mengkode plasmodium falciparum chloroquine resistant transporter (pfcrt)
transporter pertama dan plasmodium falciparum multidrug resistant (pfmdr-1)
transporter kedua. Sejumlah laporan penelitian terbaru memprediksi bahwa
resistensi parasit terhadap CQ terjadi karena adanya peningkatan pada pfcrt
dan pfmdr-1. Pfmdr-1 merupakan kontributor utama parasit menjadi resisten
terhadap CQ (5).
2. Meflokuin
Resistensi P. falciparum terhadap meflokuin dan terkait dengan
amplifikasi (yaitu duplikasi) pada Pfmdr yang mengkode pompa glikoprotein-
p (Pgh) dan membutuhkan energi. Faktor genetik yang beragam mempunyai
konsekuensi terhadap berkurangnya konsentrasi intraseluler dari kuinolin.
Dengan demikian pemberian antimalaria kuinolin dapat mempengaruhi
penurunan kemampuan dari parasit untuk mendetoksifikasi yang dikeluarkan
oleh hemoglobin.
3. Obat-obat yang Mengganggu Jalur Folat Parasit
Resistensi P. falciparum dan P. vivax, terhadap antifolat (pyrimethamin
dan cylcloguanil) dihasilkan dari akusisi sekuensial mutasi pada gen
dihydrofolate reduktase (dhfr). Mutasi juga menyebabkan terjadinya
penurunan terhadap kerentanan. Resistensi parasit terhadap sulfonamida dan
sulfone yang dikombinasikan dengan antifolate menghasilkan mutasi akuisisi
sekuensial pada gen dihydropteroate synthase (dhps) yang mengkode enzim
sinthase dihidropteroate. Reaksi yang ditimbulkan dari obat golongan
antifolate sangat luas sehingga dapat mengganggu sintesa DNA melalui
deplesi pada tetrahydrofolate dan merupakan kofaktor yang penting pada jalur
folat. Ada dua jalur penting yang terkait, yaitu sebagai kompetitif inhibitor
pada enzim dihydrofolate reduktase (DHFR). Kelompok tersebut antara lain
pyrimethamine dan biguanides proguanil serta chlorproguanil (keduanya
dibutuhkan pada biotransformasi untuk triazines cycloguanil dan
chlorcycloguanil pada enzim DHFR sebagai kompetitif inhibitor dari enzim
dihydropteroate synthase (DHPS) menjadi enzim yang utama pada jalur folat.

3.3. Kombinasi dosis tetap artesunat-amodiakuin untuk pengobatan Malaria


plasmodium falciparum di India

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan terapi


kombinasi berbasis artemisinin (ACT) sebagai pengobatan untuk Plasmodium
falciparum dan banyak negara endemik malaria menggunakannya. India telah
beralih ke ACT dan National Vektor Borne Disease Control Program
merekomendasikan penggunaan artesunat + sulphadoxine-pyrimethamine (AS +
SP) untuk pengobatan malaria falciparum.
Percobaan acak yang dilakukan di dua tempat di India dari Januari 2007
hingga Januari 2008. Penelitian dilakukan pada pasien berusia enam bulan hingga
60 tahun, dengan berat lebih dari 5 kg dan memiliki infeksi P. falciparum. Pasien
dengan tanda malaria berat, kondisi demam karena penyakit selain malaria,
penyakit berat yang diketahui, riwayat hipersensitif terhadap obat-obatan, tes
kehamilan positif atau wanita menyusui, riwayat pengobatan anti malaria dalam
15 hari terakhir dikeluarkan.
Pada saat pengobatan ASAQ diberikan satu kali sehari secara oral pada hari
ke -0, 1 dan 2 dari studi menurut kelompok usia. Dua kekuatan kombinasi yang
berbeda dirumuskan; pediatrik / kekuatan lebih rendah (AS: 25 mg / AQ: 67,5
mg) dan dewasa / kekuatan lebih tinggi (AS: 100 mg / AQ: 270 mg). Anak-anak
dalam kelompok usia enam hingga 11 bulan diberi satu tablet berkekuatan lebih
rendah, satu sampai lima tahun, dua tablet kekuatan lebih rendah, enam hingga 13
tahun satu tablet kekuatan yang lebih tinggi dan mereka yang lebih tua dari 14
tahun diberi dua tablet kekuatan yang lebih tinggi. Tablet AQ (153 mg base)
diberikan secara oral, sekali sehari selama tiga hari. Jumlah tablet diputuskan
berdasarkan usia dan berat badan dengan dosis dewasa adalah empat tablet pada
hari ke 0, 1 dan tiga tablet pada hari ke-2.
Titik akhir utama dari penelitian ini adalah tingkat penyembuhan PCR yang
dikoreksi berdasarkan respon klinis dan parasitologis yang adekuat, yang
didefinisikan sebagai tidak adanya parasitemia, terlepas dari suhu tubuh pasien,
dengan pasien tidak memenuhi kriteria kegagalan pengobatan dini atau terlambat.
Pada saat analisis laboratorium sampel darah dikumpulkan dengan metode
fingerpick untuk penilaian parasitologi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kombinasi dosis tetap ASAQ berkhasiat untuk pengobatan malaria
falciparum di India. Tingkat penyembuhan terkoreksi PCR adalah 97,47% (95%
CI 94,2 - 99,2%) dan 88,3% (95% CI 80,0 - 94,0%) di ASAQ dan AQ masing-
masing. Tingkat penyembuhan adalah serupa pada kelompok usia yang berbeda.
Studi ini juga mendukung peran AQ sebagai mitra yang cocok di ASAQ.
Kombinasi dosis tetap ASAQ terbukti menjadi pengobatan yang manjur dan
aman untuk malaria falciparum di kedua daerah penelitian. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa obat mitra, AQ efektif di daerah penelitian, membuatnya
menjadi pasangan artesunat yang cocok.

Anda mungkin juga menyukai