Anda di halaman 1dari 4

Ketok Palu, APBN Perdana Jokowi

Disahkan DPR
By Ilyas Istianur Praditya

on 13 Feb 2015 at 22:08 WIB

75Shares
/

 Facebook
 Twitter
 Google+
 Email
 Copy Link

Ketua DPR RI Setya Novanto (kedua kiri) bersama Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kiri),
Taufik Kurniawan (tengah), Fachri Hamzah (kanan) saat memimpin Sidang Paripurna,
Jakarta, Jum'at (13/02/2015). (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Rapat Paripurna DPR RI hari ini telah menyetujui Rancangan
Undang-undang (RUU) Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015
menjadi Undang-Undang (UU) APBN-P 2015. Ini merupakan APBN pertama dari
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Kesepakatan ini menempuh jalan yang panjang setelah tertunda kurang lebih 10 jam, di mana
dijadwalkan dimulai pukul 10.00 WIB, lalu kemudian diskors hingga baru dimulai lagi pukul
20.30 WIB.
Adapun postur APBN-P 2015 yang disepakati diantaranya adalah Belanja Negara Rp 1.984,1
triliun, lebih rendah Rp 10,7 triliun dari usulan pemerintah sebelumnya.

"Kami akan menanyakan meja kaitan apakah apakah pembahasan RUU APBN-P Tahun 2015
dapat disetujui?," tanya pimpinan sidang paripurna dari Partai Amanat Nasional (PAN),
Taufik Kurniawan di Gedung DPR RI, Jumat (13/2/2015).

Serentak pertanyaan Taufik tersebut langsung dijawab setuju oleh para peserta paripurna dan
dilanjutkan dengan pemukulan palu.

Sebelum disahkan, pengesahan UU APBNP 2015 ini diwarnai intrupsi dari beberapa anggota
parlemen yang mayoritas lebih memberikan masukan ke pemerintah dalam pelaksanaan
APBNP 2015.

Salah satu hal yang menjadi pesan adalah pemanfaatan dan pertanggung jawaban pemerintah
terkait Penyertaan Modal Negara (PMN) ke beberapa BUMN.

Adapun dari postur anggaran yang disepakati, untuk pendapatan negara dan hibah disepakati
sebesar Rp 1.761,6 triliun, di mana penerimaan pajak non-migas disepakati Rp 1.439,7
triliun. Target penerimaan perpajak ini meningkat 11,5 persen dari APBN 2015.

Untuk penerimaan pajak migas tercatat sebesar sebesar Rp 139,3 triliun. Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) mineral dan batubara disepakati sebesar Rp 52,2 triliun, PNBP
kehutanan sebesar Rp 4.7 triliun, PNBP perikanan sebesar Rp 578,8 miliar, PNBP
Kementerin Hukum dan HAM sebesar Rp 4,28 triliun, dan Penerimaan Badan Layanan
Umum (BLU) Rp 23,09 triliun.

Deviden BUMN ditargetkan sebesar Rp 36,9 triliun berasal dari Pertamina Rp 6,34 triliun,
PLN Rp 5,4 triliun dan lainnya sebesar Rp 25,1 triliun.

Untuk subsidi energi disepakati Rp 137,8 triliun dimana untuk subsidi BBM, elpiji 3 kg dan
LGV sebesar Rp 64,6 triliun. Untuk subsidi listrik Rp 73,1 triliun. Suntikan modal berupa
Penyertaan Modal Negara untuk BUMN sebesar Rp 64,8 triliun.

Serta defisit dalam APBN-P 2015 disepakati sebesar Rp 224,1 triliun, atau 1,92 persen dari
PDB.

Adapun asumsi makro antara lain:

- Pertumbuhan ekonomi 5,7 persen


- Inflasi 5 persen
- Suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan 6,2 persen
- Nilai tukar rupiah Rp 12.500 per dolar Amerika Serikat
- Harga minyak Indonesia (ICP) US$ 60 per barel
- Lifting minyak 825 ribu barel per hari
- Lifting gas 1,22 juta barel
Besarnya APBN Dinilai Belum Mampu
Tingkatkan Kesejahteraan
Sabtu, 28 November 2015 22:23 WIB

Istimewa/viva

Harry Azhar Azis

foto TERKAIT

Rapat Paripurna Penetapan APBN 2015

Pembiayaan APBN 2013

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry


Azhar Azis, menyatakan keprihatinannya terkait kesenjangan ekonomi yang terus meningkat
setalah era reformasi.
Kenaikan tersebut membuktikan bahwa kebijakan pemerintah selama ini ada yang kurang
tepat.

Menurut dia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diakui cukup besar dan
terus meningkat. Hanya saja dalam implementasinya kenaikan anggaran tersebut belum
diikuti oleh kenaikan kesejahteraan ekonomi rakyat.

"Besarnya APBN belum diikuti kenaikan kesejahteraan rakyat. Saat ini APBN mencapai Rp
2.000 triliun lebih tapi kesenjangan makin tinggi. Ini harus dikoreksi dan evaluasi," ujar
Harry Azhar dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (28/11/2015).

Harry menuturkan, bahwa tujuan negara Indonesia adalah mewujudkan masyarakat Indonesia
yang adil dan makmur. Artinya kesejahteraan harus menjadi ukuran bagi keberhasilan
seorang pemimpin.
Jika kesejahteraan naik maka seorang pemimpin tersebut dianggap berhasil. Namun, jika
yang muncul kesenjangan dan kemiskinan, maka pemimpin tersebut tidak boleh dipilih lagi.

"Kami di BPK sedang merumuskan bagaimana penggunaan anggaran harus mampu


menciptakan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan," ujar mantan Ketua Umum PB HMI
itu.

Masih kata Harry, perbandingan gini rasio di masa reformasi dengan masa lalu (orde baru)
menunjukkan tingkat kesenjangan yang terus makin tinggi. Pada masa orde baru rasio gini
0,31, sementara pada masa reformasi saat ini angka rasio gini mencapai 0,42.

"Artinya kesenjangan di era reformasi makin tinggi, padahal dulu gerakan reformasi
digerakkan untuk peningkatan kesejahtraan rakyat. Inilah tantangan pemerintah dalam
kebijakan ekonomi," katanya.

Sementara itu Koordinasi Nasional Jaringan Indonesia (Kornas Jari), Yayat Y Biaro
mengatakan sebagai mantan aktivis dirinya yang ikut memperjuangkan reformasi
menginginkan bahwa rezim reformasi lebih baik.

"Kita harus evaluasi proses kebijakan ekonomi pembangunan yang telah berjalan selama 17
tahun reformasi," kata Yayat.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini berharap masukan dan rekomendasi dari pihaknya
bisa diimplementasikan secara tepat. "Diharapkan para aktivis memberikan pengalaman
akademik dan lapangan mereka agar bisa menelurkan gagasan strategis untuk bangsa," tandas
Yayat.

Anda mungkin juga menyukai